Jawab : Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Namun yang raajih
– wallaahu a’lam – makmum masbuuq tersebut duduk tawarruk mengikuti
imam dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ،
فَإِذَا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا وإذا رَفَعَ
فَارْفَعُوا وإذا قال سمع الله لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ
الْحَمْدُ وإذا صلى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا وإذا صلى جَالِسًا فَصَلُّوا
جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“(Seseorang) dijadikan sebagai imam hanyalah untuk
diikuti, maka jika imam sholat berdiri maka shalatlah kalian dengan berdiri
juga, jika imam rukuk maka rukuklah kalian, dan jika imam bangkit maka
bangkitlah, dan jika imam berkata : ‘Sami’allahu liman hamidahu’ - ucapkanlah : ‘Rabbanaa wa lakal-hamdu’. Jika
imam shalat berdiri maka shalatlah berdiri, dan jika imam shalat duduk maka shalatlah
kalian seluruhnya dengan duduk” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no 689].
إنما جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
فلا تَخْتَلِفُوا عليه فإذا رَكَعَ فَارْكَعُوا
“(Seseorang) dijadikan sebagai imam hanyalah untuk
diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya, jika ia rukuk maka rukuklah
kalian…” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no 722].
Kata innamaa (إِنَّمَا)
dalam bahasa ‘Arab bermakna pembatasan (hashr), sehingga di sini
maknanya seseorang itu diangkat sebagai imam untuk mengimami manusia (dalam
shalat) hanya dengan tujuan agar diikuti. Asy-Syaikh ‘Abdul-Kariim Al-Khudlair hafidhahullah
dalam sesi pelajaran pembahasan kitab ‘Umdatul-Ahkaam[1] mengatakan bahwa
hadits tersebut pada asalnya mengkonsekuensikan wajibnya seorang makmum mengikuti
imam dalam semua hal yang meliputi perkataan, perbuatan, dan niat. Hanya
saja kemudian ada beberapa nash yang mengecualikan bolehnya makmum berselisihan
niat dengan imam[2].
Melalui hadits di atas, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan makmum untuk mengikuti semua gerakan imam yang
disyari’atkan dalam shalat. Bahkan seandainya imam shalat dalam keadaan duduk,
maka makmum pun diperintahkan untuk duduk. Oleh karena itu, seandainya imam duduk
tasyahud akhir dengan tawarruk, maka makmum pun disyari’atkan untuk
mengikutinya dengan duduk tawarruk.
An-Nawawiy rahimahullah mengatakan duduk tawaarruk
bersama imam merupakan pendapat Al-Juwainiy dan anaknya, serta Ar-Raafi’iy
dari kalangan madzhab Asy-Syaafi’iyyah [Al-Majmuu’, 3/451]. Al-Mardaawiy
rahimahullah hal ini adalah pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)
[Al-Inshaaf, 3/202 – via Syaamilah].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad hafidhahullah
berkata :
المسبوق إذا جاء والإمام في التشهد
الأخير يجلس كجلوس الإمام وكجلوس المصلين الذين لم يسبقوا، فيجلس متوركاً كما جاءت
في ذلك السنة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، فالإمام يتورك ومن وراءه يتورك
والمسبوق يتورك، ولا يعتبر نفسه أنه في التشهد الأول، بل يأتي بالتشهد ويأتي
بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ويدعو ويكثر الدعاء حتى يسلم الإمام، فهو
يتابع الإمام في هيئة الجلوس وفي كونه يتشهد ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم،
ويتخير من الدعاء ما شاء، كما جاء ذلك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، وليس معنى
ذلك أنه يجلس في التشهد يسكت، بل يفعل كما يفعل الإمام
“Seorang masbuuq apabila mendatangi imam saat tasyahud
akhir, maka ia duduk seperti duduknya para makmum yang lain yang tidak
masbuq. Maka, ia duduk tawarruk sebagaimana yang terdapat dalam sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Imam duduk tawarruk,
maka orang-orang yang di belakangnya (makmum) juga duduk tawarruk.
Demikian juga orang yang masbuuq duduk tawarruk. Tidak boleh ia
menganggap dirinya dalam tasyahud pertama (sehingga hanya membaca bacaan
tasyahud saja). Bahkan ia mesti membaca tasyahud, shalawat kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, serta berdoa dan memperbanyak doanya
tersebut hingga imam salam. Ia mesti mengikuti imam dalam cara/bentuk duduknya serta
dalam keadaannya membaca tasyahud, shalawat kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan membaca doa pilihan sesuai dengan kehendaknya;
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Jadi, maknanya bukanlah ia duduk dalam tasyahud lalu diam, namun ia
melakukan sebagaimana yang dilakukan imam” [sumber : http://ar.islamway.com/fatwa/32933].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 20092012
– 0:00 WIB].
[2] Misalnya, boleh
hukumnya orang yang shalat sunnah menjadi imam bagi orang yang shalat wajib.
Dalilnya adalah :
حَدَّثَنَا
مُسْلِمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muslim, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Amru, dari Jaabir bin ‘Abdillah :
Bahwasannya Mu’aadz bin Jabal pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. (Setelah selesai), ia pulang dan mengimami kaumnya [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 700].
Boleh juga hukumnya orang yang shalat wajib mengimami orang
yang shalat sunnah. Dalilnya adalah :
أَخْبَرَنَا
زِيَادُ بْنُ أَيُّوبَ، قال: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قال: حَدَّثَنَا يَعْلَى بْنُ عَطَاءٍ،
قال: حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ الْأَسْوَدِ الْعَامِرِيُّ، عَنْ أَبِيهِ،
قال: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ
فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ
الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ: "عَلَيَّ
بِهِمَا". فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ: "مَا مَنَعَكُمَا
أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا". قَالَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَدْ صَلَّيْنَا
فِي رِحَالِنَا قَالَ: " فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا،
ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
"
\Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin Ayyuub, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Ya’laa bin ‘Athaa’, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Jaabir bin Yaziid bin Al-Aswad Al-‘Aamiriy, dari ayahnya, ia
berkata : Aku pernah mengikuti shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam di Masjid
Al-Khaif. Ketika shalat telah usai, ternyata ada dua orang laki-laki di
belakang shaff yang tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda : “Bawalah
dua orang laki-laki tersebut kepadaku”. Dibawalah kedua orang laki-laki itu
oleh para shahabat ke hadapan beliau dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang menghalangimu
untuk shalat bersama kami ?”. Mereka berkata : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami”. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Jangan kalian lakukan. Apabila kalian telah shalat
di rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjidyang sedang melaksanakan
shalat berjama’ah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena shalat itu bagi
kalian terhitung sebagai shalat sunnah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 858;
shahih].
[Lihat juga : Asy-Syarhul-Kabiir oleh Ibnu
Qudaamah 4/412, Haasyiyyah Ibni Qaasim ‘alaa Ar-Raudlil-Murbii’ 2/392, Al-Ihkaam
Syarh Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Qaasim, dan Asy-Syarhul-Mumtii’ oleh
Ibnu ‘Utsaimiin 4/365 – via kitab : Al-Imaamah fish-Shalaah oleh Dr.
Sa’iid bin ‘Aliy bin Wahf Al-Qahthaaniy, yang dipublikasikan oleh http://www.islamhouse.com].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/09/kaifiyyah-duduk-masbuuq-dalam-rakaat.html