Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
Pertama: Si wanita tidak wajib segera
mandi janabah, dan ketika suci nanti cukup baginya satu kali mandi
untuk mengangkat kedua hadats tersebut. Ini merupakan pendapat jumhur
ahlul ilmi, di antara mereka adalah imam madzhab yang empat: Abu
Hanifah (Al-Muhalla, 1/291), Al-Imam Malik (Al-Mudawwanah, 1/134),
Al-Imam Syafi’i (Al-Umm, Kitab Ath-Thaharah, Bab ‘Illatu Man Yajibu
alaihi Al-Ghuslu wal Wudhu), dan Al-Imam Ahmad ibnu Hambal (Al-Mughni,
Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah), semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Pendapat ini yang
dinyatakan Rabi’ah, Abu Az-Zinad, Ishaq, Sufyan Ats-Tsauri, dan
Al-Auza’i dalam satu riwayat darinya. (Al-Ausath 2/105, Al-Mudawwanah, 1/134)
Dalil mereka adalah sebagai berikut:
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu ketika junub karena menggauli beberapa istri beliau secara bergantian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan sekali mandi pada akhirnya, padahal janabahnya berulang. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu ketika junub karena menggauli beberapa istri beliau secara bergantian. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan sekali mandi pada akhirnya, padahal janabahnya berulang. Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berikut ini:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَطُوفُ عَلَى نِسَائِهِ بِغُسْلٍ وَاحِدٍ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi istri-istri beliau
(untuk menggauli mereka secara bergiliran) dengan sekali mandi.” (HR.
Muslim no. 706)
Wanita haid yang ditimpa janabah juga
demikian. Bila ia junub dan datang haidnya sebelum sempat mandi janabah
maka cukup baginya mandi sekali saat suci. (Al-Ausath, 2/105)
2. Bila terkumpul pada
seseorang beberapa hadats kecil yang mengharuskannya berthaharah
shughra (yaitu dengan berwudhu) saat hendak shalat, seperti tidur
nyenyak, keluar angin dari dubur, dan menyentuh istri sehingga keluar
madzi, atau selesai buang air besar dan bersamaan dengan itu buang air
kecil juga, maka cukup bagi yang mengalaminya melakukan sekali wudhu.
Ia tidak diperintahkan berwudhu untuk masing-masing hadats. (Al-Ausath 2/106)
Ia tidak wajib mandi janabah sebelum suci dari haidnya, karena mandinya tidak berfaedah baginya. (Al-Majmu’, 2/171)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu
berkata, “Bila wanita haid mengalami janabah maka ia tidak wajib mandi
sampai selesai haidnya. Demikian dinyatakan Al-Imam Ahmad. Ini juga
merupakan pendapat Ishaq. Karena dengan mandi pun hukum-hukum yang ada
tidak bermanfaat baginya1. Namun bila ia mandi janabah dalam masa
haidnya, mandinya sah dan hilang hukum janabah darinya. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu mengatakan, ‘(Dengan mandi itu) hilang janabahnya, namun
haidnya tidak hilang sampai terputus/berhenti darahnya’.” (Al-Mughni,
Kitab Ath-Thaharah, Fashl Ijtima’ Al-Haidh wal Janabah)
Pendapat kedua: Seharusnya ia mandi. Bila
tidak maka saat suci nanti ia mandi dua kali, untuk haid dan untuk
janabah. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i,
dan Atha’, sebagaimana pendapat mereka diriwayatkan dalam Mushannaf
Abdir Razzaq (no. 1057-1060, 1/275). Demikian pula pendapat Jabir bin
Zaid, Qatadah, Al-Hakam, Thawus, ‘Amr bin Syu’aib, Az-Zuhri, Maimun bin
Mihran, dan satu pendapat dari Dawud Azh-Zhahiri beserta pengikutnya.
(Al-Muhalla, 1/293)
Mereka berdalil bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala mewajibkan mandi dari janabah dan mewajibkan pula mandi haid.
Satu dengan yang lainnya berbeda, maka tidak boleh menggugurkan salah
satunya kecuali dengan argumen dari Al-Qur’an atau As-Sunnah atau
kesepakatan ulama. (Al-Ausath 2/105, Al-Muhalla 1/290)
Pendapat kedua ini yang dipegangi oleh
Ahlul hadits negeri Syam, Al-Imam Al-Albani rahimahullahu. Ketika
memberi ta’liq terhadap Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq dalam masalah
mandi, beliau berkata, “Yang tampak bagiku, tidak cukup sekali mandi
(untuk haid dan janabah, atau untuk mandi Jum’at dan mandi pada hari
Id, atau untuk janabah dan mandi Jum’at) bahkan harus mandi untuk
masing-masing perkara yang wajib padanya mandi. Maka untuk haid
dilakukan satu kali mandi, untuk janabah dilakukan mandi yang lain
lagi. Atau untuk janabah satu kali mandi dan untuk Jum’at mandi yang
lain. Karena masing-masing mandi ini telah datang dalil yang
menunjukkan wajibnya, sehingga tidak boleh menyatukannya dalam satu
amalan….” (Tamamul Minnah, hal. 126)
Untuk pencukupan sekali mandi saat suci,
mereka berargumen seperti argumen pendapat yang pertama. Adapun
pewajiban mandi janabah walaupun masih haid (belum suci) maka bisa jadi
mereka beragumen dengan hujjah pendapat kedua, wallahu a’lam.
Dari perbedaan pendapat yang ada maka
yang kami condongi, wallahu a’lam adalah pendapat yang dipegangi jumhur
ahlul ilmi, yaitu cukup baginya sekali mandi saat suci untuk
mengangkat haid sekaligus janabahnya3.
Namun bila ia hendak membaca Al-Qur’an atau hendak duduk di masjid untuk
mendengarkan taklim misalnya, maka sebaiknya ia mandi atau setidaknya
berwudhu untuk meringankan janabahnya, wallahu a’lam bish-shawab.
(lihat Al-Mughni fashl Idza Tawadha’a Junub falahu Al-Lubts fil Masjid)
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/25/bolehkah-menggabungkan-mandi-janabah-dan-mandi-ketika-suci-dari-haid/