Sabtu, 07 Desember 2013

Bolehkah Mandi Bersama Istri?

Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Aku biasa mandi bersama dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan satu bejana. Kami biasa bersama-sama memasukkan tangan kami (ke dalam bejana).” (HR. Abdurrazaq dan Ibnu Abi Syaibah)


Hadits di atas menjelaskan kepada kita, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang hamba pilihan Allah, Rasul terakhir, teladan kita, tidak segan-segan untuk mandi bersama dengan istri beliau, dalam hadits di atas, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi bersama dengan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam satu kamar mandi dengan bak yang sama.

Betapa mesra apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan istri beliau. Meskipun beliau sebagai seorang yang super sibuk mengurus ummat, namun beliau tidak lupa untuk menjalin kemesraan dengan istri-istri beliau.

Mandi bersama antara suami dan istri bukan suatu hal yang tercela. Toh, junjungan kita, teladan ummat ini, manusia terbaik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya. Apabila hal ini merupakan hal yang tercela, tentulah beliau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan melakukannya.

Dengan mandi bersama, akan terwujud suatu kemesraan, jika hal ini biasa dilakukan oleh pasangan suami istri, insya Allah akan terwujud suatu ikatan yang kuat antara suami dan istri. Mandi bersama, merupakan salah satu langkah untuk mengakrabkan dan melestarikan kemesraan antara suami dan istri. Dengan mandi bersama, kejenuhan, kebosanan, ketegangan antara suami-istri dapat hilang dan berganti dengan suasan penuh kedamaian dan ketentraman. Gak percaya? Silakan coba …

Oleh karena itu, bila seorang suami minta istrinya menemani mandi, janganlah istri menolak, demikian juga sebaliknya. Bila suami meminta istri tuk mengeramasi , menggosokakan sabun di badannya, meluluri badannya; istri tidak perlu risih atau menganggap suaminya kekanak-kanakan. Demikian juga sebaliknya. Istri pun boleh melakukan permintaan yang sama kepada suami. Hal ini bukan hanya monopoli pihak suami. Bukan lah hal tercela atau aib jika suami melakukan hal-hal di atas.

Mandi bersama ini, di antara sebagian pasangan merupakan hal yang tabu dan tercela. Entah apa alasan mereka. Ada yang karena malu, ada yang jijik dan sebagainya. Bagi mereka yang memiliki pandangan seperti ini, hendaklah mereka takut kepada Allah dan segera bertaubat kepada Allah. Secara tidak sadar, dan tanpa sengaja; mereka telah menuduh rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan perbuatan yang tidak patut dan tercela. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah orang yang paling baik akhlaqnya di muka bumi ini. Apabila hal tersebut (mandi bersama) merupakan hal yang tidak terpuji, apalagi melanggar syariat Allah Subhanau wa Ta’ala; tentulah Allah Azza wa Jalla akan menegur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai bukti kemaksuman beliau. Namun hal ini tidak terjadi, alhamdulillah. Jika mandi bersama ini merupakan suatu hal yang memalukan, tentulah Ummahatul Mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak akan menceritakan hadits ini kepada kita semua. Bukankah begitu?

Sebagian orang berpendapat bahwa Aisyah radhiyallahu ‘Anha dan nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mandi bersama dalam satu wadah itu tidak telanjang bulat. Mereka juga beranggapan bahwa selama menikah dengan, aisyah Radhiyallahu ‘Anhu tidak pernah melihat alat vital nabi.
Bahkan mereka memiliki keyakinan bahwa nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang untuk melihat kemaluan istri karena mewariskan kebutaan.

Hal ini telah dijawab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani rahimahullah [beliau adalah salah seorang ulama ahli hadits] dalam buku “Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi” terjemahan dari kitab “Adab Az Zifaf fi As Sunnah Al Muthahharah

Suami istri dibolehkan mandi bersama-sama dalam satu tempat, meskipun di situ akan saling melihat aurat masing-masing. Ada beberapa hadits berkaitan dengan masalah ini, yaitu:

Hadits pertama:
Dari Aisyah radhiyallahu Anhuma, ia berkata:
Saya dan Rasulullah pernah mandi bersama dengan satu wadah. (Kami bergantian menyiduknya). Beliau sering mendahuluiku dalam menciduk sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan untukku!’ Keduanya dalam keadaan junub.
Hadits ini diriwayatkan Bukhari, Muslim, Abu Awanah dalam kitab Shahihnya masing-masing.
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (I/290) berkata:
“Darawurdi menggunakan hadits ini sebagai dalil dibolehkan seorang suami melihat aurat istrinya, begitu pula sebaliknya. Dia menguatkan pendapatnya ini dengan atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban melalui jalur Sulaiman bin Musa bahwa dia pernah ditanya tentang seorang suami yang melihat kemaluan istrinya. DIa menjawab, ‘Saya pernah bertanya kepada Atha dan dia menjawab, ‘Saya pernah bertanya kepada Aisyah, dan dia menyebutkan hadits yang maknanya mirip dengan itu.” Ini merupakan nas yang bisa dijadikan dalil dalam masalah ini.
Hadits kedua:
Dari Muawiyyah bin Haidah Radhiyallahu Anhu:
Saya pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, manakah di antara aurat-aurat kami yang boleh kami perlihatkan dan manakah yang tidak?’
Beliau menjawab, ‘Peliharalah auratmu kecuali kepada istri atau budak laki-lakimu.’
Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, bagiamana jika ada sekumpulan orang, apakah mereka boleh saling melihat aurat mereka satu sama lain?’
Beliau menjawab, ‘Jika Engkau bisa, usahakan jangan sampai ada seorang pun yang melihat auratmu!’
Saya lalu bertanya lagi, ‘Kalau salah seorang dari kami dalam keadaan sendirian?’
Beliau menjawab, ‘Dia lebih layak malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.’
Hadits di atas dimasukkan oleh An Nasai dalam bab: “Istri Melihat Aurat Suaminya“.
Al Bukhari mencantumkan hadits ini secara muallaq dalam kitab Shahihnya dalam bab “Mandi Telanjang bulat (dibolehkan), tetapi lebih baik memakai kain basahan”. Kemudian dia membawakan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah mengenai Nabi Musa dan Nabi Ayyub yang mandi di suatu jamban dengan telanjang. Dari situ Al Bukhari mengisyaratkan bahwa perkataan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Dia lebih layak malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia“, maksudnya bahwa memakai kain basahan lebih baik dan lebih utama. Jadi, secara zhahir tidak menunjukkan wajib.
*****
Hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anhuma:
Saya sama sekali tidak pernah melihat aurat Rasulullah Shallalahu Alaihi wa Sallam.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam kitab Ash Shaghir (hlm.27)
Melalui jalur yang sama, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim (VIII/247) dan Al Khathib (I/225). Dalam sanad hadits ini ada seorang periwayat bernama Barakah bin Muhammad al Halabi. Orang tersebut tidak berkah, karena tukang dusta dan tukang memalsu hadits. Dalam kitab Al Lisan, Al Hafish Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hadits ini merupakan contoh hadits bathil yang disampaikan oleh Barakah.

Melalui jalur periwayatan lain hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah (I/226 & 593) dan Ibnu Sa’ad (VIII/136). Dalam sanadnya terdapat bekas budak perempuan Aisyah yang tidak dikenal. Oleh karena itu dalam kitab Az Zawaid Al Bushairi melemahkan sanad hadits ini.

Melalui jalur lainnya lagi, hadits ini diriwayatkan oleh ABu Syaikh dalam kitab Akhlaq An Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (hlm.251). Akan tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat bernama Abu SHalih alias Badzman yang termasuk periwayat yang dhaif dan Muhammad bin Al Qasim Al Asadi yang pendusta.
Bila salah seorang dari kalian menyetubuhi istrinya hendaklah mengenakan tutup, dan janganlah saling telanjang bulat seperti dua ekor keledai liar.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah (I/592) daru Utbah bin Abd As Sulami, tetapi dalam sanadnya terdapat periwayat bernama Al Ahwash bin Hakim yang termasuk periwayat yang dhaif. Oleh karena itulah hadits ini dinilai cacat oleh Al Bushairi. Hadits ini juga mempunyai cacat lain karena dhaifnya periwayat yang menyatakan hadits tersebut dari Al Ahwash. Periwayat tersebut bernama Al Walid bin Al Qasim Al Hamdani, yang dinilai dhaif oleh Ibnu Ma’in dan ulama lainnya. Ibnu Hibban berkata:
Dia meriwayatkan hadits yang bertentangan dengan periwayat-periwayat yang tsiqoh, sehingga perkataannya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan hujjah.
Oleh karena itu, Al Iraqi menyebutkan secara pasti kedhaifan hadits ini. Hadits ini juga diriwayatkan oleh An Nasai dalam kitab Usrah An Nisa (I:79/1), Mukhallash dalam kitab Al Fawaid Al Muntaqah (X:13/1) dan Ibnu Adi (II/149 & 201) dari Abdullah bin Sarjas. An Nasai berkata:
Hadits ini mungkar. Shadawah bin Abdullah, yakni salah seorang periwayat hadits ini, dhaif.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu ABi SYaibah (VII:70/1) dan Abdurrazaq (VI:194/10467) dari Abu Qilabah secara marfu’, tetapi sebenarnya mursal.
Hadits ini juga diriwatkan Ath Thabrani (III:78/1), AHmad bin Mas’ud dalam kitab Ahaditsnya (XXXIX/1&2), AL Uqail dalam kitab Adh Dhu’afa (haits no.433). Al Bathruqani dalam kitab haditsnya (I/156), Al Baihaqi dalam kitab sunannya (VII/193) dair Ibnu Mas’ud. Al Baihaqi menilai dhaif hadits ini dengan mengatakan “Mindal bin Ali sendirian dalam meriwayatkan hadits ini, padahal dia bukan periwayat yang kuat.” Dia kemudian menyebutkan hadits serupa yang diriwayatkan dari Anas, lalu berkata:
Hadits ini hadits munkar.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazaq (VI:194/10469-10470)
Hadits:
Bila salah seorang dari kalian menyetubuhi istrinya atau budak perempuannya janganlah melihat kemaluannya, karena hal itu akan mengakibatkan kebutaan.
Hadits ini palsu sebagaimana dikatakan oleh Imam Abu Hatim ar Razi dan Ibnu Hibban. Pendapat kedua orang itu diikuti oleh Ibnul Jauzi, Abdul Haq dalam kitab Ahkam-nya (I/143), Ibnu Daqiqil Ied dalam kitab Al Khulashah (II/118). Saya juga telah menyebutkan sebab kelemahan hadits ini dalam kitab Al Ahadits Adh Dhaifah wa Al Maudhuah wa Atsaruha As Sayyiu fi Al Ummah (hadits no.195)
*****
Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.  Untuk lebih jelasnya silakan dilihat dalam buku: “Adab Az Zifaf, Panduan Pernikahan Cara Nabi” Penerbit: Media Hidayah, Jogjakarta.
Jadi, tidak ada alasan tuk tidak melakukannya bukan? Jadikan mandi bersama sebagai bagian dari hidup kita sehari-hari.
Wassalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.