Mengusap Sebagai Ganti Membasuh
Seperti kita ketahui bahwa dalam berwudhu, ada bagian yang dicuci (dibasuh) dan ada bagian yang diusap. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang mensyari’atkan wudhu,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6).
Mulai dari wajah, tangan hingga siku, dan kaki dicuci (dibasuh), yaitu dialirkan air. Sedangkan bagian kepala dan telinga cukup diusap dengan membasahi tangan dengan air terlebih dahulu.
Berwudhu bagi orang yang terbalut perban sama seperti cara wudhu orang yang sehat. Para ulama menjelaskan bahwa jika membasuh atau mencuci tidak mampu dilakukan, maka beralih pada mengusap, dengan membasahi tangan lantas mengusap bagian yang perlu diusap. Hal ini dilakukan semisal jika seseorang memiliki luka dan tidak boleh terkena air yang mengalir.
Mengusap Perban atau Gips
Jika ada luka pada salah satu anggota wudhu, maka luka tersebut bisa jadi terbuka atau bisa jadi tertutup dengan perban.
Keadaan pertama: Luka tertutup dengan perban
Jika luka tertutup perban, maka bagian anggota wudhu yang tidak ada luka dicuci atau dibasuh seperti biasa. Sedangkan bagian anggota wudhu yang tertutupi perban cukup diusap. Kali ini tidak langsung beralih pada tayamum.
Keadaan kedua: Luka dalam keadaan terbuka
Untuk keadaan ini, jika luka diizinkan terkena air, maka wajib menggunakan air. Namun jika membasuh tidak bisa dilakukan karena berbahaya pada lukanya, maka beralih pada mengusap. Jika membasuh begitu pula mengusap sama-sama tidak dibolehkan, maka beralih pada tayamum. (Lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’, 1: 247).
Pensyaratan Telah Bersuci Ketika Mengenakan Perban
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa syarat mengusap perban adalah jika perban tersebut dikenakan setelah sebelumnya dalam keadaan bersuci terlebih dahulu.
Yang tepat, pendapat yang mensyaratkan adalah pendapat yang lemah dengan dua alasan:
1- Tidak ada dalil yang mensyaratkannya dan tidak tepat diqiyaskan (dianalogikan) dengan mengusap khuf atau sepatu karena keduanya berbeda.
2- Penggunaan perban sifatnya adalah tiba-tiba atau emergency. Hal ini berbeda dengan khuf (sepatu) yang boleh dikenakan setiap saat semau kita. (Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 250).
Perbedaan Mengusap Khuf dan Mengusap Perban
Ada 4 perbedaan antara mengusap khuf (sepatu) dan mengusap perban sebagai berikut:
1- Mengusap perban tidaklah khusus pada bagian tubuh tertentu. Sedangkan mengusap khuf khusus untuk kaki.
2- Mengusap perban boleh dilakukan ketika hadats besar maupun hadats kecil. Sedangkan mengusap khuf hanya boleh dilakukan untuk hadats kecil seperti tidur, buang air besar (BAB) atau buang air kecil (BAK).
3- Mengusap perban tidak dibatasi waktunya. Sedangkan mengusap khuf dibatasi waktunya, yaitu untuk orang mukim selama sehari semalam (1×24 jam) dan musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).
4- Mengusap perban tidak disyaratkan mengenakannya dalam keadaan thoharoh (bersuci) terlebih dahulu. Inilah pendapat terkuat dari perselisihan para ulama. Sedangkan mengusap khuf mesti dengan thoharoh (bersuci seperti berwudhu) terlebih dahulu sebelum mengenakan khuf (sepatu) tersebut lalu nantinya boleh cukup diusap saat sampai di kaki. (Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 250-251).
Baca pelajaran tentang mengusap khuf (sepatu) di: Anjuran Mengusap Khuf dan Jangka Waktu Mengusap Khuf.
Itulah keringanan Islam mengenai mengusap perban saat bersuci. Semoga faedah ilmu fikih ini bermanfaat bagi para pembaca sekalian. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
—
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, di malam Jum’at, 28 Rajab 1434 H
www.rumaysho.com