Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih.
Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil). Namun selesai shalat beliau tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan keberadaan murid-muridnya yang tidak taqlid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau tapi berpegang dengan dalil sekalipun harus berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
1. Menyentuh wanita
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa ta'ala:
“Atau kalian menyentuh wanita …” (An-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, Al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi, Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas / umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir Asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan
tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah
membatalkan wudhu.
Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu.
Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama
bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’
sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al-Qur’an sendiri[1] dan juga dalam
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata
bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan (oleh ayat Allah Subahanahu wa ta'ala ini) adalah
jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu'anhuma dan selainnya dari
kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiyallahu'anhu dan selainnya.
Inilah yang shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita
(bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum
muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri-istri mereka namun tidak
ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi radhiyallahu'anhu bahwa beliau
memerintahkan kepada seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para
wanita (istri).”
Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya, namun apabila dia berwudhu, perkara tersebut baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ Al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yang rajih adalah menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yang keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201, 202)
Dalil dari As-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:
Aisyah radhiyallahu'anha berkata:
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di
arah kiblat beliau (ketika itu beliau sedang shalat, pen) maka bila
beliau sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) hingga aku pun
menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan
kedua kakiku.” (HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
Aisyah radhiyallahu'anha juga mengabarkan:
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam dari tempat tidurku.
Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh
bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika
itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa:
Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan
dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu,
aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang
Engkau puji terhadap diri-Mu.” (HR. Muslim no. 486)
2. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang
untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu
Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan
berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus,
maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda
benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu'alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no.
87)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268). Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)[2]
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
- Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59)
- Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234).
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang / membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.[3] Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Albani. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiyallahu'anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas[4] atau madzi
(di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu
berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36)
3. Darah yang keluar dari tubuh
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah
membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak.
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin
Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, An-Nashir, Malik dan
Asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269-270). Dan ini pendapat yang rajih
menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Dari kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, Al-Imam Ahmad dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang
seorang shahabat Al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun
darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada
tubuhnya (HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh
Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan / penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hal. 51-52)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[1] Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian
menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka
sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka
untuk menjalani iddah.” (Al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
[2] Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini
seperti Ibnu Mandah dan Asy-Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah, beliau
mengatakan sanadnya shahih (hal. 111)
[3] Adapun permasalahan yang disebutkan di sini juga merupakan perkara
yang diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh
Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ (2/63).
[4] Qalas adalah muntah yang keluar dari tenggorokan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)
============o0o=============
Apakah tidur membatalkan wudhu? Bagaimana jika cuma mengantuk, apakah
juga membatalkan wudhu? Barangkali diantara kita pernah mengalami
kebingungan semacam ini. Dalam permasalahan fikih, kebingungan kadang
muncul bukan hanya karena tidak tahu hukum yang ada, namun tidak sedikit
yang bingung karena banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama. Dalam
masalah fiqih, khilaf di antara ulama nampaknya telah menjadi sesuatu
yang tidak bisa dihindari. Karenanya, dalam mengkaji hukum sebuah
permasalahan diperlukan sikap lapang dada dan juga kehati-hatian.
Sehingga kita tidak terjatuh pada sikap mencela orang lain yang berbeda
dengan kita, padahal mereka juga memiliki dalil yang mendukung sikapnya.
4. Hilang akal
Ada dua bentuk hilangnya akal seseorang:
- Hilangnya akal secara keseluruhan sehingga seseorang tidak waras lagi dalam berpikir, seperti gila.
- Tertutupnya akal seseorang dalam beberapa saat karena suatu sebab seperti pingsan, mabuk, tidur, dan semisalnya.
Hilangnya akal disebabkan gila, pingsan dan mabuk karena minum khamr
atau karena minum obat, membatalkan wudhu seseorang, sebentar ataupun
lama. Sehingga bila seseorang gila kemudian waras kembali, atau mabuk,
atau jatuh pingsan kemudian siuman, maka wajib baginya memperbarui
thaharahnya. (Al-Mughni, 1/114, Syarah Shahih Muslim, 4/74, Al-Majmu’,
2/25).
Inilah pendapat rajih (yang kuat) menurut kami, wallahu a’lam
bish-shawab.
Adapun Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah dan yang sependapat dengan beliau memandang
bahwa semua perkara di atas selain tidur tidaklah membatalkan wudhu dan
perkara tersebut tidak dapat di-qiyas-kan dengan tidur.(Al-Muhalla,
1/212)
5. Tidur
Ulama berbeda pendapat dalam masalah tidur ini sampai 8 pendapat:
- Tidur tidak membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Dinukilkan pendapat ini dari Abu Musa Al-Asy’ari, Ibnul Musayyab, Abu Mijlaz, Syu’bah dan Humaid Al-A’raj.
- Tidur membatalkan wudhu bagaimana pun keadaannya. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Al-Muzani, Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Ishaq dan satu pendapat yang gharib dari Imam Syafi’i. Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: “Aku berpendapat demikian.” Diriwayatkan juga pendapat yang semakna dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Anas.
- Tidur yang banyak / nyenyak membatalkan wudhu bagaimana pun posisinya, sedangkan tidur yang sedikit tidak membatalkan. Demikian madzhab Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Auza’i, Malik, dan Ahmad dalam satu riwayat darinya.
- Tidur dalam posisi duduk dan pantatnya mapan menempel ke tanah tidaklah membatalkan wudhu. Selain dari posisi ini membatalkan wudhu sama saja tidurnya sedikit ataupun banyak, di dalam shalat ataupun di luar shalat. Demikian madzhab Asy-Syafi’i rahimahullah.
- Tidur dalam posisi orang yang sedang shalat seperti dalam posisi ruku, sujud, berdiri, dan duduk tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah itu terjadi di dalam shalat ataupun di luar shalat. Apabila tidurnya itu dalam keadaan berbaring atau terlentang di atas tengkuknya maka akan membatalkan wudhunya. Demikian madzhab Abu Hanifah, Dawud dan satu pendapat yang gharib dari Asy-Syafi’i.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang ruku dan sujud. Diriwayatkan pendapat ini dari Ahmad.
- Tidur tidak membatalkan wudhu kecuali tidurnya orang yang sujud. Diriwayatkan pendapat ini juga dari Ahmad.
- Tertidur ketika sedang shalat tidak membatalkan wudhu. Adapun di luar shalat membatalkan wudhu. Ini merupakan pendapat yang lemah dari Al-Imam Asy-Syafi’i. (Syarah Shahih Muslim, 4/73)
Yang rajih dari pendapat yang ada[1] menurut penulis adalah tidur yang
nyenyak / pulas membatalkan wudhu. Adapun tidur yang ringan/ hanya
sekedar terkantuk-kantuk, di mana orang yang tidur ini masih mendengar
suara di sekitarnya, tidaklah membatalkan wudhu. (Al-Mughni, 1/116)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, ia berkata: “Diserukan iqamah untuk shalat sementara Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam sedang berbicara pelan (berbisik-bisik) dengan seseorang. Maka beliau terus berbisik-bisik dengan orang tersebut hingga para shahabat beliau tertidur. Kemudian beliau datang lalu shalat bersama mereka.” Kata Anas: “Mereka tertidur, kemudian mereka shalat dan tidak berwudhu.” (HR. Muslim no. 376)
Dalam riwayat Abu Dawud juga dari Anas, ia berkata: “Para shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam menanti dilaksanakannya shalat Isya yang akhir, dalam keadaan kepala mereka terangguk-angguk (karena rasa kantuk yang berat) kemudian mereka bangkit mengerjakan shalat tanpa berwudhu.” (Sunan Abu Daud hadits no.172 dan dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Irwaul Ghalil, 1/149)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menyatakan bahwa hadits Shafwan[2] yang menggandengkan tidur dengan hadats (kencing dan BAB) dibatasi dengan tidur nyenyak yang membuat orang tidak mengerti apa-apa (hilang kesadaran). Adapun apa yang disebutkan Anas berupa mendengkurnya (beberapa) shahabat ketika dibangunkan, mereka membaringkan / merebahkan tubuh mereka dan mereka sampai dibangunkan untuk mengerjakan shalat, ditakwilkan (dinyatakan) dengan tidur yang tidak nyenyak. Terkadang memang ada orang yang mendengkur di awal tidurnya sebelum ia pulas, demikian pula ada orang tidur dalam posisi berbaring tetapi tidak mesti menunjukkan tidur yang nyenyak. Dan juga seseorang yang baru tertidur bisa saja ia dibangunkan agar ia tersadarkan dan tidak pulas dalam tidurnya. (Kami nukilkan secara makna dan ringkas sebagaimana di dalam Subulus Salam, 1/97)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Pingsan membatalkan wudhu, karena pingsan itu lebih dari sekedar tidur sementara tidur yang nyenyak itu membatalkan wudhu, di mana orang yang tidur tersebut tidak tahu seandainya ada sesuatu yang keluar dari (kemaluan)-nya. Adapun tidur yang ringan di mana bila orang yang tidur itu berhadats dia bisa merasakannya maka tidur seperti ini tidak membatalkan wudhu, sama saja apakah tidur itu berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar atau satu keadaan dari keadaan-keadaan yang ada. Selama ia bisa merasakan keluarnya hadats tersebut (seandainya ia berhadats).” Beliau juga menyatakan: “Tidur itu sendiri bukanlah pembatal wudhu[3], hanya saja tidur ini merupakan satu keadaan yang diperkirakan/diduga bisa terjadinya hadats pada keadaan tersebut. Dengan demikian bila hadats tersebut dapat ditolak, di mana orang tersebut dapat merasakan bila keluar hadats darinya, maka tidurnya tidaklah membatalkan wudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/195, 200, 201)
6. Memandikan jenazah
Memandikan jenazah tidaklah membatalkan wudhu dan inilah pendapat yang
rajih dari sebagian ahlul ilmi seperti Ibnu Qudamah, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan kebanyakan fuqaha. Abul Hasan At-Tamimi berkata: “(Bagi
orang yang memandikan jenazah) tidak harus berwudhu.” (Al-Mughni 1/124,
Syarhul Umdah, 1/341)
Mereka menyatakan bahwa menetapkan sesuatu sebagai pembatal wudhu itu membutuhkan dalil syar’i sementara tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ataupun ijma yang menunjukkan memandikan jenazah itu membatalkan wudhu. Adapun atsar dari ketiga shahabat yang disebutkan dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas (Diriwayatkan Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya no. 1601, 6107) bahwa mereka memerintahkan orang yang memandikan jenazah untuk berwudhu maka dimungkinkan berwudhu di sini bagi orang yang memandikan jenazah adalah perkara yang mustahab (sunnah). Sehingga kalau dianggap wajib maka butuh dalil syar’i yang menenangkan jiwa, karena mewajibkan sesuatu yang tidaklah wajib sama dengan mengharamkan sesuatu yang tidak haram. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Yang wajib bagi kita adalah berhati-hati dalam masalah pembatal wudhu, sehingga jangan sampai ada di antara kita yang berani mengatakan perkara ini adalah pembatal wudhu kecuali apabila ia mendapatkan dalil yang jelas yang akan menjadi hujjah (argumen) baginya di sisi Allah 'Azza wa jalla.” (Asy-Syarhul Mumti’, 1/247)
Adapun yang lain dari kalangan ahlul ilmi berpendapat bahwa memandikan jenazah membatalkan wudhu sebagaimana atsar dari Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, dan Ibnu ‘Abbas di atas dan pendapat seperti ini dipegangi oleh Ishaq dan An-Nakha’i. (Al-Mughni, 1/124)
7. Berbekam (hijamah)
Madzhab Al-Hanafiyyah berpendapat keluarnya darah dikarenakan berbekam
(hijamah) merupakan salah satu dari pembatal wudhu. As-Sarkhasi berkata :
“Menurut kami, seseorang yang berbekam maka wajib baginya berwudhu dan
mencuci bagian tubuh yang dibekam. Karena, wudhu itu wajib dengan
keluarnya najis (yaitu darah bekaman (dianggap) najis di sisi mereka).
Bila dia berwudhu namun tidak mencuci bagian tubuh yang dibekam, maka
bila bagian itu lebih besar dari ukuran dirham, ia tidak boleh
mengerjakan shalat. Namun bila kurang dari itu boleh baginya mengerjakan
shalat.”
Adapun madzhab Al-Malikiyyah dan Asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa berbekam atau sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat dan dikeluarkannya segumpal darah dengan cara diisap tidaklah membatalkan wudhu. Az-Zarqani berkata: “Berbekam tidaklah membatalkan wudhu, baik orang yang membekam maupun orang yang dibekam. Demikian pula sengaja mengeluarkan darah dengan merobek kulit atau urat.”
Dalam kitab Al-Umm disebutkan: “Tidak wajib berwudhu karena muntah, mimisan dan berbekam.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 17/14).
Inilah pendapat yang rajih, karena tidak adanya dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa berbekam itu membatalkan wudhu. Adapun hadits[4] yang menyatakan dukungan penguatan bahwa berbekam itu tidak membatalkan wudhu pada sanadnya ada pembicaraan terhadap salah seorang rawinya yaitu Shalih ibnu Muqatil. Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah mengatakan tentang Shalih: “Bukan seorang yang kuat.” Dan hadits ini didhaifkan oleh para imam seperti Al-Baihaqi, An-Nawawi dan Al-Hafidz Ibnu Hajar. (Al-Majmu 2/63, At-Talkhisul Habir, 1/171) (Sehingga kembali kepada hukum asal atau bara’ah ashliyah-red)
8. Makan daging unta
Seseorang pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam:
“Apakah aku berwudhu setelah makan daging kambing ?” Beliau menjawab:
“Kalau engkau mau engkau berwudhu, kalau mau maka engkau tidak perlu
berwudhu.” Beliau ditanya lagi: “Apakah aku berwudhu karena makan daging
unta?” Beliau menjawab : “Ya , berwudhulah setelah makan daging unta.” (
Shahih HR. Muslim no. 360 dari hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu'anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang harus berwudhu setelah makan
daging unta, karena makan daging unta membatalkan wudhu. Demikian
pendapat Jabir bin Samurah radhiyallahu'anhu, Muhammad bin Ishaq, Ahmad, Ishaq, Abu
Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi
dan dinukilkan pendapat ini dari Ashabul Hadits dan sekelompok shahabat
Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni, 1/122; Al-Muhalla,
1/226; Subulus Salam, 1/106)
Jabir bin Samurah radhiyallahu'anhu berkata: “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 1/46, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 106)
Pendapat lain menyatakan bahwa makan daging unta tidaklah membatalkan wudhu dengan dalil hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak).” (HR. At-Tirmidzi no. 80 dan An-Nasai no. 185).
Mereka yang berpendapat seperti ini adalah jumhur tabi’in, Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan murid-murid mereka dan dihikayatkan pula dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abud Darda, Abu Thalhah, Amir bin Rabi’ah, Abu Umamah. (Syarah Shahih Muslim, 4/48; Al-Mughni 1/122; Subulus Salam, 1/106)
Dari dua pendapat yang ada, maka yang rajih dalilnya adalah pendapat pertama. Adapun hadits Jabir: “(Di antara) dua perintah yang akhir dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang disentuh api (dimasak)”, hadits ini dinyatakan oleh Abu Hatim mudhtharib pada matannya. Dan sangat dimungkinkan seorang rawinya yakni Syu’aib telah salah di dalam menyampaikan haditsnya. (Al-’Ilal Ibnu Abi Hatim, 168)
Juga telah ada pembicaraan terhadap hadits ini di kalangan para imam Ahlul Hadits, (lihat At-Talkhisul Habir, 1/174-176.)
Hadits ini juga merupakan hadits yang lafadz dan hukumnya umum, sementara hadits yang menunjukkan wudhu karena makan daging unta adalah hadits yang khusus. Dan kaidah yang masyhur sebagaimana diterangkan ulama ahli ushul, ketika ada dalil yang khusus maka dikedepankan pengamalannya daripada dalil yang umum, wallahu a’lam. Juga, makan daging unta itu membatalkan wudhu bukan karena ia disentuh api, namun karena keberadaannya sebagai daging unta sehingga ia dimasak (dengan api) ataupun dimakan dalam keadaan mentah tetap keberadaannya membatalkan wudhu. (Syarah Shahih Muslim, 4/49; Al-Mughni, 1/122-123; Al-Majmu 2/670; I’lamul Muwaqqi’in 1/298-299; Ijabatus Sail hal. 36)
9. Makan Makanan yang Dimasak
Ulama berselisih pendapat dalam masalah memakan makanan yang dimasak,
apakah membatalkan wudhu atau tidak? Dalam hal ini mereka terbagi dalam
tiga pendapat:
Pertama: Tidak wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak apa pun, termasuk di dalamnya makan daging unta dan sama saja apakah makanan itu disentuh api (dimasak) atau pun tidak. Demikian pendapat jumhur ulama dan dihikayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Thalhah, Abu Darda, Amir bin Rabi’ah dan Abu Umamah. Juga pendapat jumhur tabi’in, Malik, dan Abu Hanifah.
Kedua: Wajib berwudhu karena memakan makanan yang dimasak yang disentuh api, demikian pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Az-Zuhri, Abu Qilabah, Abu Mijlaz, dan dihikayatkan Ibnul Mundzir dari jama’ah shahabat: Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Musa, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah dan Aisyah radhiallahu ‘anhum.
Ketiga: Wajib berwudhu karena makan daging unta secara khusus, demikian pendapat Ahmad, Ishaq, Yahya bin Yahya dan Al-Mawardi menghikayatkan pendapat ini dari jamaah shahabat seperti Zaid bin Tsabit, Abu Musa, Ibnu Umar, Abu Thalhah, Abu Hurairah dan Aisyah radliallahu anhum. Ibnul Mundzir menghikayatkan dari Jabir bin Samurah rahimahullah, Muhammad bin Ishaq, Abu Tsaur, Abu Khaitsamah dan ia memilih pendapat ini, demikian pula Ibnu Khuzaimah. (Al-Majmu’, 2/68)
Pendapat inilah yang rajih dengan hadits Jabir ibnu Samurah yang telah terdahulu penyebutannya dan perkataan beliau: “Kami berwudhu dari makan daging unta dan kami tidak berwudhu karena makan daging kambing.” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/46, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Tamamul Minnah, hal. 106)
Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Mayoritas ahlul ilmi dari kalangan shahabat Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam, tabi’in dan orang-orang setelah mereka berpendapat tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang dimasak.” (Sunan Tirmidzi, 1/53)
Ucapan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim dan di dalam Al-Majmu’: “Mayoritas ulama berpendapat (makan daging unta) tidaklah membatalkan wudhu, di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Al-Khulafa’ur Rasyidun yang empat…” Ini merupakan anggapan yang keliru dari beliau.
Kesalahan beliau ini telah diperingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Qawa’id An-Nuraniyyah (hal. 9) beliau menyatakan: “Adapun yang dinukilkan dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun atau jumhur shahabat bahwa mereka tidak berwudhu karena makan daging unta, maka sungguh orang yang menukilkan demikian telah keliru dalam anggapannya terhadap mereka. Kesalahan anggapan tersebut dikarenakan adanya riwayat dari mereka bahwa mereka tidaklah berwudhu karena memakan sesuatu yang dimasak. Padahal yang diinginkan di sini menurut mereka adalah keberadaan sesuatu yang dimasak bukan sebagai satu sebab diwajibkannya berwudhu. Sementara Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan berwudhu karena makan daging unta bukan disebabkan daging unta ini telah dimasak. Sebagaimana dikatakan: Fulan tidak perlu berwudhu karena menyentuh kemaluannya, walaupun dalam satu keadaan wajib baginya untuk berwudhu setelah menyentuh kemaluannya apabila keluar madzi dari kemaluannya.” (Sebagaimana dinukilkan dari Tamamul Minnah hal. 105)
10. Menyentuh kemaluan (dzakar)
Dari Busrah bintu Shafwan radhiyallahu'anha, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila salah seorang dari kalian menyentuh dzakarnya, hendaklah ia
berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 154, dishahihkan Al-Imam Ahmad,
Al-Bukhari, Ibnu Ma’in dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Bukhari t: “Hadits
ini paling shahih dalam bab ini.” Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 174)
Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa yang menyentuh kemaluannya maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu.”
Asy-Syaikh Muqbil berkata tentang hadits ini: “Hadits shahih di atas
syarat Al-Bukhari dan Muslim.” (Al-Jami’ush Shahih, 1/520)
Sementara Thalaq bin Ali radhiyallahu'anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang menyentuh dzakarnya setelah ia berwudhu, apakah batal wudhunya? Beliau Shallallahu'alaihi wa sallam menjawab:
“Bukankah dzakar itu tidak lain kecuali sebagian daging dari
(tubuh)nya?” (HR. At-Tirmidzi no. 85 dan kata Ibnul Madini rahimahullah: “Hadits
ini lebih baik daripada hadits Busrah.” Asy-Syaikh Al-Albani t
menshahihkan sanadnya dalam Al-Misykat)
Dua hadits di atas menerangkan, yang pertama menetapkan menyentuh dzakar itu membatalkan wudhu sementara hadits yang kedua menetapkan tidak membatalkan wudhu. Sebagaimana dua hadits di atas bertentangan makna secara dzahirnya maka dalam masalah ini ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.
Pertama, berpendapat menyentuh kemaluan membatalkan wudhu seperti pendapatnya Umar, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, Saad bin Abi Waqqash, Atha, Urwah, Az Zuhri, Ibnul Musayyab, Mujahid, Aban bin Utsman, Sulaiman bin Yasar, Ibnu Juraij, Al-Laits, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Malik dalam pendapatnya yang masyhur dan selain mereka. Mereka berdalil dengan hadits Busrah. (Sunan Tirmidzi 1/56; Al-Mughni 1/117; Al-Muhalla, 1/223; Nailul Authar, 1/282)
Kedua, berpendapat dengan hadits kedua bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu. Hadits ini dijadikan pegangan oleh mereka, seperti ‘Ali, Ibnu Mas’ud, ‘Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abud Darda, ‘Imran bin Hushain, Al-Hasan Al-Bashri, Rabi’ah, Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya dan selain mereka (Sunan Tirmidzi, 1/57; Al-Mughni, 1/117; Nailul Authar, 1/282)
Ketiga, mereka yang berpendapat dijamak atau dikumpulkannya antara dua hadits yang sepertinya bertentangan tersebut, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan yang lainnya, yang menyatakan apabila menyentuhnya dengan syahwat[5] maka hendaknya dia berwudhu dengan (dalil) hadits Busrah dan kalau menyentuhnya tanpa syahwat maka tidak mengapa akan tetapi disenangi baginya apabila dia berwudhu[6], dengan (dalil) hadits Thalaq. Pendapat inilah yang penulis pilih dan memandangnya sebagai pendapat yang rajih, walaupun pendapat yang pertama menurut pandangan penulis adalah pendapat yang juga kuat di mana pendapat ini banyak dipilih dan dibela oleh ahlul ilmi seperti di antaranya Al-Imam Ash-Shan’ani (di dalam Subulus Salam, 1/104),
Al-Imam Asy-Syaukanirahimahullah (Nailul Authar, 1/283; Ad-Darari Al-Mudhiyyah hal. 36) dan yang lainnya. Namun penulis lebih condong pada pendapat yang ketiga, wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu”, di dalamnya ada isyarat yang lembut bahwa menyentuh dzakar yang tidak dibarengi syahwat tidak mengharuskan wudhu, karena menyentuh dalam keadaan yang seperti ini sama halnya dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Berbeda keadaannya apabila ia menyentuh dengan syahwat maka ketika itu tidak bisa disamakan dengan menyentuh anggota tubuh yang lain. Karena secara kebiasaan menyentuh anggota tubuh yang lain tidaklah dibarengi dengan syahwat. Perkara ini adalah perkara yang jelas sebagaimana yang kita ketahui.
Berdasarkan hal ini maka hadits: “Hanyalah dzakar itu bagian dari (tubuh)mu” tidak bisa dijadikan dalil oleh madzhab Al-Hanafiyyah untuk menyatakan bahwa menyentuh dzakar tidaklah membatalkan wudhu secara mutlak. Namun hadits ini merupakan dalil bagi orang yang berpendapat bahwa menyentuh dzakar tanpa disertai syahwat tidaklah membatalkan wudhu. Adapun bila menyentuhnya dengan syahwat maka dapat membatalkan wudhu, dengan dalil hadits Busrah. Dengan demikian terkumpullah di antara dua hadits tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya berdasarkan apa yang aku ketahui. Wallahu a’lam.” (Tamamul Minnah, hal. 103)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila seseorang menyentuh dzakarnya maka disenangi baginya untuk berwudhu secara mutlak, sama saja apakah ia menyentuhnya dengan syahwat ataupun tidak. Apabila menyentuhnya dengan syahwat maka pendapat yang mengatakan wajib baginya berwudhu sangatlah kuat, namun hal ini tidak ditunjukkan secara dzahir dalam hadits. Dan aku tidak bisa memastikan akan kewajibannya namun demi kehati-hatian sebaiknya ia berwudhu.” (Syarhul Mumti’, 1/234).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah
[1] Walaupun penulis menyadari bahwa pendapat yang mengatakan tidur
secara mutlak juga kuat dalam masalah ini sebagaimana pendapat tersebut
dikuatkan oleh Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah di dalam Al-Muhalla (1/213) dan
Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah hal.99-103 dan silahkan pembaca
melihatnya. Namun yang menenangkan hati penulis adalah pendapat yang
penulis rajihkan. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
[2] Hadits Shafwan yang dimaksud adalah: “Rasulullah Shallallahu'alaihi
wa sallam memerintahkan kami, bila kami sedang safar agar tidak
melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali bila
ditimpa janabah. Namun bila hanya buang air besar, kencing, dan tidur
(tidak perlu melepaskannya).” (HR. At-Tirmidzi no. 96. Dihasankan oleh
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’us Shahih, 1/538)
[3] Seperti kencing misalnya, banyak ataupun sedikitnya kencing tetaplah membatalkan wudhu
[4] Diberitakan dari hadits Anas radhiyallahu'anhu: “Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa sallam berbekam dan shalat setelahnya tanpa
berwudhu.” (HR. Ad-Daraquthni, 1/157 dan Al-Baihaqi, 1/141)
[5] Karena dalam keadaan demikian ini sangat memungkinkan keluarnya madzi.
[6] Juga disenangi wudhu disini dalam rangka kehati-hatian, wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
============o0o=============
Sumber:
http://asysyariah.com/ dengan penambahan nomer dalam artikel tanpa mengurangi isi didalamnya.
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/09/pembatal-pembatal-wudhu-yang-disepakati.html