Minggu, 17 November 2013

Riya’


Memasuki bab selanjutnya dalam pembahasan Kitab Tauhid, penulis ingin menjelaskan secara singkat mengenai riya’ yang merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam daripada fitnahnya Al-Masih ad-Dajjal. Ikuti penjelasan beliau mengenai syirik kecil ini.

Tentang Riya’[1]


Firman Allah,
“Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa’. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya’." (Al-Kahfi:110).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman: “Aku adalah Sekutu Yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan sesuatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (tidak Aku terima) amal syiriknya itu.” (Hadits riwayat Muslim).

Diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu aku beritahu tentang sesuatu, yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kamu daripada Al-Masih Ad-Dajjal [2] Para sahabat menjawab, "Baiklah ya Rasulullah." Beliau shallallahu’alaihi wa sallam pun bersabda, Syirik tersembunyi, yaitu ketika seseorang berdiri melakukan shalat, dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.” (Hadits riwayat Imam Ahmad).


Kandungan Bab Ini

  1. Tafsiran ayat dalam surah Al-Kahfi[3]
  2. Masalah yang penting sekali, yaitu: bahwa amal shalih apabila dicampuri dengan sesuatu yang bukan Lillah, maka tidak diterima oleh Allah.
  3. Disebutkan alasan yang menyebabkan hal tersebut, yaitu bahwa Allah Ta’ala adalah Sembahan yang amat menolak perbuatan syirik karena sifat ke-MahacukupanNya.
  4. Alasan lainnya, bahwa Allah adalah Sekutu yang terbaik.
  5. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam sangat khawatir apabila sahabatnya melakukan riya’.
  6. Tafsiran riya’, contohnya: seseorang melakukan shalat dengan niat Lillah, akan tetapi dia perindah shalatnya itu karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.

Catatan Kaki

[1] Riya’ ialah berbuat baik karena orang lain.

[2] Al-Masih Ad-Dajjal ialah seorang manusia pembohong terbesar yang akan muncul pada akhir zaman, mengaku sebagai Al-Masih bahkan mengaku sebagai tuhan yang disembah. Kehadirannya di dunia ini termasuk di antara tanda-tanda besar akan tibanya hari Kiamat. Sedang keajaiban-keajaiban yang bisa dilakukannya merupakan cobaan dari Allah untuk umat manusia yang masih hidup pada masa itu.

Disebutkan dalam shahih Muslim bahwa kemunculannya di dunia nanti selama 40 hari, di antara hari-hari tersebut: sehari bagaikan setahun, sehari bagaikan sebulan, sehari bagaikan seminggu, kemudian hari-hari lainnya sebagaimana biasa; atau kalau kita jumlahkan sama dengan satu tahun, dua bulan dua minggu.

Hadits-hadits tentang Ad-Dajjal ini telah diriwayatkan oleh banyak kalangan sahabat, antara lain: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Hurairah, Mu’adz bin Jabal, Jabir bin ‘Abdullah, Abu Sa’id Al-Khudri, An-Nawwas bin Sim’an, Anas bin Malik, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Fathimah binti Qais, dan lain-lain.

Masalah ini bisa dirujuk dalam:
·         Shahih Al-Bukhari: Kitab Al-Fitan bab 26-27; Kitab At-Tauhid bab 27, 31.
·         Shahih Muslim: Kitab Al-Fitan bab 20 – 25.
·         Shahih At-Tirmidzi: Kitab Al-Fitan bab 55 – 62.
·         Sunan Abu Dawud: Kitab Al-Malahin bab 14, 15.
·         Sunan Ibnu Majah: Kitab Al-Fitan bab 33.
·         Musnad Imam Ahmad: jilid 1 hal. 6-7; jilid 2 hal. 33, 37, 67, 104, 124, 131; jilid 5 hal. 27, 32, 43, 47.
·         dan kitab-kitab koleksi hadits lainnya.

[3] Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila memenuhi dua syarat:
1.      Ikhlas semata-mata karena Allah, tidak ada syirik di dalamnya sekalipun syirik kecil seperti riya’.
2.      Sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam karena suatu amal disebut shalih jika ada dasar perintahnya dalam agama.
Ayat ini mengisyaratkan pula bahwa ibadah itu tauqifiyah, artinya berlandaskan pada ajaran yang dibawa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak menurut akal maupun hawa nafsu seseorang.
Sumber: http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/kitab-tauhid.html