Selasa, 10 Desember 2013

Adzan: Pengertian, Pensyariatan, Keutamaan, Hukum, Syarat-Syarat dan Sunnahnya

Pengertian
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Sebagaimana ungkapan yang digunakan ayat Al-Quran Al-Kariem berikut ini :

وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الاكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ

Dan suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.(QS. At-Taubah : 3)

Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Dan panggillah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj : 27)

Secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu yang bergun memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu.

Dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
 
Pensyariatan
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.
2.1. Al-Quran

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ

Dan apabila kamu menyeru untuk shalat, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal. (QS. Al-Maidah : 58)

2.2. Sunnah :

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : قَالَ لَنَا النَّبِيُّ وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ

Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kami,”Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan”.(HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ  قَالَ: طَافَ بِي -وَأَنَا نَائِمٌ- رَجُلٌ فَقَالَ: تَقُولُ: اَللَّهُ أَكْبَرَ اللَّهِ أَكْبَرُ فَذَكَرَ الاذَانَ – بِتَرْبِيع التَّكْبِيرِ بِغَيْرِ تَرْجِيعٍ و الإقَامَةَ فُرَادَى إِلاَّ قَدْ قَامَتِ الصَّلاةُ – قَالَ: فَلَمَّا أَصْبَحْتُ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ  فَقَالَ: إِنَّهَا لَرُؤْيَا حَقٍّ.

Dari Abdullah bin Zaid bin Abdirabbihi berkata,”Ada seorang yang mengelilingiku dalam mimpi dan berseru : “Allahu akbar alahu akbar”, dan (beliau) membacakan adzan dengan empat takbir tanpa tarji’, dan iqamah dengan satu-satu, kecuali qad qamatishshalah”. Paginya Aku datangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda,”Itu adalah mimpi yang benar. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Selain itu, adzan bukan hanya ditetapkan hanya dengan mimpi sebagian shahabat saja, melainkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga diperlihatkan praktek adzan ketika beliau diisra`kan ke langit.

Dari al-Bazzar meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam diperlihatkan dan diperdengarkan kepadanya di malam Isra` di atas 7 lapis langit. Kemudian Jibril memintanya maju untuk mengimami penduduk langit, dimana disana ada Adam ‘alaihissalam dan Nuh ‘alaihissalam Maka Allah menyempurnakan kemuliaannya di antara para penduduk langit dan bumi.

Namun hadits ini riwayatnya teramat lemah dan gharib. Riwayat yang shahih adalah bahwa adzan pertama kali dikumandangkan di Madinah sebagai-mana hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Muslim.

Keutamaan
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau perlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فيِ الآذَانِ وَالصَّفِ الأَوَّلِ ثُمَّ لمَ ْيَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا رواه البخاري وغيره

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,”Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara mereka..”(HR. Bukhari)

Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandang-kan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan :
عَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّ النّبِيَّ قَالَ: إِنَّ المُؤَذِّنِيْنَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ القِيَامَةِ رواه أحمد ومسلم وابن ماجه

Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,”Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat”. (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)

Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً ِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”(QS. Fushshilat : 33)

Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah Subhana wa Ta'ala didalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain.

Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
 
Hukum
Hukum adzan menurut jumhur ulama selain al-Hanabilah adalah sunnah muakkadah, yaitu bagi laki-laki yang dikerjakan di masjid untuk shalat wajib 5 waktu dan juga shalat Jumat.

Sedangkan selain untuk shalat tersebut, tidak disunnahkan untuk mengumandangkan adzan, misalnya shalat Iedul Fithri, shalat Iedul Adha, shalat tarawih, shalat jenazah, shalat gerhana dan lainnya. Sebagai gantinya digunakan seruan dengan lafaz “Ash-shalatu jamiatan” (الصلاة جامعة). Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits berikut :

Dari Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu bahwa telah terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa Sallam, maka kepada orang-orang diserukan : “Ash-shalatu Jami`ah”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Sedangkan bagi jamaah shalat wanita, yang dianjurkan hanyalah iqamat saja tanpa adzan menurut As-Syafi`iyah dan Al-Malikiyah. Oleh sebab untuk menghindari fitnah dengan suara adzan wanita. Bahkan iqamat pun dimakruhkan oleh al-Hanafiyah.
 
Syarat Adzan
Untuk dibenarkannya adzan, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi sebelumnya. Diantara syarat-syarat adzan adalah :

5.1. Telah Masuk Waktu
Bila seseorang mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, maka adzannya itu haram hukumnya sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Dan bila nanti waktu shalat tiba, harus diulang lagi adzannya. Kecuali adzan shubuh yang memang pernah dilakukan 2 kali di masa Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa Sallam . Adzan yang pertama sebelum masuk waktu shubuh, yaitu pada 1/6 malam yang terakhir. Dan adzan yang kedua adalah adzan yang menandakan masuknya waktu shubuh, yaitu pada saat fajar shadiq sudah menjelang.

5.2. Harus Berbahasa Arab
Adzan yang dikumandangkan dalam bahasa selain arab tidak sah. Sebab adzan adalah praktek ibadah yang bersifat ritual, bukan semata-mata panggilan atau menandakan masuknya waktu shalat.

5.3. Tidak Bersahutan
Bila adzan dilakukan dengan cara sambung menyambung antara satu orang dengan orang lainnya dengan cara bergantian, hukumnya tidak sah.

Sedangkan mengumandangkan adzan dengan beberapa suara vokal secara berberengan, dibolehkan hukumnya dan tidak dimakruhkan sebagaimana dikatakan Ibnu Abidin. Hal ini pertama kali dilakukan oleh Bani Umayyah.

5.4. Muslim, Laki, Akil Baligh.
Adzan tidak sah bila dikumandangkan oleh non-muslim, wanita, orang tidak waras atau anak kecil. Sebab mereka semua bukan orang yang punya beban ibadah.

Bahkan Al-Hanafiyah mensyaratkan bahwa orang itu tidak boleh fasik, bila sudah terjadi maka harus diulangi oleh orang lain yang tidak fasik. Al-Malikiyah mengatakan bahwa dia harus adil.

5.5. Tertib Lafaznya
Tidak diperbolehkan untuk terbolak-balik dalam mengumandangkan lafadz adzan. Urutannya harus benar. Namun para ulama sepakat bahwa untuk mengumandangkan adzan tidak disyaratkan harus punya wudhu`, menghadap kiblat, atau berdiri. Hukum semua itu hanya sunnah saja, tidak menjadi syarat sahnya adzan.

Disunnahkan orang yang mengumandangkan adzan juga orang yang mengumandangkan iqamat. Namun bukan menjadi keharusan yang mutlak, lantaran di masa Rasululah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Bilal radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan adzan dan yang mengumandangkan iqamat adalah Abdullah bin Zaid, shahabat Nabi yang pernah bermimpi tentang adzan. Dan hal itu dilakukan atas perintah nabi juga.

Sunnah Adzan

1.   Hendaklah muadzin suci dan hadast besar dan kecil. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan hal-hal yang dianjurkan baginya berwudhu’.

2.   Hendaklah ia berdiri menghadap kiblat. Ibnu mundzir berkata sesuatu yang telah menjadi ijma’ (kesempatan para ulama) bahwa berdiri ketika adzan termasuk sunnah Nabi karena suara bisa lebih keras, dan termasuk sunnah juga ketika adzan menghadap ke arah kiblat, sebab para muadzin Rasullullah mengumandangkan adzan sambil menghadap kearah kiblat.

3.   Menghadapkan wajah dan lehernya ke sebelah kanan ketika mengucapkan ‘Hayya ‘alalfalah’ dan ke sebelah kiri ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falah’, sebagaimana yang telah dijelaskan sebagai berikut :

Dari Abu Juhaifah ia pernah melihat Bilal beradzan, ia berkata, “Kemudian saya ikuti mulutnya ketika ke arah sini dan sini dengan adzan tersebut.” ( Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 114 no: 634, Muslim I : 360 no no: 503, ‘Aunul Ma’bud II: 219no: 516, Tarmidzi I: 126 no: 197, dan Nasa’I II: 12).

(Adapun memalingkan dada ke kanan dan ke kiri ketika adzan, maka sama sekali tidak dijelaskan dalam sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. dan tidak pula disebutkan dalam hadits-hadits yang menerangkan menghadapkan leher ke sebelah kanan dan ke sebelah kiri. Selesai. Berasal dari kitab Tamamul Minnah ha.150)

4.   Memasukkan dua jari ke dalam telinganya, karena ada pernyataan Abu Juhaifah:
Saya melihat Bilal adzan dan berputar serta mengarahkan mulut ke sini dan ke sini, sedangkan dua jarinya berada ditelinganya.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no: 164 dan Sunan Tirmidzi I: 126 no: 197).

5.   Mengeraskan suaranya ketika adzan, sebagaimana yang dijelaskan dalam sabda Nabi saw., “Karena sesungguhnya tidaklah akan mendengar sejauh suara muadzin, baik jin, manusia, adapun sesuatu yang lain, melainkan mereka akan menjadi saksi baginya pada hari kiamat.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 625, Fathul Bari H: 87: 609 dan Nasa’i II: 12).
(Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini Hasan Shahih dan sudah diamalkan oleh para ulama’ mereka menganjurkan muadzin memasukkan dua jari ke dalam dua telinganya ketika adzan.” selesai)

6. Di Anjurkan Muadzin Mengucapkan, Dua Kali Takbir Dalam Sekali Nafas
Dari Umar bin Khathab Radhyallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. bersabda, “Apabila muadzin mengucapkan ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, kemudian muadzin mengucapkan, ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAH, lalu ia mengucapkan (juga), ASYHADU ALMA ILAAHA ILLALLAAI-L…, (Shahih: Shahih Abu Daud, no: 527, Muslim 1:289 no: 385 dan ‘Aunul Ma’bud 11: 228 rio: 523).

Dalam hadits di atas terkandung isyarat yang jelas bahwa muadzin mengucapkan setiap dua takbir dalam sekali nafas, dan orang yang mendengar pun menjawabnya seperti itu. (Lihat Syarhu Muslim III: 79).

7.   Dianjurkan Melakukan Tarji’
Tarji’ ialah mengulangi bacaan syahadatain, dua kali pertama dengan suara pelan dan dua kali kedua dengan suara keras. (Lihat Syarhu Nawawi Muslim III: 81).

Dari Abu Mahdzurah r.a. bahwa Rasulullah pernah rnengajarinya adzan ini: ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR. ASYHADU ALLAA, ILAAHA ILLALLAAH ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH, Kemudian beliau mengulangi dengan mengucapkan (lagi): ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAAH ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RAS ULULLAAH, HAYYA ALASHSHALAAH HAYYA ‘ALASHSHALAAH, HAYYA ALAL FALAKH HAYYA ‘ALAL FALAAH, ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH. (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 191 dan Muslim I: 287 no: 379).

8.   Dianjurkan Adzan Pada Awal Masuknya Waktu Shalat Dan Mendahulukan Pada Waktu Shubuh Khususnya

Dari Jabir bin Samurah, berkata, “Adalah Bilal biasa adzan dengan sempurna bila matahari bergeser ke barat, kemudian ia tidak mengumandangkan iqamah hingga Nabi saw. keluar kepadanya, maka ketika beliau telah keluar ia mengumandangkan iqamah ketika ia melihatnya.” (Shahih: Shahih Abu Daud no: 503, al-Fathur Rabbani 111: 35 no: 283 dan ini lafadz: baginya, Muslim 1: 423 no: 606, Aunul Ma’bud II: 241 no: 533 semakna).

Makna LAA YAKHRUMU ialah mengucapkan lafadz-lafadz adzan dengan sempurna tidak ada yang ketinggalan. Demikian menurut Imam Syaukani dalam Nailul Authar II:31.

Dari Ibnu Umar Radhyallahu., bahwa nabi bersabda “Sesungguhnya Bilal biasa adzan di waktu malam, maka hendaklah kamu makan dan minum hingga Ibnu Ummi Makan mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 104 no: 622 dan Muslim II: 768 no: 38dan 1092).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallamsudah menerangkan hikmah didahulukannya adzan shubuh sebelum waktunya dengan sabdanya, “Janganlah sekali-kali adzan Bilal mencegah salah seorang di antara kamu dan sahumya, karena sesungguhnya ia memberitahu -atau beliau bersabda- ia berseru di waktu malam agar orang yang biasa bangun malam di antara kamu kembali pulang (ke rumahnya) dan untuk membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak di antara kamu.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari II: 103 no: 621, Muslim 11: 768 no: 1093 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 472 no: 2330).

http://aljaami.wordpress.com/2011/03/23/adzan/