TA’RIF/PENGERTIAN ISTIHADHAH
Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan
darah dari farji-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab
kelahiran. Darah ini diistilahkan darah istihadlah. Al Imam An Nawawi
rahimahullah dalam Syarah-nya terhadap Shahih Muslim mengatakan :
“Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada
waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi
4/17. Lihat pula Fathul Bari 1/511)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah
mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita
disebabkan urat yang terputus (Lihat Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57)
As Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin rahimahullah memberikan definisi istihadlah dengan darah yang
terus menerus keluar dari seorang wanita dan tidak terputus
selama-lamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan. Dalil
keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus selama-lamanya) dibawakan
Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits Aisyah radhiallahu
‘anha, ia berkata :
“Berkata Fathimah bintu Abi Hubaisy
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku tidak pernah suci… .’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan
Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain : ‘Aku istihadlah tidak pernah
suci… .’
Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits
Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha ketika dia datang kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya
:
“Aku pernah ditimpa istihadlah (darah
yang keluar) sangat banyak dan deras… .” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi
dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan
beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya)
(Lihat Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah Lin Nisa’ halaman 40)
PERBEDAAN ANTARA DARAH HAID DAN DARAH ISTIHADLAH
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallahu ‘anha tentang istihadlah yang
menimpanya, beliau berkata :
“Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah :
“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.”
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah
tidak sama dengan haid yang sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh
setiap wanita yang normal sebagai salah satu tanda baligh. Namun
istihadlah adalah satu penyakit yang menimpa kaum hawa dari
perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh anak Adam seperti jalannya
darah. Syaithan ingin memberikan keraguan terhadap anak Adam dalam
pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata Al Imam As Shan’ani
dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi : (‘Yang demikian
hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah syaithan
mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam perkara
agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga syaithan menjadikannya lupa
terhadap kebiasaan haidnya.”
Al Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal
ini tidak menafikkan sabda Nabi yang mengatakan bahwa darah istihadlah
dari urat yang dinamakan ‘aadzil karena dimungkinkan syaithan mendorong
urat tersebut hingga terpancar darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama
darah haid merupakan suatu masalah yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah,
hingga harus dibedakan antara keduanya. Caranya bisa dengan ‘adat
(kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan
darah haid adalah darah haid merupakan darah alami, biasa dialami
wanita normal dan keluarnya dari rahim sedangkan darah istihadlah
keluar karena pecahnya urat, sifatnya tidak alami (tidak mesti dialami
setiap wanita) dan keluarnya dari urat yang ada di sisi rahim. Ada
perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah
istihadlah :
1. Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
2. Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
3. Kekentalannya. Darah istihadlah mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
4. Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan :
Pertama : Dia memiliki kebiasaan haid
yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga tatkala keluar
darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut darah
haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang
tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan
haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar
kebiasaan haidnya bila keluar darah maka darah tersebut adalah darah
istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum wanita yang suci.
Misalnya : Seorang wanita haidnya datang
selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah
dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah
haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah
darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini
berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan
Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak
suci maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab :
“(Tidak, engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena
terputusnya urat. Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan
bila telah berlalu hari-hari yang engkau biasa haid, cucilah darahmu
dan setelah itu shalatlah.”
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin :
“Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya
seperti ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya
kemudian dia mandi, setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak
usah mempedulikan darah yang keluar setelah itu karena darah tersebut
adalah darah istihadlah dan dia hukumnya sama dengan wanita yang suci.
Keadaan kedua : Wanita itu tidak memiliki
kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia
bisa membedakan darah. Maka untuk membedakan antara darah haid dan
darah istihadlah ialah memakai cara tamyiz (membedakan darah). Darah
haid dikenal dengan warnanya yang hitam dan beraroma tidak sedap, bila
dia dapatkan demikian maka berlaku padanya hukum-hukum haid sedangkan
di luar dari itu berarti dia istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah
keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang
awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna merah,
atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau,
berarti sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah,
berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah
bintu Abi Hubaisy :
“Apabila darah itu darah haid maka dia
berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian berhentilah dari shalat.
Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR.
Abu Daud, An Nasa’i, dan lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al
Albani rahimahullah, lihat keterangannya dalam shahih Abu Daud 283,
284)
MASALAH
Bila seorang wanita yang istihadlah punya
‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah (tamyiz), manakah yang
harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang berpendapat tamyiz yang
didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Ada
pula yang berpendapat ‘adat didahulukan sebagaimana pendapatnya Abu
Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu Taimiyyah dan juga Syaikh
Ibnu Utsaimin dari kalangan mutaakhirin. Dengan demikian bila ada
seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari
keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah
istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar kembali berwarna
hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima hari, sehingga hari
keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah) tetap terhitung
dalam hari haidnya. Wallahu A’lam.
Keadaan ketiga : Wanita itu tidak
memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan tidak pula dapat membedakan
darahnya (tamyiz) di mana darah keluar terus-menerus sejak awal dia
melihat darah keluar dari kemaluannya dan sifatnya satu atau sifat
darah itu tidak jelas maka untuk membedakan haid dan istihadlahnya
adalah dia melihat kebiasaan kebanyakan wanita yaitu dia menganggap
dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap bulannya dan
dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah, adapun selebihnya
berarti istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah
pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan darah itu terus
keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka dia
menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari
Kamis. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallahu
‘anha, ia berkata :
“Aku istihadlah banyak dan deras sekali.
Maka aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk meminta
fatwanya. Beliau bersabda :
‘Yang demikian itu hanyalah satu
gangguan dari syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh
hari, kemudian setelah lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat
dirimu telah suci maka shalatlah selama 24 atau 23 siang malam,
puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut mencukupimu. Demikianlah,
lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para wanita berhaid.’ ”
Kata Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits
ini (untuk menentukan haid dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan
kepada kebiasaan umumnya para wanita.” (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang keadaannya seperti ini ia
menganggap dirinya suci selama 24 hari bila haidnya terhitung enam hari
atau ia menganggap dirinya suci selama 23 hari bila haidnya selama
tujuh hari.
Untuk menentukan enam atau tujuh hari
bukan dengan seenaknya memilih namun si wanita melihat kepada wanita
lain yang paling dekat kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur
dengannya dan dia sesuaikan. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan
Nabi dalam hadits :1
ini bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi
mengatakan enam atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh
memilih antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian untuk
mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat (enam
atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang
tujuh hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada
wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.”
(Subulus Salam halaman 160)
Berkata para ahli fiqih : “Apabila wanita
yang istihadlah memiliki ‘adat yang tetap dan pasti maka ia berhenti
shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia melihat
darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia tidak
mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz (membedakan darah).
Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat kebiasaan
umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan kaki yang berisi
pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al Bassam dan
beberapa ulama Salaf halaman 54)
Bagaimana cara menentukan antara haid dan
istihadlah bagi wanita yang baru pertama kali keluar darah dari
kemaluannya dan darah tersebut keluar terus-menerus? Maka bila ia mampu
melakukan tamyiz perkaranya mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan
antara darah haid dengan darah istihadlah maka ia melihat keadaan
umumnya wanita yang ada di sekitarnya yakni ia berhaid selama enam atau
tujuh hari setelah itu ia mandi walaupun darah masih terus mengalir.
Adapun wanita yang lupa waktu dan
bilangan hari haidnya dan tidak dapat membedakannya sementara darah
terus–menerus keluar, maka berselisih ulama dalam urusannya. Ada yang
berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat
membedakan darahnya. Ada yang berkata : Untuk kehati-hatian dia anggap
dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya untuk menggaulinya dan di
sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia terus shalat dan puasa.
Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan
dan jumlah harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain
mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya
semampu dia dan berusaha mengingat keadaan haidnya. (Lihat Al Majmu’
Syarhil Muhadzdzab 2/396 dan seterusnya)
BERAPA KALI HAID SEHINGGA BISA DIANGGAP SEBAGAI ‘ADAT
Tidak ada dalil yang jelas dalam hal
ini. Adapun As Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat minimal tiga kali haid
baru teranggap ‘adat. Jadi misalnya seorang wanita memiliki ‘adat 5
hari. Di bulan Sya’ban ia haid sesuai ‘adat-nya yaitu 5 hari. Namun di
bulan Ramadhan keluar darahnya selama tujuh hari maka hari ke-6 dan
ke-7 dia tetap puasa karena darah yang keluar tersebut teranggap darah
penyakit. Pada bulan Syawal keluar lagi darahnya selama tujuh hari
namun ia menganggap dirinya telah suci pada hari ke-5 sesuai ‘adat-nya.
Pada bulan berikutnya (Dzulqa’dah) ia haid lagi selama tujuh hari maka
sekarang tahulah dia bahwa kebiasaan/’adat-nya telah berubah menjadi
tujuh hari. Adapun puasanya di bulan Ramadhan (pada hari ke-6 dan ke-7
di atas) tidaklah sah dan harus diqadla. Wallahu a’lam.
HUKUM-HUKUM ISTIHADLAH
Hukum wanita yang istihadlah sebagaimana hukum wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali pada hal berikut ini :
Pertama : Wanita istihadlah bila ingin
wudlu maka ia mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya
dengan kain berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
kepada Hamnah.
Kedua : Dalam hal senggama dengan istri
yang sedang istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya,
namun tidak dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
adanya larangan, padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada
masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala berfirman :
“Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah : 222)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala hanya
menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan untuk
menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ halaman 50)
APAKAH WAJIB MANDI SETIAP AKAN SHALAT ?
Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan
bahwa Ummu Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan
perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau
memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan :
“Darah itu dari urat.” Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.
(HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)
Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini
dari jalan Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah.
Dan pada akhir hadits, Al Laits berkata : “Ibnu Syihab tidak
menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin untuk mandi setiap akan
shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu Habibah
sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan shalat
bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan
pendapatnya Jumhur Ulama sebagaimana dinukilkan dari mereka oleh Al
Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata : “Ketahuilah tidak
wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan
shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali
saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari
kalangan Salaf
dan Khalaf.” (4/19-20)
dan Khalaf.” (4/19-20)
Adapun hadits yang ada tambahan lafadh :
“Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.”
Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu
Ishaq –seorang perawi hadits ini– salah dalam membawakan riwayat
sementara para perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini
dari Ibnu Syihab dengan lafadh : “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan
shalat.” Dan perbedaan antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan
Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah –dua dari perawi yang kuat–
jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu Daud bahwasannya Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu Habibah untuk
mandi. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)
As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar
Raudlah : “Tidak datang dalam satu hadits pun (yang shahih) adanya
kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita istihadlah), tidak
pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap hari. Tapi yang
shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid yang
biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz
sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya
dengan lafadh : “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan
bila berlalu cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih
Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini
bukanlah hujjah karena hal itu dilakukan atas kehendaknya sendiri dan
bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, bahkan
yang ada, Nabi mengatakan kepadanya : “Diamlah engkau (tinggalkan
shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci) mandilah.”
(Lihat Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As
Syaikh
Al Albani dan lain-lain)
Al Albani dan lain-lain)
Mandi setiap akan shalat bagi wanita
istihadlah merupakan suatu kesulitan sementara kita tahu bahwa syariat
ini mudah. Allah Ta’ala berfirman :
“Allah tidak menjadikan bagi kalian dalam agama ini suatu kesulitan.” (Al Hajj : 78)
Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana
dinukil dalam kitab Bulughul Maram (halaman 53 dengan catatan kaki)
bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah tidak wajib menurut
pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita istihadlah
adalah wudlu setiap shalat lima waktu menurut pendapat jumhur, di
antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
APAKAH WAJIB WUDLU SETIAP AKAN SHALAT ?
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan
sanadnya sampai kepada Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah
bintu Abi Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya : “ ‘Apakah aku
harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan :
‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka
apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka
cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari : 228)
Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadh :
“Berwudlulah”
Setelah lafadh :
“Cucilah darah haidmu”
Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadh hadits di atas adalah :
“Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)
Al Imam Muslim ketika meriwayatkan
hadits ini dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana
Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa tambahan dan Al Imam Muslim
memberikan isyarat lemahnya tambahan tersebut dengan ucapannya : “Dalam
hadits Hammad bin Zaid ada tambahan yang kami tinggalkan
penyebutannya.”
Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam
Syarah Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl : “Tambahan yang
ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam Muslim adalah :2.
An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim
membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri
dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak
menyebut tambahan : ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan :
“Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang
mengatakan/menyebutkan : ‘Berwudlulah’ “ (Syarah Muslim 4/22)
Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi,
Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik
meriwayatkan tanpa tambahan di atas. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224,
226)
Dengan demikian jelaslah perintah wudlu
bukanlah datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah
yang datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh
Ahli Ilmu. Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi
setiap shalat dan sudah lewat penyebutan kami tentang masalah mandi
bagi wanita istihadlah ini. Walhamdulillah.
I’TIKAFNYA WANITA YANG ISTIHADLAH
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya sampai pada Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Beberapa istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam i’tikaf bersama beliau, (salah seorang dari mereka) dalam
keadaan istihadlah dan ia melihat keluarnya darah. Biasanya ia
meletakkan bejana di bawahnya untuk menampung darah.” (HR. Bukhari
nomor 309)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa
istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu meletakkan bejana di
bawahnya untuk menampung darah dalam keadaan ia shalat. (HR. Bukhari
nomor 310)
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya
terhadap Shahih Bukhari mengatakan : “Dalam hadits ini menunjukkan
bolehnya wanita istihadlah berdiam di masjid, sah i’tikaf dan shalatnya
dan boleh ia berhadats di masjid selama tidak mengotori.” (Fathul Bari
1/514)
HUKUM JIMA’ (SENGGAMA) DENGAN ISTRI YANG SEDANG ISTIHADLAH
Dalam hal ini ada perselisihan pendapat.
Jumhur memandang boleh, sementara ada ulama yang berpendapat tidak
boleh kecuali bila masa istihadlahnya panjang. Dan ada yang tidak
membolehkannya sama sekali karena menyamakan istihadlah dengan haid.
Namun yang kuat dalam hal ini adalah pendapat jumhur karena jelas
wanita istihadlah beda dengan wanita haid dengan dalil yang ada dan
tidak ada larangan dari Nabi untuk jima’ dengan istri yang istihadlah.
Dan juga ada ayat umum :
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian.” (Al Baqarah : 223)
Al Imam Al Bukhari membawakan ucapan
Ibnu Abbas dalam kitab Shahih-nya dengan tanpa sanad yang maknanya
wanita istihadlah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana ia dibolehkan
untuk shalat sementara shalat itu perkara yang agung. (Shahih Bukhari.
Kitabul Haid bab ‘Apabila wanita haid melihat dirinya suci’)
Dalam Syarah-nya terhadap ucapan Ibnu
Abbas di atas, Al Hafidh Ibnu Hajar berkata : “Yakni bila wanita
istihadlah dibolehkan shalat maka kebolehan jima’ dengannya lebih utama
karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari
1/535)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam
Al Mughni (1/339) : “Diriwayatkan dari Ahmad bolehnya menggauli istri
yang istihadlah secara mutlak tanpa syarat dan ini merupakan pendapat
kebanyakan ahli fiqih.”
Al Imam An Nawawi rahimahullah
mengatakan dalam Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab (2/372) : “Boleh dalam
madzhab kami untuk jima’ dengan istri yang sedang istihadlah pada saat
dihukumi sebagai suci, sekalipun darah (istihadlah) dalam keadaan
mengalir. Dan hal ini tidak ada perselisihan di sisi kami… .”
Al Imam As Shan’ani menyatakan boleh
jima’ dengan istrti yang sedang istihadlah menurut pendapat jumhur
ulama karena wanita yang istihadlah sama dengan wanita yang suci dalam
kebolehan shalat, puasa dan selain keduanya, maka demikian pula dalam
perkara jima’. Dan jima’ tidak diharamkan kecuali ada dalil, sementara
tidak ada dalil dalam perkara ini.” (Subulus Salam 1/157)
Al Imam As Syaukani juga menyebutkan pendapat jumhur ini dalam kitabnya Nailul Authar (1/392)
HUKUM YANG LAIN BAGI WANITA YANG SEDANG ISTIHADLAH
Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim
(4/17) mengatakan bahwa dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf,
membaca Al Qur’an, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah, dan
sujud syukur maka wanita yang istihadlah sama dengan wanita yang suci,
yakni boleh baginya untuk melakukannya dan hal ini merupakan perkara
yang disepakati.
Al Imam As Shan’ani mengatakan dengan
mengutip ucapan Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim : “Wanita
istihadlah apabila hendak shalat ia diperintah untuk berhati-hati dalam
menjaga kebersihan dari hadats dan najis, maka seharusnya ia mencuci
kemaluannya sebelum wudlu dan tayammum dan ia sumpal kemaluannya dengan
kapas atau kain untuk mencegah menyebarnya najis dan mengurangi
keluarnya darah. Apabila darah tidak tertahankan dengan cara tersebut,
ia ikat kemaluannya dengan kain dengan sekuatnya. Hal ini tidaklah
wajib baginya namun lebih utama bila ia lakukan dalam rangka mengurangi
najis sesuai kemampuan, setelah itu ia berwudlu.” (Subulus Salam
1/157)
Demikian masalah istihadlah yang dapat kami kumpulkan. Wallahu a’lam bishawwab.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi. Al Imam An Nawawi. Penerbit Darur Rayyan lit Turats.
2. Fathul Bari. Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Hadits.
3. Jami’ li Ahkamil Qur’an. Al Imam Al Qurthubi. Penerbit Darul Kutub Ilmiyah.
4. Subulus Salam. Al Imam As Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad.
5. Bulughul Maram. Ibnu Hajar.
6. Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Al Imam An Nawawi.
7. Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. As Syaikh Shalih Al Utsaimin.
8. Jami’ Ahkamin Nisa’. Musthafa Al Adawi.
9. Nailul Authar. Al Imam Asy Syaukani.
dikutip ulang dari : Tulisan Ummu Ishaq Al-Atsariyah {Muslimah Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita}
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/12/istihadhah-pengertiannya-perbedaannya-dengan-haid-dan-hukum-hukumnya/