DLA’IF. Riwayat Abu Dawud (no. 232), Ibnu
Khuzaimah (no. 1327), Baihaqiy (2/442-443) dan Ad Duulaabiy di
kitabnya Al Kuna wal Asmaa’ (1/150-151), dan jalan Abdul Wahid bin
Ziyad (ia berkata): Telah menceritakan kepada kami Aflat bin Khalifah,
ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Jasrah binti Dajaajah, dari
‘Aisyah marfu’ (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seperti di
atas)
Saya berkata ; Sanad hadits ini dla’if, di dalamnya terdapat Jasrah binti Dajaajah seorang rawi yang dla’if.
Berkata Bukhari, “Pada Jasrah terdapat
keanehan-keanehan.” (Yakni, pada riwayat-riwayatnya terdapat
keanehan-keanehan).[1] Berkata Baihaqiy, “Hadits ini tidak kuat.”[2]
Berkata Al-Khathaabiy, “Hadits ini telah dilemahkan oleh jama’ah (ahli
hadits).” [3] Berkata Abdul Haq, “Hadits ini tidak tsabit (kuat) dari
jurusan isnadnya.” Berkata Ibnu Hazm di kitabnya Al Muhallah (2/186)
tentang seluruh jalan hadits ini, “Semuanya ini adalah batil.”
Syaikhul Imam Al Albani telah melemahkan
hadits ini di kitabnya Irwaaul Ghalil (no. 193). Dan beliau pun
mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan atau perbedaan di dalam
sanadnya. Di atas Aflat meriwayatkan dari Jasrah dari ‘Aisyah. Dalam
riwayat yang lain Jasrah meriwayatkan dari Ummu Salamah sebagaimana
riwayat di bawah ini.
“Artinya : Sesungguhnya masjid ini tidak halal bagi orang yang junub dan perempuan haidh.”
DLA’IF. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no.
645) dari jalan Ibnu Abi Ghaniyyah, dari Abil Khaththaab Al Hajariy,
dari Mahduh Adz Dzuhliy, dari Jasrah ia berkata: Telah mengkabarkan
kepadaku Ummu Salamah, marfu’ (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda seperti di atas).
Imam Abu Zur’ah Ar Raaziy berkata, “Yang
benar adalah riwayat Jasrah dari Aisyah.” [4] Berkata Imam Ibnu Hazm di
kitabnya Al Muhalla (2/186), “Adapun Mahduh telah gugur riwayatnya, ia
telah meriwayatkan dari Jasrah riwayat-riwayat yang mu’dhal. Sedangkan
Abul Khaththaab Al Hajariy majhul.”
Saya berkata: Abul Khaththaab dan Mahduh
dua orang rawi yang majhul sebagaimana diterangkan Al Hafizh Ibnu Hajar
di Taqrib-nya (2/231 dan 417).
Saya berkata: Selain dua riwayat dha’if di atas dan yang kedua lebih lemah dari yang pertama, yang mereka jadikan dalil tentang haramnya bagi orang yang junub dan perempuan haidh dan nifas untuk tinggal atau diam di masjid, mereka pun berdalil dengan bebera atsar dla’if dibawah ini.
[1]. Perkataan Ibnu Abbas tentang firman Allah surat An-Nisaa ayat 43.
Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy : 2/443]
Berkata Ibnu Abbas, “Tidak boleh engkau masuk masjid sedangkan engkau dalam keadaan junub kecuali sekedar lewat dan jangan engkau duduk” [Riwayat Baihaqiy : 2/443]
Saya berkata : Sanad riwayat ini dla’if,
karena Abu Ja’far Ar-Raazi yang ada di sanadnya seorang rawi yang
dla’if karena buruk hafalannya dan dia telah dilemahkan oleh para Imam
diantaranya Imam Ahmad bin Hambal, Abu Zur’ah, Nasa’i, Al-Fallas dan
lain-lain. Dan telah datang riwayat dari Ibnu Abbas dengan sanad yang
shahih yang menyalahi riwayat dla’if di atas.
Telah berkata Ibnu Abi Syaibah di
kitab-kitab Al-Mushannaf, “Telah menceritakan kepada kami Waaki, dari
Ibnu Abi Arubah, dari Qatadah, dari Abi Mijlaz, dari Ibnu Abbas tentang
firman Allah di atas beliau mengatakan (menafsirkan) ; (Yang dimaksud
dengan ‘aabiri sabil) ialah musafir yang tidak memperoleh air lalu dia
bertayamum” [5]
[2]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan
lagi (2/443) dari jalan Abu Ubaidah bin Abdullah, dari Ibnu Mas’ud
bahwa dia telah memberikan keringanan bagi orang yang junub untuk
sekedar lewat di dalam masjid (yakni tidak duduk atau tinggal di
masjid)
Saya berkata ; Sanad ini dla’if, karena
Abu Ubaidah bin Abdullah bin Mas’ud tidak pernah berjumpa dengan
bapaknya yaitu Abdullah bin Mas’ud. Dengan demikian maka sanad ini
munqathi (terputus).
[3]. Kemudian Imam Baihaqiy meriwayatkan
lagi (2/443) dari jalan Hasan bin Abi Ja’far Al-Azdiy, dari Salm
Al-Alawiy, dari Anas bin Malik tentang firman Allah di atas dia
berkata, “ Sekedar lewat dan tidak duduk (di masjid)”.
Saya berkaa ; Sanad in pun dla’if, karena.
Pertama : Salm bin Qais Al-Alawiy seorang
rawi yang dla’if sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar di
Taqribnya (1/314).
Kedua ; Hasan bin Abi Ja’far Al-Jufriy
Abu Sa’id Al-Azdiy, telah dilemahkan oleh Jama’ah ahli hadits.
[Taqribut Tahdzib 1/164, Tahdzibit Tahdzib 2/260-261. Mizanul I’tidal
1/482-483]
Saya berkata :Telah sah dari Ali bin Abi
Thalib bahwa beliau menafsirkan ayat diatas dengan orang musafir,
beliau berkata, “Diturunkan ayat ini berkenaan dengan orang musafir.
Dan tidak juga bagi orang yang junub kecuali orang yang mengadakan
perjalanan sehingga dia mandi. Beliau berkata ; Apabila seorang
(musafir) itu junub lalu dia tidak memperoleh air, dia tayamum lalu
shalat sampai dia mendapatkan air. Dan apabila dia telah mendapatkan
air (hendaklah) dia mandi’ [Riayat Baihaqiy 1/216 dan Ibnu Jarir di
kitab Tafsirnya juz 5 hal. 62 dan lain-lain sebagaimana telah
dijelaskan oleh Ibnu Katsir di Tafsirnya 1/501 dan Imam Suyuthi di
tafsirnya Ad-Durul Mantsur 2/165]
Setelah kita mengetahui bahwa seluruh
riwayat yang melarang orang yang junub dan perempuan haid/nifas berdiam
atau tinggal di masjid semuanya dla’if. Demikian juga tafsir ayat 43
surat An-Nisaa yang melarang orang yang junub dan perempuan haid
berdiam atau tinggal di masjid semuanya dla’if tidak ada satupun yang
sah (shahih atau hasan). Bahkan tafsir yang shahih dan sesuai dengan
maksud ayat ialah tafsir dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas di
atas. Yaitu, musafir yang terkena janabah dan dia tidak mendapatkan air
lalu dia tayammum sampai dia memperoleh air. Jadi yang dimaksud dengan
firman Allah ‘aabiri sabil ialah musafir. Bukanlah yang dimaksud orang
yang masuk ke dalam masjid sekedar melewatinya tidak diam atau tinggal
di dalamnya. Tafsir yang demikian selain tidak sesuai dengan susunan
ayat dan menyalahi tafsir shahabat dan sejumlah dalil di bawah ini yang
menjelaskan kepada kita bahwa orang yang junub dan perempuan yang haid
atau nifas boleh diam atau tinggal di masjid.
Dalil Pertama
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Ambilkanlah untukku sajadah kecil [6] di masjid.” Jawabku, “Sesungguhnya aku sedang haidh.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu.”
Dari ‘Aisyah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Ambilkanlah untukku sajadah kecil [6] di masjid.” Jawabku, “Sesungguhnya aku sedang haidh.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya haidhmu itu tidak berada di tanganmu.”
Shahih riwayat Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad dan Iain-lain.
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia
ini ialah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkan ‘Aisyah masuk ke dalam masjid walaupun sedang haidh. Dan
ketegasan jawaban beliau kepada ‘Aisyah menunjukkan bahwa haidhmu tidak
menghalangimu masuk ke dalam masjid karena haidhmu tidak berada di
tanganmu.
Ada yang mengatakan, bahwa hadits di atas
hanya menunjukkan bolehnya bagi perempuan haidh sekedar masuk ke dalam
masjid atau melewatinya untuk satu keperluan kemudian segera keluar
dari dalam masjid bukan untuk diam dan tinggal lama di dalam masjid.
Saya jawab: Subhaanallah! Inilah
ta’thil, yaitu menghilangkan sejumlah faedah yang ada di dalam hadits
‘Aisyah di atas. Kalau benar apa yang dikatakannya tentu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian
kepada ‘Aisyah bahwa dia hanya boleh masuk ke dalam masjid dalam waktu
yang singkat atau melewatinya sekedar mengambil sajadah kecil
beliau dan tidak boleh diam dan tinggal lama di dalam masjid. Akan
tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda secara umum masuk
ke dalam masjid tanpa satupun pengecualian. Padahal saat itu ‘Aisyah
sangat membutuhkan penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang memerintahkannya masuk ke dalam masjid dalam keadaan
haidh. Sedangkan mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan
tidak diperbolehkan menurut kaidah ushul yang telah disepakati. Oleh
karena itu wajib bagi kita menetapkan dan mengamalkan keumuman sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu diperbolehkan bagi perempuan
haidh untuk masuk ke dalam masjid secara mutlak, baik sebentar atau
lama bahkan tinggal atau menetap di dalamnya sebagaimana ditunjuki oleh
dalil ketiga dan keempat.
Dalil Kedua
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.
Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”.
Shahih riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari jalan Abu
Hurairah, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menjumpaiku di salah satu jalan dari jalan-jalan yang ada di Madinah,
sedangkan aku menyingkir pergi dan segera aku mandi kemudian aku datang
(menemui beliau), lalu beliau bersabda, “Kemana engkau tadi wahai Abu
Hurairah?” Jawabku, “Aku tadi dalam keadaan junub, maka aku tidak suka
duduk bersamamu dalam keadaan tidak bersih (suci)”, Maka beliau
bersabda, “Subhanallah! Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”
(Dalam riwayat yang lain beliau bersabda, “Sesungguhnya orang muslim
itu tidak najis) [7]
Dalil Ketiga
Dan’ Aisyah (ia berkata), “Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka…”
Dan’ Aisyah (ia berkata), “Sesungguhnya ada seorang budak perempuan hitam kepunyaan salah satu suku dari bangsa Arab. Lalu mereka memerdekakannya, kemudian ia pun tinggal bersama mereka…”
Berkata ‘Aisyah, “Lalu perempuan itu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islam.”
Berkata ‘Aisyah, “Dan perempuan itu mempunyai kemah kecil di masjid (yakni sebagai tempat tinggalnya)…”
Shahih riwayat Bukhari (no. 439).
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia
ini jelas sekali tentang bolehnya bagi perempuan haidh untuk tinggal
lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada perempuan di atas
yang tinggal di masjid dan mempunyai kemah untuk dia tidur dan menurut
dalil keempat perempuan itu bekerja sebagai pembersih masjid, bahwa
‘kalau datang hari-hari haidhmu hendaklah engkau jangan tinggal di
masjid.’ Kalau sekiranya perempuan haidh itu tidak boleh
tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di atas. Akan tetapi
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dan membolehkan
perempuan tersebut untuk tinggal di masjid bahkan mempunyai kemah
sendiri secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian. Padahal
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun mengetahui
bahwa perempuan setiap bulannya akan melalui hari-hari haidh.
Dalil di atas bersama dalil keempat di
bawah ini merupakan setegas-tegas dalil dan hujjah tentang bolehnya
bagi perempuan haidh dan nifas untuk diam dan tinggal lama di masjid.
Dan Imam Bukhari yang meriwayatkan hadits di atas di kitab shahihnya
telah memberikan bab dengan judul: “Bab:Tidurnya perempuan di
masjid”
Al Hafizh Ibnu Hajar di dalam
mensyarahkan bab di atas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah, “Tinggal
atau diamnya perempuan di dalam masjid.”
Dalil Keempat
Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau seorang perempuan hitam- [8] yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, “la telah mati.” Beliau bersabda, “Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya.” Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian beliau menshalatinya.
Dari Abu Hurairah (ia berkata): Bahwasanya ada seorang laki-laki hitam -atau seorang perempuan hitam- [8] yang biasa membersihkan kotoran di masjid mati. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentangnya, mereka menjawab, “la telah mati.” Beliau bersabda, “Kenapakah kamu tidak memberitahukan kepadaku tentang (kematian)nya, tunjukkanlah kepadaku kuburnya.” Lalu beliau mendatangi kubur laki-laki itu -atau kubur perempuan itu- kemudian beliau menshalatinya.
Shahih riwayat Bukhari (no.458, 460 dan 1337).
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia
ini sama dengan yang sebelumnya karena orangnya satu, yaitu
seorang perempuan hitam yang masuk Islam kemudian tinggal dan menetap
di masjid dan bekerja sebagai pembersih masjid
Dalil Kelima
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah melihat tujuh puluh orang laki-laki dari penduduk Suffah tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai baju, imma kain atau selimut yang mereka ikat ke tengkuk mereka. Maka diantaranya (yakni di antara pakaian itu) ada yang sampai mata kaki, lalu mereka berkerobong dengan tangannya khawatir auratnya” [Shahih riwayat Bukhari no. 442]
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Aku pernah melihat tujuh puluh orang laki-laki dari penduduk Suffah tidak seorang pun di antara mereka yang mempunyai baju, imma kain atau selimut yang mereka ikat ke tengkuk mereka. Maka diantaranya (yakni di antara pakaian itu) ada yang sampai mata kaki, lalu mereka berkerobong dengan tangannya khawatir auratnya” [Shahih riwayat Bukhari no. 442]
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia
ini jelas sekali tentang bolehnya bagi orang yang junub untuk tinggal
lama atau diam di masjid. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah memberikan pengecualian kepada para shahabat yang
tinggal di suffah (teras masjid), bahwa ‘kalau salah seorang kamu junub
hendaklah dia jangan tinggal di masjid’. Kalau sekiranya orang yang
junub itu tidak boleh tinggal atau diam di masjid tentu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pengecualian seperti di
atas. Akan tetapi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan
dan membolehkan para shahabat yang tinggal di suffah untuk tetap
tinggal di masjid secara umum dan mutlak tanpa satupun pengecualian.
Padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui dan kita pun
mengetahui bahwa adakalanya seseorang itu terkena janabah.
Dalil Keenam
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda, “Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah”
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus pasukan berkuda kearah Najd, lalu pasukan itu datang membawa seorang tawanan laki-laki dari Bani Hanifah yang bernama Tsumaamah bin Utsaal. Kemudian mereka mengikatnya di salah satu dari tiang-tiang masjid, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemuinya dan beliau bersabda, “Lepaskan (ikatan) Tsumaamah”. Kemudian ia (yakni Tsumaamah) pergi ke sebuah pohon kurma yang berada di dekat masjid, lalu dia mandi kemudian masuk ke dalam masjid dan mengucapkan, “Syhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah”
Shahih riwayat Bukhari (no. 462, 469, 2422, 2423 dan 4372)
Pengambilan dalil dari hadits yang mulia
ini ialah, kalau orang kafir saja yang tidak pernah mandi janabah
dibolehkan masuk ke dalam masjid apalagi seorang muslim, tentunya lebih
utama dan lebih berhak masuk ke dalam masjid meskipun dalam keadaan
junub atau dia seorang perempuan yang sedang haid atau nifas (yakni
mimbaabil aula). Yang mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menegaskan, “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis” [Lihatlah
dalil kedua].
[Disalin dari buku Tiga Hukum Bagi
Perempuan Haid Dan Junub (Menyentuh/Memegang Al-Qur’an, Membacanya Dan
Tinggal Atau Diam Di Masjid, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat,
Penerbit Darul Qalam – Jakarta]
__________
Foote Note
[1]. Tahdzibut Tahdzib (12/406) dan Nasbur Raayah (1/194).
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160) oleh Imam An Nawawi.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501) dan Nasbur raayah (1/144) dan Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160).
[4]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501).Talkhisul Habir (1/140). Nasbur Raayah (1/194-195).
[5]. Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap kitab Sunanul Kubranya Imam Baihaqiy yang saya nukil dengan ringkas dan mengambil maknanya.
[6]. Al Khumrah ialah sajadah kecil yang cukup hanya untuk sujud.
[7]. Kejadian yang sama juga terjadi pada Hudzaifah sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain.
[8]. Yang benar adalah seorang perempuan hitam yang tinggal di masjid dan pekerjaannya membersihkan masjid sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan beberapa riwayat yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam mensyarahkan hadits ini (no.458) di Fathul Baari
__________
Foote Note
[1]. Tahdzibut Tahdzib (12/406) dan Nasbur Raayah (1/194).
[2]. Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160) oleh Imam An Nawawi.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501) dan Nasbur raayah (1/144) dan Al-Majmu Syarah Muhadzdzab (2/160).
[4]. Tafsir Ibnu Katsir (1/501).Talkhisul Habir (1/140). Nasbur Raayah (1/194-195).
[5]. Demikian keterangan Imam Ibnu Turkamaaniy atas komentar beliau terhadap kitab Sunanul Kubranya Imam Baihaqiy yang saya nukil dengan ringkas dan mengambil maknanya.
[6]. Al Khumrah ialah sajadah kecil yang cukup hanya untuk sujud.
[7]. Kejadian yang sama juga terjadi pada Hudzaifah sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain.
[8]. Yang benar adalah seorang perempuan hitam yang tinggal di masjid dan pekerjaannya membersihkan masjid sebagaimana ditunjuki oleh dalil ketiga dan beberapa riwayat yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam mensyarahkan hadits ini (no.458) di Fathul Baari
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/01/hukum-masuk-ke-masjid-bagi-orang-junub-perempuan-haid-dan-nifas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar