Dan sudah masyhur di kalangan ulama bahwa bab haid ini termasuk dari bab
tersulit dalam bab-bab fiqhi, sampai-sampai masyhur dari Imam Ahmad
-rahimahullah- bahwa beliau berkata, “Saya duduk mempelajari masalah
haid selama 9 tahun sampai akhirnya saya bisa memahaminya.” Karenanya
untuk mendekatkan pemahaman masalah ini kepada kaum muslimin sekalian
-terkhusus kaum muslimah-, kami mencoba untuk meringkas masalah-masalah
yang terdapat dalam bab haid ini, wallahul muwaffiq.
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita
ada tiga jenis: Darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah.
Definisi Haid.
Haid secara bahasa bermakna mengalir.
Adapun secara istilah, Al-Bahuti berkata, “Dia adalah darah kebiasaan
wanita yang berasal dari dasar rahim, pada waktu-waktu tertentu.”
(Ar-Raudh Al-Murbi’ -Hasyiah Ibni Qasim-: 1/370) Dan sebagian ulama ada
yang menambahkan definisinya: Bukan dikarenakan sebab melahirkan.
Ucapan Al-Bahuti, “Darah kebiasaan,” maka bukan tergolong haid, darah yang keluar karena adanya penyakit dan semacamnya.
Kalimat ‘dalam rahim, menunjukkan darah istihadhah bukanlah haid karena dia berasal dari urat yang pecah yang bernama al-adzil.
‘Pada waktu-waktu tertentu’ maksudnya: Darah haid ini keluar pada
waktu-waktu tertentu saja, yang mana waktu tertentu tersebut sudah
diketahui oleh setiap wanita dan mereka menamakannya sebagai adat
keluarnya haid.
‘Bukan dikarenakan sebab melahirkan’, keluar darinya darah nifas, karena dia keluar akibat melahirkan.
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 13-14]
[Lihat: Al-Ahkam Al-Mutarattibah ala Al-Haidh wa An-Nifas wa Al-Istihadhah hal. 13-14]
Ciri-Ciri Darah Haid.
Dia adalah darah tebal yang keluar dari rahim, berwarna hitam lagi busuk baunya, dan setelah keluar tetap dalam keadaan cair.
Ciri-ciri di atas harus diperhatikan dengan baik, karena akan
diterangkan bahwa darah istihadhah mempunyai ciri-ciri yang berbeda
dengannya. Sementara hukum-hukum haid dan istihadhah itu berbeda.
Karenanya barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kedua jenis
darah ini maka dia akan terjatuh dalam kesalahan dalam memberikan hukum
pada wanita yang terkena haid atau istihadhah.
Najisnya Darah Haid.
Darah haid adalah najis berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran (najis).” (QS. Al-Baqarah: 222). Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah bersabda tentang pakaian yang terkena darah haid, “Hendaknya dia mengeruknya lalu menggosoknya dengan air lalu menyiramnya.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Asma` bintu Abi Bakr)
Dan ini jelas
menunjukkan najisnya. Dan An-Nawawi menukil ijma’ kaum muslimin akan
najisnya darah haid.
Penentuan Masa Haid.
Ada dua perkara yang dijadikan sandaran dalam menentukan masa haid:
1. Adat. Yaitu lama biasanya darah haid keluar dari seorang wanita setiap bulannya. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 7 hari, maka berarti adat haidnya 7 hari. Kalau biasanya haid keluar setiap akhir bulan selama sekitar 5 atau 6 hari, maka berarti adat dia setiap akhir bulan berkisar antara 5 atau 6 hari. Demikian seterusnya.
1. Adat. Yaitu lama biasanya darah haid keluar dari seorang wanita setiap bulannya. Misalnya kalau setiap bulan darah haidnya keluar selama 7 hari, maka berarti adat haidnya 7 hari. Kalau biasanya haid keluar setiap akhir bulan selama sekitar 5 atau 6 hari, maka berarti adat dia setiap akhir bulan berkisar antara 5 atau 6 hari. Demikian seterusnya.
Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Jahsy, “… akan tetapi tinggalkanlah shalat selama hari-hari yang biasanya kamu haid pada hari-hari itu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Perlu diketahui bahwa suatu durasi dikatakan dia sebagai adat dari
wanita tersebut kalau durasi itu berulang selama tiga kali
berturut-turut. Karenanya wanita yang pertama kali haid belum bisa
diketahui berapa adatnya, sampai dilihat kapan darahnya keluar pada
bulan pertama haidnya. Kalau pada bulan kedua dan ketiga, darah haid
keluar pada waktu yang sama pada bulan pertama maka barulah dikatakan
itu adalah adat haidnya, wallahu a’lam. Ini adalah pendapat yang
dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah, Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dan
Asy-Syaikh Muqbil -rahimahumullah-.
2. Tamyiz. Yaitu dengan memperhatikan darah yang keluar dari
kemaluannya. Kalau yang keluar sesuai dengan ciri-ciri haid yang telah
disebutkan di atas maka berarti dia sekarang terkena haid. Tapi kalau
tidak sesuai dengan ciri-ciri haid maka berarti dia tetap suci walaupun
ada darah yang keluar.
Dalilnya adalah sabda Nabi -shallallahu alaihi wasallam- kepada Fathimah binti Abi Hubaisy yang terkena istihadhah, “Itu
hanyalah urat yang pecah dan bukan darah haid. Kalau darah haid sudah
datang maka tinggalkanlah shalat dan kalau dia sudah berlalu maka
cucilah darah darimu lalu shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 306 dan Muslim no. 333)
Dalah hadits ini beliau menjadikan tanda datangnya haid adalah dengan datangnya darah yang sesuai dengan ciri-ciri haid.
Tanda Datang dan Selesainya Haid.
Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah hitam lagi busuk, pada waktu-waktu yang biasanya dia haid di situ.
Adapun selesainya haid, maka bisa diketahui dengan dua cara:
1. Keluarnya al-qashshah al-baidha`, yaitu cairan putih yang keluar dari kemaluannya di akhir masa adat haid.
Aisyah -radhiallahu anha- berkata kepada para wanita, “Janganlah kalian tergesa-gesa (mandi suci) sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha`,” yang dia maksudkan adalah tanda suci dari haid. (HR. Malik hal. 59 dan Abdurrazzaq: 1/302)
Aisyah -radhiallahu anha- berkata kepada para wanita, “Janganlah kalian tergesa-gesa (mandi suci) sampai kalian melihat al-qashshah al-baidha`,” yang dia maksudkan adalah tanda suci dari haid. (HR. Malik hal. 59 dan Abdurrazzaq: 1/302)
2. Dengan al-jufuf, yaitu seorang wanita meletakkan kain katun atau
yang semacamnya ke dalam kemaluannya, kalau kainnya kering maka berarti
dia telah suci.
Durasi Minimal dan Maksimal Masa Haid.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Para
ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada
sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir berkata, “Ada sekelompok ulama yang berpendapat bahwa
masa haid itu tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau
maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas dan menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al
Qur’an, Sunnah dan logika.” Selesai ucapan Asy-Syaikh.
Jadi, tidak ada durasi minimal dan maksimal masa haid, akan tetapi semua
ini dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid.
Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”, oleh sebab itu, hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci…” (QS. Al Baqarah: 222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah
kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun
lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum
(larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya.
Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak
haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut. Ini adalah pendapat
Ali bin Abi Thalib, Imam Malik, Maimun bin Mihran, Al-Auzai dan Daud
Azh-Zhahiri, serta dikuatkan pula oleh Imam Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Rusyd,
Ibnu Taimiah dan Ibnu Rajab.
Usia Minimal dan Maksimal Wanita Terkena Haid.
Tidak ada keterangan dari Al-Kitab dan As-Sunnah dalam masalah ini, maka
yang benarnya dikembalikan kepada adat kebiasaan seorang wanita. Kapan
ada darah yang keluar dari kemaluannya pada masa-masa yang biasanya
dia haid di situ dan ciri-cirinya adalah darah haid, maka itu dihukumi
sebagai haid, berapapun usia wanita tersebut.
Asy-Syaikh Muhammad Al-Utsaimin berkata, “Usia haid biasanya antara 12
sampai 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50
tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang
mempengaruhinya. Para ulama, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan
tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid
sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan pendapat-pendapat dalam masalah ini,
mengatakan: “Hal ini semua, menurut saya keliru. Sebab, yang menjadi
acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi
sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu”. Pendapat Ad Darimi
inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Jadi kapanpun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid,
meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan
darah tersebut. Maka dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan
darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan pada
masalah di atas tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.”
Ini juga adalah pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Al-Mundzir, An-Nawawi dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahumullah-.
Sebagai lanjutan dari pembahasan haid
yang telah berlalu, berikut beberapa masalah yang belum sempat kami
bawakan pada dua edisi sebelumnya:
Hukum ash-shufrah (cairan kuning yang bercampur merah) dan al-kudrah (cairan keruh yang menyerupai nanah).
Dari Ummu Athiyah -radhiallahu anha- dia berkata, “Kami (di zaman
Nabi) sama sekali tidak menghukumi ash-shufrah dan al-kudrah sebagai
haid, kalau keduanya keluar setelah masa suci.” (HR. Abu Daud no. 307, An-Nasai: 1/186 dan Ibnu Majah no. 647)
Maka hadits ini tegas menunjukkan bahwa: Kalau keduanya keluar pada masa
adat haid maka keduanya dihukumi haid. Tapi kalau keluarnya setelah
berlalunya masa adat haid, maka dia tidak dianggap haid sama sekali,
bahkan dia suci dan tetap wajib mengerjakan shalat serta kewajiban
lainnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Aisyah
-radhiallahu anha-, Said bin Al-Musayyab, Atha`, Sufyan Ats-Tsauri,
Al-Auzai, Abu Hanifah, Ishaq bin Rahawaih, Abdurrahman bin Mahdi dan
selainnya.
Apakah Wanita Hamil Bisa Haid?
Kita katakan: Hukum asal dan kaidah umum yang biasanya terjadi adalah
bahwa wanita yang hamil tidak bisa haid. Akan tetapi pada sebagian
wanita yang keluar dari hukum umum ini sehingga dia tetap mengeluarkan
darah di masa-masa hamilnya. Masalahnya apa hukum darah yang keluar ini?
Jawabannya: Kalau darah yang keluar saat hamil ini mempunyai ciri-ciri
darah haid dan keluarnya juga pada masa adat haid, maka darah itu
dihukumi haid dan berlaku pada wanita itu hukum-hukum haid.
Kalau darah yang keluar tidak sesuai dengan ciri-ciri haid atau
keluarnya bukan pada masa adat haid maka dia tidaklah dihukumi haid,
bahkan wanita itu tetap dianggap suci dan berlaku padanya hukum-hukum
wanita yang suci.
Inilah pendapat yang benar, yaitu wanita yang hamil memungkinkan untuk
haid. Sebab, pada prinsipnya, darah yang keluar dari rahim wanita adalah
darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid.
Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur’an maupun Sunnah yang menolak
kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil. Dan juga kita katakan:
Kalau -misalnya- pada suatu bulan darah haid keluar pada masa adat haid
dalam keadaan dia tidak hamil, lantas bulan depannya darah dengan
ciri-ciri yang sama dan keluar pada waktu yang sama, tapi dalam keadaan
dia hamil. Maka sungguh suatu keanehan kalau darah pada bulan pertama
dihukumi haid sedang pada bulan berikutnya tidak dihukumi haid, padahal
ciri-ciri dan waktu keluarnya sama.
Inilah pendapat Qatadah, Malik (dalam satu riwayat), pendapat terbaru
Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahawaih dan Bakr bin Abdillah Al-Muzani. Bahkan
disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiah (hal. 30),
“Al-Baihaqi menyatakan bahwa ini adalah salah satu riwayat dari Imam
Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat
ini”. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh An-Nawawi, Ibnu Taimiah,
Ibnu Al-Qayyim, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil
-rahimahumullahu jamian-.
Dengan demikian, terjadilah sesuatu pada wanita hamil ketika haid,
sebagaimana apa yang terjadi pada wanita yang tidak hamil, kecuali dalam
dua masalah:
1. Talak. Diharamkan mentalak (mencerai) wanita tidak hamil dalam
keadaan haid, tetapi itu tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab
talak (perceraian) dalam keadaan haid terhadap wanita yang tidak hamil
menyalahi firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu menceraikan
istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).(QS. Ath-Thalaq: 1).
Adapun mencerai wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah Ta’ala. Sebab, siapa yang mencerai wanita hamil berarti ia menceraikannya pada saat dalam menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid atau suci, karena masa iddahnya adalah dalam kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mencerai wanita hamil, sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2. Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir pada saat melahirkan,
meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah
Ta’ala, “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath Thalaq: 4).
Beberapa Masalah Seputar Darah Haid.
1. Seorang wanita mempunyai adat 5 hari. Pada hari ke-5 darah sudah
tidak keluar tapi dia belum melihat tanda suci, apa yang dia lakukan?
Jawab: Dia sudah dihukumi suci dan wajib untuk mandi, walaupun tanda suci tidak keluar.
Jawab: Dia sudah dihukumi suci dan wajib untuk mandi, walaupun tanda suci tidak keluar.
2. Kalau ada wanita mempunya adat 6 hari, lantas pada 2 hari pertama
keluar darah, tapi pada 2 hari berikutnya tidak keluar darah, dan dua
hari terakhirnya darah keluar lagi. Apa hukum 2 hari yang tidak keluar
darah padanya?
Jawab: Tetap dihukumi sebagai masa haid walaupun darah tidak keluar, karena dia masih berada dalam masa adatnya. Kecuali kalau pada hari ketiga itu ada tanda suci, maka berarti dia dianggap suci pada kedua hari itu (hari 3 dan 4), lantas haid lagi pada dua hari berikutnya. Wallahu a’lam. Rincian ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- dan beliau menisbatkannya kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiah, serta yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
Jawab: Tetap dihukumi sebagai masa haid walaupun darah tidak keluar, karena dia masih berada dalam masa adatnya. Kecuali kalau pada hari ketiga itu ada tanda suci, maka berarti dia dianggap suci pada kedua hari itu (hari 3 dan 4), lantas haid lagi pada dua hari berikutnya. Wallahu a’lam. Rincian ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin -rahimahullah- dan beliau menisbatkannya kepada mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanafiah, serta yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah.
3. Seorang wanita mempunyai adat 7 hari, tapi pada sebagian bulan
darah keluar selama 10 hari. Apa hukum darah yang keluar pada tiga hari
terakhir?
Jawab: Kalau darah yang keluar pada tiga hari terakhir itu masih mempunyai ciri-ciri darah haid maka berarti dia masih dalam masa haid, kecuali kalau tanda suci sudah keluar pada hari ke-7 maka berarti setelahnya bukan lagi darah haid.
Jawab: Kalau darah yang keluar pada tiga hari terakhir itu masih mempunyai ciri-ciri darah haid maka berarti dia masih dalam masa haid, kecuali kalau tanda suci sudah keluar pada hari ke-7 maka berarti setelahnya bukan lagi darah haid.
Kalau darah pada 3 hari terakhir itu tidak mempunyai ciri-ciri haid maka
berarti wanita ini terkena istihadhah, dan tidak berlaku padanya hukum
haid. Insya Allah akan datang pembahasan khusus mengenai istihadhah.
[Update: Ini yang dahulu
kami pandang. Tapi belakangan kami berpendapat bahwa darah yang keluar
pada
3 hari setelah masa adat bukanlah haid secara mutlak walaupun
ciri-cirinya sama dengan haid. Jadi yang dia jadikan patokan adalah
adatnya, selama adatnya masih bagus]
4. Kebalikannya, seorang wanita mempunya adat 7 hari, tapi pada hari
ke-5 sudah keluar tanda suci. Apakah dia sudah dianggap suci?
Jawab: Ya, dia sudah suci dengan keluarnya tanda suci, walaupun adatnya belum selesai. Kedua masalah di atas disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Ustaimin -rahimahullah-.
5. Hukum memakai obat-obatan perangsang atau penunda haid.
Jawab: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Walaupun secara hukum dibolehkan, namun lebih utama untuk tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.”
Karenya para ulama memberikan tiga syarat dalam pembolehan penggunaan obat-obatan ini:
Jawab: Ya, dia sudah suci dengan keluarnya tanda suci, walaupun adatnya belum selesai. Kedua masalah di atas disebutkan oleh Asy-Syaikh Ibnu Al-Ustaimin -rahimahullah-.
5. Hukum memakai obat-obatan perangsang atau penunda haid.
Jawab: Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata, “Walaupun secara hukum dibolehkan, namun lebih utama untuk tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu. Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.”
Karenya para ulama memberikan tiga syarat dalam pembolehan penggunaan obat-obatan ini:
1. Tidak membahayakan dan memudharatkan dirinya. Kalau memberikan
mudharat pada dirinya, maka dia tidak diperbolehkan untuk memakainya.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah: 195).
Di antara mudharat yang mungkin timbul adalah: Membahayakan dirinya,
mengacaukan adat (siklus) haidnya dan beresiko menjadi mandul. Kalau
ketiga ini dipastikan tidak adanya maka boleh memakai obat-obatan
tersebut.
2. Tentunya dengan seizin suami.
3. Niat yang benar. Maka tidak dibolehkan seorang wanita memakai obat
perangsang haid dengan tujuan agar dia tidak mengerjakan shalat dan
puasa, dan semacamnya.
[Referensi: Risalah fi Ad-Dima`
Ath-Thabi’iyah li An-Nisa` karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, Shahih
Fiqh As-Sunnah karya Abu Malik: 1/206-209]
http://al-atsariyyah.com/mengenal-hukum-hukum-haid-1.html dan http://al-atsariyyah.com/mengenal-hukum-hukum-haid-2.html
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/04/pembahasan-lengkap-dan-ringkas-seputar-haid/