Kita sudah ketahui bersama bahwa
menghadap kiblat adalah di antara syarat sah shalat. Namun ada beberapa
keadaan yang dibolehkan seseorang tidak menghadap kiblat.
Pertama: Tidak mampu menghadap kiblat, seperti orang sakit sehingga tidak mampu mengarahkan badannya ke arah kiblat. “Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16)
Kedua: Orang yang samar baginya arah
kiblat, ia sudah berusaha mencari, namun ia shalat menghadap ke arah
lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Umar, beliau
berkata, “Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba
datang seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, tadi malam telah turun
ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau
diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang
sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu
wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian
berputar ke arah Ka’bah.” (HR. Bukhari no. 403 dan Muslim no. 526).
Riwayat ini menunjukkan bahwa ketika di pertengahan shalat sudah
diketahui arah kiblat sebenarnya, maka hendaklah ketika itu ia menghadap
ke arah tersebut.
Ketiga: Keadaan sangat takut ketika menghadapi musuh atau semacamnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al Baqarah: 239).
Keempat: Bagi musafir yang melaksanakan
shalat sunnah di atas kendaraan boleh baginya tidak menghadap kiblat
ketika ada udzur saat itu. Ibnu ‘Umar berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sunnah di atas
kendaraan dengan menghadap arah yang dituju kendaraan dan juga beliau
melaksanakan witir di atasnya. Dan beliau tidak pernah mengerjakan
shalat wajib di atas kendaraan.” (HR. Bukhari no. 1098 dan Muslim no. 1652)
—————————————————————————————————————————————————-
TANYA-JAWAB
Tanya: Assalamualaikum,
ustadz bagaimana tata cara shalat di dalam kereta ekonomi baik dalam
tata cara menghadap kiblat dan berdirinya, apakah kita wajib berdiri
atau tidak? (Arif R.H)
Jawab:
Wa’alaikumsalamwarahmatullah wabarakatuhu.
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin, washshalaatu wassalaamu ‘alaa rasulillaah khairil anbiyaa’I wal mursaliin wa ‘alaa ‘aalihii wa shahbihii ajma’iin. Amma ba’du:
Menghadap qiblat termasuk syarat sahnya shalat, sebagaimana firman Allah ta’aalaa:
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ
الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ
شَطْرَهُ [البقرة/144]
“Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” (QS.Al-Baqarah:144)
Dan berdiri bila mampu dalam shalat fardhu termasuk rukun shalat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب
“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka dengan duduk,
apabila tidak mampu maka dengan berbaring” (HR.Al-Bukhary, dari ‘Imran
bin Hushain radhiyallahu ‘anhu)
Oleh karena itu, shalat fardhu di kereta apabila masih memungkinkan
kita berdiri dan menghadap qiblat maka kita harus berdiri dan menghadap
qiblat sebagaimana yang dilakukan para salaf ketika naik kapal, mereka
shalat di kapal dengan berdiri menghadap qiblat, dan ketika kapal
berubah arah mereka tetap berusaha menghadap qiblat.
Berkata Ibrahim An-Nakha’iy rahimahullah:
يستقبل القبلة كلما تحرفت
“(Orang yang shalat di atas kapal) tetap menghadap qiblat setiap kapal
tersebut berpindah arah) (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam
Al-Mushannaf 3/189 no:6634)
Berkata Hasan Al-Bashry dan Muhammad bin Siiriin rahimahumallah:
يصلون فيها قياما جماعة، ويدورون مع القبلة حيث دارت
“Mereka shalat berjama’ah di kapal dengan berdiri, dan mereka tetap
menghadap qiblat kemanapun kapal berputar ” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah di dalam Al-Mushannaf 3/189 no:6637)
Namun apabila tidak mampu berdiri atau tidak mampu menghadap qiblat
maka kita kerjakan shalat sesuai dengan kemampuan kita. Apabila tidak
mampu berdiri maka duduk, apabila tidak mampu ruku dan sujud maka cukup
dengan menundukkan badan, dan menjadikan sujudnya lebih rendah
daripada ruku’nya.
Allah ta’aalaa berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن/16]
“Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian” (QS. At-Taghaabun:16)
Allah ta’aalaa juga berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
“Allah tidak membebani sebuah jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah:286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فافعلوا منه ما استطعتم
“Apa yang aku larang maka hendaklah kalian jauhi, dan apa yang aku
perintahkan maka hendaklah kalian kerjakan sesuai dengan kemampuan
kalian” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Berkata Syeikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullahu:
تصح الصلاة على الطائرة وهي تطير في الجو، كما تصح الصلاة على الباخرة
والسفينة ونحوها. وهذا أَشبه بحال الضرورة. لأَنه لا يستطيع إِيقافها ولا
النزول لأَداء الصلاة، ولا يجوز تأْخير الصلاة عن وقتها بحال. وكما تصح
الصلاة على السيارة إِذا جد به السير ولم يتمكن الراكب من إِلزام السائق
بإِيقاف السيارة وخشي خروج الوقت، فإِنه يصلي قبل خروج الوقت ويفعل ما
يستطيع عليه، ثم إِذا صلى الإِنسان في الطائرة ونحوها فإِن استطاع أَن يصلي
قائمًا ويركع ويسجد لزمه ذلك في الفريضة، وإِلا صلى على حسب حاله وأَتى
بما يقدر عليه من ذلك، كما يلزمه استقبال القبلة حسب استطاعته. وكلما دارت
انحرف إِلى القبلة إِذا كانت الصلاة فرضًا
“Sah shalat di dalam pesawat yang sedang terbang, sebagaimana sah
shalat di dalam kapal dan yang semisalnya, dan ini lebih serupa dengan
keadaan dharurat, karena dia tidak mampu menghentikan kendaraan
tersebut, dan juga tidak bisa turun untuk mengerjakan shalat, sementara
tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya dalam keadaan apapun.
Sebagaimana shalat juga sah di atas mobil apabila sedang berjalan dan
penumpang tidak bisa mengharuskan sopir menghentikan kendaraan, dan dia
takut habis waktu, maka hendaklah dia shalat sebelum habis waktunya
dan melakukan apa yang dia mampu. Kemudian apabila seseorang shalat di
pesawat dan yang semisalnya maka jika dia mampu shalat dengan
berdiri, ruku’, dan sujud maka dia wajib melakukannya pada shalat
fardhu, kalau tidak bisa maka shalat sesuai dengan kondisi dia, dan
mengerjakan apa yang dia mampu, sebagaimana wajib bagi dia menghadap
qiblat sesuai dengan kemampuan, setiap kali kendaraan itu berputar maka
dia tetap menghadap ke qiblat bila itu adalah shalat fardhu” (Fataawaa
wa Rasaa’il Syeikh Muhammad bin Ibrahim no:516)
Berkata Komite Tetap Untuk Riset llmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia:
وأما كونه يصلي أين توجهت المذكورات أم لا بد من التوجه إلى القبلة دومًا
واستمرارًا أو ابتداءً فقط – فهذا يرجع إلى تمكنه، فإذا كان يمكنه استقبال
القبلة في جميع الصلاة وجب فعل ذلك؛ لأنه شرط في صحة صلاة الفريضة في
السفر والحضر، وإذا كان لا يمكنه في جميعها، فليتق الله ما استطاع، لما
سبق من الأدلة، هذا كله في الفرض
“Adapun, apakah dia shalat mengikuti arah kendaraan-kendaraan tersebut (mobil, kereta, pesawat, atau kendaraan roda empat) harus menghadap qiblat secara terus-menerus atau hanya di awal shalat, maka ini dikembalikan kepada kemampuan dia, jika dia mungkin menghadap qiblat terus-menerus dalam shalat seluruhnya maka dia wajib melakukannya, karena ini syarat sahnya shalat fardhu baik ketika safar atau muqim, dan apabila tidak mungkin menghadap qiblat terus-menerus maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan, karena dalil-dalil yang telah berlalu, dan ini semua dalam shalat fardhu” (Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah 8/124)
Dan nasehat para ulama, selama masih memungkinkan kita kerjakan shalat fardhu di luar kendaraan, baik sebelum naik maupun setelah turun, baik pada waktunya atau dijamak dengan shalat lain maka hendaknya tidak shalat fardhu dalam kendaraan.
Berkata Syeikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu:
إذا كان لا يتمكن من أداء الصلاة في الطائرة كما يؤديها على الأرض فلا
يصلي الفريضة في الطائرة إذا كان يمكن هبوط الطائرة قبل خروج وقت الصلاة ،
أو خروج وقت التي بعدها مما يجمع إليها
“Apabila tidak bisa mengerjakan shalat di pesawat sebagaimana di bumi,
maka jangan dia shalat di pesawat jika pesawat mendarat sebelum
keluarnya waktu shalat atau keluarnya waktu shalat yang setelahnya yang
bisa dijama’ shalat bersamanya” (Fatawa Arkanil Islam hal:380)
Berkata Syeikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah:
إذا كانت الرحلة بالقطار أو الطائرة تبدأ بعد دخول وقت الظهر أو المغرب؛
فإن المسافر يجمع بين الصلاتين جمع تقديم قبل الركوب، وإن كانت الرحلة
تبدأ قبل دخول وقت الصلاة الأولى من الصلوات المذكورة؛ فإن المسافر ينوي
جمع التأخير ويصلي الصلاتين إذا نزل، ولو كان نزوله في آخر وقت الثانية،
وإن كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد خروج وقت الثانية؛ فإن المسافر يصلي في
القطار أو الطائرة، في المكان المناسب، على حسب حاله، وكذا صلاة الفجر إذا
كانت الرحلة تستمر إلى ما بعد طلوع الشمس؛ فإن المسافر يصليها في القطار
أو الطائرة على حسب حاله قال تعالى : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ } [ سورة التغابن : آية 16 [ .ويجب على المصلي أن يتجه إلى
جهة القبلة أينما كان اتجاه الرحلة؛ لقوله تعالى : { فَوَلِّ وَجْهَكَ
شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ
وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ } [ سورة البقرة : آية 144[ .
“Apabila keberangkatan kereta atau pesawat setelah masuk waktu Zhuhur
atau Maghrib maka seorang musafir hendaklah menjama’ antara 2 shalat
dengan jama’ taqdim sebelum naik, dan apabila keberangkatan sebelum
waktu shalat yang pertama dari shalat-shalat yang disebutkan tadi
(Zhuhur dan Maghrib) maka dia meniatkan jama’ ta’khir, dan melaksanakan
2 shalat tersebut ketika turun, meskipun turunnya ketika di akhir
waktu shalat yang kedua. Dan apabila perjalanan berlanjut sampai
keluarnya waktu shalat yang kedua maka dia shalat di kereta atau
pesawat, di tempat yang sesuai, sesuai dengan keadaan dia. Demikian
pula shalat shubuh bila perjalanan berlanjut sampai terbit matahari,
,maka hendaklah dia shalat di kereta dan pesawat sesuai dengan
keadaannya, Allah ta’aalaa berfirman (yang artinya): “Bertaqwalah
kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian”, dan wajib atasnya
menghadap qiblat kemanapun arah kendaraan berubah, karena firman Allah
(yang artinya): “Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya”
(QS.Al-Baqarah:144)(Al-Muntaqaa min Fataawaa Syeikh Shalih bin Fauzaan
2/140-141 no:159)
Wallahu ta’aalaa a’lam.