Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam,
apabila berdiri untuk mengerjakan shalat fardhu ataupun shalat sunnah,
beliau menghadap kearah ka’bah.[1] Rasulullah telah memerintahkan hal
tersebut kepada orang yang shalatnya jelek, beliau bersabda :
“Apabila kamu berdiri untuk mengerjakan
shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah kearah kiblat, lalu
bertakbirlah (takbiratul ihram).” [2] (HR Bukhari – Muslim)
“Dalam suatu perjalanan, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat sunnah, dan
shalat witir diatas kendaraannya dengan menghadap kearah manapun sesuai
dengan arah yang dituju oleh kendaraannya.” [kearah timur dan barat].”
[3]
Dalam perkara ini turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi :
“maka kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah.” (al Baqarah : 115)
Apabila hendak mengerjakan shalat sunnah
diatas untanya, terkadang beliau mengarahkan untanya kearah kiblat,
lalu beliau bertakbir, setelah itu beliau shalat kearah manapun sesuai
dengan arah yang dituju oleh kendaraannya.[4] Beliaupun pernah rukuk
dan sujud diatas kendaraannya dengan cara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Beliau menjadikan sujudnya lebih rendah dari pada
rukuknya.[5]
Apabila beliau hendak mengerjakan shalat fardhu, beliau
turun (dari kendaraannya), kemudian beliau shalat dengan menghadap
kearah kiblat.[6] Adapun dalam kondisi perang yang sedang berkecamuk,
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah membimbing ummatnya agar
mereka mengerjakan shalat sambil berjalan kaki atau sambil menaiki
kendaraan, dengan menghadap kearah kiblat ataupun tidak.[7] Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila mereka sedang bertempur, maka sesungguhnya (shalat itu) hanyalah berupa takbir dan anggukan kepala.” [8]
Dan beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
“Antara arah timur dan Barat adalah kiblat.”[9] (HR Tirmidzi dan Hakim)
Jabir radhiyallallahu’anhu berkata :
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan atau dalam suatu penyerbuan, lalu kami diselimuti kabut. Maka kami berusaha untuk mendapatkan arah kiblat. Setiap orang dari kami berselisih. Setiap orang dari kami mengerjakan shalat dengan membuat pembatas. Diantara kami ada yang membuat garis didepannya, agar bisa mengetahui posisi atau tempat kami masing-masing. Pada keesokan harinya kami melihat apa yang kami lakukan semalam, ternyata kami mengerjakan shalat tidak menghadap kearah kiblat. Lalu kami ceritakan kejadian itu kepada Nabi (maka beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi shalat kami). Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Shalat kalian sah.”[10] Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengerjakan shalat menghadap baitul maqdis [sementara kakbah berada dihadapan beliau]. Hal itu terjadi sebelum turunnya ayat ini :
“Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan atau dalam suatu penyerbuan, lalu kami diselimuti kabut. Maka kami berusaha untuk mendapatkan arah kiblat. Setiap orang dari kami berselisih. Setiap orang dari kami mengerjakan shalat dengan membuat pembatas. Diantara kami ada yang membuat garis didepannya, agar bisa mengetahui posisi atau tempat kami masing-masing. Pada keesokan harinya kami melihat apa yang kami lakukan semalam, ternyata kami mengerjakan shalat tidak menghadap kearah kiblat. Lalu kami ceritakan kejadian itu kepada Nabi (maka beliau tidak memerintahkan kami untuk mengulangi shalat kami). Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : “Shalat kalian sah.”[10] Dahulu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengerjakan shalat menghadap baitul maqdis [sementara kakbah berada dihadapan beliau]. Hal itu terjadi sebelum turunnya ayat ini :
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah kelangit, maka sungguh Kami akan memelingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram…”(Al
Baqarah : 144)
Setelah ayat ini turun, beliau shalat
menghadap kearah kakbah. Ketika orang-orang tengah menunaikan shalat
subuh di masjid quba, tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi mereka,
lalu dia berkata : “Sesungguhnya malam ini telah diturunkan al Qur’an
kepada Rasulullah. Beliau telah diperintah untuk menghadap kearah
ka’bah, maka menghadaplah –kalian semua- ke arah ka’bah.” Ketika itu
wajah-wajah mereka tengah menghadap kearah negeri syam (Baitul Maqdis),
lalu mereka berputar. [Imam shalat mereka berputar, sampai akhirnya
mereka semua dapat menghadap kearah ka’bah]. [11]
Foot Note
[1]. Ini merupakan sesuatu yang qath’i
karena riwayatnya mutawatir, sehingga tidak perlu lagi untuk ditakhrij.
Dalil-dalil tentang hal ini akan disebutkan nanti.
[2]. Bukhari, Muslim dan Sirraj. Hadits yang pertama telah ditakhrij dalam Al-Irwa’ (298).
[3]. Idem.
[4]. Abu Dawud dan Ibnu Hibban dalam Ats
Tsiqat (1/21) dan Adh Dhiya dalam Al-Mukhtarah dengan sanad hasan. Dan
dishahihkan oleh Ibnu Sakan dan Ibnu Mulaqqin dalam Khalashatul badril
Munir (22/1). Sebelum mereka, hadits inipun telah dishahihkan oleh
Abdul haq Al-Isybili dalam Ahkam beliau (no. 1394 dengan tahqiq yang
saya berikan). Pendapat ini telah dipilih oleh Imam Ahmad, sebagaimana
riwayat yang dinukil oleh Ibnul Hani dalam Masail-nya (1/67) dari
beliau.
[5]. Ahmad dan Tirmidzi dan Dishahihkan olehnya.
[6]. Bukhari dan Ahmad.
[7]. Bukhari dan Muslim. Hadits telah ditakhrij dalam kitab irwaul Ghalil hadits no. 588.
[8]. Baihaqi dengan sanad Shahihain.
[9]. Tirmidzi dan Hakim dan telah
dishahihkan oleh keduanya. Saya telah mentakhrij hadits ini dalam kitab
Irwaul Ghalil Fii Tkhrij Ahadits Manaris Sabil. Hadits no. 292. allah
telah melancarkan proses pencetakan kitab ini.
[10]. Daruquthni, Hakim dan Baihaqi.
Hadits ini memiliki syahid (hadits pendukung) dalam riwayat Tirmidzi
dan Ibnu Majah. Hadits pendukung lainnya diriwayatkan Thabrani. Hadits
ini telah ditakhrij dalam kitab Irwaul Ghalil no. Hadits 296.
[11]. Bukhari, Muslim, Ahmad, Sirraj,
Thabrani (3/108/2) dan Ibnu Sa’ad (1/243). Hadits ini tercantum dalam
kitab Al Irwa’ no. Hadits 290.
————————————————————————————————————————————————–
TANYA- JAWAB
Oleh:Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apabila orang yang shalat telah mengetahui ia berpaling sedikit dari qiblat, apakah dia mengulangi shalatnya.?
Jawab
Berpaling sedikit dari qiblat tidaklah membahayakan ini berlaku bagi orang yang jauh dari Masjidil Haram. Karena Masjidil Haram merupakan qiblat bagi orang yang shalat karena didalamnya ada Ka’bah. Oleh karena itu para ulama berpendapat : Barangsiapa yang dapat menyaksikan Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah, maka orang yang shalat di Masjidil Haram menghadap kearah Ka’bah, kemudian tidak menghadap langsung ke Ka’bah, dia harus mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak sah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Palingkan mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” [Al-Baqarah : 144]
Kalau orang tersebut jauh dari Ka’bah tidak bisa menyaksikannya walaupun masih berada di wilayah Makkah wajib baginya untuk menghadap ke arah qiblat, tidak mengapa berpaling sedikit, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Madinah.
“Apa yang diantara Timur dan Barat adalah Qiblat” [1]
Karena penduduk Madinah menghadap ke Selatan maka setiap apa yang diantara Timur dan Barat menjadi Qiblat bagi mereka. Demikian pula misalnya kita katakan kepada orang yang shalat menghadap ke Barat bahwa diantara Selatan dan Utara adalah Qiblat.
HUKUM SHALAT BERJAMA’AH TIDAK MENGHADAP KIBLAT
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukumnya shalat berjama’ah menghadap selain Qiblat/tidak menghadap Qiblat?
Jawaban
Masalah ini tidak lepas dari dua hal.
[1]. Mereka berada di suatu tempat yang tidak memungkinkan untuk mengetahui arah qiblat, seperti dalam safar, langit mendung sehingga tidak ada petunjuk ke arah qiblat, apabila mereka shalat menghadap kearah mana saja kemudian apabila mereka mengetahui bahwa mereka shalat tidak menghadap qiblat tidak apa-apa bagi mereka (shalatnya syah), karena mereka sudah bertakwa kepada Allah menurut kemampuan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Bertakwalah kepada Allah semampu kamu” [Ath-Thaghabun : 16]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah semampu kalian” [2]
[2]. Mereka berada pada suatu tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk bertanya tentang qiblat, tetapi mereka lalai dan tidak mau bertanya, dalam hal ini mereka mengulangi (mengqadha) shalat yang mereka kerjakan dengan tidak menghadap qiblat. Sama saja apakah mereka mengetahui kesalahan mereka sebelum waktu shalat habis atau setelahnya, karena mereka dalam masalah ini bersalah dan disalahkan, disalahkan dalam msalah qiblat, karena mereka tidak sengaja berpaling dari qiblat tetapi mereka bersalah dalam kelalaian mereka untuk menanyakan tentang qiblat. Seyogyanya kita mengetahui bahwa berpaling sedikit dari arah qiblat tidaklah membahayakan. Seperti berpaling kekanan atau kekiri sedikit berdasarkan sabda Rasulullah kepada penduduk Madinah.
“Diantara Timur dan Barat adalah Qiblat”
Orang-orang yang berdomisili di sebelah utara dari Ka’bah kita katakan kepada mereka, di antara Utara dan Selatan adalah qiblat, berpaling sedikit dari qiblat tidak apa-apa
Dan di sini ada masalah yang ingin saya tekankan yaitu : Barangsiapa yang berada di Masjidil Haram melihat Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap langsung Ka’bah tidak menghadap ke arahnya, karena apabila berpaling dari Ka’bah maka ia belum menghadap qiblat. Saya melihat kebanyakan orang-orang di Masjidil Haram tidak menghadap langsung ke Ka’bah, mereka membuat shaf bundar memanjang, maka sesungguhnya kebanyakan dari mereka tidak menghadap langsung ke Ka’bah. Ini merupakan kesalahan besar, wajib bagi orang Islam memperhatikannya, karena kalau mereka shalat dalam keadaan yang demikian itu berarti mereka shalat tidak menghadap qiblat.
[Disalin dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, Edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, Penerjemah Furqan Syuhada, Penerbit Pustaka Arafah]
__________
Foote Note
[1]. HR Tirmidzi, Kitabu Ash-Shalat, bab Ma’ Ja’a Anna Ma Baina Al-Masyriq wal Maghrib Qiblat, dan Ibnu Majah (1011) dan Hakim, dishahihkan dan disepakati oleh Azh-Zhahabi (Al-Mustadzrak 1/225]
[2]. HR Bukhari, Kitabu Al-Iqtisama bi Al-Kitabi wa As-Sunnati, bab Al-Iqtida’ Bi Sunnati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Muslim, Kitab Al-Haj, bab Fardhu al-Hajj.