Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
A. Definisi Nifaq
Nifaq (اَلنِّفَاقُ) berasal dari kata نَافَقَ-يُنَافِقُ-نِفَاقاً
ومُنَافَقَةً yang diambil dari kata النَّافِقَاءُ (naafiqaa’). Nifaq
secara bahasa (etimologi) berarti salah satu lubang tempat keluarnya
yarbu’ (hewan sejenis tikus) dari sarangnya, di mana jika ia dicari dari
lobang yang satu, maka ia akan keluar dari lobang yang lain. Dikatakan
pula, ia berasal dari kata النَّفَقُ (nafaq) yaitu lobang tempat
bersembunyi.[2]
Nifaq menurut syara’ (terminologi) berarti menampakkan keislaman dan
kebaikan tetapi menyembunyikan kekufuran dan kejahatan. Dinamakan
demikian karena dia masuk pada syari’at dari satu pintu dan keluar dari
pintu yang lain. Karena itu Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu mereka adalah orang-orang yang fasiq.” [At-Taubah: 67]
Yaitu mereka adalah orang-orang yang keluar dari syari’at. Menurut
al-Hafizh Ibnu Katsir mereka adalah orang-orang yang keluar dari jalan
kebenaran masuk ke jalan kesesatan. [3]
Allah menjadikan orang-orang munafiq lebih jelek dari orang-orang kafir. Allah berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang
paling bawah dari Neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat
seorang penolong pun bagi mereka.” [An-Nisaa’: 145]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang munafiq itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka...” [An-Nisaa’: 142]
Lihat juga Al-Qur-an surat al-Baqarah ayat 9-10.
B. Jenis Nifaq
Nifaq ada dua jenis: Nifaq I’tiqadi dan Nifaq ‘Amali.
Nifaq I’tiqadi (Keyakinan)
Yaitu nifaq besar, di mana pelakunya menampakkan keislaman, tetapi
menyembunyikan kekufuran. Jenis nifaq ini menjadikan pelakunya keluar
dari agama dan dia berada di dalam kerak Neraka. Allah menyifati para
pelaku nifaq ini dengan berbagai kejahatan, seperti kekufuran, ketiadaan
iman, mengolok-olok dan mencaci agama dan pemeluknya serta
kecenderungan kepada musuh-musuh untuk bergabung dengan mereka dalam
memusuhi Islam. Orang-orang munafiq jenis ini senantiasa ada pada setiap
zaman. Lebih-lebih ketika tampak kekuatan Islam dan mereka tidak mampu
membendungnya secara lahiriyah. Dalam keadaan seperti itu, mereka masuk
ke dalam agama Islam untuk melakukan tipu daya terhadap agama dan
pemeluknya secara sembunyi-sembunyi, juga agar mereka bisa hidup bersama
ummat Islam dan merasa tenang dalam hal jiwa dan harta benda mereka.
Karena itu, seorang munafiq menampakkan keimanannya kepada Allah,
Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya dan Hari Akhir, tetapi dalam
batinnya mereka berlepas diri dari semua itu dan mendustakannya. Nifaq
jenis ini ada empat macam, yaitu:
Pertama : Mendustakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau mendustakan sebagian dari apa yang beliau bawa.
Kedua : Membenci Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atau membenci sebagian apa yang beliau bawa.
Ketiga : Merasa gembira dengan kemunduran agama Islam.
Keempat : Tidak senang dengan kemenangan Islam.
Nifaq ‘Amali (Perbuatan).
Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan perbuatan orang-orang munafiq,
tetapi masih tetap ada iman di dalam hati. Nifaq jenis ini tidak
mengeluarkannya dari agama, tetapi merupakan wasilah (perantara) kepada
yang demikian. Pelakunya berada dalam iman dan nifaq. Lalu jika
perbuatan nifaqnya banyak, maka akan bisa menjadi sebab terjerumusnya
dia ke dalam nifaq sesungguhnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam:
أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقاً خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ
فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى
يَدَعَهَا، إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا
عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ.
“Ada empat hal yang jika terdapat pada diri seseorang, maka ia menjadi
seorang munafiq sejati, dan jika terdapat padanya salah satu dari sifat
tersebut, maka ia memiliki satu karakter kemunafikan hingga ia
meninggalkannya: 1) jika dipercaya ia berkhianat, 2) jika berbicara ia
berdusta, 3) jika berjanji ia memungkiri, dan 4) jika bertengkar ia
melewati batas.” [4]
Terkadang pada diri seorang hamba terkumpul kebiasaan-kebiasaan baik dan
kebiasaan-kebiasaan buruk, perbuatan iman dan perbuatan kufur dan
nifaq. Karena itu, ia mendapatkan pahala dan siksa sesuai konsekuensi
dari apa yang ia lakukan, seperti malas dalam melakukan shalat
berjama’ah di masjid. Ini adalah di antara sifat orang-orang munafik.
Sifat nifaq adalah sesuatu yang buruk dan sangat berbahaya, sehingga
para Sahabat Radhiyallahu anhum begitu sangat takutnya kalau-kalau
dirinya terjerumus ke dalam nifaq. Ibnu Abi Mulaikah rahimahullah
berkata: “Aku bertemu dengan 30 Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, mereka semua takut kalau-kalau ada nifaq dalam dirinya.” [5]
C. Perbedaan antara Nifaq Besar dengan Nifaq Kecil
1. Nifaq besar mengeluarkan pelakunya dari agama, sedangkan nifaq kecil tidak mengeluarkannya dari agama.
2. Nifaq besar adalah berbedanya yang lahir dengan yang batin dalam hal
keyakinan, sedangkan nifaq kecil adalah berbedanya yang lahir dengan
yang batin dalam hal perbuatan bukan dalam hal keyakinan.
3. Nifaq besar tidak terjadi dari seorang Mukmin, sedangkan nifaq kecil bisa terjadi dari seorang Mukmin.
4. Pada umumnya, pelaku nifaq besar tidak bertaubat, seandainya pun
bertaubat, maka ada perbedaan pendapat tentang diterimanya taubatnya di
hadapan hakim. Lain halnya dengan nifaq kecil, pelakunya terkadang
bertaubat kepada Allah, sehingga Allah menerima taubatnya. [6]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ
“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” [Al-Baqarah: 18]
Juga firman-Nya:
أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِي كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka
diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga)
bertaubat dan tidak (pula) mengambil pe-lajaran?” [At-Taubah: 126]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 85-88) oleh
Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, dengan beberapa tambahan.
[2]. Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (V/98) oleh Ibnul Atsiir.
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (II/405), cet. Daarus Salaam.
[4]. HR. Al-Bukhari (no. 34, 2459, 3178), Muslim (no. 58), Ibnu Hibban
(no. 254-255), Abu Dawud (4688), at-Tirmidzi (2632), an-Nasa-i
(VIII/116) dan Ahmad (II/189), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr
Radhiyallahu anhu.
[5]. Fat-hul Baari (I/109-110).
[6]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XXVIII/434-435) oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah dan ‘Aqiidatut Tauhiid (hal. 88) oleh Dr. Shalih bin Fauzan
bin ‘Abdillah al-Fauzan.
http://almanhaj.or.id/content/3164/slash/0/nifaq-definisi-dan-jenisnya/