Sabtu, 07 Desember 2013

Mengusap Khuf, Kaos Kaki dan Jilbab dalam Wudhu

Penulis: Ummu Ziyad
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Kita telah mempelajari tata cara wudhu bagi muslimah pada artikel yang telah lalu. Nah, sekarang mari kita melengkapi pengetahuan kita tentang tata cara wudhu yaitu bab mengusap khuf – yang ini merupakan keringanan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada hamba-Nya.
Sebelum masuk pada pembahasan, pada artikel yang lalu, telah masuk beberapa  pertanyaan berkaitan dengan tata cara wudhu bagi muslimah ketika berada di luar rumah. Dan menjawab hal ini, kondisi paling aman bagi muslimah adalah berwudhu di ruangan tertutup sehingga ketika muslimah hendak menyempurnakan mengusap atau membasuh anggota tubuh yang wajib dikenakan air wudhu, auratnya  tidak terlihat oleh orang-orang yang bukan mahramnya. Sayangnya, tidak semua masjid menyediakan tempat wudhu yang berada di ruangan tertutup.

Alternatif lain adalah dengan wudhu di kamar mandi. Sebagian orang merasa khawatir dan ragu-ragu bila wudhu di kamar mandi wudhunya tidak sah karena kamar mandi merupakan tempat yang biasa digunakan untuk buang hajat. Sehingga kemungkinan besar terdapat najis di dalamnya. Wudhu di kamar mandi hukumnya boleh. Asalkan tidak dikhawatirkan terkena/ terpercik najis yang mungkin ada di kamar mandi. Kita ingat kaidah yang menyebutkan “Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan.” Keragu-raguan atau kekhawatiran kita terkena najis tidak bisa dijadikan dasar tidak bolehnya wudhu di kamar mandi, kecuali setelah kita benar-benar yakin bahwa jika wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terpeciki najis. Jika kita telah memastikan bahwa lantai kamar mandi bersih dari najis dan kita yakin tidak akan terkena/ terperciki najis, maka insya Allah tak mengapa wudhu di kamar mandi.

Sedangkan pelafadzan “bismillah” di kamar mandi, menurut pendapat yang lebih tepat adalah boleh melafadzkannya di kamar  mandi. Hal ini dikarenakan membaca bismillah pada saat wudhu hukumnya wajib, sedangkan menyebut nama Allah di kamar mandi hukumnya makruh. Kaidah mengatakan bahwa makruh itu berubah menjadi mubah jika ada hajat. Dan melaksanakan kewajiban adalah hajat.

Adapun membaca dzikir setelah wudhu dapat dilakukan setelah keluar kamar mandi, yaitu setelah membaca doa keluar kamar mandi. Untuk itu disarankan setelah berwudhu, tidak berlama-lama di kamar mandi (segera keluar).

Bagaimana bila kita yakin bahwa bila wudhu di kamar mandi kita akan terkena/ terperciki najis?
Dengan alasan terkena najis, maka sebaiknya tidak wudhu di kamar mandi atau disiram dulu sampai bersih.

Alternatif lainnya adalah dengan cara mengusap khuf. jaurab, dan jilbab tanpa harus membukanya. Pembahasan tentang ini masuk dalam bab mengusap khuf. Tentu timbul pertanyaan lain, bagaimana dengan tangan? Jika jilbab kita sesuai dengan syari’at, insya Allah hal ini bisa diatasi. Karena bagian tangan yang perlu dibasuh bisa dilakukan di balik jilbab kita yang terulur panjang. Sehingga tangan kita tidak akan terlihat oleh umum, insya Allah.
Wallahu a’lam bi shawab.

Definisi Khuf dan Jaurab
Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan bahwa khuf adalah sesuatu yang dipakai di kaki, terbuat dari kulit ataupun lainnya sedangkan jaurab adalah sesuatu yang dipakai di kaki, terbuat dari kapas dan semisalnya atau yang lebih dikenal oleh kebanyakan orang dengan kaos kaki.

Dalil Bolehnya Mengusap Khuf
Terdapat banyak hadits yang menunjukkan bolehnya mengusap khuf. Bahkan haditsnya mutawatir dari para sahabat sebagaimana al-Hasan al-Bashari rahimahullah dalam Al-Wajiz menyatakan, “Ada 70 sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang menyampaikan kepadaku, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam biasa mengusap kedua khufnya.”

Adapun salah satu hadits yang menerangkan tentang hal ini adalah hadits dari al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu. Ia menuturkan, “Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Aku pun jongkok untuk melepas kedua sepatu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,

‘Biarkan saja sepatu itu, karena aku memakainya dalam keadaan suci.’
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengusap kedua sepatu tersebut.” (HR. Bukhari)

Dalil lain adalah hadits dari Jarir radhiallahu ‘anhu, dimana para ulama terkagum oleh hadits ini karena Jarir radhiallahu ‘anhu masuk Islam setelah turun surat al-Maaidah ayat 6,
“Maka, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepala dan bsuhlah kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Qs. al-Maaidah: 6)

Ayat tersebut menunjukkan kewajiban membasuh sampai dengan kedua mata kaki. Sedangkan Jarir radhiallahu ‘anhu tentu juga telah mengetahui ayat ini. Namun, ia pernah mengusap kedua khufnya setelah kencing. Kemudian ia ditanya oleh seseorang,
“Engkau melakukan ini?”
Ia menjawab, “Ya, (karena) saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing lalu berwudhu dengan mengusap di atas kedua khufnya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no. 136)
Hal ini menunjukkan syari’at mengusap khuf ini tetap diamalkan dan tidak terhapus oleh surat al-Maaidah tersebut.

Syarat Mengusap Khuf
1. Memakai khuf/ jaurab tersebut dalam keadaan suci.
Sebagaimana dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa beliau memakainya dalam keadaan suci. Artinya kita dalam kondisi telah berwudhu (suci) sebelum mengenakan khuf tefrsebut. Adapun jika sucinya karena tayamum, maka tidak diperbolehkan mengusap khuf ketika berwudhu, dan wajib baginya membuka khuf ketika wudhu.

2. Khuf/ jaurab tersebut juga dalam keadaan suci (tidak ada najis) dan bukan najis.

3. Mengusapnya hanya karena hadats kecil. Adapun jika junub atau dalam keadaan yang mengharuskan kita mandi, maka khuf tersebut harus dilepas.

4. Mengusapnya dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat, yaitu sehari semalam untuk orang yang mukim (tidak safar) dan tiga hari tiga malam untuk orang yang safar.

Dan penentuan batasan waktu ini dimulai setelah pengusapan pertama. Misalnya, seseorang  yang mukim memakai khuf dalam keadaan suci. Kemudian ia mengusap khuf pada hari Senin pukul 15.00 WIB. Maka batasan akhir ia diperbolehkan mengusap khuf adalah hari Selasa pukul 15.00 WIB. Adapun jika ia musafir, kemudian ia mengusap khuf pertama kali pada hari Senin pukul 12.15 WIB, maka batasan akhir ia boleh mengusap khuf adalah hari Kamis pukul 12.15 WIB (dengan syarat ia tidak melakukan hal-hal yang menjadi pembatal bolehnya mengusap khuf).

Dalam mengusap khuf, tidak disyaratkan adanya niat bahwa ia nantinya akan bersuci dengan cara mengusap khuf.

Hal-Hal yang Membatalkan Bolehnya Mengusap Khuf
1. Hadats yang mewajibkan mandi, seperti junub.
2. Melepas khuf atau sejenisnya yang sedang dipakai,
3. Telah habis batasan waktu bolehnya mengusap khuf.

Perlu diperhatikan bahwa berakhirnya  masa diperbolehkan mengusap khuf tidaklah membatalkan keadaan suci yang masih dimiliki seseorang. Contohnya, seorang yang mukim dalam keadaan suci mengusap kaos kaki pukul 4.30 hari Selasa, dan pada pukul 4.00 hari Rabu ia wudhu dengan mengusap kaos kaki. Maka jika ia tetap dalam keadaan suci sampai pukul 4.35 atau setelahnya, ia tidak harus mengulangi wudhunya

Untuk seseorang yang memakai dua kaos kaki dalam keadaan suci, jika ia mengusap kaos kaki bagian atas kemudian ia melepaskan bagian atas tersebut, ia diperbolehkan mengusap kaos kaki yang kedua pada wudhu berikutnya. Hal ini disebabkan ia memakai dua kaos kaki tersebut dalam keadaan suci. Namun, jika seseorang memakai kaos kaki satu lapis kemudian mengusap kaos kaki tersebut dan setelah itu ia memakai kaos kaki yang kedua. Maka ia tidak diperbolehkan mengusap kaos kaki yang kedua, karena ia mengenakannya dalam keadaan tidak suci.

Cara Mengusap Khuf
Cara mengusap khuf adalah dengan mengusap bagian atas khuf sekali secara bersamaan dengan kedua tangan; tangan kanan untuk kaki kanan dan tangan kiri untuk kaki kiri.
Mengusap kaos kaki adalah sama seperti mengusap khuf. Sebagaimana dalam hadits dari Mughirah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu, beliau mengusap kaos kaki dan sandalnya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa apabila seseorang mengusap kaos kaki dan sandalnya secara bersama-sama hendaknya setelah mengusap tidak melepas sandalnya.(al-Mughni dalam Thaharah Nabi). Namun, bila seseorang melepas sandalnya, maka menurut pendapat yang rajih, ia boleh mengusap kaos kakinya ketika wudhu berikutnya. Hal ini sebagaimana keadaan orang yang memakai dua kaos kaki. Dan batasan waktunya terhitung dari usapan yang pertama.

Sedangkan mengusap jilbab bagi muslimah, dapat dilakukan dengan dua cara.
1. Mengusap hanya pada jilbab yang sedang dipakai, baik seluruhnya atau sebagiannya, yaitu sampai sebatas tengkuk.
2. Mengusap ubun-ubun (bagian kepala yang tampak) dan dilanjutkan mengusap jilbab.

Demikian penjelasan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memudahkan kita menjalankan salah satu bentuk ibadah ini. Aamiin.

Maraji’:
al-Wajiz (terj), ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka As-Sunnah, cetakan 2, Oktober 2006
Fatwa-Fatwa Seputar hukum Mengusap Dua Terompah dalam Berwudhu, Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin, Pustaka Arafah, cetakan  1,  2002
Thaharah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al Qahthani, Media Hidayah cetakan 1 Juni 2004
Catatan Kajian Al Wajiz bersama Ustadz Muslam 15 Maret 2004
Kajian Al Wajiz bersama ustadz Aris Munandar bulan Februari 2009
***
Artikel muslimah.or.id
http://aljaami.wordpress.com/2011/02/07/mengusap-khuf-kaos-kaki-dan-jilbab-dalam-wudhu/