إِذَا قُلْتَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ . فَلاَ تَقُلْ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ . قُلْ صَلُّوا فِى
بُيُوتِكُمْ . فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ، قَالَ فَعَلَهُ مَنْ
هُوَ خَيْرٌ مِنِّى ، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ ، وَإِنِّى كَرِهْتُ أَنْ
أُحرِجَكُمْ ، فَتَمْشُونَ فِى الطِّينِ وَالدَّحْضِ
“Apabila engkau selesai mengucapkan
asyhadu anna muhammadan rasulullah, jangan ucapkan hayya ‘alash shalah,
tapi ucapkanlah “shallu fi buyutikum”. (Ketika mendengar ucapan
beliau), manusia seolah mengingkari perbuatan beliau. Maka beliau pun
mengatakan, “Orang yang lebih baik dariku (yakni nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
telah melakukan hal itu. Sesungguhnya shalat Jum’at itu wajib, namun
saya tidak ingin menyusahkan kalian sehingga kalian berjalan di tanah
yang becek dan licin.”[1]
- Abu al Malih mengatakan,
خَرَجْتُ فِى لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ فَلَمَّا
رَجَعْتُ اسْتَفْتَحْتُ فَقَالَ أَبِى مَنْ هَذَا قَالَ أَبُو الْمَلِيحِ.
قَالَ لَقَدْ رَأَيْتُنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَصَابَتْنَا سَمَاءٌ لَمْ تَبُلَّ أَسَافِلَ
نِعَالِنَا فَنَادَى مُنَادِى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ »
“Saya keluar (menuju masjid) di suat
malam ketika terjadi hujan. Saya pun kembali dan tatkala membuka pintu
rumah, ayahku berkata, “Siapa ini?”, saya pun menjawab, “Abu al-Malih.”
Beliau mengatakan, “Sesungguhnya saya pernah melihat kami bersama
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Hudaibiyah, ketika itu hujan mengguyur kami, namun tidaklah deras. Namun, muadzdzin rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan perkataan dalam adzannya, “Shallu fi rihalikum.”[2]
- Nafi rahimahullah mengatakan
أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِى لَيْلَةٍ
بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ثُمَّ قَالَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ ،
فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ
يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ ، أَلاَ
صَلُّوا فِى الرِّحَالِ . فِى اللَّيْلَةِ الْبَارِدَةِ أَوِ الْمَطِيرَةِ
فِى السَّفَرِ
“Ibnu ‘Umar pernah beradzan pada hari
yang sangat dingin di daerah Dajnan, kemudian beliau mengucapkan “shallu
fi rihalikum (shalatlah di rumah kalian!)”. Beliau memberitakan kepada
kami bahwa di suatu malam yang dingin atau terjadi hujan ketika safar,
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzdzin setelah beradzan untuk mengucapkan “ala shallu fi ar-rihal (shalatlah kalian di rumah!)”[3]
Dari hadits-hadits di atas terkandung beberapa faedah, diantaranya:
- Pria boleh meninggalkan shalat berjama’ah di masjid ketika kondisi hujan, angin bertiup kencang, atau ketika kondisi cuaca yang sangat dingin.
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Teks hadits menunjukkan diperbolehkan
meninggalkan shalat berjama’ah dikarenakan adanya kesulitan ketika
kondisi hujan, angin bertiup kencang, dan cuaca yang dingin. Begitupula
dengan kondisi semisal yang menyulitkan untuk melaksanakan shalat
berjama’ah, baik dalam keadaan mukim maupun bersafar.”[4]
- Ketika menghadapi kondisi yang disebutkan di atas, disyari’atkan mengganti lafadz hayya ‘alash shalah dengan lafadz shallu fi rihalikum atau shallu fi buyutikum. Dan berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhialahu ‘anhu di atas, lafadz tersebut boleh diucapkan oleh muadzdzin di akhir adzan, yaitu muadzdzin beradzan dengan sempurna, kemudian di akhir adzan, dia mengucapkan lafadz shallu fi rihalikum atau shallu fi buyutikum.
Terdapat lafadz lain yang dapat diucapkan oleh muadzdzin ketika menghadapi berbagai kondisi tersebut. Lafadz ini diriwayatkan dari Nu’aim bin an Nahham, dia mengatakan,
نُودِىَ بِالصُّبْحِ فِى يَوْمٍ بَارِدٍ
وَأَنَا فِى مِرْطِ امْرَأَتِى فَقُلْتُ لَيْتَ الْمُنَادِى قَالَ مَنْ
قَعَدَ فَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ فَنَادَى مُنَادِى النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- فِى آخِرِ أَذَانِهِ وَمَنْ قَعَدَ فَلاَ حَرَجَ عَلَيْهِ
“Adzan Subuh dikumandangkan ketika cuaca
sangat dingin sedangkan saya tengah berselimutkan pakaian istriku. Saya
pun mengatakan, “Jika saja muadzdzin mengucapkan “man qa’ada
fa laa haraja ‘alaih (barangsiapa yang duduk (tidak datang shalat
jama’ah), maka tidak mengapa). Sesungguhnya muadzdzin nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir adzannya, mengucapkan, “man qa’ada fa laa haraja ‘alaih.”[5]
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mengandung sunnah penting yang sangat disayangkan telah ditinggalkan oleh muadzdzin
pada umumnya, padahal sunnah tersebut salah satu bentuk permisalan yang
dapat menerangkan makna yang terkandung dalam firman-Nya, (yang
artinya), “dan tidaklah Dia menjadikan kesusahan bagi kalian dalam agama
ini”. Sunnah tersebut adalah lafadz yang diucapkan setelah adzan,
yaitu man qa’ada fa laa haraja. Lafadz ini merupakan lafadz yang mengkhususkan ucapan muadzdzin hayya ‘alash shalah,
yang berkonsekuensi wajibnya untuk memenuhi panggilan tersebut dengan
mendatangi masjid dan shalat bersama kaum muslimin, kecuali pada
kondisi cuaca yang teramat dingin dan berbagai kondisi yang semisal.”[6]
- Berdasarkan hadits Abu al-Malih di atas, seorang diperbolehkan untuk tidak mendatangi shalat berjama’ah d masjid, meskipun hujan yang turun tidak begitu deras. Namun, hal ini jangan menjadi kesempatan untuk terus-terusan meninggalkan shalat berjama’ah, karena terkadang sikap tersebut membuat seorang menyepelekan kewajiban shalat berjama’ah di masjid. Ingat, disana terdapat hadits-hadits yang menerangkan ancaman bagi pria yang tidak shalat berjama’ah di masjid.
- Diperbolehkan meninggalkan shalat berjama’ah di masjid ketika terjadi kondisi tersebut di atas, meskipun muadzdzin tidak mengucapkan lafadz shallu fi buyutikum atau shallu fi rihalikum di dalam adzannya.
- Shalat di rumah ketika terjadi kondisi di atas tidaklah wajib, namun mubah. Ketika terjadi hujan, atau kondisi cuaca sedang dingin, dan kondisi semisal, seorang diperbolehkan untuk tetap shalat berjama’ah di masjid.
Imam Bukhari rahimahullah
membuat bab dalam kitab Shahih beliau, “Bab Dispensasi (rukhshah) ketika
Hujan dan (Pemaparan) Alasan/Udzur Seorang Pria Melaksanakan Shalat
Wajib di Rumahnya.”
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Maraji’
- Ahkam asy-Syitta-i fi as-Sunnah al-Muthahharah karya Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi.
- Shafwah al-Bayan fi Ahkam al-Iqamah wa al-Adzan karya Abdul Qadir al-Jazairi.
[1] HR. Bukhari: 859; Muslim: 699.
[2] HR. Ibnu Majah: 936; Ibnu Khuzaimah: 1657. Diabsahkan al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah: 764; Asy Syamilah.
[3] HR. Bukhari: 606; Muslim: 697.
[4] Al Mufhim 3/1216.
[5] HR. Ahmad: 17963.
[6] Ash Shahihah 6/205.
http://ikhwanmuslim.com/fikih/adzan-ketika-hujan