A. Mengetahui Masuknya Waktu
Berdasarkan firman Allah:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“... Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa': 103].
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.
B. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
Berdasarkan firman Allah:
أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah...”
[Al-Maa-idah: 6].
Dan hadits Ibnu 'Umar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.
"Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci." [1]
C. Kesucian Baju, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian baju adalah firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” [Al-Muddatstsir: 4].
Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا
جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُقَلِّبْ نَعْلَيْهِ، وَلِيَنْظُرْ
فِيْهِمَا فَإِنْ رَأَى خَبَثًا، فَلْيَمْسَحْهُ بِاْلأَرْضِ ثُمَّ
لِيُصَلِّ فِيْهِمَا.
"Jika salah
seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah ia membalik
sandal dan melihatnya. Jika ia melihat najis, maka hendaklah ia
menggosokkannya dengan tanah. Kemudian hendaklah ia shalat
dengannya."[2]
Adapun dalil bagi disyaratkannya
kesucian badan adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
'Ali. Dia menanyai beliau tentang madzi dan berkata:
تَوَضَّأْ وَاغْسِلْ ذَكَرَكَ.
"Wudhu' dan basuhlah kemaluanmu." [3]
Beliau berkata pada wanita yang istihadhah:
اِغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّيْ.
"Basuhlah darah itu darimu dan shalatlah." [4]
Adapun dalil bagi sucinya tempat
adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para
Sahabatnya di saat seorang Badui kencing di dalam masjid:
أَرِيْقُوْا عَلى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ.
“Siramlah air kencingnya dengan air satu ember.” [5]
Catatan:
Barangsiapa
telah shalat dan dia tidak tahu kalau dia terkena najis, maka shalatnya
sah dan tidak wajib mengulang. Jika dia mengetahuinya ketika shalat,
maka jika memungkinkan untuk menghilangkannya -seperti di sandal, atau
pakaian yang lebih dari untuk menutup aurat- maka dia harus
melepaskannya dan menyempurnakan shalatnya. Jika tidak memungkinkan
untuk itu, maka dia tetap melanjutkan shalatnya dan tidak wajib
mengulang.
Berdasarkan hadits Abu Sa'id:
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat lalu melepaskan kedua
sandalnya. Maka orang-orang pun turut melepas sandal-sandal mereka.
Ketika selesai, beliau membalikkan badan dan berkata, 'Kenapa kalian
melepas sandal kalian?' Mereka menjawab, 'Kami melihat Anda melepasnya,
maka kami pun melepasnya.' Beliau berkata, 'Sesungguhnya Jibril datang
kepadaku dan mengatakan bahwa pada kedua sandalku terdapat najis. Jika
salah seorang di antara kalian mendatangi masjid, maka hendaklah
membalik sandalnya dan melihatnya. Jika dia melihat najis, hendaklah ia
gosokkan ke tanah. Kemudian hendaklah ia shalat dengannya.'”[6]
D. Menutup Aurat
Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” [Al-A'raaf: 31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan
lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu'aib Radhiyallahu anhum,
dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
Dari Jarhad al-Aslami, ia
berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lewat ketika aku mengenakan
kain yang tersingkap hingga pahaku terlihat. Beliau bersabda:
غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ.
"Tutuplah pahamu. Karena sesungguhnya paha adalah aurat." [9]
Sedangkan bagi wanita, maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya dalam shalat.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.
“Wanita adalah aurat.” [10]
Juga sabda beliau:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah pernah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan kain penutup." [11]
E. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“...
maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu
(sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya...” [Al-Baqarah:
150].
Juga sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu'lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat...” [12]
Boleh (shalat) dengan tidak
menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika
shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan...” [Al-Baqarah: 239].
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Menghadap ke Kiblat atau tidak menghadap ke sana.”
Nafi'
berkata, “Menurutku, tidaklah Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
[13]
Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu
anhuma, ia berkata, “Dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di
atas kendaraannya menghadap ke arah mana saja dan shalat Witir di
atasnya. Namun, beliau tidak shalat wajib di atasnya.” [14]
Catatan:
Barangsiapa
berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang
disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia
tidak wajib mengulang.
Dari 'Amir bin Rabi’ah
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang
gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari
kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami
ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu
turunlah ayat:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“... maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah...” [Al-Baqarah: 115].”[15]
F. Niat
Hendaklah
orang yang ingin shalat meniatkan dan menentukan shalat yang hendak ia
kerjakan dengan hatinya, misalnya seperti (meniatkan) shalat Zhuhur,
‘Ashar, atau shalat sunnahnya [16]. Tidak disyari’atkan mengucapkannya
karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkannya.
Jika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau
mengucapan, “Allaahu Akbar,” dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya.
Sebelumnya beliau tidak melafazhkan niat sama sekali, dan tidak pula
mengucapkan, “Aku shalat untuk Allah, shalat ini, menghadap Kiblat,
empat raka’at, sebagai imam atau makmum.” Tidak juga mengucapkan, “Tunai
atau qadha'...”
Ini semua adalah bid'ah. Tidak
seorang pun meriwayatkannya dengan sanad shahih atau dha'if, musnad atau
pun mursal. Tidak satu lafazh pun. Tidak dari salah seorang Sahabat
beliau, dan tidak pula dianggap baik oleh Tabi’in, ataupun Imam yang
empat. [17]
(*) Bisa dibaca pembahasan tentang Niat disini:
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Telah disebutkan takhrijnya.
[2]. Telah disebutkan takhrijnya.
[3]. Telah disebutkan takhrijnya.
[4].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/42, dan 428
no. 331)], Shahiih Muslim (I/261 no. 333), Sunan at-Tirmidzi (I/82 no.
125), Sunan Ibni Majah (I/203 no. 621), Sunan an-Nasa-i (I/184).
[5]. Telah disebutkan takhrijnya.
[6]. Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/353 no. 636).
[7].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan
Ibni Majah (I/215 no. 655).
[8]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 271)], diriwayatkan oleh ad-Daraquthni, Ahmad, dan Abu Dawud.
[9].
Shahih lighairihi: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 269)], Sunan at-Tirmidzi
(IV/197 no. 2948), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XI/52 no. 3995),
lihat perkataan Ibnul Qayyim t tentang masalah ini dalam Tahdziibus
Sunan (XVII/6).
[10]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 6690)] dan Sunan at-Tirmidzi (II/ 319 no. 1183).
[11].
Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 534)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/345 no. 627), Sunan at-Tirmidzi (I/234 no. 375) dan Sunan
Ibni Majah (I/ 215 no. 655).
[12]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (XI/36 no. 6251)], Shahiih Muslim (I/298 no. 397).
[13]. Shahih: [Muwaththa’ al-Imam Malik (126/442)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/199 no. 4535).
[14].
Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/487 no. 700 (69))], Shahiih
al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/575 no. 1098), secara mu’allaq.
[15].
Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 835)], Sunan at-Tirmidzi (I/216
no. 343), Sunan Ibni Majah (I/326 no. 1020), dengan lafazh serupa,
begitu pula pada al-Baihaqi (II/11).
[16]. Talkhiish Shifat ash-Shalaah, karya Syaikh al-Albani, hal. 12.
[17]. Zaadul Ma'aad (I/51).
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.