Selasa, 19 November 2013

Tak Cukup Hanya Bertauhid Rububiyah Sehingga Bertauhid Uluhiyyah

Oleh: Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami

Dengan senantiasa memuji Alloh subhanahu wata’ala atas seluruh belas dan kasih-Nya yang tiada henti tercurah kepada hamba-Nya. Dengan senantiasa memanjatkan do’a agar sholawat serta salam terus tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga Alloh subhanahu wata’ala memudahkan kita memahami ilmu agama yang hanif ini dengan sebaik-baiknya.

Di banyak tempat dan banyak kesempatan kita sering mendengar orang mengatakan “kalau memang dikehendaki oleh Alloh ‘kan nanti istriku hamil juga”, atau mengatakan “soal akan makan apa kita besok itu sudah ada yang mengatur”, atau mengatakan “rezeki itu sudah ada yang mengatur, kita itu tinggal nurut saja dengan yang membuat merahnya cabai”. Atau ungkapan-ungkapan lain yang senada yang semuanya menunjukkan aqidah (keyakinan) seseorang terhadap tauhid rububiyyah Alloh subhanahu wata’ala.

Tauhid rububiyyah artinya bahwa Alloh subhanahu wata’ala Maha Pencipta, yang memiliki, yang memberi rezeki, Maha Pengatur seluruh urusan makhluk-Nya, sehingga bagi-Nya seluruh hak mencipta, bagi-Nya seluruh kekuasaan atas makhluk-Nya, baginya hak memberi atau menahan rezeki hamba-Nya, sebagaimana bagi-Nya pula hak mematikan, menghidupkan, menimpakan musibah, menangkal bahaya, memberi manfaat dan sebagainya.

Alloh subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):
Sesungguhnya Robb kamu ialah Alloh yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Mahasuci Alloh, Robb semesta alam. (QS. al-A’rof [7]: 54)

Dalam ayat lain Alloh juga berfirman (yang artinya):
…. yang (berbuat) demikian itulah Alloh Robbmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan…. (QS. Fathir [35]: 13)

Kalau kita menilai aqidah mereka yang mengungkapkan kalimat tersebut di atas tentunya baik, di mana seseorang tidak mengingkari apa yang menjadi hak Alloh subhanahu wata’ala. Namun ada hal penting yang harus kita pahami, bahwa kita sebagai hamba ini berkewajiban beribadah kepada Alloh sebab untuk hikmah ibadah itulah kita diciptakan[1] sebagaimana ibadah itulah yang diperintahkan kepada kita semua. Perhatikan perintah Alloh dalam ayat berikut (yang artinya):

Hai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS. al-Baqoroh[2]: 21)

Sehingga ada pertanyaan yang sangat mendasar untuk kita tanyakan kepada diri kita sendiri yaitu sudahkah keyakinan dan penetapan mereka tersebut mencukupi bagi mereka sebagai bentuk peribadahan kepada Alloh sebagaimana yang diperintahkan dan yang kita dituntut melakukannya?

Mengapa pertanyaan ini penting? Sebab mereka yang menetapkan pernyataan tersebut atau semisalnya tidak semuanya merasa berdosa meski tidak sekalipun beribadah kepada Alloh. Sebagaimana fakta yang ada di masyarakat membuktikan bahwa di antara mereka yang mengucapkannya sungguh ada yang tidak sekalipun pernah menempelkan jidatnya di atas bumi bersujud dalam sholatnya kepada Alloh Yang Mahaperkasa. Kalau dikatakan penetapan mereka atas tauhid rububiyyah itu telah mencukupinya sementara keadaan mereka seperti itu, maka apa bedanya dengan orang kafir musyrik dahulu? Mengapa mereka diperangi oleh para rosul yang diutus kepada mereka?
Orang Musyrik Jahiliah Bertauhid Rububiyyah
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita hendaklah menengok kembali sejarah umat-umat para nabi dan rosul terdahulu. Mengapa? Sebab para rosul adalah para utusan yang diperintah untuk menyerukan peribadahan hanya kepada Alloh semata, ini yang pertama. Alloh menyebutkan dalam firman-Nya (yang artinya):

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah thoghut itu.”…. (QS. An-Nahl[16]: 36)

Yang kedua, supaya kita mengetahui aqidah yang diyakini oleh setiap umat terdahulu yang diseru oleh para rosul untuk beribadah hanya kepada Alloh subhanahu wata’ala, apakah mereka belum menetapkan tauhid rububiyyah sehingga diseru untuk menetapkannya, ataukah mereka telah menetapkannya sehingga mereka diseru untuk bertauhid yang lain.

Sejarah telah mencatat bahwa musuh Nabi Musa alaihis salam, manusia yang sangat besar kekafirannya, Fir’aun, yang mengaku sebagai ilah juga mengetahui dan menetapkan sifat rububiyyah ini. Alloh berfirman mengisahkan perdebatan Musa alaihis salam dengan Fir’aun (yang artinya):

Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Robb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.” (QS. al-Isro’ [17]: 102)

Dalam ayat lainnya Alloh mengisahkan keyakinan Fir’aun dalam sanubarinya (yang artinya):
Dan mereka mengingkarinya karena kezholiman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. an-Naml [27]: 14)

Fir’aun meyakini dalam jiwanya bahwa Robb yang sesungguhnya adalah Alloh, namun lantaran kesombongan dan kecongkakannya ia mengatakan tiada ilah selain dirinya, hal itu sekadar kesombongan yang hanya mengantarkannya menuju kebinasaan.

Demikian juga, sejarah telah menyaksikan bahwa orang-orang musyrik yang didakwahi oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam pun menetapkan sifat rububiyyah Alloh ini. Tiada seorang pun dari mereka yang mengingkari tauhid rububiyyah Alloh ini. Alloh subhanahu wata’ala menyebutkan dalam firman-Nya[2] (yang artinya):

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. az-Zukhruf [43]: 9)

Perhatikan, orang-orang musyrik yang diseru oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan tauhid rububiyyah ini, mereka menetapkan bahwa Alloh yang mengatur segala urusan, yang memiliki langit dan bumi serta isinya. Lalu atas dasar apa mereka diperangi oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam? Apakah mungkin mereka diperangi atas sesuatu yang telah mereka yakini dan tetapkan? Tentunya tidak mungkin. Sehingga sesuatu yang pasti bahwa mereka diperangi oleh beliau bukan atas dasar penetapan mereka terhadap tauhid rububiyyah ini, namun atas dasar yang lainnya, yaitu sesuatu yang diserukan oleh para rosul seluruhnya termasuk yang beliau serukan kepada orang-orang musyrik yang telah menetapkan tauhid rububiyyah tersebut. Maka pahamilah!
Kenyataan sejarah tersebut cukup memberikan jawaban bahwa sekadar menetapkan tauhid rububiyyah bagi Alloh saja belumlah mencukupi bagi seseorang untuk terbebas dari seruan para rosul -termasuk dari diperangi oleh mereka-. Dan bahwa seluruh manusia belum menunaikan hak peribadahan kepada Alloh meski telah menetapkan tauhid rububiyyah bagi-Nya.
Tuntutan Tauhid Rububiyyah
Yang memperjelas masalah di atas adalah ketika kita telah memahami dengan benar makna Robbul ’alamin yang merupakan sifat bagi Alloh pemilik hak rububiyyah. Di dalam Surat al-Fatihah Alloh menegaskan (yang artinya): Segala puji bagi Alloh, Robb semesta alam. (QS. al-Fatihah [1]: 1)

Robb berarti raja, pemilik, tuan, yang mengatur segala urusan dan memperbaikinya. Sedangkan ’alamin adalah jamak dari alam, yaitu segala apa saja yang ada wujudnya selain dari Alloh subhanahu wata’ala.[3]

Robb berasal dari kata tarbiyah, ia berarti yang memelihara, yaitu yang memelihara semesta alam dengan pemeliharaan yang menjadikan tegaknya siapa saja yang dipelihara dari seluruh alam ini.[4]

Dengan ayat di atas tetaplah sifat rububiyyah bagi Alloh semata, berarti hanya Alloh-lah Dzat yang memelihara seluruh makhluk di alam semesta ini, Alloh yang menciptakan mereka, yang memiliki serta yang mengatur segala urusan dengan sekehendak-Nya, Alloh pula yang memelihara mereka dengan kenikmatan-kenikmatan-Nya.[5]

Penetapan tauhid rububiyyah bagi Alloh menuntut seseorang untuk menetapkan tauhid ibadah, atau disebut tauhid uluhiyyah, bagi-Nya semata, yaitu menetapkan keesaan Alloh sebagai Dzat yang diibadahi. Hal ini sebab Robb itu maksudnya adalah dzat yang diibadahi, sebagaimana ditegaskan oleh Alloh subhanahu wata’ala dalam firman-Nya (yang artinya):

Hai manusia, sembahlah Robbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Alloh, padahal kamu Mengetahui. (QS. al-Baqoroh [2]: 21–22)

Perhatikan seruan Alloh dalam ayat di atas. Alloh menyeru manusia secara umum dari anak keturunan Nabi Adam alaihis salam agar mereka beribadah kepada-Nya semata dan tidak mensyirikkan-Nya dan kemudian Alloh menjelaskan bahwa oleh sebab hak rububiyyah yang Dia miliki maka Dialah yang berhak diibadahi.

Imam Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Maka dengan sebab (sifat rububiyyah) ini sehingga Alloh saja yang berhak diibadahi dan tidak disyirikkan dengan-Nya sesuatu pun.”[6]

Oleh sebab itu, para rosul yang diutus oleh Alloh semuanya menyerukan tauhid uluhiyyah ini. Perhatikan firman Alloh subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an surat an-Nahl [16]: 36 di atas. Semua rosul menyerukan agar semua manusia hanya beribadah kepada Alloh dan tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu pun, yaitu lâ ilâha illallohu.

Dan Kami tidak mengutus seorang rosul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. al-Anbiya’ [21]: 25)

Maka benar-benar tidak mencukupi apabila seseorang hanya menetapkan tauhid rububiyyah bagi Alloh namun ia tiada beribadah kepada-Nya dan tidak pula meninggalkan segala yang disyirikkan dengan-Nya. Sebab sebagaimana telah kita ketahui bahwa Fir’aun yang kafir, dan orang-orang kafir musyrik yang diseru oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pun ternyata menetapkan tauhid rububiyyah, sebagaimana diterangkan di muka, namun disebabkan enggan menetapkan tauhid ibadah —yaitu tauhid uluhiyyah bagi Alloh semata— mereka diperangi oleh rosul Alloh, Nabi Musa alaihis salam dan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Wallohu A’lam wa Huwal Hadi ila sabilir Rosyad.

[1] QS. adz-Dzariyat [51]: 56
[2] Lihat juga QS. Yunus [10: 31, QS. al-Mu’minun [23]: 84–89, QS. Luqman [31]: 25, dan QS. az-Zukhruf [43]: 87.
[3] Tafsir Ibnu Katsir: 1/131
[4] Syarh Tsalatsatil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 45
[5] Syarh Tsalatsatil Ushul, Ibnu Utsaimin, hlm. 46
[6] Tafsir Ibnu Katsir: 1/197

Sumber: http://alghoyami.wordpress.com


http://faisalchoir.blogspot.com/2012/08/tak-cukup-hanya-bertauhid-rububiyah.html