Secara bahasa niat berarti maksud dan tujuan. Kata niat juga diartikan sebagai ‘azm (kemauan keras). Penulis kitab Mishbahul Munir mengatakan: “Kata niat dartikan secara umum dengan kemauan hati untuk melakukan suatu perkara”. (Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 29)
Secara syar’i sebagaimana definisi yang diberikan Nawawi rahimahullah,
niat berarti keinginan kepada sesuatu dan kemuan keras untuk melakukan
sesuatu. Sebagian ulama menyamakan antara niat dengan ikhlas yaitu
mengikhlaskan agama hanya kepada Allah Ta’ala. Karena maksud utama dari niat itu sendiri adalah ibadah kepada Allah.(Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Hal. 30)
Niat Adalah Amalan Hati dan Bukan Amalan Lisan
Syaikh al Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan
bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang
mengetahui orang yang berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang
tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha mengetahui apa yang
ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk
berdiri di hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan
apa yang engkau niatkan namun engkau berdiri karena takut kepadaNya
karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang akan
membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih
yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu’anhum
bahwasanya mereka melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat
termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik dengan suara lirih maupun
keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menegaskan hal yang serupa, beliau berkata, “Tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang menukil baik dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam maupun salah seorang dari para sahabat radhiallahu’anhum bahwasanya dia mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul ihram, pen) dengan lafadz-lafadz niat baik dengan suara lirih maupun keras dan tidak pula memerintahkan hal ini.”(Majmu’ Fatawa 22/237, Maktabah Asy Syamilah)
Namun sebagian orang beranggapan dengan
melafadzkan niat lebih memantapkan hati dan mampu menyempurnakan
realisasi niat. Lantas jawaban apa untuk orang yang berkata semacam
ini? Berikut ini sanggahan yang dinukil Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ Fatawa.
Kalau seandainya melafadzkan niat itu dianjurkan tentu Nabi shallallahu’alaihi wasallam telah melakukannya sejak dahulu atau setidaknya beliau memerintahkan hal ini. Karena beliau shallallahu’alaihi wasallam
telah menjelaskan semua perkara yang bisa mendekatkan diri seorang
hamba kepada Rabbnya, terlebih lagi perkara sholat yang tidak ada
satupun tata cara yang diambil kecuali dari beliau shallallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana hadits shahih, dimana beliau shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
صلوا كما رأيتمونى أصلى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan dikeluarkan di Irawaul Ghalil No. 213)
Semua bentuk tambahan tata cara shalat
Nabi serupa dengan tambahan yang ada pada ibadah-ibadah lain, seperti
halnya orang yang menambahkan adzan dan iqamah pada sholat ‘Ied dan
juga orang yang menambahkan sholat dua rakaat ketika sa’i.
Melafadzkan niat dapat merusak cara berpikir rasional. Sebagai contoh, ada seseorang yang berkata,
“Aku berniat untuk makan makanan ini agar
bisa kenyang” atau “Aku berniat memakai pakaian ini untuk menutupi
aurat” dan ucapan semisalnya. Tentu ucapan semacam ini termasuk ucapan
yang dipandang buruk lisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Katakanlah, Apakah kamu akan
memberitahukan kepada Allah tentang ketaatanmu, padahal Allah
mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu?” (Qs. AL-Hujurat: 16)
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah.” (Qs. Al-Insan: 9)
Sebagian salaf berkata tentang ayat ini,
“Mereka (para sahabat) tidak mengucapkan (apa yang mereka niatkan)
dengan lisan (ketika mereka memberi makan fakir miskin), akan tetapi
Allah Ta’ala sendiri yang menceritakan apa yang ada dalam hati mereka
dengan turunnya ayat ini.” (Majmu’ Fatwa 22/238,239, Maktabah asy Syamilah)
Hukum Mengucapkan “Nawaitu Shalat Dzuhr Arba’a Raka’at Adaan Lillah“
Al Lajnah ad Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut:
“Apa hukum mengucapkan niat seperti contohnya:
“Apa hukum mengucapkan niat seperti contohnya:
نويت أن أصلي لله تعالى ركعتين لوجهه الكريم صلاة الصبح
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajahNya yang mulia.”
Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan Hadits Nabi shallahu’alihi wasallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi shalallahu’alihi wasallam
yang menyatkan beliau mengucapkan niat shalat baik shalat sunnah maupun
shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini pastilah para shabat
meriwayatkan dari beliau shallallahu’alaihi wasallam dan
tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya. Akan tetapi semua
ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat
dihukumi bid’ah secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallahu’alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka amalan tersebut tertolak.” [1]
Beliau shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda,
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” [2]
Wabillahi attaufiq wa shallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)
Kisah Indah Penuh Hikmah
Syaikh Ibnu Ustaimin rahimahullah
berkisah: “Betapa eloknya cerita tentang seorang, sebagian orang telah
bercerita kepadaku tentangnya, “Ada seseorang yang berada di masjidil
haram telah lama ia ingin mendirikan shalat, ketika iqamah
dikumandangkan iapun berkata,
اللهم إني نويت أن أصلي الظهر أربع ركعات لله تعالى ، خلف إمام المسجد الحرام
“Ya Allah, aku berniat akan menunaikan shalat dzuhur empat rakaat karena Mu dibelakang imam Masjidil Haram.”
Namun tatkala ia hendak mengangkat kedua tangannya untuk takbiratul ihram,ada orang yang berkata kepada si pengucap niat,
“Tunggu dulu masih ada yang tersisa!”
Pengucap niat menjawab,”Apa yang tersisa?”
Dia berkata, “Katakanlah (dalam ucapan
niatmu) pada hari ini, pada tanggal ini, pada bulan ini, pada tahun ini
sampai engkau tidak abaikan satupun ini dan itu”. Maka si pengucap
niat terheran-heran. Pada hakekatnya pelajaran penting dari kisah ini
adalah rasa heran si pengucap niat.
Penegur berkata, “Bukankah engkau tahu Allah Maha Mengetahui apa yang engkau maksudkan dalam hatimu?”
Pengucap niat menjawab, “Tentu Allah tahu apa yang terlintas dalam jiwamu”
“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah maha
mengetahui jumlah bilangan rakaat dan waktu-waktunya?” Si pengucap niat
pun terdiam. Karena dia meyadari tentang hal ini bahwa niat itu
tempatnya di hati.”(Majmu’ Fatwa Wa Rasail Ibni Utsaimin 12/366, Maktabah Asy Syamilah).
Diantara Kaidah yang Disepakati Ulama
Niat terletak di dalam hati dan bukan di
lisan berlaku untuk semua ibadah tak terkecuali shalat. Jika seseorang
mengucapkan niat di lisan namun berbeda dengan niat yang ada dalam
hatinya karena lupa maka niat yang dianggap adalah niat yang ada dalam
hatinya. Sebaliknya jika seseorang mengucapkan niat di lisan akan
tetapi tidak berniat dalam hatinya maka belum mencukupi, sehingga tidak
sah shalatnya. Jika seseorang meniatkan shalatnya persis sebelum
takbiratul ikhram maka hal ini sudah mencukupi bahkan inilah waktu
utama untuk berniat tatkala shalat. Namun jika berniat setelah
takbiratul ikhram maka niatnya tidak dianggap dan shalatnya tidak sah.(Shahih Fiqh Sunnah I/306,307).
Washalallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa’ala alihi washahbihi wasallam.
Penulis: Ummu Fatimah Umi Farikhah
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
****
[1] Dikeluarkan Ahmad 6/240,270, Bukhari 3/241 di Kitab Ash Shulh, Muslim 3/1343 di Kitab Uqdhiyyah dan Ibnu Majah 1/7 di Muqaddimah.
[2]Riwayat Ahmad 3/310,371, Muslim 2/592 Kitab al Jumuah, an Nasai 3/188 Kitabu al Jumuah dan Ibnu Majah 1/18 di Muqaddimah.
Maraji’:
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta, Ahmad Ibn Abdurrazzaq Adduwais, Arriasah Al Ammah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta,Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibn Utsaimin,Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al Utsaimin, Maktabah Asy Syamilah.
Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Nadzim Muhammad Shulthan, Darul Hijrah, KSA.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal Ibn As Sayyid Salim, Maktabah Attaufiqiyyah.
Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah,Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin, Dar Ats Tsurayya, KSA.
[1] Dikeluarkan Ahmad 6/240,270, Bukhari 3/241 di Kitab Ash Shulh, Muslim 3/1343 di Kitab Uqdhiyyah dan Ibnu Majah 1/7 di Muqaddimah.
[2]Riwayat Ahmad 3/310,371, Muslim 2/592 Kitab al Jumuah, an Nasai 3/188 Kitabu al Jumuah dan Ibnu Majah 1/18 di Muqaddimah.
Maraji’:
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta, Ahmad Ibn Abdurrazzaq Adduwais, Arriasah Al Ammah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta,Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Maktabah Asy Syamilah.
Majmu’ Fatawa Wa Rasail Ibn Utsaimin,Syaikh Muhammad Ibn Shalih Al Utsaimin, Maktabah Asy Syamilah.
Qawaid Wa Fawaid Min Al Arbain An Nawawiyyah, Nadzim Muhammad Shulthan, Darul Hijrah, KSA.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal Ibn As Sayyid Salim, Maktabah Attaufiqiyyah.
Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah,Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin, Dar Ats Tsurayya, KSA.
————————————————————————————————————————
Seringkali setelah takbiratul ihram kita
teringat ternyata masih ada shalat wajib yang belum dikerjakan atau
timbul keinginan menunaikan shalat sunnah rawatib dahulu atau bahkan
diawal shalat ia berniat menjadi makmum lalu ditengah shalat ia menjadi
imam. Bagaimana sebenarnya hukum merubah niat setelah takbiratul ihram?
Pengertian Shalat Muthlaq dan Mu’ayyan
Seseorang yang sedang meniatkan shalat tertentu maka dalam shalat tersebut terdapat dua unsur niat: niat Muthlaq dan niat Mu’ayyan. Jika batal niat Mu’ayyan maka yang tersisa niat Muthlaq-nya. (Asy-Syarh Al-Mumti’, II/298)
Sebagai contoh seorang yang hendak
menunaikan shalat dzuhur maka maka dalam shalat tersebut tersebut
terdapat dua unsur niat. Dzuhur sebagai niat Mu’ayyan sementara shalat sebagai niat Muthlaq.
Merubah Niat Ditengah Shalat
- Dari shalat fardhu ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya terlarang. Contohnya ada seseorang sedang menunaikan shalat dzuhur sendirian kemudian ia melihat sejumlah orang yang mendirikan shalat dzuhur berjamaah. Ia bermaksud merubah niat shalat dzuhur yang ia kerjakan menjadi shalat sunnah Muthlaq dan ingin menunaikan shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya tidak boleh.
- Dari shalat fardhu ke shalat fardhu jenis lainnya, hukumnya terlarang. Kedua shalat tersebut menjadi batal. Shalat yang pertama batal karena diputus niatnya sementara shalat yang kedua batal karena orang tersebut tidak berniat sejak awal (sebelum takbiratul ihram). Contohnya ada seseorang yang sedang shalat ‘asar, ditengah-tengah shalat tiba-tiba ia teringat dirinya belum mengerjakan shalat dzuhur lalu ia bermaksud merubah niat shalat asar yang ia kerjakan menjadi shalat dzuhur maka hal ini tidak boleh.
- Dari shalat sunnah ke shalat fardhu, hukumnya terlarang. Beralasan sebagaimana pada poin kedua diatas. Sebagai contoh ada orang melakukan shalat sunnah subuh dua raka’at (sunnah qabliyyah) kemudian ia ingin merubahnya menjadi shalat subuh (shalat fardhu) maka hal ini hukumnya tidak boleh. Bahkan jika ia benar-benar merubah niatnya maka kedua shalat tersebut batal.
- Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Muthlaq, hukumnya boleh. Hal ini dikarenakan dalam shalat sunnah Mu’ayyan terdapat unsur shalat sunnah Muthlaq (sebagaimana pengertian yang kami berikan diawal tulisan ini). Contohnya, seseorang berniat shalat sunnah dzuhur 4 rakaat, ditengah shalat ia mendengar iqamah sudah dikumandangkan kemudian ia merubah niat shalat sunnah 4 raka’at menjadi 2 raka’at karena ingin bersegera shalat dzuhur berjamaah maka hukumnya boleh.
- Dari shalat sunnah Mu’ayyan ke shalat sunnah Mu’ayyan lainnya, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah tahiyyatul masjid kemudian ia hendak merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh maka hal ini tidak boleh. Jika ia memang benar-benar melakukannya maka kedua shalatnya batal sebagaimana penjelasan yang telah lalu.
- Dari shalat sunnah Muthlaq ke shalat sunnah Mu’ayyan, hukumnya terlarang. Sebagai contoh seseorang yang sedang mengerjakan shalat sunnah Muthlaq dua rakaat tanpa niat Mu’ayyan (seperti halnya shalat sunnah dua rakaat sesudah wudhu) kemudian ditengah shalat ia ingin merubah niatnya menjadi shalat sunnah subuh (sunnah Mu’ayyan) maka hal ini tidak boleh beralasan sebagaimana yang telah lalu.
- Dari niat imam menjadi makmum, hukumnya boleh. Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha, tentang kisah Abu Bakar mengimami para sahabat. Dalam hadits tersebut beliau menyebutkan, “Ketika ia (Abu Bakar) melihat Rasulullah datang, ia mundur. Nabi shallallahu alaihi wassalam memberi isyarat kepadanya seraya bersabda, “Tetaplah ditempatmu”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan duduk di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar salat berdiri bermakmum kepada Rasulullah shallallahu alaihi wassalam sementara para sahabat lainnya mengikuti Abu Bakar radhiyallahu’anhu“. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Berniat makmum dibelakang seorang imam kemudian pindah ke imam yang lain, hukumnya boleh. Sebagai contoh seseorang yang berada dibelakang imam yang sedang sakit kemudian ditengah shalat imam tersebut tidak kuat melanjutkan shalatnya dan diganti dengan imam lain maka shalat makmum yang dibelakanganya tetap sah. Berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha di atas ketika para sahabat bermakmum di belakang Abu Bakar radhiyallahu’anhu kemudian berpindah ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan juga kisah terbunuhnya Umar bin Khathab radhiyallahu’anhu saat mengimami para sahabat kemudian datanglah Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu menggantikan beliau sebagai imam.
- Niat makmum menjadi imam, hukumnya boleh. Ketika imam memiliki udzur meninggalkan shalat seperti karena sakit atau yang lainnya lalu ia menunjuk seorang makmum menggantikan dirinya. Berdasarkan kisah terbunuhnya Umar radhiyallahu’anhu diatas.
- Berniat shalat sendiri kemudian menjadi imam, hukumnya boleh. Seperti seseorang shalat sendirian kemudian orang lain datang bermakmum dibelakangnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bermalam dirumah bibiku. Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam shalat malam akupun menyusul beliau. Aku berdiri disebelah kiri lalu beliau memegang kepalaku dan menariknya disebelah kanan. “(HR. Bukhari dan Muslim). Meskipun hadits ini berkisah tentang shalat sunnah namun yang benar tidak ada perbedaan antara shalat sunnah dengan shalat fardhu.
- Berniat imam kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya terlarang kecuali jika ada udzur. Seperti makmum mendapatkan udzur meninggalkan shalat jamaah hingga imam shalat sendirian maka hukumnya boleh dan shalatnya tetap sah.
- Berniat menjadi makmum kemudian menjadi shalat sendirian, hukumnya boleh jika ada udzur. Seperti bacaan imam yang terlalu panjang hingga melebihi tuntunan yang diajarkan maka makmum diperbolehkan meninggalkan jamaah dan shalat sendirian. (Shahih Fiqh Sunnah, I/308 dengan sedikit tambahan)
Washallahu’ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi wattabi’in.
Penulis: Ummu Fatimah Umi Farikhah
Murojaah: Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Maraji’
1. Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zaad al Mustaqni‘, Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Muassasah Asam, Riyadh KSA.
2. Shahih Fiqh As Sunnah, Abu Malik Kamal, Maktabah Taufiqiyyah.
***
————————————————————————————–
Menggabungkan Dua Niat dalam Satu Shalat
Soal:
Bolehkah memadukan dua shalat dengan satu niat, seperti sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid?
Bolehkah memadukan dua shalat dengan satu niat, seperti sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid?
Jawab:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani:
Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani:
Yang lebih baik adalah masing-masing niat
diberi haknya dari shalat, tahiyyatul masjid 2 rakaat dan sunnah wudhu
2 rakaat. Adapun ketika melakukan satu ibadah dengan diringi tambahan
satu niat (yang lain), yakni menjadi dua niat, maka ini ditulis baginya
niat amal selebihnya. Dan amal kebaikannya ini dilipatgandakan 10 kali
lipat (bahkan) sampai 100 hingga 700 kali lipat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala melipatgandakan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki.
Jadi ketika ditulis juga baginya pahala
niat amal tambahan ini, dilipatgandakan pula amal kebaikannya itu
(yakni) ketika dia menyertakan niat lain bersamaan dengan amal tersebut
dengan niatnya.
Niat itu sendiri tidak dilipatgandakan
sehingga ditulis satu kebaikan. Maka bilamana seseorang shalat sunah
fajar dan sekaligus tahiyyatul masjid, kita anggap bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala menuliskan baginya 100 kebaikan, maka ditambahkan
kepada 100 kebaikan sunah fajar tersebut (pahala) satu tahiyyatul
masjid, kalau begitu ditulis baginya (pahala) satu niat (tahiyyatul
masjid, pent.).
Adapun bila dia shalat 2 rakaat
tahiyyatul masjid dan 2 rakaat sunnah fajar, maka akan ditulis baginya
100 tambah 100 atau 10 tambah 10, sebagaimana tersebut dalam hadits.
Kalau begitu kita bisa gambarkan dengan tiga gambaran, berdasarkan
keutamaannya sesuai dengan urutan ini:
Yang paling utama, untuk tiap niat shalat dengan shalat tersendiri.
Gambaran kedua: shalat 2 rakaat dengan dua niat
Gambaran kedua: shalat 2 rakaat dengan dua niat
Gambaran ketiga: satu shalat dengan satu niat.
Inilah perincian shalat yang lalu, agar
tidak disangka oleh orang yang (salah) sangka bahwa orang yang shalat 2
rakaat dengan dua niat bahwa akan dituliskan baginya dua shalat.
Tidak. (Bahkan) yang seperti ini ditulis baginya satu shalat tambah
satu niat kebaikan. Dan satu niat baik ini kita ketahui dari hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Bila hamba-Ku bertekad untuk melakukan
satu amal kebajikan lalu ia terhalangi untuk mengamalkannya, Aku tulis
baginya satu kebaikan. Dan bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10
kebaikan sampai 100 kebaikan sampai 700 kebaikan bahkan sampai berlipat
ganda, dan Allah melipatgandakan sesuai yang Allah kehendaki.”1
(Shahih, HR. Muslim dan yang lainnya)
Demikian pula puasa-puasa sunah dan yang lainnya. (Fatawa Al-Albani, hal. 273)
1 Dalam Shahih Muslim, lafadznya adalah sebagai berikut:
قَالَ اللهُ عز وجل: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَـمْ يَعْمَلْهَا لَـمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Bila hamba-Ku bertekad melakukan
suatu amal kebajikan lalu dia tidak mengamalkannya, Aku tulis baginya
satu kebaikan. Bila dia melakukannya Aku tulis baginya 10 kebaikan,
hingga 700 kali lipat. Dan bila dia bertekad melakukan suatu keburukan
lalu dia tidak mengamalkannya, tidak Aku tulis (keburukan) atasnya. Bila
dia melakukannya, Aku tulis baginya satu keburukan’.”
(Dicopy untuk blog http://www.ulamasunnah.wordpress.com dari: