Pada beberapa kesempatan yang lalu telah
dibahas tata cara mandi dan mandi yang diwajibkan. Saat ini kami akan
mengetengahkan beberapa mandi yang disunnahkan, tidak sampai derajat
wajib. Semoga bermanfaat.
Pertama: Mandi Hari Raya.
Hari raya yang dimaksudkan adalah Idul
Fithri dan Idul Adha. Mandi ketika itu disunnahkan. Dalil tentang hal
ini adalah hadits sahabat Al Faakih bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ
عَرَفَةَ وَكَانَ الْفَاكِهُ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالْغُسْلِ فِى هَذِهِ
الأَيَّامِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
biasa mandi di hari Idul Fithri, Idul Adha dan hari Arafah, ” Dan Al
Faakih sendiri selalu memerintahkan keluarganya untuk mandi pada
hari-hari itu” (HR. Ibnu Majah no. 1316)
Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الأَضْحَى.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mandi pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah no. 1315)
Kedua hadits di atas dikeluarkan oleh
Ibnu Majah dalam kitab Sunannnya. Namun kedua hadits tersebut lemah
(dho’if). Hadits pertama dari Al Faakih bin Sa’ad, di dalamnya terdapat
perowi yang bernama Yusuf bin Khalid bin ‘Umair. Yahya bin Ma’in
mengatakan bahwa ia pendusta. Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar Al Asqolani
menyatakan ia matruk (mesti ditinggalkan). Hadits pertama ini pun
dinyatakan dho’if oleh Ibnul Mulaqqin[1], Ibnu Hajar Al Asqolani[2], Adz
Dzahabi[3], dan dinyatakan maudhu’ (palsu) oleh Syaikh Al Albani[4].
Adapun hadits Ibnu ‘Abbas terdapat dua
orang perowi yang dinilai dho’if oleh Ibnu Hajar yaitu Juabarah bin Al
Mughallis dan Hajjaj bin Tamim. Hadits Ibnu ‘Abbas ini dinilai dho’if
oleh An Nawawi[5], Al Mizzi[6], Adz Dzahabi[7], Ibnul Mulaqqin[8] dan
Ibnu Hajar Al Asqolani.[9]
Namun ada atsar sahabat yang menunjukkan
dianjurkannya mandi ketika hari raya yaitu dari ‘Ali bin Abi Tholib dan
Ibnu ‘Umar yang dikenal yang sangat ittiba’ (meneladani) Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Riwayat dari ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
سَأَلَ رَجُلٌ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ
عَنْهَ عَنِ الغُسْلِ قَالَ اِغْتَسِلْ كُلًّ يَوْمٍ إِنْ شِئْتَ فَقَالَ
لاَ الغُسْل الَّذِي هُوَ الغُسْلُ قَالَ يَوْمَ الجُُُمُعَةِ وَيَوْمَ
عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الفِطْرِ
Seseorang pernah bertanya pada ‘Ali
radhiyallahu ‘anhu mengenai mandi. ‘Ali menjawab, “Mandilah setiap hari
jika kamu mau.” Orang tadi berkata, “Bukan. Maksudku, manakah mandi yang
dianjurkan?” ‘Ali menjawab, “Mandi pada hari Jum’at, hari ‘Arofah, hari
Idul Adha dan Idul Fithri.” (HR. Al Baihaqi 3/278. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ 1/177)
Riwayat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Dari Nafi’, (ia berkata bahwa) ‘Abdullah
bin ‘Umar biasa mandi di hari Idul Fithri sebelum ia berangkat pagi-pagi
ke tanah lapang. (HR. Malik dalam Muwatho’ 426. An Nawawi menyatakan
bahwa atsar ini shahih[10])
Kedua: Mandi ketika ihrom untuk haji atau umroh.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَجَرَّدَ لإِهْلاَلِهِ وَاغْتَسَلَ
“Ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melepas pakaian beliau yang dijahit, lalu beliau mandi.” Abu Isa
At Tirmidzi berkata, “Ini merupakan hadits hasan gharib. Sebagian ulama
menyunahkan mandi pada waktu ihram. Ini juga pendapat Asy Syafi’i.” (HR.
Tirmidzi no. 830. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Anjuran untuk mandi ketika ihrom ini adalah pendapat mayoritas
ulama[11].
Ketiga: Ketika masuk Mekkah.
Hal ini dianjurkan berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Nafi’ berkata,
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يَقْدَمُ
مَكَّةَ إِلاَّ بَاتَ بِذِى طَوًى حَتَّى يُصْبِحَ وَيَغْتَسِلَ ثُمَّ
يَدْخُلُ مَكَّةَ نَهَارًا وَيَذْكُرُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه
وسلم- أَنَّهُ فَعَلَهُ.
“Ibnu Umar tidak pernah memasuki kota
Makkah kecuali ia bermalam terlebih dahulu di Dzi Thuwa sampai waktu
pagi datang. Setelah itu, ia mandi dan baru memasuki kota Makkah pada
siang harinya. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, bahwa beliau melakukannya.” (HR. Muslim no. 1259)
An Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa
ulama Syafi’iyah mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah adalah mandi
yang disunnahkan. Jika tidak mampu melakukannya, maka diperkenankan
dengan tayamum.”[12]
Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar
rahimahullah, Ibnul Mundzir mengatakan, “Mandi ketika memasuki Mekkah
disunnahkan menurut kebanyakan ulama. Jika tidak dilakukan, tidak
dikenai fidyah ketika itu. Kebanyakan ulama mengatakan bahwa mandi
ketika itu bisa pula diganti dengan wudhu.”[13]
Keempat: Mandi ketika sadar dari pingsan.
Dianjurkannya hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits yang cukup panjang.
Dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdullah bin ‘Utbah
berkata, “Aku masuk menemui ‘Aisyah aku lalu berkata kepadanya, “Maukah
engkau menceritakan kepadaku tentang peristiwa yang pernah terjadi
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit?” ‘Aisyah
menjawab, “Ya. Pernah suatu hari ketika sakit Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam semakin berat, beliau bertanya: “Apakah orang-orang sudah
shalat?” Kami menjawab, “Belum, mereka masih menunggu tuan.” Beliau pun
bersabda, “Kalau begitu, bawakan aku air dalam bejana.” Maka kami pun
melaksanakan apa yang diminta beliau. Beliau lalu mandi, lalu berusaha
berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh pingsan. Ketika sudah sadarkan
diri, beliau kembali bertanya, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami
menjawab, “Belum wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian
beliau berkata lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk
dan mandi. Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun
beliau jatuh pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri kembali, beliau
berkata, “Apakah orang-orang sudah shalat?” Kami menjawab lagi, “Belum
wahai Rasulullah, mereka masih menunggu tuan.” Kemudian beliau berkata
lagi, “Bawakan aku air dalam bejana.” Beliau lalu duduk dan mandi.
Kemudian beliau berusaha untuk berdiri dan berangkat, namun beliau jatuh
dan pingsan lagi. Ketika sudah sadarkan diri, beliau pun bersabda,
“Apakah orang-orang sudah shalat?” Saat itu orang-orang sudah menunggu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid untuk shalat ‘Isya di waktu
yang akhir. (HR. Bukhari no. 687 dan Muslim no. 418)
An Nawawi menjelaskan, “Hadits ini adalah
dalil disunnahkannya untuk mandi setelah sadar dari pingsan. Jika
pingsan tersebut terjadi berulang kali, maka mandi pun dianjurkan
berulang kali. Namun jika ia baru mandi setelah beberapa kali pingsan,
maka itu pun boleh dengan cukup sekali mandi.”[14]
Kelima: Mandi ketika ingin mengulangi jima’ (bersenggama dengan istri).
Berdasarkan hadits Abu Rofi’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
طَافَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى نِسَائِهِ يَغْتَسِلُ عِنْدَ هَذِهِ وَعِنْدَ
هَذِهِ. قَالَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَجْعَلُهُ غُسْلاً
وَاحِدًا قَالَ « هَذَا أَزْكَى وَأَطْيَبُ وَأَطْهَرُ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
suatu hari pernah menggilir istri-istri beliau, beliau mandi tiap kali
selesai berhubungan bersama ini dan ini. Aku bertanya, “Ya Rasulullah,
bukankah lebih baik engkau cukup sekali mandi saja?” Beliau menjawab,
“Seperti ini lebih suci dan lebih baik serta lebih bersih.” (HR. Abu
Daud no. 219 dan Ahmad 6/8. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
hasan)
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits
ini menunjukkan disunnahkannya mandi ketika ingin mengulangi senggama
dengan istri. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.”[15]
Namun ketika ingin mengulangi senggama
cukup dengan berwudhu saja, itu dibolehkan. Sebagaimana dalam hadits Abu
Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Jika salah seorang di antara kalian
mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka
hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Semua hadits ini menunjukkan bahwa boleh bagi seseorang yang dalam
keadaan junub untuk tidur, makan, minum, dan kembali bersenggama dengan
istrinya sebelum ia mandi. Hal ini telah disepakati oleh para ulama.
Para ulama pun sepakat bahwa badan dan keringat orang yang junub itu
suci. Namun untuk melakukan hal-hal tadi dianjurkan untuk berwudhu
dengan mencuci kemaluan (lebih dulu).”[16]
Keenam: Mandi setiap kali shalat bagi wanita istihadhoh.
Ini disunnahkan berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ اسْتُحِيضَتْ سَبْعَ
سِنِينَ ، فَسَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ ذَلِكَ
، فَأَمَرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ فَقَالَ « هَذَا عِرْقٌ » . فَكَانَتْ
تَغْتَسِلُ لِكُلِّ صَلاَةٍ
“Ummu Habibah mengeluarkan darah
istihadhah (darah penyakit) selama tujuh tahun. Lalu ia bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah itu. Beliau
lalu memerintahkan kepadanya untuk mandi, beliau bersabda, “Ini akibat
urat yang luka (darah penyakit).” Maka Ummu Habibah selalu mandi untuk
setiap kali shalat.” (HR. Bukhari no. 327 dan Muslim no. 334)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu Habibah untuk
mandi, lalu shalat. Namun mandi setiap kali shalat untuknya hanyalah
sunnah (tidak sampai wajib)”. Demikian pula dikatakan oleh Al Laits bin
Sa’ad dalam riwayatnya pada Imam Muslim, di sana Ibnu Syihab tidak
menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ummu
Habibah untuk mandi setiap kali shalat. Namun Ummu Habibah saja yang
melakukannya setiap kali shalat. [17]
Mayoritas ulama berpandangan bahwa wanita
istihadhoh tidak wajib mandi untuk setiap kali shalat. Di antara
alasannya disampaikan oleh Al Muhallab bahwa darah istihadhoh adalah
darah penyakit (akibat urat yang luka) sehingga tidak menyebabkan wajib
mandi.[18] Sudah barang tentu jika setiap kali shalat diwajibkan untuk
mandi, maka ini adalah sesuatu yang teramat sulit.
Masalah: Mandi Setelah Memandikan Mayit
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مِنْ غُسْلِهِ الْغُسْلُ وَمِنْ حَمْلِهِ الْوُضُوءُ
“Setelah memandikan mayit, maka hendaklah
mandi dan setelah memikulnya, hendaklah berwudhu.” (HR. Tirmidzi no.
993. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam lafazh lain,
مَنْ غَسَّلَ الْمَيِّتَ فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa memandikan mayit, maka
hendaklah ia mandi. Barangsiapa yang memikulnya, hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Daud no. 3161. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Hadits di atas dikatakan sebagai hadits
mudhthorib yang didho’ifkan oleh ulama pakar hadits semacam Ibnul
Madini, Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Yahya, Asy Syafi’i, Ibnul
Mundzir, Al Baihaqi dan selainnya.[19]
Ada penjelasan menarik dari Abu Isa At Tirmidzi berikut ini.
(Abu Isa At Tirmidzi) berkata, “Hadits
semakna diriwayatkan dari Ali dan ‘Aisyah.” Abu ‘Isa berkata, “Hadits
Abu Hurairah merupakan hadits hasan. Hadits ini juga diriwayatkan dari
Abu Hurairah secara mauquf (cuma perkataan Abu Hurairah).
Para ulama berselisih pendapat mengenai
orang yang memandikan mayit. Sebagian mereka dari kalangan sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya berpendapat, “Jika dia
memandikan mayit maka dia wajib mandi”. Dan sebagian mereka berpendapat,
“Dia hanya wajib berwudhu.”
Malik bin Anas berkata, “Saya lebih suka
mandi setelah memandikan mayit, namun tidak menganggapnya wajib.”
Demikian juga pendapat Imam Asy Syafi’i. Imam Ahmad berkata, “Seorang
yang telah memandikan mayit, aku berharap dia tidak wajib untuk mandi,
namun minimal dia berwudlu.” Ishaq berkata, “Dia wajib berwudlu.”
(Abu Isa At Tirmidzi) berkata,
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Mubarak, ia berkata bahwa seorang yang
memandikan mayit tidak wajib baginya untuk mandi atau juga
berwudhu.”[20]
Pendapat yang tepat dalam masalah ini
adalah seseorang yang memandikan mayit tidak diwajibkan mandi hanya
disunnahkan saja. Inilah pendapat mayoritas ulama dari para sahabat dan
ulama sesudahnya.[21] Namun minimal ia bisa berwudhu sebagaimana
pendapat sebagian ulama yang kami sebutkan di atas. Wallahu a’lam bish
showab.
Insya Allah akan dilanjutkan dengan Mandi Jum’at.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh http://www.rumaysho.com
[1] Al Badr Al Munir, 5/42, dorar.net
[2] Ad Diroyah, 1/50, dorar.net
[3] As Sailul Jaror, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 74-75, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, 1425 H.
[4] Dho’if Ibnu Majah no. 273.
[5] Al Majmu’, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 5/7, Mawqi’ Ya’sub.
[6] Tahdzibul Kamal, 4/152, dorar.net.
[7] Al Muhadzdzab, 3/1214, dorar.net.
[8] Al Badr Al Munir, 5/41.
[9] Ad Diroyah, 1/50.
[10] Lihat Al Majmu’, 5/6.
[11] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah Syarh Ad Duroril Bahiyah, Shidiq Hasan Khon, hal. 85, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1422.
[12] Al Minhaj Syarh Muslim bin Al Hajjaj, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, 9/5, Dar Ihya’ At Turots, 1392.
[13] Lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 3/435, Darul Ma’rifah, 1379.
[14] Al Minhaj Syarh Muslim, 4/136.
[15] ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi, 1/254, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1415
[16] Al Minhaj Syarh Muslim, 3/217.
[17] Lihat Fathul Bari, 1/427.
[18] Lihat -idem-.
[19] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/627, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[20] Al Jaami’ Ash Shohih Sunan At Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa At Tirmidzi, 3/318, Dar Ihya’ At Turots Beirut.
[21] Shahih Fiqh Sunnah, 1/628.
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/13/5-mandi-yang-hukumnya-sunnah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar