Hal yang patut dibanggakan dari
generasi Muslim pertama, yakni para sahabat, adalah keimanan dan
pembenaran mereka terhadap risalah Muhammad. Pada masa itu, Nabi
benar-benar menjadi rujukan pokok dan referensi utama dalam penyelesaian
urusan atau ketika menghadapi suatu masalah. Para sahabat menjadikan
Nabi sebagai teladan mutlak, memperhatikan setiap perbuatannya, mencatat
tingkah laku dan ucapannya, dan mengambil sepenuhnya tatacara ibadah
dari Nabi saw.. Tidak ditemui sedikitpun penolakan dari para sahabat
tersebut terhadap apa yang diputuskan oleh Nabi. Sikap ini
digambarkan Al-Qur’an sebagai ciri dan syarat keimanan.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. An-Nisa/4:65).
Dalam menghadapi persoalan dan pertanyaan
yang diajukan oleh para sahabatnya, Nabi saw., menjawab, menjelaskan,
dan memberi fatwa hukum dengan empat cara: 1) Nabi menyebutkan ayat-ayat
Al-Qur’an (wahyu) yang turun kepadanya; 2) dengan perkataan langsung
yang disampaikan kepada mereka (Hadis qawliy); 3) dengar perbuatan yang dicontohkan dan mereka mengikutinya, (Hadisfi’liy); dan 4) dengan tidak melarang suatu perbuatan yang dilakukan sahabat (Hadistaqriiriy). Dari
keempat model raspon Rasulullah di atas, terlihat bahwa yang pertama
adalah langsung dijawab dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan 3 yang
terakhir merupakan hasil ijtihad dan pemahaman Nabi terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an.
Memang pada masa-masa belakangan terdapat
segolongan orang, yang menganggap bahwa adanya intervensi Nabi saw.,
berupa tiga model respon yang terakhir mengindikasikan perbedaan level
hukum. Bahkan yang lebih ekstrim, mereka hanya mau taat kepada respon
pertama, yakni yang langsung ditunjuk oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Salah
satu alasannya adalah bahwa Nabi Muhammad, tidak lain adalah manusia
biasa juga yang tidak luput dari kesalahan. SedangkanAl-Qur’an sudah
begitu lengkap membahas dan menjelaskan berbagai macam ajaran dan
pedoman hidup. Golongan ini dikenal dengan inkaarus sunnah. Tapi
golongan ini tidak mendapat pendukung yang banyak di kalangan umat
Islam. Salah satu yang dianggap menjadi kelemahan argumen golongan inkaarus sunnah ini adalah tidak mengambil makna dari QS. An-Najm/53:3-4 (Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Ayat ini menegaskan bahwa apa yang
diucapkan oleh Nabi, selain dari ayat-ayat Al-Qur’an juga merupakan
wahyu, yakni disebut sebagai al-wahyu ghairul matluw (wahyu yang tidak terbacakan). Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri disebut sebagai al-wahyul matluw(wahyu yang terbacakan).
Jika masalah perbedaan dalam fiqh ditarik
kembali kepada masa awal Islam atau masa Rasulullah saw., maka
hampir-hampir tidak ditemui perbedaan pendapat berkaitan dengan masalah
keagamaan pada masa Rasulullah saw. masih hidup. Karena, ketika terjadi
perbedaan pendapat atau persepsi di kalangan sahabat pada masa itu, maka
penengahnya adalah Nabi secara langsung. Sebagai contoh adalah ketika
para sahabat mendapatkan perintah untuk pergi ke Banu Quraizah dan
dilarang shalat Asar kecuali setalah sampai di tempat tujuan. Persoalan
kemudian terjadi karena waktu Asar sudah mau habis sebelum mereka sampai
di Banu Quraizah. Maka sebagian sahabat berinisiatif shalat Asar
sebelum sampai. Sementara yang lain tetap melanjutkan perjalanan dan
shalat setelah sampai di Banu Quraizah, meski waktu Asar telah habis.
Ketika berita ini sampai kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan
masing-masing sikap sahabat tersebut.
Yang penting untuk dicatat bahwa seluruh
sahabat Nabi adalah orang Arab murni yang mengerti secara mendalam akan
bahasa Arab itu sendiri. Mereka dapat memahami makna-makna zahir ayat
dan sabda Nabi, dan juga memahami isyarat-isyarat maupun sindiran (kinaayah) dari setiap ungkapan al-Qur’an. Demikian juga dengan konteks ayat atau sabaab nuzuul-nya.
Karena para sahabat ini berada di sisi Nabi dan mengetahui oleh sebab
apa sebuah ayat turun, dan bagaimana respon Nabi dan sahabat lain atas
ayat tersebut. Ini penting, karena kelak para sahabat ini menjadi
rujukan para tabi’in untuk memahami sebuah ayat atau Hadis Nabi.
Bahkan pun jika terjadi perbedaan
pandangan antara Nabi saw., dengan para sahabat maka perbedaan itu akan
diselesaikan oleh Allah swt., dalam bentuk wahyu yang turun berkaitan
dengan persoalan tersebut. Sebut misalnya sebagai contoh, kasus tawanan
perang Badar. Saat itu, Nabi bermusyawarah dengan para sahabat mengenai
sikap apa yang harus diambil terkait dengan tawanan perang tersebut.
Umar ra., dan beberapa sahabat dengan tegas mengusulkan bahwa tawanan
itu harus dibunuh, sebagaimana hukum yang berlaku di kala itu. Tetapi
Nabi saw., Abu Bakar ra., dan beberapa sahabat lain berpandangan lain.
Mereka melihat ada aspek manfaat yang bisa diperoleh dari tawanan itu,
yakni berupa tebusan. Tebusan mereka dapat berupa harta maupun kewajiban
mengajari baca tulus kepada kaum mukmin. Pada saat itu, Nabi saw.,
mengambil opsi kedua yakni menerima tebusan untuk tawanan tersebut. Lalu
turunlah wahyu yang menilai bahwa keputusan Nabi itu keliru, dan
keputusan yang seharusnya diambil adalah opsi yang diusulkan Umar ra.
Selengkapnya wahyu tersebut adalah sebagai berikut: Tidak patut,
bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal/8:67).
Dalam ayat lain, Allah swt., menegur
sikap Nabi yang terkesan mengacuhkan seorang sahabat bernama Abdullah
bin Umi Maktum. Diriwayatkan bahwa saat itu, Nabi sedang berbincang
dengan para pembesar Quraisy, lalu masuklah Abdullah bin Umi Maktum yang
bermaksud menanyakan suatu hal terkait masalah agama. Padan saat itu,
Nabi, secara naluriyah-alamiyah mengernyitkan muka karena masuknya tamu
pada saat yang tidak tepat. Sikap Nabi ini langsung menuai teguran dari
Allah swt., dalam QS. Abasa/80:1-9
Dia (Muhammad) bermuka masam dan
berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu
barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia (ingin)
mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa’at kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya.
Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri
(beriman).
Teguran-teguran yang
dilontarkan Al-Qur’an kepada Nabi saw., tidak otomatis menjadi suatu
kelemahan bagi Nabi. Justru itu dapat dianggap sebagai kekuatan. Sebab,
dengan adanya beberapa teguran terhadap Nabi, itu mengindikasikan adanya
pengawasan langsung dari Allah. Maka setiap terjadi kekeliruan maka
kekeliruan tersebut tidak terbiarkan begitu saja, tetapi mendapat
koreksi dan Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh
ajaran, sikap dan prilaku Nabi telah terjamin kebenaran dan kesusiannya
dengan kehendak Allah.
Kalangan ulama semisal Imam Syafi’I dan
Ibn Taimiyah mengartikan kata “hikmah” yang terkait dengan Nabi, dalam
Al-Qur’an sebagai sunnah. Argumen yang dikemukakan adalah bahwa
penempatan kata “al-hikmah” dalam banyak ayat selalu terangkai dengan
al-Kitab. Lagi pula, agak sulit mencari padanan lain dari kata “al
hikmah” dalam konteks hirarkis setelah Al-Qur’an, selain dari hadis atau
sunnah. Kalaupun hendak “ditarik” kata hikmah sebagai suatu ilmu dan
kebijaksanaan atau akal budi, yang ada pada diri Nabi saw., maka tentu
pula hikmah ini harus terjawantahkan ke dalam aspek ril kehidupan.
Sementara, ajaran-ajaran perkataan serta perilaku Nabi sendiri adalah
sunnah itu sendiri.
Penggandengan kata ‘hikmah’ setelah Al-Qur’an dapat dilihat misalnya dalam QS. An-Nisa/4:113: Dan
(juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan
telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah
karunia Allah sangat besar atasmu. Kemudian dalam QS. Ali Imran/3:164: Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata.
Selanjutnya contoh yang sama dapat dilihat pada QS. Al-Ahzab/33:34: (Dan
ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah
(sunnah Nabimu).Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha
Mengetahui.)
Aspek lain yang menjadikan minimnya
persoalan perbedaan faham terhadap hukum Islam (fiqh) pada masa Nabi
adalah ‘kesungkanan’ mereka untuk banyak bertanya kepada Nabi. Para
sahabat menahan diri untuk bertanya terkecuali kepada hal-hal yang amat
penting yang harus dijawab. Hal ini terkait dengan larangan dari
al-Qur’an sendiri dalam QS. Al-Maidah/5:101: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyantun. Dalam Hadis juga disebutkan bahwa: “Kesalahan
besar dari seorang muslim kepada muslim lainnya adalah jika dia
bertanya tentang sesuatu yang belum diharamkan kemudian diharamkan
disebabkan pertanyaannya itu” (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan: “Apa
yang aku larang maka tinggalkanlah dan apa yang aku perintahkan maka
laksanakan semampumu. Karena orang-orang sebelum kamu itu binasa karena
banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka dengan Nabinya (HR. Muslim).
Sebuah catatan penting berkenaan tentang
kondisi pemahaman dan pengamalan fiqh di masa Nabi digambarkan oleh
ad-Dahlawi. Ia mengatakan bahwa pada masa Rasulullah fiqh sama sekali
belum tersusun. Pembahasan tentang fiqh pun tidak sebagaimana yang
terjadi pada masa-masa kemudian, di mana para ahli fiqh mengerahkan
segenap kemampuan mereka untuk menjelaskan rukun, syarat, dan adab dari
setiap aspek fiqh. Sedangkan pada masa Nabi, beliau ‘hanya’ berwudhu
lalu para sahabat melihat cara beliau berwudhu dan menirunya tanpa
menerangkan mana yang rukun dan mana yang adab. Demikian juga, ketika
beliau shalat, haji, dan puasa, para sahabat melakukan sebagaimana Nabi
melakukan tanpa menanyakan mengapa dan bagaiman.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa
pesoalan pebedaan pendapat dan pemahaman, bahkan pengamalan fiqh di masa
Nabi sangat minim terjadi. Hal ini disebabkan antara lain faktor
sahabat yang sangat memahami bahasa Nabi dan bahasa al-Qur’an, celaan
untuk banyak bertanya, serta sikap sahabat yang lebih banyak mengikuti
sunnah tanpa membedakan rukun, syarat dan adab.
http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=416:fiqh-masa-awal-islam-mengikut-tanpa-bertanya&catid=100:fiqh&Itemid=352
http://aljaami.wordpress.com/2010/06/04/fiqh-pada-masa-rasulullah/