إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي
كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)
“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan
yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak
menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil
‘alamiin” (QS al Waqiah 77-80).
Sisi pendalilan dari ayat ini menurut
ulama yang berdalil dengannya adalah firman Allah yang artinya, ‘tidak
menyentuhnya’ adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan.
Sehingga maknanya adalah ‘janganlah menyentuhnya’, dan bukan semata-mata
kalimat berita karena berita yang Allah sampaikan pasti tidak meleset.
Sedangkan kenyataannya mushaf al Qur’an disentuh oleh muslim, munafik
dan orang kafir.
Sedangkan yang dimaksud ‘orang-orang yang
disucikan’ ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan malaikat, para
rasul, orang yang suci dari hadats kecil dan hadats besar dan pendapat
yang lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah
semua pendapat yang telah disebutkan karena ayat di atas bersifat umum
mencakup semua orang yang suci dan tidak khusus orang-orang tertentu.
Di antara hal yang menguatkan bahwa
orang-orang yang suci dari hadats tercakup dalam ayat ini adalah inilah
pemahaman Salman al Farisi terhadap ayat di atas.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ
سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ
ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا
نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ
أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ
فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman,
Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang
hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah,
berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al
Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan
menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang
yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa
pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami
sebelum beliau berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai
shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454
dll).
Salman al Farisi berdalil dengan ayat di
atas bahwa mushaf al Qur’an itu tidak disentuh oleh orang yang dalam
kondisi berhadats. Salman adalah salah seorang shahabat Nabi. Sedangkan
para shahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur’an,
memahaminya, menghafalnya, mengenalnya, mengetahui kandungan lafazhnya
serta tafsirnya. Merekalah orang yang paling mengetahui al Qur’an.
Ibnul Jauzi mengatakan, “Para ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al Qur’an dalam ayat di atas
adalah mushaf al Qur’an berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan
orang-orang yang disucikan menjadi empat pendapat.
Pertama, mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadats. Inilah
pendapat mayoritas ulama. Sehingga ayat di atas adalah kalimat berita
namun maknanya adalah larangan.
Kedua, orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu al Sa-ib.
Ketiga, orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat al Rabi’ bin Anas.
Keempat, makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmatnya al
Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani al Qur’an. Adanya
pendapat ini diceritakan oleh al Fara’ (Zadul Masir fi Ilmi al Tafsir
8/152, terbitan al Maktab al Islami).
عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ «
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ ».
Dari Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin
Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak
boleh menyentuh al Quran melainkan orang yang suci” (HR Daruquthni no
449 dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa no 122).
Banyak ulama salaf yang berdalil dengan hadits ini terkait masalah ini. Di antaranya adalah Malik, Ahmad dan Ishaq.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa
hadits di atas mengandung dua kemungkinan makna yaitu suci yang abstrak
itulah iman dan suci yang konkret itulah hadats. Karena ada beberapa
kemungkinan maka hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
Kita katakan bahwa bukanlah kebiasaan Nabi menyebut mukmin dengan istilah orang yang suci karena itulah mukmin itu lebih agung.
Hadits di atas tidaklah bermasalah karena
istilah ‘suci’ adalah satu kata yang mengandung banya kemungkinan makna
dan tidaklah terlarang memaknai istilah ‘suci’ dalam hadits ini dengan
semua maknanya. Sehingga mushaf al Qur’an itu tidak boleh disentuh oleh
orang musyrik sebagaimana tidak boleh disentuh oleh seorang muslim yang
berhadats besar ataupun berhadats kecil.
اللَّفْظِ الْمُشْتَرَكِ يَجُوزُ أَنْ
يُرَادَ بِهِ مَعْنَيَاهُ إذْ قَدْ جَوَّزَ ذَلِكَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ :
الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنْبَلِيَّةُ وَكَثِيرٌ مِنْ
أَهْلِ الْكَلَامِ
Ibnu Taimiyyah berkata, “Kata yang
bersifat musytarak (satu kata yang memuat banyak kemungkinan makna) bisa
dimaknai dengan semua maknanya. Hal ini dibolehkan oleh mayoritas pakar
fiqih dari mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali serta banyak pakar ilmu
kalam” (Majmu Fatawa 13/341).
وَحَمْلُ الْمُشْتَرَكِ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ هُوَ الْمَذْهَبُ الْقَوِيُّ
Syaukani mengatakan, “Memaknai kata yang
bersifat musytarak dengan semua maknanya adalah pendapat yang kuat”
(Nailul Author 3/8, Syamilah).
Perlu ditambahkan bahwa para ulama salaf
berdalil dengan hadits di atas untuk membahas bersuci yang bersifat
konkret yaitu hadats. Orang yang paling terkenal memaknai suci dalam
hadits di atas dengan suci yang abstrak adalah Daud azh Zhahiri dan
orang-orang yang mengikutinya.
قال داود ومعنى قوله عز و جل ( لا يمسه إلا
المطهرون ) الواقعة 79 هم الملائكة ودفع حديث عمرو بن حزم في أن لا يمس
القرآن إلا طاهر بأنه مرسل غير متصل وعارضه بقول النبي صلى الله عليه و سلم
المؤمن ليس بنجس
وقد بينا وجه النقل في حديث عمرو بن حزم وأن الجمهور عليه وهم لا يجوز عليهم تحريف تأويل ولا تلقي ما لا يصح بقبول وبما عليه الجمهور في ذلك أقول
وقد بينا وجه النقل في حديث عمرو بن حزم وأن الجمهور عليه وهم لا يجوز عليهم تحريف تأويل ولا تلقي ما لا يصح بقبول وبما عليه الجمهور في ذلك أقول
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Daud (azh
Zhahiri) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang discikan
dalam firman Allah ‘tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang
disucikan’ (QS al Waqiah:79) adalah para malaikat. Daud juga menolak
hadits ‘Amr bin Hazm yang berisikan bahwa tidak boleh menyentuh al
Qur’an melainkan orang yang suci dengan mengatakan bahwa hadits tersebut
mursal dan tidak bersambung. Dia juga membantah hadits tersebut dengan
menggunakan sabda Nabi, ‘Seorang mukmin itu tidak najis’.
Telah kami jelaskan pembelaan untuk
hadits Amr bin Hazm dari sisi periwayatan. Mayoritas ulama pun
berpendapat dengan kandungan hadits Amr bin Hazm dan tidak mungkin
mereka melakukan penyelewengan makna atau menerima dalil yang tidak
layak untuk diterima. Pendapat mayoritas ulama-lah yang aku pilih” (Al
Istidzkar 8/13, cetakan Dar al Wa’yi Kairo tahqiq Dr Abdul Mu’thi Amin
Qol’aji 1414).
Yang menguatkan bahwa yang dimaksud
dengan suci dalam hadits di atas adalah suci dari hadats adalah beberapa
riwayat dari para shahabat yang telah kita sebutkan di edisi yang
lewat.
ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ
الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ
وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ
سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ
Ibnu Taimiyyah berkata, “Untuk menyentuh
mushaf al Qur’an disyaratkan harus bersih dari hadats besar dan hadats
kecil menurut mayoritas ulama. Inilah pendapat yang sejalan dengan al
Qur’an, sunnah dan pendapat Salman (al Farisi), Saad bin Abi Waqqash dan
shahabat yang lain” (Majmu Fatawa 26/200).
وَالصَّحِيحُ فِي هَذَا الْبَابِ مَا
ثَبَتَ عَنْ الصَّحَابَة – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ – وَهُوَ الَّذِي
دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ أَنَّ مَسَّ الْمُصْحَفِ
لَا
يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ
Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat yang
benar dalam masalah ini adalah pendapat para shahabat dan itulah
pendapat yang sejalan dengan al Qur’an dan sunnah yaitu menyentuh mushaf
tidak diperbolehkan bagi orang yang berhadats” (Majmu Fatawa 21/270).
A. Keterangan para ulama tentang hal ini
Ishaq bin Manshur al Kusji dalam
Masail-nya 1/89 mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, ‘Apakah
seorang yang tidak dalam kondisi berwudhu boleh membaca al Qur’an?”
Jawaban beliau, “Boleh akan tetapi tidak boleh membaca al Qur’an sambil
memegang mushaf kecuali orang yang dalam kondisi berwudhu”.
Ishaq bin Rahuyah lantas mengatakan, “Hal
itu dikarenakan adanya hadits yang shahih dari Nabi, ‘Tidak boleh
menyentuh al Qur’an kecuali orang yang suci’. Demikianlah yang dilakukan
oleh para shahabat dan tabiin”.
Pendapat Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah ini juga dinukil oleh Ibnul Mundzir dalam al Ausath (2/322, Syamilah).
مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
أَنَّهُ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا طَاهِرٌ كَمَا قَالَ فِي الْكِتَابِ
الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ : { أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ } .
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَد : لَا شَكَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَهُ لَهُ وَهُوَ أَيْضًا قَوْلُ سَلْمَانَ
الْفَارِسِيِّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِمَا . وَلَا
يُعْلَمُ لَهُمَا مَنْ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ .
Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat imam mazhab yang empat, mushaf al
Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci sebagaimana
dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm, ‘Tidak
boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci’. Imam Ahmad
mengatakan, ‘Tidaklah diragukan bahwa Nabi telah menuliskan surat
tersebut kepada Amr bin Hazm’. Inilah pendapat Salman al Farisi,
Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Tidak diketahui adanya shahabat lain
yang menyelisihi pendapat dua shahabat ini” (Majmu Fatawa 21/288).
Beliau juga mengatakan, “Adapun menyentuh
mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf
sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari
para shahabat , Saad, Salman dan Ibnu Umar” (Majmu Fatawa 21/288).
Beliau juga berkata, “Dalam masalah ini
terdapat riwayat yang shahih dari para shahabat dan itulah pendapat yang
didukung dalil dari al Qur’an dan sunnah. Yaitu orang yang dalam
kondisi berhadats tidaklah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf dan
melakukan shalat jenazah namun boleh melakukan sujud tilawah. Tiga
masalah ini terdapat riwayat yang kuat dari para shahabat” (Majmu Fatawa
21/270).
Dalam Syarh al Umdah 1/383, Ibnu
Taimiyyah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin
tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin.
Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka”.
Al Kharqi mengatakan, “Tidak boleh
menyentuh mushaf melainkan orang yang suci”. Perkataan beliau ini
dijelaskan oleh Ibnu Qudamah sebagai berikut, “Yaitu suci dari hadats
besar dan hadats kecil. Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Ibnu Umar, al
Hasan al Bashri, Atha’, Thawus, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad. Inilah
pendapat Imam Malik, Syafii dan ashhab ra’yi (Abu Hanifah dkk). Kami
tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihi pendapat mereka
kecuali Daud azh Zhahiri yang membolehkan orang yang berhadats untuk
menyentuh mushaf…. Sedangkan al Hakam dan Hammad membolehkan orang yang
berhadats untuk menyentuh mushaf dengan menggunakan punggung telapak
tangan” (al Mughni 1/256, Syamilah).
An Nawawi berkata, “Para ulama bermazhab
Syafii berdalil dengan hadits di atas. Demikian juga dikarenakan hal
tersebut adalah pendapat Ali, Saad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar tanpa
diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi pendapat beliau-beliau”
(al Majmu 2/72, Syamilah).
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para pakar
fiqh dari berbagai kota yang mereka dan murid-murid mereka adalah
rujukan dalam fatwa bersepakat bahwa mushaf al Qur’an tidak boleh
disentuh kecuali oleh orang yang suci.”
Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu
Hanifah dan murid-murid mereka, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah pakar fiqh
dan hadits di masanya.
Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat
Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri,
Sya’bi, al Qasim bin Muhammad dan Atha. Merekalah para ulama dari
generasi tabiin yang tinggal di kota Madinah, Mekah, Yaman, Kufah dan
Bashrah” ( al Istidzkar 2/472, Syamilah).
Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu
Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah,
Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh
disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah
pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai,
Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah
para pakar fiqh dan hadits di masanya.
Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Saad
bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri, Sya’bi,
al Qasim bin Muhammad dan Atha”.
Al Wazir bin Hubairah dalam al Ifshah 1/68 mengatakan, “Mereka sepakat bahwa orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf”.
Al Wazir bin Hubairah dalam al Ifshah 1/68 mengatakan, “Mereka sepakat bahwa orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf”.
B. Riwayat dari Para Shahabat Tentang hal Ini
1. Saad bin Abi Waqash
عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي
وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ
أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ
قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ
ثُمَّ رَجَعْتُ
Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash,
“Aku memegang mushfah di hadapan Saad bin Abi Waqash lalu aku
menggaruk-garuk kemalianku”. Beliau lantas berkata, “Engkau menyentuh
kemaluanmu?”. “Benar”, jawabku. Beliau berkata, “Berdirilah lalu
berwudhulah”. Aku lantas bangkit berdiri dan berwudhu lalu aku kembali
(Diriwayat oleh Imam Malik dalam Muwatha no 128 dll).
Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’).
Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’).
Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah berkata, “Riwayat tersebut shahih dari Saad”.
Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa 1/161 no 122.
Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa 1/161 no 122.
2. Salman al Farisi
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ
سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ
ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا
نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ
أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ
فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman,
Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang
hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah,
berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al
Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan
menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang
yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa
pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami
sebelum beliau berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai
shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454
dll).
Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa riwayat dari Salman itu shahih.
3. Abdullah bin Umar
عن نافع عن بن عمر أنه كان لا يمس المصحف إلا وهو طاهر
Dari Nafi, “Tidaklah Ibnu Umar menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 4728)
http://ustadzaris.com/dalil-pendukung-keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-quran
http://ustadzaris.com/keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-quran
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/03/keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-qur%E2%80%99an/