حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ
حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ
فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ
بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
“Muhammad telah menceritakan kepada
kami,[1] Umar bin Hafs telah menceritakan kepada kami, ia berkata:
ayahku telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Hafshah dari
Ummu ‘Athiyah ia berkata: “Dahulu kami diperintahkan untuk keluar pada
hari ‘Ied, sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya, mereka
bertakbir dengan takbir mereka [2], (para sahabat) dan juga berdo’a
dengan do’a mereka, mengharap keberkahan dan kesucian hari itu” [Juga
diriwayatkan oleh Muslim (hal 606) dan Abu Daud (1138).
Imam Al-Bukhari juga berkata (hadits no:1650)]
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوسُفَ
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ
وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ
أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan
kepada kami, Malik telah mengkhabarkan kepada kami, dari Abdurrahman
bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa ia
berkata: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku
belum thawaf di Ka’bah dan juga belum (sa’i) antara Shafa dan Marwa.”
Aisyah berkata: “Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam,” lalu beliau bersabda: “Lakukanlah
apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji [3] selain thawaf di
Ka’bah” [Hadits Shahih] [4]
BANTAHAN HUJJAH LARANGAN WANITA HAIDH MEMBACA AL-QUR’AN [4]
Sedangkan larangan, yaitu hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu : (yang dipakai hujjah oleh sebagian ulama untuk melarang orang yang berhadats, -termasuk wanita haidh- membaca al-Qur’an -Red) adalah :
Sedangkan larangan, yaitu hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu : (yang dipakai hujjah oleh sebagian ulama untuk melarang orang yang berhadats, -termasuk wanita haidh- membaca al-Qur’an -Red) adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقْضِي حَاجَتَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلاَ يَحْجُبُهُ إِلاَّ الْجَنَابَةُ
1. “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyelesaikan hajat beliau, kemudian keluar, lalu beliaupun
membaca al-Qur’an, serta makan daging bersama kami, dan tidak ada
sesuatupun yang menghalangi beliau selain janabat.” [6]
Hadits ini (tidak dapat diterima, karena) :
Pertama : Di dalamnya tidak ada larangan
untuk membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan orang yang haidh, ia
hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kedua : Bahwa hadits ini dibicarakan
(keshahihannya), karena diriwayatkan dari jalan Abdullah bin Salamah,
sedangkan hafalannya sudah berubah. Ada riwayat senada dari Abul Gharif
dari Ali, akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan cacat perawi yang
menyatakannya sebagai hadits marfu’ (hadits yang diriwayatkan sampai
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Terlebih lagi jika perawi yang
menyatakannya sebagai hadits marfu’ adalah seorang yang ada sesuatu
dalam hafalannya (yakni hafalannya tidak kuat-Red), seperti Abdullah
bin Salamah. Karena riwayat Abil Gharif dari Ali berselisih, tentang
marfu’ (sampai) nya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
tentang mauquf (berhenti) nya sampai sahabat Ali saja.
Pendapat yang lebih kuat adalah yang
menyatakan sebagai mauquf, maka yang nampak olehku bahwa hadits ini
mauquf sampai Ali Radhiyallahu ‘anhu.
2. Riwayat lain yang (dijadikan hujjah) larangan (dalam hal ini) adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.” [7]
Akan tetapi “ketidaksukaan” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sini hanyalah untuk tanzih (keutamaan;
bukan larangan haram), hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan dalam
hadits shahih dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa ia berkata:
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat” [8]
3. Kaum yang melarang juga berdalil bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertayamum untuk menjawab salam.
Maka di dalam hadits ini juga tidak ada larangan bagi wanita haidh, dan
orang yang junub untuk membaca al-Qur’an, karena ia hanyalah
semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan Aisyah telah berkata sebagaimana yang telah lewat: “Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah pada
setiap saat”.
4. Kaum yang melarang juga berdalil
dengan hadits Jabir dan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu secara marfu’
(sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam):
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca al-Qur’an”. [9]
Hadits ini dhaif, tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat kitab ‘Ilal Ibni Abi Hatim (1/49).
Demikianlah, sebagian ulama berpendapat
terlarangnya wanita haidh membaca al-Qur’an, dan sandaran mereka adalah
sebagaimana yang telah lewat dan telah kami jelaskan
kelemahan-kelemahan yang ada pada dalil-dalil mereka. Sedang sebagian
ulama yang lain berpendapat bolehnya wanita haidh membaca al-Qur’an dan
berdzikir, dan pendapat terakhir inilah yang kami pilih, berikut ini
(kami bawakan) pendapat-pendapat ulama yang membolehkan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata (Majmu’al Fatawa 21/459): “Adapun membaca
al-Qur’an bagi orang
yang junub dan haidh, maka ada 3 pendapat ulama dalam hal tersebut:
1. Ada yang berpendapat: boleh bagi keduanya, dan inilah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.
2. Ada juga yang berpendapat: tidak boleh bagi junub dan boleh bagi
wanita haidh, baik secara mutlak ataupun karena takut lupa, dan ini
adalah madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pada madzhab Ahmad dan
selainnya. Karena tidak ada riwayat tentang wanita haidh membaca
Al-Qur’an, kecuali hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin ‘Ayasy dari
Musa dari ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
“Tidak boleh bagi yang haidh dan junub membaca al-Qur’an”. [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya].
Tetapi hadits tersebut dha’if menurut
kesepakatan ahlul hadits. Karena riwayat-riwayat Isma’il bin Ayyasy
dari penduduk Hijaz adalah hadits-hadits dhaif [10], berbeda dengan
riwayat-riwayat yang ia ambil dari penduduk Syam. Dan tidak ada seorang
tsiqah (yang terpercaya) pun meriwayatkan hadits tersebut dari Nafi’.
Padahal telah diketahui bahwa para wanita pada zaman Nabi juga
mengalami haidh, namun beliau tidak melarang mereka untuk membaca
al-Qur’an, juga tidak melarang mereka untuk berdzikir dan berdo’a.
Bahkan beliau memerintahkan para wanita
haidh untuk keluar pada hari ‘Ied, sehingga mereka bertakbir dengan
takbir kaum muslimin. Beliaupun memerintahkan kepada wanita yang haidh
untuk (melakukan) manasik haji seluruhnya selain thawaf di Ka’bah. Ia
(wanita haidh ) bertalbiyah (mengucapkan “Labbaik Allahumma
labbaik…-Red) sedangkan ia dalam keadaan haidh, demikian pula halnya
di Muzdalifah, Mina dan tempat-tempat mengerjakan ibadah haji lainnya.
Adapun bagi orang yang junub, beliau
tidak memerintahkan untuk menghadiri ‘ied, shalat ataupun menunaikan
sesuatu dari manasik haji. Karena orang yang junub memungkinkan
baginya untuk (segera ) bersuci, dan tidak ada ‘udzur (alasan) baginya
untuk menunda-nunda bersuci, berbeda keadaanya dengan wanita haidh
yang hadatsnya terus berlangsung (selama darah masih keluar) dan tidak
memungkinkan baginya untuk segera bersuci. Oleh karena itu para ulama
menyebutkan: “Tidak boleh bagi orang yang junub wukuf di Arafah,
Mudzalifah, dan Mina sampai ia suci”, walaupun bersuci bukanlah syarat
untuk wukuf tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa Asy-Syari’
(Pembuat syari’at) memerintahkan wanita haidh -baik perintah wajib
ataupun mustahab/tidak wajib- untuk berdzikir kepada Allah dan berdo’a
kepadaNya, sedangkan hal itu makruh (tidak disukai) bagi orang yang
junub. Oleh karena itulah diketahui bahwa wanita haidh -karena udzur-
diberi rukhshah (keringanan) pada hal-hal yang rukhsah tersebut tidak
diberikan kepada orang yang junub, walaupun hadats wanita haidh
berlangsung lebih lama. Demikian juga dalam hal membaca al-Qur’an Allah
tidak melarang wanita haidh dari hal tersebut.
Bisa juga dikatakan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang junub (hal itu)
karena ia (orang junub) memungkinkan baginya untuk segera bersuci lalu
membaca al-Qur’an. Berbeda dengan wanita haidh, yang hadatsnya
berlangsung selama beberapa hari, sehingga –jika dilarang- akan hilang
darinya ibadah membaca al-Qur’an, yang ibadah tersebut ia butuhkan,
sementara ia tidak bisa segera bersuci. Dan tidaklah sama antara
membaca al-Qur’an dengan shalat, dalam shalat disyaratkan suci dari
hadats besar, sedangkan membaca al-Qur’an boleh dilakukan walaupun
(kita) berhadats kecil berdasarkan nash dan kesepakatan para
imam/ulama. Dalam shalat harus menghadap kiblat, menutup aurat, suci
dari najis. Sedangkan dalam membaca al-Qur’an hal-hal tersebut tidak
diwajibkan, bahkan di dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meletakkan kepala beliau di
pangkuan ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, sedangkan ‘Aisyah dalam keadaan
haidh.
Dan dalam Shahih Muslim (diriwayatkan) pula bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِنَّي مُنْزِلٌ عَلَيْكَ كِتَابًا لاَ يَغْسِلُهُ الْمَاءُ تَقْرَؤُهُ نَائِمًا وَيَقْظَانًا
“Maka membaca al-Qur’an boleh dilakukan dengan berdiri, tidur, berjalan, berbaring maupun ketika naik kendaraan”.[11]
3. Abu Muhammad bin Hazm berkata
(Al—Muhalla: 1/77-78): “Permasalahan: Membaca al-Qur’an, sujud tilawah,
menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, semua itu
boleh dilakukan dengan berwudhu atau tanpa wudhu dan (boleh) bagi yang
junub dan juga yang haidh.
Dalil hal tersebut adalah bahwa membaca
al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah
merupakan perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan orang yang
melakukannya mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal
tersebut dalam sebagian kondisi-kondisi tertentu, wajib untuk
mendatangkan dalil”.
Kemudian Abu Muhammad rahimahullah mulai
menyebutkan pendapat-pendapat yang menyelisihi pendapat beliau dalam
hal itu, lalu membantahnya satu per satu.
Kesimpulan.
Bahwa wanita yang haidh boleh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca
al-Qur’an, karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih (jelas) dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut.
Bahkan riwayat yang ada (justeru) membolehkan hal-hal tersebut, yaitu
yang telah dijelaskan di atas. Wallahu ‘Alam.
[Diterjemahkan oleh Meli Nur Hasanah dari kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182-187,karya Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi
09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta,
Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp.
0271-761016]
________
Footnote
[1]. Beginilah tertulis di dalam kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182, karya Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi, tetapi yang kami lihat di dalam Shahih Al-Bukhari pada hadits ini tanpa perawi yang bernama Muhammad. Tetapi perawi pertama adalah Umar bin Hafs. Wallahu A’lam-Red]
[2]. Di dalam sebuah hadits (disebutkan) bahwa para wanita haidh bertakbir dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
[3]. Sebagaimana orang berhaji boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, maka demikian pula bagi wanita haid ia boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, sesungguhnya yang terlarang baginya (wanita haid) hanyalah thawaf di Ka’bah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits tersebut), dan akan datang tambahan (penjelasan) tentang hal tersebut dalam bab-bab berikut Insya Allah.
[4]. Hadits ini dan juga hadits sebelumnya memberikan penjelasan bagi wanita yang haidh disyari’atkan baginya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Dan karena al-Qur’an juga merupakan dzikir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
________
Footnote
[1]. Beginilah tertulis di dalam kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182, karya Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi, tetapi yang kami lihat di dalam Shahih Al-Bukhari pada hadits ini tanpa perawi yang bernama Muhammad. Tetapi perawi pertama adalah Umar bin Hafs. Wallahu A’lam-Red]
[2]. Di dalam sebuah hadits (disebutkan) bahwa para wanita haidh bertakbir dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
[3]. Sebagaimana orang berhaji boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, maka demikian pula bagi wanita haid ia boleh berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla dan membaca al-Qur’an, sesungguhnya yang terlarang baginya (wanita haid) hanyalah thawaf di Ka’bah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits tersebut), dan akan datang tambahan (penjelasan) tentang hal tersebut dalam bab-bab berikut Insya Allah.
[4]. Hadits ini dan juga hadits sebelumnya memberikan penjelasan bagi wanita yang haidh disyari’atkan baginya untuk berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Dan karena al-Qur’an juga merupakan dzikir, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” [Al-Hijr: 9].
Berdasarkan ini dan juga berdasarkan
apa-apa yang telah kami jelaskan, bahwa boleh bagi orang yang berhaji
untuk membaca al-Qur’an, maka atas dasar ini wanita haidh boleh
berdzikir dan membaca al-Qur’an.
[5]. Judul ini dari Redaksi untuk memudahkan pembahasan
[6]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa-i, dan Abu Dawud-Red
[7]. HSR. Abu Dawud, Nasa-i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, dari Al-Muhajir bin Qunfudz. Lihat Shahih Al-Jami, no:2472 -Red
[8]. HSR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:4943 -Red
[9]. Hadits Dha’if Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:6364 -Red]
[10]. Hadits ini termasuk riwayatnya dari penduduk Hijaz
[11]. Yang kami dapati di dalam Shahih Muslim, kitab: Al-Jannah Wa Shifatu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ’imiha Wa Ahliha, dengan lafazh:
[6]. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa-i, dan Abu Dawud-Red
[7]. HSR. Abu Dawud, Nasa-i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, dari Al-Muhajir bin Qunfudz. Lihat Shahih Al-Jami, no:2472 -Red
[8]. HSR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:4943 -Red
[9]. Hadits Dha’if Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahih Al-Jami’, no:6364 -Red]
[10]. Hadits ini termasuk riwayatnya dari penduduk Hijaz
[11]. Yang kami dapati di dalam Shahih Muslim, kitab: Al-Jannah Wa Shifatu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ’imiha Wa Ahliha, dengan lafazh:
وَأَنْزَلْتُ عَلَيْكَ كِتَابًا لاَ يَغْسِلُهُ الْمَاءُ تَقْرَؤُهُ نَائِمًا وَيَقْظَانَ
Sesungguhnya Aku menurunkan kepadamu sebuah kitab yang tidak terbasuh air, engkau membacanya dalam keadaan tidur maupun jaga.