Jumat, 06 Desember 2013

Bolehkah Orang yang dalam Keadaan Hadats Menyentuh Mushaf al-Qur’an?

Berikut ini akan kita bahas dalil-dalil yang dipergunakan oleh para ulama untuk mengatakan bahwa orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf al Qur’an.

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan, diturunkan dari Rabbil ‘alamiin” (QS al Waqiah 77-80).

Sisi pendalilan dari ayat ini menurut ulama yang berdalil dengannya adalah firman Allah yang artinya, ‘tidak menyentuhnya’ adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan. Sehingga maknanya adalah ‘janganlah menyentuhnya’, dan bukan semata-mata kalimat berita karena berita yang Allah sampaikan pasti tidak meleset. Sedangkan kenyataannya mushaf al Qur’an disentuh oleh muslim, munafik dan orang kafir.

Sedangkan yang dimaksud ‘orang-orang yang disucikan’ ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan malaikat, para rasul, orang yang suci dari hadats kecil dan hadats besar dan pendapat yang lainnya. Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah semua pendapat yang telah disebutkan karena ayat di atas bersifat umum mencakup semua orang yang suci dan tidak khusus orang-orang tertentu.

Di antara hal yang menguatkan bahwa orang-orang yang suci dari hadats tercakup dalam ayat ini adalah inilah pemahaman Salman al Farisi terhadap ayat di atas.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.

Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454 dll).

Salman al Farisi berdalil dengan ayat di atas bahwa mushaf al Qur’an itu tidak disentuh oleh orang yang dalam kondisi berhadats. Salman adalah salah seorang shahabat Nabi. Sedangkan para shahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya al Qur’an, memahaminya, menghafalnya, mengenalnya, mengetahui kandungan lafazhnya serta tafsirnya. Merekalah orang yang paling mengetahui al Qur’an.

Ibnul Jauzi mengatakan, “Para ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al Qur’an dalam ayat di atas adalah mushaf al Qur’an berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan orang-orang yang disucikan menjadi empat pendapat.
 
Pertama, mereka adalah orang-orang yang bersih dari hadats. Inilah pendapat mayoritas ulama. Sehingga ayat di atas adalah kalimat berita namun maknanya adalah larangan.
 
Kedua, orang yang bersih dari syirik. Inilah pendapat ibnu al Sa-ib.
 
Ketiga, orang yang bersih dari dosa dan kesalahan. Inilah pendapat al Rabi’ bin Anas.
 
Keempat, makna ayat adalah tidak ada yang bisa merasakan nikmatnya al Qur’an dan manfaatnya melainkan orang yang mengimani al Qur’an. Adanya pendapat ini diceritakan oleh al Fara’ (Zadul Masir fi Ilmi al Tafsir 8/152, terbitan al Maktab al Islami).

عَنْ أَبِى بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الْيَمَنِ كِتَابًا فَكَانَ فِيهِ « لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ ».

Dari Abi Bakr bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat untuk penduduk Yaman yang isinya, “Tidak boleh menyentuh al Quran melainkan orang yang suci” (HR Daruquthni no 449 dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa no 122).

Banyak ulama salaf yang berdalil dengan hadits ini terkait masalah ini. Di antaranya adalah Malik, Ahmad dan Ishaq.

Jika ada orang yang mengatakan bahwa hadits di atas mengandung dua kemungkinan makna yaitu suci yang abstrak itulah iman dan suci yang konkret itulah hadats. Karena ada beberapa kemungkinan maka hadits ini tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
 
Kita katakan bahwa bukanlah kebiasaan Nabi menyebut mukmin dengan istilah orang yang suci karena itulah mukmin itu lebih agung.

Hadits di atas tidaklah bermasalah karena istilah ‘suci’ adalah satu kata yang mengandung banya kemungkinan makna dan tidaklah terlarang memaknai istilah ‘suci’ dalam hadits ini dengan semua maknanya. Sehingga mushaf al Qur’an itu tidak boleh disentuh oleh orang musyrik sebagaimana tidak boleh disentuh oleh seorang muslim yang berhadats besar ataupun berhadats kecil.

اللَّفْظِ الْمُشْتَرَكِ يَجُوزُ أَنْ يُرَادَ بِهِ مَعْنَيَاهُ إذْ قَدْ جَوَّزَ ذَلِكَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ : الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنْبَلِيَّةُ وَكَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكَلَامِ

Ibnu Taimiyyah berkata, “Kata yang bersifat musytarak (satu kata yang memuat banyak kemungkinan makna) bisa dimaknai dengan semua maknanya. Hal ini dibolehkan oleh mayoritas pakar fiqih dari mazhab Maliki, Syafii dan Hanbali serta banyak pakar ilmu kalam” (Majmu Fatawa 13/341).

وَحَمْلُ الْمُشْتَرَكِ عَلَى جَمِيعِ مَعَانِيهِ هُوَ الْمَذْهَبُ الْقَوِيُّ

Syaukani mengatakan, “Memaknai kata yang bersifat musytarak dengan semua maknanya adalah pendapat yang kuat” (Nailul Author 3/8, Syamilah).

Perlu ditambahkan bahwa para ulama salaf berdalil dengan hadits di atas untuk membahas bersuci yang bersifat konkret yaitu hadats. Orang yang paling terkenal memaknai suci dalam hadits di atas dengan suci yang abstrak adalah Daud azh Zhahiri dan orang-orang yang mengikutinya.

قال داود ومعنى قوله عز و جل ( لا يمسه إلا المطهرون ) الواقعة 79 هم الملائكة ودفع حديث عمرو بن حزم في أن لا يمس القرآن إلا طاهر بأنه مرسل غير متصل وعارضه بقول النبي صلى الله عليه و سلم المؤمن ليس بنجس
وقد بينا وجه النقل في حديث عمرو بن حزم وأن الجمهور عليه وهم لا يجوز عليهم تحريف تأويل ولا تلقي ما لا يصح بقبول وبما عليه الجمهور في ذلك أقول

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Daud (azh Zhahiri) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang discikan dalam firman Allah ‘tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:79) adalah para malaikat. Daud juga menolak hadits ‘Amr bin Hazm yang berisikan bahwa tidak boleh menyentuh al Qur’an melainkan orang yang suci dengan mengatakan bahwa hadits tersebut mursal dan tidak bersambung. Dia juga membantah hadits tersebut dengan menggunakan sabda Nabi, ‘Seorang mukmin itu tidak najis’.

Telah kami jelaskan pembelaan untuk hadits Amr bin Hazm dari sisi periwayatan. Mayoritas ulama pun berpendapat dengan kandungan hadits Amr bin Hazm dan tidak mungkin mereka melakukan penyelewengan makna atau menerima dalil yang tidak layak untuk diterima. Pendapat mayoritas ulama-lah yang aku pilih” (Al Istidzkar 8/13, cetakan Dar al Wa’yi Kairo tahqiq Dr Abdul Mu’thi Amin Qol’aji 1414).

Yang menguatkan bahwa yang dimaksud dengan suci dalam hadits di atas adalah suci dari hadats adalah beberapa riwayat dari para shahabat yang telah kita sebutkan di edisi yang lewat.

ثُمَّ مَسُّ الْمُصْحَفِ يُشْتَرَطُ لَهُ الطَّهَارَةُ الْكُبْرَى وَالصُّغْرَى عِنْدَ جَمَاهِيرِ الْعُلَمَاءِ وَكَمَا دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ ثَابِتٌ عَنْ سَلْمَانَ وَسَعْدٍ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ

Ibnu Taimiyyah berkata, “Untuk menyentuh mushaf al Qur’an disyaratkan harus bersih dari hadats besar dan hadats kecil menurut mayoritas ulama. Inilah pendapat yang sejalan dengan al Qur’an, sunnah dan pendapat Salman (al Farisi), Saad bin Abi Waqqash dan shahabat yang lain” (Majmu Fatawa 26/200).

وَالصَّحِيحُ فِي هَذَا الْبَابِ مَا ثَبَتَ عَنْ الصَّحَابَة – رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ – وَهُوَ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَهُوَ أَنَّ مَسَّ الْمُصْحَفِ لَا
 يَجُوزُ لِلْمُحْدِثِ

Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat para shahabat dan itulah pendapat yang sejalan dengan al Qur’an dan sunnah yaitu menyentuh mushaf tidak diperbolehkan bagi orang yang berhadats” (Majmu Fatawa 21/270).

A. Keterangan para ulama tentang hal ini
Ishaq bin Manshur al Kusji dalam Masail-nya 1/89 mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, ‘Apakah seorang yang tidak dalam kondisi berwudhu boleh membaca al Qur’an?” Jawaban beliau, “Boleh akan tetapi tidak boleh membaca al Qur’an sambil memegang mushaf kecuali orang yang dalam kondisi berwudhu”.

Ishaq bin Rahuyah lantas mengatakan, “Hal itu dikarenakan adanya hadits yang shahih dari Nabi, ‘Tidak boleh menyentuh al Qur’an kecuali orang yang suci’. Demikianlah yang dilakukan oleh para shahabat dan tabiin”.

Pendapat Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah ini juga dinukil oleh Ibnul Mundzir dalam al Ausath (2/322, Syamilah).

مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلَّا طَاهِرٌ كَمَا قَالَ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ : { أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ } . قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَد : لَا شَكَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَهُ لَهُ وَهُوَ أَيْضًا قَوْلُ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِمَا . وَلَا يُعْلَمُ لَهُمَا مَنْ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ .
 
Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat imam mazhab yang empat, mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci sebagaimana dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm, ‘Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci’. Imam Ahmad mengatakan, ‘Tidaklah diragukan bahwa Nabi telah menuliskan surat tersebut kepada Amr bin Hazm’. Inilah pendapat Salman al Farisi, Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Tidak diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi pendapat dua shahabat ini” (Majmu Fatawa 21/288).

Beliau juga mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari para shahabat , Saad, Salman dan Ibnu Umar” (Majmu Fatawa 21/288).

Beliau juga berkata, “Dalam masalah ini terdapat riwayat yang shahih dari para shahabat dan itulah pendapat yang didukung dalil dari al Qur’an dan sunnah. Yaitu orang yang dalam kondisi berhadats tidaklah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf dan melakukan shalat jenazah namun boleh melakukan sujud tilawah. Tiga masalah ini terdapat riwayat yang kuat dari para shahabat” (Majmu Fatawa 21/270).

Dalam Syarh al Umdah 1/383, Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka”.

Al Kharqi mengatakan, “Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci”. Perkataan beliau ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah sebagai berikut, “Yaitu suci dari hadats besar dan hadats kecil. Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Ibnu Umar, al Hasan al Bashri, Atha’, Thawus, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii dan ashhab ra’yi (Abu Hanifah dkk). Kami tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihi pendapat mereka kecuali Daud azh Zhahiri yang membolehkan orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf…. Sedangkan al Hakam dan Hammad membolehkan orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf dengan menggunakan punggung telapak tangan” (al Mughni 1/256, Syamilah).

An Nawawi berkata, “Para ulama bermazhab Syafii berdalil dengan hadits di atas. Demikian juga dikarenakan hal tersebut adalah pendapat Ali, Saad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar tanpa diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi pendapat beliau-beliau” (al Majmu 2/72, Syamilah).

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para pakar fiqh dari berbagai kota yang mereka dan murid-murid mereka adalah rujukan dalam fatwa bersepakat bahwa mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci.”

Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah dan murid-murid mereka, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah pakar fiqh dan hadits di masanya.

Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad dan Atha. Merekalah para ulama dari generasi tabiin yang tinggal di kota Madinah, Mekah, Yaman, Kufah dan Bashrah” ( al Istidzkar 2/472, Syamilah).

Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artian berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.

Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad dan Atha”.
Al Wazir bin Hubairah dalam al Ifshah 1/68 mengatakan, “Mereka sepakat bahwa orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf”.

B. Riwayat dari Para Shahabat Tentang hal Ini
1. Saad bin Abi Waqash

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ

Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash, “Aku memegang mushfah di hadapan Saad bin Abi Waqash lalu aku menggaruk-garuk kemalianku”. Beliau lantas berkata, “Engkau menyentuh kemaluanmu?”. “Benar”, jawabku. Beliau berkata, “Berdirilah lalu berwudhulah”. Aku lantas bangkit berdiri dan berwudhu lalu aku kembali (Diriwayat oleh Imam Malik dalam Muwatha no 128 dll).
Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’).
 
Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah berkata, “Riwayat tersebut shahih dari Saad”.
Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa 1/161 no 122.

2. Salman al Farisi

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.

Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454 dll). 

Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa riwayat dari Salman itu shahih.

3. Abdullah bin Umar

عن نافع عن بن عمر أنه كان لا يمس المصحف إلا وهو طاهر

Dari Nafi, “Tidaklah Ibnu Umar menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 4728)

http://ustadzaris.com/dalil-pendukung-keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-quran
http://ustadzaris.com/keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-quran
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/03/keadaan-hadats-tidak-boleh-menyentuh-mushaf-al-qur%E2%80%99an/