Tapi tidaklah diragukan bahwa yang paling
utama adalah membiarkannya tanpa dikeringkan berdasarkan hadits Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhary-Muslim :
أَعْتَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ بِالْعِشَاءِ فَخَرَجَ عَمَرُ فَقَالَ يَا
رَسُوْلَ اللهِ رَقَدَ النِّسَاءُ وَالصِّبْيَانُ. فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ
يَقْطُرُ مَاءً يَقُوْلُ : لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ أَوْ
عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِهَذِهِ الصَّلَاةِ فِيْ هَذِهِ
السَّاعَةِ.
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam mengakhirkan sholat ‘Isya sampai mendekati pertengahan malam.
Maka keluarlah ‘Umar lalu berkata : “Wahai Rasulullah, para perempuan
dan anak kecil telah tidur’. Maka keluarlah beliau dan kepalanya masih
meneteskan air seraya berkata : “Andaikata tidak memberatkan umatku atau
manusia maka saya akan memerintahkan mereka untuk melakukan sholat
(‘Isya) pada waktu ini”.”.
Berkata Ibnul Mulaqqin dalam Al-I’lam
2/292 : “Dalam (hadits ini) menunjukkan tidak ber-tansyif (menyeka air
dari anggota tubuh) karena andaikata beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam ber- tansyif niscaya kepalanya tidak meneteskan air dan
tidak seorangpun yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara kepala dan
badan dalam hal tansyif “.
Adapun lafadz yang dipakai sebagian ulama tentang makruhnya hal tersebut yaitu lafadz dalam hadits Maimunah :
فَأَتَيْتُهُ بِحِرْقَةٍ فَلَمْ يًُرِدْهَا
“Maka sayapun memberikan kepada beliau secarik kain maka beliau tidak menginginkannya”.
Maka dapat dijawab dari beberapa sisi :
a. Sebagian rawi keliru dalam menetapkan lafadz ini dengan membacanya فَلَمْ يَرُدَّ هَا yang benarnya adalah فلم يُِردْهَا .
Kata Al-Hafidz Ibnu Hajar : Dengan
di-dhomma awalnya dan dal-nya disukun dari الْإِرَادَةُ dan asalnya ”
يُرِيْدُهَا ” tetapi di-jazm-kan dengan lam. Maka siapa yang membacanya
di-fathah awalnya (ya`-nya) dan di-tasydid dal-nya maka dia merubah dan
merusak maknanya. Dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Affan dari Abu
‘Awanah dengan sanad ini dan diakhirnya beliau berkata :
فَقَالَ : هَكَذَا وَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ لاَ أُرِيْدُهَا.
“Dan dia berkata demikian dan memberikan
isyarat dengan tangannya bahwasanya dia tidak menginginkannya”. (Lihat :
Fathul Bary 1/376)
b. Ini kejadian tersendiri dan kenyatan
tertentu yang tidak boleh diterapkan sebagai dalil secara umum. Apalagi
memuat beberapa kemungkinan seperti kemungkinan kotor, basah, merasa
cukup dan tidak perlu dan lain-lain. Wallahu A’lam.
c. Maimunah yang memberikan kain kepada
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa
kebiasaan beliau setelah mandi adalah menggunakan kain tapi dalam
kesempatan ini saja beliau tidak memakainya. Dari keterangan ini, boleh
jadi hadits ini bermakna sunnah sebagai kebalikan dari apa yang mereka
pahami bahwa mamakai kain setelah mandi adalah makruh.
Dan ini adalah pendapat Hasan Al-Basri,
Ibnu Sirin, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad, Malik, dan lain-lain. (Lihat :
Syarh Sunnah : 2/15, Ihkamul Ahkam : 1/97, At-Tamhid : 2/276 dan
Asy-Syarh Al-Mumti’ : 1/253).
http://www.an-nashihah.com/?page=artikel-detail&topik=&artikel=6
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/15/tidaklah-makruh-menyeka-anggota-badan-setelah-mandi-wajib/