Rabu, 04 Desember 2013

Fiqh Pada Masa Rasulullah

Hal yang patut dibanggakan dari generasi Muslim pertama, yakni para sahabat, adalah keimanan dan pembenaran mereka terhadap risalah Muhammad. Pada masa itu, Nabi benar-benar menjadi rujukan pokok dan referensi utama dalam penyelesaian urusan atau ketika menghadapi suatu masalah. Para sahabat menjadikan Nabi sebagai teladan mutlak, memperhatikan setiap perbuatannya, mencatat tingkah laku dan ucapannya, dan mengambil sepenuhnya tatacara ibadah dari Nabi saw.. Tidak ditemui sedikitpun penolakan dari para sahabat tersebut terhadap apa yang diputuskan oleh Nabi. Sikap ini digambarkan Al-Qur’an sebagai ciri dan syarat keimanan.

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An-Nisa/4:65).

Dalam menghadapi persoalan dan pertanyaan yang diajukan oleh para sahabatnya, Nabi saw., menjawab, menjelaskan, dan memberi fatwa hukum dengan empat cara: 1) Nabi menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an (wahyu) yang turun kepadanya; 2) dengan perkataan langsung yang disampaikan kepada mereka (Hadis qawliy); 3) dengar perbuatan yang dicontohkan dan mereka mengikutinya, (Hadisfi’liy); dan 4) dengan tidak melarang suatu perbuatan yang dilakukan sahabat (Hadistaqriiriy). Dari keempat model raspon Rasulullah di atas, terlihat bahwa yang pertama adalah langsung dijawab dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan 3 yang terakhir merupakan hasil ijtihad dan pemahaman Nabi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

Memang pada masa-masa belakangan terdapat segolongan orang, yang menganggap bahwa adanya intervensi Nabi saw., berupa tiga model respon yang terakhir mengindikasikan perbedaan level hukum. Bahkan yang lebih ekstrim, mereka hanya mau taat kepada respon pertama, yakni yang langsung ditunjuk oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satu alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad, tidak lain adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan. SedangkanAl-Qur’an sudah begitu lengkap membahas dan menjelaskan berbagai macam ajaran dan pedoman hidup. Golongan ini dikenal dengan inkaarus sunnah. Tapi golongan ini tidak mendapat pendukung yang banyak di kalangan umat Islam. Salah satu yang dianggap menjadi kelemahan argumen golongan inkaarus sunnah ini adalah tidak mengambil makna dari QS. An-Najm/53:3-4 (Dan tiadalah yang diucapkannya itu  menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).

Ayat ini menegaskan bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi, selain dari ayat-ayat Al-Qur’an juga merupakan wahyu, yakni disebut sebagai al-wahyu ghairul matluw (wahyu yang tidak terbacakan). Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri disebut sebagai al-wahyul matluw(wahyu yang terbacakan).

Jika masalah perbedaan dalam fiqh ditarik kembali kepada masa awal Islam atau masa Rasulullah saw., maka hampir-hampir tidak ditemui perbedaan pendapat berkaitan dengan masalah keagamaan pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Karena, ketika terjadi perbedaan pendapat atau persepsi di kalangan sahabat pada masa itu, maka penengahnya adalah Nabi secara langsung. Sebagai contoh adalah ketika para sahabat mendapatkan perintah untuk pergi ke Banu Quraizah dan dilarang shalat Asar kecuali setalah sampai di tempat tujuan. Persoalan kemudian terjadi karena waktu Asar sudah mau habis sebelum mereka sampai di Banu Quraizah. Maka sebagian sahabat berinisiatif shalat Asar sebelum sampai. Sementara yang lain tetap melanjutkan perjalanan dan shalat setelah sampai di Banu Quraizah, meski waktu Asar telah habis. Ketika berita ini sampai kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan masing-masing sikap sahabat tersebut.

Yang penting untuk dicatat bahwa seluruh sahabat Nabi adalah orang Arab murni yang mengerti secara mendalam akan bahasa Arab itu sendiri. Mereka dapat memahami makna-makna zahir ayat dan sabda Nabi, dan juga memahami isyarat-isyarat maupun sindiran (kinaayah) dari setiap ungkapan al-Qur’an. Demikian juga dengan konteks ayat atau sabaab nuzuul-nya. Karena para sahabat ini berada di sisi Nabi dan mengetahui oleh sebab apa sebuah ayat turun, dan bagaimana respon Nabi dan sahabat lain atas ayat tersebut. Ini penting, karena kelak para sahabat ini menjadi rujukan para tabi’in untuk memahami sebuah ayat atau Hadis Nabi.

Bahkan pun jika terjadi perbedaan pandangan antara Nabi saw., dengan para sahabat maka perbedaan itu akan diselesaikan oleh Allah swt., dalam bentuk wahyu yang turun berkaitan dengan persoalan tersebut. Sebut misalnya sebagai contoh, kasus tawanan perang Badar. Saat itu, Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai sikap apa yang harus diambil terkait dengan tawanan perang tersebut. Umar ra., dan beberapa sahabat dengan tegas mengusulkan bahwa tawanan itu harus dibunuh, sebagaimana hukum yang berlaku di kala itu. Tetapi Nabi saw., Abu Bakar ra., dan beberapa sahabat lain berpandangan lain. Mereka melihat ada aspek manfaat yang bisa diperoleh dari tawanan itu, yakni berupa tebusan. Tebusan mereka dapat berupa harta maupun kewajiban mengajari baca tulus kepada kaum mukmin. Pada saat itu, Nabi saw., mengambil opsi kedua yakni menerima tebusan untuk tawanan tersebut. Lalu turunlah wahyu yang menilai bahwa keputusan Nabi itu keliru, dan keputusan yang seharusnya diambil adalah opsi yang diusulkan Umar ra. Selengkapnya wahyu tersebut adalah sebagai berikut: Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal/8:67).

Dalam ayat lain, Allah swt., menegur sikap Nabi yang terkesan mengacuhkan seorang sahabat bernama Abdullah bin Umi Maktum. Diriwayatkan bahwa saat itu, Nabi sedang berbincang dengan para pembesar Quraisy, lalu masuklah Abdullah bin Umi Maktum yang bermaksud menanyakan suatu hal terkait masalah agama. Padan saat itu, Nabi, secara naluriyah-alamiyah mengernyitkan muka karena masuknya tamu pada saat yang tidak tepat. Sikap Nabi ini langsung menuai teguran dari Allah swt., dalam QS. Abasa/80:1-9

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Teguran-teguran yang dilontarkan Al-Qur’an kepada Nabi saw., tidak otomatis menjadi suatu kelemahan bagi Nabi. Justru itu dapat dianggap sebagai kekuatan. Sebab, dengan adanya beberapa teguran terhadap Nabi, itu mengindikasikan adanya pengawasan langsung dari Allah. Maka setiap terjadi kekeliruan maka kekeliruan tersebut tidak terbiarkan begitu saja, tetapi mendapat koreksi dan Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh ajaran, sikap dan prilaku Nabi telah terjamin kebenaran dan kesusiannya dengan kehendak Allah.

Kalangan ulama semisal Imam Syafi’I dan Ibn Taimiyah mengartikan kata “hikmah” yang terkait dengan Nabi, dalam Al-Qur’an sebagai sunnah. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa penempatan kata “al-hikmah” dalam banyak ayat selalu terangkai dengan al-Kitab. Lagi pula, agak sulit mencari padanan lain dari kata “al hikmah” dalam konteks hirarkis setelah Al-Qur’an, selain dari hadis atau sunnah. Kalaupun hendak “ditarik” kata hikmah sebagai suatu ilmu dan kebijaksanaan atau akal budi, yang ada pada diri Nabi saw., maka tentu pula hikmah ini harus terjawantahkan ke dalam aspek ril kehidupan. Sementara, ajaran-ajaran perkataan serta perilaku  Nabi sendiri adalah sunnah itu sendiri.

Penggandengan kata ‘hikmah’ setelah Al-Qur’an dapat dilihat misalnya dalam QS. An-Nisa/4:113: Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu. Kemudian dalam QS. Ali Imran/3:164: Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.

Selanjutnya contoh yang sama dapat dilihat pada QS. Al-Ahzab/33:34: (Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu).Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.)

Aspek lain yang menjadikan minimnya persoalan perbedaan faham terhadap hukum Islam (fiqh) pada masa Nabi adalah ‘kesungkanan’ mereka untuk banyak bertanya kepada Nabi. Para sahabat menahan diri untuk bertanya terkecuali kepada hal-hal yang amat penting yang harus dijawab. Hal ini terkait dengan larangan dari al-Qur’an sendiri dalam QS. Al-Maidah/5:101: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. Dalam Hadis juga disebutkan bahwa: “Kesalahan besar dari seorang muslim kepada muslim lainnya adalah jika dia bertanya tentang sesuatu yang belum diharamkan kemudian diharamkan disebabkan pertanyaannya itu” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan: “Apa yang aku larang maka tinggalkanlah dan apa yang aku perintahkan maka laksanakan semampumu. Karena orang-orang sebelum kamu itu binasa karena banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka dengan Nabinya (HR. Muslim).

Sebuah catatan penting berkenaan tentang kondisi pemahaman dan pengamalan fiqh di masa Nabi digambarkan oleh ad-Dahlawi. Ia mengatakan bahwa pada masa Rasulullah fiqh sama sekali belum tersusun. Pembahasan tentang fiqh pun tidak sebagaimana yang terjadi pada masa-masa kemudian, di mana para ahli fiqh mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk  menjelaskan rukun, syarat, dan adab dari setiap aspek fiqh. Sedangkan pada masa Nabi, beliau ‘hanya’ berwudhu lalu para sahabat melihat cara beliau berwudhu dan menirunya tanpa menerangkan mana yang rukun dan mana yang adab. Demikian juga, ketika beliau shalat, haji, dan puasa, para sahabat melakukan sebagaimana Nabi melakukan tanpa menanyakan mengapa dan bagaiman.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pesoalan pebedaan pendapat dan pemahaman, bahkan pengamalan fiqh di masa Nabi sangat minim terjadi. Hal ini disebabkan antara lain faktor sahabat yang sangat memahami bahasa Nabi dan bahasa al-Qur’an, celaan untuk banyak bertanya, serta sikap sahabat yang lebih banyak mengikuti sunnah tanpa membedakan rukun, syarat dan adab.

http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=416:fiqh-masa-awal-islam-mengikut-tanpa-bertanya&catid=100:fiqh&Itemid=352
http://aljaami.wordpress.com/2010/06/04/fiqh-pada-masa-rasulullah/