Kamis, 05 Desember 2013

Hukum Cairan yang Keluar dari Kemaluan Wanita

Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin ditanya:

Cairan yang keluar dari wanita, apakah suci atau najis? Dan apakah dia membatalkan wudhu’?

Dia menjawab:
Yang nyata bagi saya setelah melakukan pembahasan bahwa cairan yang keluar dari perempuan jika ia tidak keluar dari kandung kencing (kemih) melainkan keluar dari rahim, maka ia suci, tetapi membatalkan wudhu’ meskipun ia suci. Karena sesuatu yang membatalkan wudhu tidak disyaratkan najis, seperti angin yang keluar dari dubur dan ia tidak berupa dzat yang nyata, tetapi ia membatalkan wudhu. Atas dasar ini, jika ia keluar dari perempuan dalam keadaan dia memiliki wudhu’, maka hal itu membatalkan wudhu dan dia wajib memperbaharui wudhu’. Jika ia senantiasa keluar, maka ia tidak membatalkan wudhu, tetapi dia tidak berwudhu’ untuk shalat kecuali jika waktu shalat telah masuk, dan dia shalat pada waktu tersebut, shalat wajib atau shalat sunnah, dan dia membaca Al-Qur’an, dan melakukan sesuatu yang diinginkan dari perkara yang dibolehkan baginya. Sebagaimana ahli ilmu telah menyatakan seperti ini pada orang yang tidak dapat menahan kencing.

Ini adalah hukum cairan dari sisi kesucian maka ia suci, tidak menajisi pakaian dan badan.
Adapun hukumnya dari sisi wudhu, maka ia membatalkan wudhu, kecuali jika senantiasa keluar. Jika senantiasa keluar maka ia tidak membatalkan wudhu’, tetapi perempuan tersebut tidak berwudhu untuk shalat kecuali setelah waktu masuk dan dia telah membentengi cairan yang akan keluar.

Adapun jika keluarnya terputus-putus, dan kebiasaannya berhenti pada waktu-waktu shalat, maka dia mengakhirkan shalat sampai waktu dimana cairan itu berhenti, selama tidak dikhawatirkan waktu shalat keluar (habis), maka dia berwudhu dan membentengi kemaluan dan shalat, baik cairan itu sedikit ataupun banyak, karena keluar dari jalan tersebut, maka ia membatalkan baik sedikit maupun banyak
.
Adapun keyakinan sebagian wanita bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu, maka saya tidak mengetahui asal perkataan itu kecuali perkataan Ibnu Hazm -rahimahullaahu-, sesungguhnya dia berkata; “ Sesungguhnya hal ini tidak membatalkan wudhu.” Tetapi dia tidak menyebutkan dalil bagi pendapatnya. Kalau perkataannya memiliki dalil dari Kitab dan Sunnah atau perkataan shahabat tentu ia menjadi hujjah. Seorang perempuan wajib takut kepada Allah dan berupaya di atas kesuciannya, sesungguhnya shalat tidak diterima tanpa bersuci, meskipun dia melakukan shalat 100 kali. Bahkan sebagian ulama berkata: Sesungguhnya orang yang shalat tanpa bersuci maka dia kafir, karena hal ini bagian dari sikap mengolok-olok ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Dinukil dari فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم المرأة المسلمة في شؤون دينها ودنياها (Wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan Fatwa tentang Wanita I), hal. 50-51, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin, Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1 Muharram 1427H/Februari 2006M, 

untuk http://almuslimah.co.nr)
http://almuslimah.wordpress.com/tag/hukum-cairan-yang-keluar-dari-farji-vagina/
http://aljaami.wordpress.com/2010/06/19/hukum-cairan-yang-keluar-dari-kemaluan-wanita/