Minggu, 08 Desember 2013

Istihadhah: Pengertiannya, Perbedaannya dengan Haid dan Hukum-Hukumnya

Sering diantara kita (kaum wanita,akhwat) masih kesulitan maupun bingung membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Agar bertambah keilmuwan kita tentang masalah istihadhah ini maka ada baiknya kita membaca artikel istihadhah yang dibahas secara tuntas dan jelas pada kajian haidh kali ini. Nah, selamat membaca ukhti-ukhti semua…

TA’RIF/PENGERTIAN ISTIHADHAH
Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah-nya terhadap Shahih Muslim mengatakan : “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17. Lihat pula Fathul Bari 1/511)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57)
As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus selama-lamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :

“Berkata Fathimah bintu Abi Hubaisy kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci… .’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain : ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’
Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya :
“Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan deras… .” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya)
(Lihat Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah Lin Nisa’ halaman 40)
PERBEDAAN ANTARA DARAH HAID DAN DARAH ISTIHADLAH
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata :
“Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah :
“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.”
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh setiap wanita yang normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh anak Adam seperti jalannya darah. Syaithan ingin memberikan keraguan terhadap anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi : (‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah syaithan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga syaithan menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.”

Al Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah, hingga harus dibedakan antara keduanya. Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) dan keluarnya dari urat yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah :

1.        Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah  umumnya merah segar.
2.        Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
3.        Kekentalannya. Darah istihadlah mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
4.        Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan :
Pertama : Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.

Misalnya : Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang engkau biasa haid, cucilah darahmu dan setelah itu shalatlah.”

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin :
“Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak usah mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.

Keadaan kedua : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan antara darah haid dan darah istihadlah ialah memakai cara tamyiz (membedakan darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam dan beraroma tidak sedap, bila dia dapatkan demikian maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.

Misalnya seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :

“Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat keterangannya dalam shahih Abu Daud 283, 284)

MASALAH
Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan mutaakhirin. Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Wallahu A’lam.

Keadaan ketiga : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan darahnya (tamyiz) di mana darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya satu atau sifat darah itu tidak jelas maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya adalah dia melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah, adapun selebihnya berarti istihadlah.

Misalnya seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari Kamis. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha, ia berkata :

“Aku istihadlah banyak dan deras sekali. Maka aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda :
‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’ ”

Kata Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang keadaannya seperti ini ia menganggap dirinya suci selama 24 hari bila haidnya terhitung enam hari atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila haidnya selama tujuh hari.
Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun si wanita melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur dengannya dan dia sesuaikan. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits :1 ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.” (Subulus Salam halaman 160)

Berkata para ahli fiqih : “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat yang tetap dan pasti maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf halaman 54)

Bagaimana cara menentukan antara haid dan istihadlah bagi wanita yang baru pertama kali keluar darah dari kemaluannya dan darah tersebut keluar terus-menerus? Maka bila ia mampu melakukan tamyiz perkaranya mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah istihadlah maka ia melihat keadaan umumnya wanita yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid selama enam atau tujuh hari setelah itu ia mandi walaupun darah masih terus mengalir.

Adapun wanita yang lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah terus–menerus keluar, maka berselisih ulama dalam urusannya. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan darahnya. Ada yang berkata : Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Lihat Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396 dan seterusnya)

BERAPA KALI HAID SEHINGGA BISA DIANGGAP SEBAGAI ‘ADAT
Tidak ada dalil yang jelas dalam hal ini. Adapun As Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat minimal tiga kali haid baru teranggap ‘adat. Jadi misalnya seorang wanita memiliki ‘adat 5 hari. Di bulan Sya’ban ia haid sesuai ‘adat-nya yaitu 5 hari. Namun di bulan Ramadhan keluar darahnya selama tujuh hari maka hari ke-6 dan ke-7 dia tetap puasa karena darah yang keluar tersebut teranggap darah penyakit. Pada bulan Syawal keluar lagi darahnya selama tujuh hari namun ia menganggap dirinya telah suci pada hari ke-5 sesuai ‘adat-nya. Pada bulan berikutnya (Dzulqa’dah) ia haid lagi selama tujuh hari maka sekarang tahulah dia bahwa kebiasaan/’adat-nya telah berubah menjadi tujuh hari. Adapun puasanya di bulan Ramadhan (pada hari ke-6 dan ke-7 di atas) tidaklah sah dan harus diqadla. Wallahu a’lam.

HUKUM-HUKUM ISTIHADLAH
Hukum wanita yang istihadlah sebagaimana hukum wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali pada hal berikut ini :
Pertama : Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah.
Kedua : Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman :

“Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah : 222)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ halaman 50)
APAKAH WAJIB MANDI SETIAP AKAN SHALAT ?
Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan : “Darah itu dari urat.” Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)

Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata : “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapatnya Jumhur Ulama sebagaimana dinukilkan dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata : “Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf
dan Khalaf.” (4/19-20)
Adapun hadits yang ada tambahan lafadh :
“Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.”
Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq –seorang perawi hadits ini– salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh : “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah –dua dari perawi yang kuat– jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk mandi. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)

As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah : “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan lafadh : “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah hujjah karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya : “Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.” (Lihat Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh
Al Albani dan lain-lain)
Mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah merupakan suatu kesulitan sementara kita tahu bahwa syariat ini mudah. Allah Ta’ala berfirman :
“Allah tidak menjadikan bagi kalian dalam agama ini suatu kesulitan.” (Al Hajj : 78)
Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.

APAKAH WAJIB WUDLU SETIAP AKAN SHALAT ?
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya : “ ‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan :

‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari : 228)
Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadh :
“Berwudlulah”
Setelah lafadh :
“Cucilah darah haidmu”
Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadh hadits di atas adalah :
“Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)
Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan dan Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya : “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan penyebutannya.”

Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl : “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah :2. An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan : ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan : “Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan : ‘Berwudlulah’ “ (Syarah Muslim 4/22)

Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224, 226)
Dengan demikian jelaslah perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ahli Ilmu. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.

I’TIKAFNYA WANITA YANG ISTIHADLAH
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya sampai pada Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Beberapa istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam i’tikaf bersama beliau, (salah seorang dari mereka) dalam keadaan istihadlah dan ia melihat keluarnya darah. Biasanya ia meletakkan bejana di bawahnya untuk menampung darah.” (HR. Bukhari nomor 309)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu meletakkan bejana di bawahnya untuk menampung darah dalam keadaan ia shalat. (HR. Bukhari nomor 310)
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya terhadap Shahih Bukhari mengatakan : “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya wanita istihadlah berdiam di masjid, sah i’tikaf dan shalatnya dan boleh ia berhadats di masjid selama tidak mengotori.” (Fathul Bari 1/514)
HUKUM JIMA’ (SENGGAMA) DENGAN ISTRI YANG SEDANG ISTIHADLAH
Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Jumhur memandang boleh, sementara ada ulama yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa istihadlahnya panjang. Dan ada yang tidak membolehkannya sama sekali karena menyamakan istihadlah dengan haid. Namun yang kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur karena jelas wanita istihadlah beda dengan wanita haid dengan dalil yang ada dan tidak ada larangan dari Nabi untuk jima’ dengan istri yang istihadlah. Dan juga ada ayat umum :

“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian.” (Al Baqarah : 223)
Al Imam Al Bukhari membawakan ucapan Ibnu Abbas dalam kitab Shahih-nya dengan tanpa sanad yang maknanya wanita istihadlah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana ia dibolehkan untuk shalat sementara shalat itu perkara yang agung. (Shahih Bukhari. Kitabul Haid bab ‘Apabila wanita haid melihat dirinya suci’)

Dalam Syarah-nya terhadap ucapan Ibnu Abbas di atas, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Yakni bila wanita istihadlah dibolehkan shalat maka kebolehan jima’ dengannya lebih utama karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari 1/535)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/339) : “Diriwayatkan dari Ahmad bolehnya menggauli istri yang istihadlah secara mutlak tanpa syarat dan ini merupakan pendapat kebanyakan ahli fiqih.”
Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab (2/372) : “Boleh dalam madzhab kami untuk jima’ dengan istri yang sedang istihadlah pada saat dihukumi sebagai suci, sekalipun darah (istihadlah) dalam keadaan mengalir. Dan hal ini tidak ada perselisihan di sisi kami… .”

Al Imam As Shan’ani menyatakan boleh jima’ dengan istrti yang sedang istihadlah menurut pendapat jumhur ulama karena wanita yang istihadlah sama dengan wanita yang suci dalam kebolehan shalat, puasa dan selain keduanya, maka demikian pula dalam perkara jima’. Dan jima’ tidak diharamkan kecuali ada dalil, sementara tidak ada dalil dalam perkara ini.” (Subulus Salam 1/157)

Al Imam As Syaukani juga menyebutkan pendapat jumhur ini dalam kitabnya Nailul Authar (1/392)
HUKUM YANG LAIN BAGI WANITA YANG SEDANG ISTIHADLAH
Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (4/17) mengatakan bahwa dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al Qur’an, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah, dan sujud syukur maka wanita yang istihadlah sama dengan wanita yang suci, yakni boleh baginya untuk melakukannya dan hal ini merupakan perkara yang disepakati.

Al Imam As Shan’ani mengatakan dengan mengutip ucapan Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim : “Wanita istihadlah apabila hendak shalat ia diperintah untuk berhati-hati dalam menjaga kebersihan dari hadats dan najis, maka seharusnya ia mencuci kemaluannya sebelum wudlu dan tayammum dan ia sumpal kemaluannya dengan kapas atau kain untuk mencegah menyebarnya najis dan mengurangi keluarnya darah. Apabila darah tidak tertahankan dengan cara tersebut, ia ikat kemaluannya dengan kain dengan sekuatnya. Hal ini tidaklah wajib baginya namun lebih utama bila ia lakukan dalam rangka mengurangi najis sesuai kemampuan, setelah itu ia berwudlu.” (Subulus Salam 1/157)

Demikian masalah istihadlah yang dapat kami kumpulkan. Wallahu a’lam bishawwab.
DAFTAR PUSTAKA
1.        Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi. Al Imam An Nawawi. Penerbit Darur Rayyan lit Turats.
2.        Fathul Bari. Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Hadits.
3.        Jami’ li Ahkamil Qur’an. Al Imam Al Qurthubi. Penerbit Darul Kutub Ilmiyah.
4.        Subulus Salam. Al Imam As Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad.
5.        Bulughul Maram. Ibnu Hajar.
6.        Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Al Imam An Nawawi.
7.        Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. As Syaikh Shalih Al Utsaimin.
8.        Jami’ Ahkamin Nisa’. Musthafa Al Adawi.
9.        Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani.
dikutip ulang dari : Tulisan Ummu Ishaq Al-Atsariyah {Muslimah Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita}

http://aljaami.wordpress.com/2011/03/12/istihadhah-pengertiannya-perbedaannya-dengan-haid-dan-hukum-hukumnya/