Rabu, 04 Desember 2013

Akal yang Benar Akan Sesuai dengan Dalil Naqli

Ketika Akal Bertentangan dengan Dalil Syar’i

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Artikel berikut adalah artikel yang merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang akal (Mendudukkan Akal pada Tempatnya).


Kami harap pembaca sekalian bisa membaca terlebih dahulu tulisan sebelumnya di sini.

Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.

Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)

Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Ketika Akal dan Dalil Syar’i Bertentangan
Jika kita sudah mengetahui bahwa akal tidaklah bisa berfungsi kecuali dengan adanya penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka tentu saja akal yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil syar’i. Jika bertentangan, maka akal yang patut ditanyakan dan dalil syar’i lah yang patut dimenangkan. Kami dapat memberikan deskripsi tentang akal dan dalil syar’i sebagai berikut.
Ada orang awam ingin bertanya suatu hal pada seorang ulama. Akhirnya dia dibantu oleh Ahmad. Ahmad pun menunjukkan orang awam tadi pada ulama tersebut. Dalam suatu masalah, Ahmad menyelisihi pendapat ulama tadi. Lalu Ahmad mengatakan pada orang awam tadi, “Aku yang telah menunjuki engkau pada ulama tersebut, seharusnya engkau mengambil pendapatku bukan pendapat ulama tadi.” Tentu saja orang awam tadi akan mengatakan, “Engkau memang yang telah menunjukiku pada ulama tadi. Engkau menyuruhku untuk mengikuti ulama tadi, namun bukan untuk mengikuti pendapatmu. Jika aku mengikuti petunjukmu bahwa ulama tadi adalah tempat untuk bertanya, hal ini bukan berarti aku harus mencocokimu dalam setiap yang engkau katakan. Jika engkau keliru dan menyelisihi ulama tadi padahal dia lebih berilmu darimu, maka kekeliruanmu pada saat ini tidaklah membuat cacat tentang keilmuanmu bahwa dia adalah ulama.

Ini adalah permisalan dengan seorang ulama yang mungkin saja salah. Lalu bagaimanakah jika pada posisi ulama tersebut adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mungkin keliru dalam penyampaian berita dari Allah?

Dari deskripsi ini, akal dimisalkan dengan si Ahmad yang jadi petunjuk kepada ulama tadi. Sedangkan ulama tersebut adalah permisalan dari dalil syar’i. Inilah sikap yang harus kita miliki tatkala kita menemukan bahwa akal ternyata bertentangan dengan dalil syar’i. Sikap yang benar ketika itu adalah seseorang mendahulukan dalil syar’i daripada logika. Sebagaimana kita mendahulukan ulama tadi dari si Ahmad sebagai petunjuk jalan. Jika dalil syar’i bertentangan dengan akal, maka dalil lah yang harus didahulukan. Namun hal ini tidak membuat akal itu cacat karena dia telah menunjuki kepada dalil syar’i.

Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu jika akal bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, maka dalil syar’i lebih harus kita dahulukan dari akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Jika seseorang mengetahui dengan akalnya bahwa ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ada berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ternyata berita tersebut menyelisihi akal. Pada saat ini, akal harus pasrah dan patuh. Akal harus menyelesaikan perselisihan ini dengan menyerahkan pada orang yang lebih tahu darinya yaitu dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat ini, akal tidaklah boleh mendahulukan hasil pemikirannya dari berita Rasul. Karena sebagaimana diketahui bahwa akal manusia itu memiliki kekurangan dibandingan dengan berita Rasul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu saja lebih mengerti mengenai Allah Ta’ala, nama dan sifat-sifat-Nya, serta lebih mengetahui tentang berita hari akhir daripada akal.” (Dar-ut Ta’arudh, 1/80)

Akal Tidak Mungkin Bertentangan dengan Dalil Al Qur’an dan As Sunnah
Inilah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu dalil akal tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih sama sekali. Maka tidaklah tepat jika seseorang mengatakan bahwa logika (dalil akal) bertentangan dengan dalil syar’i. Jika ada yang menyatakan demikian, maka hal ini tidaklah lepas dari beberapa kemungkinan:


[Pertama] Itu sebenarnya syubhat (kerancuan) dan bukan logika (dalil akal) yang benar.


[Kedua] Dalil syar’i yang digunakan bukanlah dalil yang bisa diterima, mungkin karena dalilnya yang tidak shahih atau adanya salah pemahaman.


[Ketiga] Hal ini karena tidak mampu membedakan antara sesuatu yang mustahil bagi akal dan sesuatu yang tidak dipahami oleh akal dengan sempurna. Syari’at itu datang minimal dengan dalil yang tidak dipahami oleh akal secara sempurna. Dan Syari’at ini tidak mungkin datang dengan dalil yang dianggap mustahil bagi akal.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

وَالرُّسُلُ جَاءَتْ بِمَا يَعْجِزُ الْعَقْلُ عَنْ دَرْكِهِ . لَمْ تَأْتِ بِمَا يُعْلَمُ بِالْعَقْلِ امْتِنَاعُهُ

Rasul itu datang dengan wahyu minimal tidak digapai oleh akal dengan sempurna. Namun beliau tidaklah datang dengan wahyu yang mustahil bagi akal untuk memahaminya.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/339). Semoga kita dapat memahami hal ini.

Sikap Ekstrim dan Pertengahan dalam Mendudukkan Akal
Ada dua sikap ekstrim dalam mendudukkan akal.

Sikap pertama: Yang menjadikan akal sebagai satu-satunya landasan ilmu sedangkan dalil Al Qur’an atau dalil syar’i hanya sekedar taabi’ (pengikut). Akal pun dianggap sebagai sumber pertama dan dianggap akal tidak butuh pada iman dan Al Qur’an. Inilah sikap yang dimiliki oleh Ahlul Kalam.

Sikap kedua: Yang sangat mencela dan menjelek-jelekan akal, juga menyelisihi dalil logika yang jelas-jelas tegasnya, serta mencela dalil logika secara mutlak. Inilah sikap dari kaum Sufiyah. (Majmu’ Al Fatawa, 3/338)

Sikap yang benar dan pertengahan adalah sikap yang menjadikan akal sebagai berikut:
  1. Akal adalah petunjuk untuk mengetahui dalil syar’i (dalil Al Qur’an dan As Sunnah)
  2. Akal tidak bisa berdiri sendiri namun butuh pada cahaya dalil syar’i. Tanpa adanya cahaya dalil Al Qur’an dan As Sunnah, akal tidaklah mungkin bisa memandang atau memahami suatu perkara dengan benar.
  3. Jika akal bertentangan dengan dalil syar’i, maka dalil syar’i yang harus didahulukan karena akal hanya sekedar petunjuk untuk mengetahui dalil sedangkan dalil syar’i memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih dibanding akal.
  4. Akal (logika) yang benar tidaklah mungkin bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
  5. Akal yang tercela adalah akal yang bertentangan dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah.
Mendudukkan Akal dalam Beberapa Kasus
Di antara penggunaan akal yang keliru adalah penggunaannya dalam memikirkan perkara-perkara ghaib seperti memikirkan sifat-sifat Allah dan keadaan hari kiamat.


[Contoh pertama]
Hadits tentang nuzul yaitu turunnya Allah ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita tabaroka wa ta’ala setiap malamnya turun ke langit dunia hingga tersisa sepertiga malam terakhir. Rabb mengatakan, “Barangsiapa yang berdo’a kepadaKu, maka akan Aku kabulkan. Barangsiapa meminta padaKu, maka akan Aku berikan. Barangsiapa meminta ampun padaKu, Aku akan mengampuninya”.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758)

Sebagian orang menanyakan, “Bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia? Ini berarti ‘Arsy-Nya kosong. ” Atau mungkin ada yang menyatakan, “Kalau begitu Allah akan terus turun ke langit dunia karena jika di daerah A adalah sepertiga malam terakhir, bagian bumi yang lain beberapa saat akan mengalami sepertiga malam juga. Ini akan berlangsung terus menerus.”

Inilah akal-akalan yang muncul dari sebagian orang. Jawabannya sebenarnya cukup mudah. Ingatlah dalam masalah ini, kita harus bersikap pasrah, tunduk dan menerima dalil. Tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan wahyu, sedangkan tugas kita adalah menerima secara lahir dan batin. Kalau kita tidak memahami hal ini, itu mungkin saja logika atau akal kita yang tidak memahaminya dengan sempurna. Jadi, sama sekali logika kita tidak bertentangan dengan dalil tersebut. Hanya saja kita kurang sempurna dalam memahaminya.

Lalu jika ada yang mengemukakan kerancuan di atas, cukup kita katakan, “Hal semacam ini tidaklah pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah mendapatkan tafsiran mengenai hal ini. Jadi, dalam masalah menanyakan hakikat (kaifiyah) turunnya Allah, kita hendaknya stop dan tidak angkat bicara. Kita meyakini dan memahami adanya sifat nuzul (turunnya Allah ke langit dunia), namun mengenai hakikatnya kita katakan wallahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”

Jadi pertanyaan semacam di atas tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, sehingga dalam hal ini kita seharusnya tidak menanyakannya pula.
Mungkin yang kita bayangkan tadi: “Bagaimana Allah bisa turun ke langit dunia? Berarti ‘Arsy-Nya kosong”; yang kita bayangkan sebenarnya adalah keadaan yang ada pada makhluk. Dan ingatlah bahwa Allah itu jauh berbeda dengan keadaan makhluk, janganlah kita samakan. Allah Ta’ala berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuraa: 11). Jika sesuatu tidak mungkin terjadi pada makhluk, maka ini belum tentu tidak bisa terjadi pada Allah yang Maha Besar.


[Contoh kedua]
Disebutkan dalam suatu hadits bahwa pada hari kiamat nanti posisi matahari akan begitu dekat dengan manusia.
Dari Al Miqdad bin Al Aswad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُدْنَى الشَّمْسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْخَلْقِ حَتَّى تَكُونَ مِنْهُمْ كَمِقْدَارِ مِيلٍ

Matahari akan didekatkan pada makhluk pada hari kiamat nanti hingga mencapai jarak sekitar satu mil.” Sulaiman bin ‘Amir, salah seorang perowi hadits ini mengatakan bahwa dia belum jelas mengenai apa yang dimaksud dengan satu mil di sini. Boleh jadi satu mil tersebut adalah seperti jarak satu mil di dunia dan boleh jadi jaraknya adalah satu celak mata. (HR. Muslim no. 7385)

Jadi, intinya matahari ketika itu akan didekatkan dengan jarak yang begitu dekat.
Ada mungkin yang mengatakan, “Saat ini jika matahari didekatkan ke bumi dengan jarak satu mil –padahal suhu matahari begitu tinggi (suhu permukaannya sekitar 6000oC)-, tentu saja bumi akan hangus terbakar. Lalu apa yang terjadi jika matahari didekatkan ke kepala dengan jarak yang begitu dekatnya?!”

Dalam hadits riwayat muslim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

فَيَكُونُ النَّاسُ عَلَى قَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فِى الْعَرَقِ فَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى كَعْبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَكُونُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ الْعَرَقُ إِلْجَامًا

Keringat manusia ketika itu sesuai dengan kondisi amalannya. Ada di antara mereka yang keringatnya sampai di mata kaki. Ada pula yang keringatnya sampai di paha. Ada yang lain sampai di pinggang. Bahkan ada yang tenggelam dengan keringatnya.

Jika kita memperhatikan, hadits ini terasa bertentangan dengan logika kita. Namun sebenarnya dapat kita katakan, “Kekuatan manusia ketika hari kiamat berbeda dengan kekuatannya ketika sekarang di dunia. Namun manusia ketika hari kiamat memiliki kekuatann yang luar biasa. Mungkin saja jika manusia saat ini berdiam selama 50 hari di bawah terik matahari, tanpa adanya naungan, tanpa makan dan minum, pasti dia akan mati. Akan tetapi, sangat jauh berbeda dengan keadaan di dunia. Bahkan di hari kiamat, mereka akan berdiam selama 50 ribu tahun, tanpa ada naungan, tanpa makan dan minuman.” (Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, hal. 370)
 
Intinya, logika kita tidaklah mungkin bertentangan dengan akal. Jika bertentangan, maka logika kitalah yang patut dipertanyakan.

Demikian beberapa penjelasan dari kami mengenai cara mendudukkan akal. Semoga Allah selalu memberi taufik dan hidayah kepada kita untuk memahami ajaran Al Qur’an dan As Sunnah, juga semoga kita dapat mendudukkan akal sesuai tempatnya.


Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
 
Rujukan:

Dar-ut Ta’aarudh Al ‘Aqli wan Naqli, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Kanuz Al Adabiyah Riyadh
Ma’alim Ushul Fiqh ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jaizaniy, Dar Ibnul Jauziy
Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, Darul Wafa’
Shahih Al Bukhari, Muhammad bin Isma’il Al Bukhari, Mawqi’ Wizarotil Awqof
Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Daarul ‘Aqidah
Zaadul Muhajir – Ar Risalah At Tabukiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Darul Hadits
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 4 Rajab 1430 H
http://rumaysho.com/aqidah/ketika-akal-bertentangan-dengan-dalil-syari-778



Dalil ‘Aqli (Akal) Yang Benar Akan Sesuai Dengan Dalil Naqli/Nash Yang Shahih

Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Kata ‘Aql dalam bahasa Arab (etimologi) mempunyai beberapa arti,[1] di antaranya : Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara istilah (terminologi): ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:

1. Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada pada setiap manusia.

2. Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.
Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang. Sifat ini dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:

وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“...Dan termasuk orang gila sampai ia kembali berakal.”[2]

Akal adalah daya pikir yang diciptakan Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuk manusia) kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah Azza wa Jalla.

Firman-Nya:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan….” [Al-Israa’: 70]

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut:

Pertama. Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal.” [Shaad: 43]

Kedua. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban hukum) dari Allah Azza wa Jalla. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya.[3]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ.

“Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi (baligh), orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).”[4]

Ketiga.[5] Allah Azza wa Jalla mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ

“Dan mereka berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk: 10]

Keempat.[6] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al-Qur-an, seperti tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur-ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al-Qur-an) dan lainnya.

Kelima. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: ‘Tidak! Tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikutinya juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” [Al-Baqarah: 170]

Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) dalam kitabnya, Jaami’u Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi menerangkan perbedaan antara ittiba’ (mengikuti) dan taqlid yaitu terletak pada adanya dalil-dalil qath’i yang jelas. Bahwa ittiba’ yaitu penerimaan riwayat berdasarkan diterimanya hujjah sedangkan taqlid adalah penerimaan yang berdasarkan pemikiran logika semata.

Berkata Ibnu Khuwaiz Mindad al-Maliki (namanya adalah Muhammad bin Ahmad bin ‘Abdillah, wafat th. 390 H): “Makna taqlid secara syar’i adalah merujuk kepada perkataan yang tidak ada hujjah (dalil) atas orang yang mengatakannya. Dan makna ittiba’ yaitu mengikuti apa-apa yang berdasarkan atas hujjah (dalil) yang tetap. Ittiba’ diperkenankan dalam agama, namun taqlid dilarang.”[9]

Jadi definisi taqlid adalah menerima pendapat orang lain tanpa dilandasi dalil.[10]
Keenam,[11] Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“...Sebab itu sampaikanlah berita (gembira) itu kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” [Az-Zumar: 17-18]

Ketujuh, pembatasan wilayah kerja akal dan pikiran manusia, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “Ruh itu adalah urusan Rabb-ku. Dan tiadalah kalian diberi ilmu melainkan sedikit.” [Al-Israa': 85]

Firman Allah Azza wa Jalla :

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” [Thaahaa: 110]

Ulama Salaf (Ahlus Sunnah) senantiasa mendahulukan naql (wahyu) atas ‘aql (akal). Naql adalah dalil-dalil syar’i yang tertuang dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan akal menurut Mu’tazilah adalah, dalil-dalil ‘aqli yang dibuat oleh para ulama ilmu kalam dan mereka jadikan sebagai agama yang menundukkan (mengalahkan) dalil-dalil syar’i.

Mendahulukan dalil naqli atas dalil akal bukan berarti Ahlus Sunnah tidak menggunakan akal. Tetapi maksudnya adalah dalam menetapkan ‘aqidah mereka tidak menempuh cara seperti yang ditempuh para ahli kalam yang menggunakan akal semata untuk memahami masalah-masalah yang sebenarnya tidak dapat dijangkau oleh akal dan menolak dalil naqli (dalil syar’i) yang bertentangan dengan akal mereka atau rasio mereka.

Imam Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah (wafat th. 489 H)[12] berkata: “Ketahuilah, bahwa madzhab Ahlus Sunnah mengata-kan bahwa akal tidak mewajibkan sesuatu bagi seseorang dan tidak melarang sesuatu darinya, serta tidak ada hak baginya untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sebagaimana juga tidak ada wewenang baginya untuk menilai ini baik atau buruk. Seandainya tidak datang kepada kita wahyu, maka tidak ada bagi seseorang suatu kewajiban agama pun dan tidak ada pula yang namanya pahala dan dosa.”

Secara ringkas pandangan Ahlus Sunnah tentang penggunaan akal, di antaranya sebagai berikut:[13]

1. Syari’at didahulukan atas akal, karena syari’at itu ma’shum sedang akal tidak ma’shum.

2. Akal mempunyai kemampuan mengenal dan memahami yang bersifat global, tidak bersifat detail.

3. Apa yang benar dari hukum-hukum akal pasti tidak bertentangan dengan syari’at.

4. Apa yang salah dari pemikiran akal adalah apa yang bertentangan dengan syari’at.

5. Penentuan hukum-hukum tafshiliyah (terinci seperti wajib, haram dan seterusnya) adalah hak prerogatif syari’at.

6. Akal tidak dapat menentukan hukum tertentu atas sesuatu sebelum datangnya wahyu, walaupun secara umum ia dapat mengenal dan memahami yang baik dan buruk.

7. Balasan atas pahala dan dosa ditentukan oleh syari’at.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

“Kami tidak akan mengadzab sehingga Kami mengutus seorang Rasul.” [Al-Israa': 15]

8. Janji Surga dan ancaman Neraka sepenuhnya ditentukan oleh syari’at.

9. Tidak ada kewajiban tertentu terhadap Allah Azza wa Jalla yang ditentukan oleh akal kita kepada-Nya. Karena Allah mengatakan tentang Diri-Nya:

فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ

“Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” [Al-Buruuj: 16]

Dari sini dapat dikatakan bahwa keyakinan Ahlus Sunnah adalah yang benar dalam masalah penggunaan akal sebagai dalil. Jadi, akal dapat dijadikan dalil jika sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah atau tidak bertentangan dengan keduanya. Jika ia bertentangan dengan keduanya, maka ia dianggap bertentangan dengan sumber dan dasarnya. Keruntuhan pondasi berarti juga keruntuhan bangunan yang ada di atasnya. Sehingga akal tidak lagi menjadi hujjah (argumen, alasan) namun berubah menjadi dalil yang bathil. [14]

PENJELASAN SIKAP AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH TERHADAP ILMU KALAM

Imam Abu Hanifah (wafat th. 150 H) rahimahullah berkata: “Aku telah menjumpai para ahli Ilmu Kalam. Hati mereka keras, jiwanya kasar, tidak peduli jika mereka bertentangan dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Mereka tidak memiliki sifat wara’ dan tidak juga taqwa.”[15]

Imam Abu Hanifah rahimahullah juga berkata ketika ditanya tentang pembahasan dalam ilmu kalam dari sosok dan bentuk, ia berkata: “Hendaklah engkau berpegang kepada As-Sunnah dan jalan yang telah ditempuh oleh Salafus Shalih. Jauhi olehmu setiap hal baru, karena ia adalah bid’ah.”[16]

Al-Qadhi Abu Yusuf (wafat th. 182 H) rahimahullah,[17] murid dari Abu Hanifah rahimahullah, berkata kepada Bisyr bin Ghiyats al-Marisi [18] : “Ilmu kalam adalah suatu kebodohan dan bodoh tentang ilmu kalam adalah suatu ilmu. Seseorang, manakala menjadi pemuka agama atau tokoh ilmu kalam, maka ia adalah zindiq atau dicurigai sebagai zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).” Dan juga perkataan beliau: “Barangsiapa yang belajar ilmu kalam, ia akan menjadi zindiq...”[19]

Imam Ahmad (wafat th. 241 H) rahimahullah berkata: “Pemilik ilmu kalam tidak akan beruntung selamanya. Para ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq (orang yang menampakkan permusuhan terhadap Islam).”[20]

Imam Ibnul Jauzi (wafat th. 597 H) rahimahullah berkata: “Para ulama dan fuqaha (ahli fiqih) ummat ini dahulu mendiamkan (mengabaikan) ilmu kalam bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka menganggap ilmu kalam itu tidak mampu menyembuhkan seorang yang haus, bahkan dapat menjadikan seorang yang sehat menjadi sakit. Oleh karena itu, mereka tidak memberi perhatian kepadanya dan melarang untuk terlibat di dalamnya.”[21]

Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullah berkata: “Para ahli fiqih dan ahli hadits yang berada di seluruh kota kaum Muslimin telah sepakat bahwa ahli ilmu kalam adalah ahli bid’ah dan penyeleweng dari kebenaran. Sebagaimana kesepakatan mereka bahwa ahli kalam tidak dianggap tergabung dalam tingkatan para ulama. Yang dikategorikan ulama adalah ahli hadits dan orang-orang yang memahaminya dan mereka bertingkat-tingkat sesuai dengan keahlian masing-masing dalam mencermati, memisahkan (yang shahih dari yang dha’if) dan memahami hadits.”[22]

Imam Malik bin Anas (wafat th. 179 H) rahimahullah berkata:

لَوْ كَانَ الْكَلاَمُ عِلْمًا لَتَكَلَّمَ فِيْهِ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ كَمَا تَكَلَّمُوْا فِي اْلأَحْكَامِ وَالشَّرَائِعِ وَلَكِنَّهُ بَاطِلٌ يَدُلُّ عَلَى بَاطِلٍ.

“Seandainya ilmu kalam adalah ilmu, niscaya para Sahabat dan Tabi’in akan membicarakannya sebagaimana pembicaraan mereka terhadap ilmu-ilmu syari’at, akan tetapi ilmu kalam adalah sebuah kebathilan yang menunjukkan kepada ke-bathilan.”[23]

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang memiliki ilmu kalam, ia tidak akan beruntung.” Beliau juga mengucapkan: “Hukum untuk Ahli Kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sandal (sepatu) dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan: ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah serta mengambil ilmu Kalam.’”[24]

Beliau rahimahullah juga menyatakan:[25]

كُلُّ الْعُلُوْمِ سِوَى الْقُرْآنِ مَشْغَلَةٌ
إِلاَّ الْحَدِيْثَ وَإِلاَّ الْفِقْهَ فِي الدِّيْنِ
الْعِلْمُ مَا كَانَ فِيْهِ قَالَ حَدَّثَنَا
وَمَا سِوَى ذَاكَ وَسْوَاسُ الشَّيَاطِيْنِ

Segala ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan,
terkecuali ilmu hadits dan fiqh untuk mendalami agama.

Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: “Qoola Haddatsana (telah menyampaikan hadits kepada kami).”

Selainnya itu adalah ‘bisikan syaithan’ belaka.

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 40).
[2]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Abi Dawud (no. 3703) dan Irwaa-ul Ghaliil (II/5-6).
[3]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 40).
[4]. HR. Abu Dawud (no. 4403), Shahiih Sunan Abi Dawud (III/832 no. 3703).
[5]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 41).
[6]. Ibid, hal. 41.
[7]. Lihat Taariikh Ahlil Hadiits Ta’yiinul Firqah an-Naajiyah wa Annahaa Thaa-ifah Ahlil Hadiits oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi (hal. 116).
[8]. Ibid, hal. 116.
[9]. Ibid, hal. 117 dan Jaami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, tahqiq Abu Asybal az-Zuhairi (II/993).
[10]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/121) karya Dr. Muham-mad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[11]. Lihat al-Madkhal (hal. 41).
[12]. Beliau adalah Abu Muzhaffar Manshur bin Muhammad bin ‘Abdil Jabbar bin Ahmad at-Taimi as-Sam’ani al-Maruzi (lahir th. 426-489 H), seorang ahli fiqih, imam yang masyhur, mufti Khurasan, seorang Syaikh dari madzhab Syafi’iyyah, dan beliau memiliki kitab-kitab tentang fikih dan ushul fikih serta hadits. Lihat al-Hujjah fii Bayaanil Mahajjah (I/314) oleh Imam al-Ashbahani, tahqiq Muhammad bin Rabi’ bin Hadi ‘Amir al-Madkhaly, cet. Daar ar-Raayah, th. 1411 H, lihat juga Siyar A’laamin Nubalaa' (XIX/114-119, no. 62).
[13]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 45).
[14]. Lihat al-Madkhal li Diraasatil ‘Aqiidah al-Islaamiyyah ‘alaa Madzhab Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, hal. 46.
Catatan: Lebih dari 30 hadits yang berkaitan dengan akal yang biasa digunakan oleh mutakallimin (pengagung akal), namun semuanya palsu. Seperti lafazh:

اَلدِّيْنُ هُوَ الْعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ.

“Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki akal.”

Hadits ini bathil!! Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengawali kitab Silsilatul Ahaadiits adh-Dha’iifah wal Maudhuu’ah dengan lafazh ini. Bahkan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitab Manaarul Muniif fii Shahiih wadh Dha’iif (pada hal. 66, no. 120, tahqiq ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah) mengatakan, “Seluruh hadits tentang akal adalah dusta!!”
[15]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/74) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[16]. Ibid, I/75.
[17]. Beliau adalah murid Abu Hanifah yang paling pintar, seorang ahli hadits dan termasuk Qadhi yang masyhur. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (VIII/535-539).
[18]. Ia adalah seorang tokoh ahlul Bid’ah yang sesat, ayahnya seorang Yahudi. Ia mengambil pendapat-pendapat Jahm bin Shafwan dan berhujjah dengannya. Ia termasuk orang yang menguasai ilmu Kalam.
Qutaibah bin Sa’id berkata: “Bisyr al-Marisi adalah kafir.” Dan Abu Zur’ah ar-Razi berkata: “Bisyr al-Marisi adalah zindiq.” Bisyr mati pada tahun 218 H.
Lihat Miizaanul I’tidaal karya Imam adz-Dzahabi (I/322-323 no. 1214).
[19]. Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 17), tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Ab-dullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[20]. Lihat kitab Talbiis Ibliis (hal. 112).
[21]. Lihat Manhaj Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/75) oleh Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab al-‘Aqil.
[22]. Lihat Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/942).
[23]. Dinukil dari kitab Syarhus Sunnah (I/217) oleh Imam al-Baghawy dan al-Amru bil Ittibaa’ wan Nahyu ‘anil Ibtidaa’ (hal. 70) oleh Imam as-Suyuthi.
[24]. Lihat Ahaadiits fii Dzammil Kalaam wa Ahlih (hal. 99) karya Imam Abul Fadhl al-Maqri’ (wafat th. 454 H), tahqiq Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda‘i; Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih karya Ibnu ‘Abdil Barr (II/941), dan Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 17-18), takhrij dan ta’liq oleh Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turki.
[25]. Lihat Diiwaan Imaam asy-Syafi’i (hal 388 no. 206), kumpulan dan syarah Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Darul Fikr, th. 1415 H.

http://almanhaj.or.id/content/3425/slash/0/dalil-aqli-akal-yang-benar-akan-sesuai-dengan-dalil-naqlinash-yang-shahih/