Minggu, 17 November 2013

Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya Serta Tentang Nusyrah



Melanjutkan pembahasan Kitab Tauhid, akan dijelaskan mengenai definisi dukun dan tukang ramal. Bagaimana hukum mendatangi mereka dan bagaimana status mereka dalam hukum Islam. Lalu akan dibahas pula mengenai Nusyrah. Apa itu Nusyrah dan bagaimana Islam menghukuminya?

Dukun, Tukang Ramal Dan Sejenisnya

Imam Muslim dalam Shahih-nya, meriwayatkan dari salah seorang isteri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mananyakan kepadanya tentang sesuatu perkara dan dia mempercayainya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari.”

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa mendatangi seorang dukun dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam .”

Dan diriwayatkan oleh keempat periwayat[1] dan Al-Hakim dengan menyatakan hadits ini shahih menurut keriteria Al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun, lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.“

Abu Ya’la pun meriwayatkan hadits mauquf dari Ibnu Mas’ud seperti tersebut di atas, dengan sanad jayyid. Al-Bazzar dengan isnad jayyid meriwayatkan hadits marfu’ dari ‘Imran bin Hushain,
“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan, menyihir atau meminta disihirkan; dan barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath dengan isnad hasan dari Ibnu ‘Abbas tanpa penyebutan kalimat, "Dan barangsiapa mendatangi … " dan seterusnya.

Al-Baghawi[2] berkata, “Al-’Arraf (orang pintar) ialah orang yang mengaku tahu dengan menggunakan isyarat-isyarat untuk menunjukkan barang curian atau tempat barang hilang atau semacamnya. Adapula yang mengatakan: Dia adalah kahin (dukun), padahal kahin adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang. Ada pula yang mengatakan: Yaitu orang yang memberitahukan apa yang tersimpan dalam hati seseorang.”

Menurut Abu Al-’Abbas Ibnu Taimiyah, “Al-’Arraf adalah sebutan untuk tukang ramal, tukang nujum, peramal nasib dan yang sebangsanya, yang menyatakan tahu tentang perkara-perkara (yang tidak diketahui orang lain) dengan cara-cara tersebut.”

Ibnu ‘Abbas, terhadap orang-orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad" untuk mencari pelamat rahasia huruf dan memperhatikan bintang-bintang (untuk ramalan), mengatakan,
“Aku tak tahu bahwa orang yang mempraktekkan hal itu akan memperoleh suatu bagian keuntungan di sisi Allah.”

Kandungan Bab Ini
  1. Tidak dapat bertemu dalam diri seorang mukmin antara iman kepada Al-Qur’an dengan percaya kepada tukang ramal, dukun dan sejenisnya.
  2. Dinyatakan bahwa mempercayainya adalah kufur.
  3. Ancaman bagi orang yang meminta diramalkan.
  4. Ancaman bagi orang yang meminta tathayyur.
  5. Ancaman bagi orang yang meminta disihirkan.
  6. Ancaman bagi orang yang menulis huruf-huruf "Abaajaad" [untuk mencari pelamat rahasianya].
  7. Perbedaan antar kahin dan ‘arraf, [bahwa kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang perkara-perkara yang akan terjadi di masa mendatang, yang diperolehnya dari setan penyadap berita di langit].

Tentang Nusyrah

Jabir menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika ditanya tentang nusyrah, beliau shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, "Hal itu termasuk perbuatan setan."[3]

Imam Ahmad ketika ditanya tentang nusyrah, menjawab, "Ibnu Mas’ud membenci itu semuanya."

Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Qatadah menuturkan, "Aku bertanya kepada Ibn Al-Musayyab, Seseorang yang terkena sihir atau diguna-gunai tidak dapat menggauli isterinya, apakah boleh disembuhkan dengan nusyrah, atau dengan cara lain? Ia menjawab, Tidak apa-apa hukumnya, karena yang mereka inginkan hanyalah kebaikan untuk menolak mudharat. Sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu tidaklah dilarang.”


Dan diriwayatkan dari Al-Hasan bahwa ia berkata, "Tidak ada yang dapat melepaskan pengaruh sihir kecuali seorang tukang sihir."

Ibnu Al-Qayyim menjelaskan, “Nusyrah ialah penyembuhan terhadap seseorang yang terkena sihir. Caranya ada dua macam,
Pertama, dengan menggunakan sihir pula, dan inilah yang termasuk perbuatan setan. Dan pendapat Al-Hassan tersebut dapat dimasukkan ke dalam jenis ini, karena orang yang menyembuhkan dan orang yang disembuhkan mengadakan pendekatan kepada setan dengan apa yang diinginkannya, sehingga dengan demikian perbuatan setan itu gagal memberi pengaruh terhadap orang yang terkena sihir itu.
Kedua, penyembuhan dengan menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awudz, obat-obatan dan do’a-do’a yang diperkenankan. Cara ini hukumnya jaiz (boleh)."

Kandungan Bab Ini
  1. Larangan terhadap nusyrah
  2. Perbedaan antara macam nusyrah yang dilarang dan yang diperbolehkan, dengan demikian menjadi jelas masalahnya.

Catatan Kaki
[1] Yakni: Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.
[2] Abu Muhammad: Al-Husein bin Mas’ud bin Muhammad Al-Farra’ atau Ibn Al-Farra’ Al-Baghawi. Digelari Muhyi-s-Sunnah, kitab-kitab yang disusunnya antara lain: Syarh As-Sunnah, Al-Jami’ Baina Ash-Shahihain. Lahir tahun 436H (1044M) dan meninggal tahun 510H (1117M).
[3] Hadits riwayat Imam Ahmad dengan sanad jayyid dan riwayat Abu Dawud.

 Sumber: http://faisalchoir.blogspot.sg/2011/05/kitab-tauhid.html