PENGERTIAN ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
C. Definisi Salaf (السَّلَفُ)
Menurut bahasa (etimologi), Salaf ( اَلسَّلَفُ ) artinya yang terdahulu
(nenek moyang), yang lebih tua dan lebih utama.[1] Salaf berarti para
pendahulu. Jika dikatakan (سَلَفُ الرَّجُلِ) salaf seseorang, maksudnya
kedua orang tua yang telah mendahuluinya.[2]
Menurut istilah (terminologi), kata Salaf berarti generasi pertama dan
terbaik dari ummat (Islam) ini, yang terdiri dari para Sahabat, Tabi’in,
Tabi’ut Tabi’in dan para Imam pembawa petunjuk pada tiga kurun
(generasi/masa) pertama yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa
Tabi’ut Tabi’in).”[3]
Menurut al-Qalsyani: “Salafush Shalih adalah generasi pertama dari ummat
ini yang pemahaman ilmunya sangat dalam, yang mengikuti petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjaga Sunnahnya. Allah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan
menegak-kan agama-Nya...”[4]
Syaikh Mahmud Ahmad Khafaji berkata di dalam kitabnya, al-‘Aqiidatul
Islamiyyah bainas Salafiyyah wal Mu’tazilah: “Penetapan istilah Salaf
tidak cukup dengan hanya dibatasi waktu saja, bahkan harus sesuai dengan
Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih (tentang
‘aqidah, manhaj, akhlaq dan suluk-pent.). Barangsiapa yang pendapatnya
sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai ‘aqidah, hukum dan
suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut Salafi meskipun
tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya
menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun
ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi’in dan Tabi’ut Tabi’in.[5]
Penisbatan kata Salaf atau as-Salafiyyuun bukanlah termasuk perkara
bid’ah, akan tetapi penisbatan ini adalah penisbatan yang syar’i karena
menisbatkan diri kepada generasi pertama dari ummat ini, yaitu para
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah dikatakan juga as-Salafiyyuun karena mereka
mengikuti manhaj Salafush Shalih dari Sahabat dan Tabi’ut Tabi’in.
Kemudian setiap orang yang mengikuti jejak mereka serta berjalan
berdasarkan manhaj mereka -di sepanjang masa-, mereka ini disebut
Salafi, karena dinisbatkan kepada Salaf. Salaf bukan kelompok atau
golongan seperti yang difahami oleh sebagian orang, tetapi merupakan
manhaj (sistem hidup dalam ber-‘aqidah, beribadah, berhukum, berakhlak
dan yang lainnya) yang wajib diikuti oleh setiap Muslim. Jadi,
pengertian Salaf dinisbatkan kepada orang yang menjaga keselamatan
‘aqidah dan manhaj menurut apa yang dilaksanakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Sahabat Radhiyallahu anhum sebelum terjadinya
perselisihan dan perpecahan.[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H)[7] berkata:
“Bukanlah merupakan aib bagi orang yang menampakkan manhaj Salaf dan
menisbatkan dirinya kepada Salaf, bahkan wajib menerima yang demikian
itu karena manhaj Salaf tidak lain kecuali kebenaran.” [8]
D. Definisi Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
Mereka yang menempuh seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan berittiba’
(mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
As-Sunnah menurut bahasa (etimologi) adalah jalan/cara, apakah jalan itu baik atau buruk.[9]
Sedangkan menurut ulama ‘aqidah (terminologi), As-Sunnah adalah petunjuk
yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Sahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan
maupun perbuatan. Dan ini adalah As-Sunnah yang wajib diikuti, orang
yang mengikutinya akan dipuji dan orang yang menyalahinya akan
dicela.[10]
Pengertian As-Sunnah menurut Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah (wafat
795 H): “As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, mencakup di dalamnya
berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad
(keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah As-Sunnah yang sempurna.
Oleh karena itu generasi Salaf terdahulu tidak menamakan As-Sunnah
kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini
diriwayatkan dari Imam Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’i
(wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail bin ‘Iyadh (wafat th. 187 H).”[11]
Disebut al-Jama’ah, karena mereka bersatu di atas kebenaran, tidak mau
berpecah-belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para
Imam (yang berpegang kepada) al-haqq (kebenaran), tidak mau keluar dari
jama’ah mereka dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan Salaful
Ummah.[12]
Jama’ah menurut ulama ‘aqidah (terminologi) adalah generasi pertama dari
ummat ini, yaitu kalangan Sahabat, Tabi’ut Tabi’in serta orang-orang
yang mengikuti dalam kebaikan hingga hari Kiamat, karena berkumpul di
atas kebenaran. [13]
Imam Abu Syammah asy-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 665 H) berkata:
“Perintah untuk berpegang kepada jama’ah, maksudnya adalah berpegang
kepada kebenaran dan mengikutinya. Meskipun yang melaksanakan Sunnah itu
sedikit dan yang menyalahinya banyak. Karena kebenaran itu apa yang
dilaksanakan oleh jama’ah yang pertama, yaitu yang dilaksanakan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya tanpa
melihat kepada orang-orang yang menyimpang (melakukan kebathilan)
sesudah mereka.”
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu:[14]
اَلْجَمَاعَةُ مَا وَافَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ.
“Al-Jama’ah adalah yang mengikuti kebenaran walaupun engkau sendirian.”[15]
Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang mempunyai sifat dan
karakter mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhi perkara-perkara yang baru dan bid’ah dalam agama.
Karena mereka adalah orang-orang yang ittiba’ (mengikuti) kepada Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Atsar (jejak
Salaful Ummah), maka mereka juga disebut Ahlul Hadits, Ahlul Atsar dan
Ahlul Ittiba’. Di samping itu, mereka juga dikatakan sebagai
ath-Thaa-ifatul Manshuurah (golongan yang mendapatkan per-tolongan
Allah), al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat), Ghurabaa' (orang
asing).
Tentang ath-Thaa-ifatul Manshuurah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda:
لاَتَزَالُ مِنْ أُمَّتِيْ أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لاَ
يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلاَ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ
أَمْرُ اللهِ وَهُمْ عَلَى ذَلِكَ.
“Senantiasa ada segolongan dari ummatku yang selalu menegakkan perintah
Allah, tidak akan mencelakai mereka orang yang tidak menolong mereka dan
orang yang menyelisihi mereka sampai datang perintah Allah dan mereka
tetap di atas yang demikian itu.”[16]
Tentang al-Ghurabaa’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بَدَأَ اْلإِسْلاَمُ غَرِيْباً، وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْباً، فَطُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ.
“Islam awalnya asing, dan kelak akan kembali asing sebagaimana awalnya,
maka beruntunglah bagi al-Ghurabaa' (orang-orang asing).” [17]
Sedangkan makna al-Ghurabaa' adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu ketika suatu hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang makna dari
al-Ghurabaa', beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ فِيْ أُنَاسِ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ.
“Orang-orang yang shalih yang berada di tengah banyaknya orang-orang
yang jelek, orang yang mendurhakai mereka lebih banyak daripada yang
mentaati mereka.”[18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda mengenai makna al-Ghurabaa':
اَلَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ عِنْدَ فَسَادِ النَّاسِ.
“Yaitu, orang-orang yang senantiasa memperbaiki (ummat) di tengah-tengah rusaknya manusia.”[19]
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
...الَّذِيْنَ يُصْلِحُوْنَ مَا أَفْسَدَ النَّاسُ مِنْ بَعْدِي مِنْ سُنَّتِي.
“Yaitu orang-orang yang memperbaiki Sunnahku (Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sesudah dirusak oleh manusia.”[20]
Ahlus Sunnah, ath-Tha-ifah al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah semuanya
disebut juga Ahlul Hadits. Penyebutan Ahlus Sunnah, ath-Thaifah
al-Manshurah dan al-Firqatun Najiyah dengan Ahlul Hadits suatu hal yang
masyhur dan dikenal sejak generasi Salaf, karena penyebutan itu
merupakan tuntutan nash dan sesuai dengan kondisi dan realitas yang ada.
Hal ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari para Imam seperti:
‘Abdullah Ibnul Mubarak: ‘Ali Ibnul Madini, Ahmad bin Hanbal,
al-Bukhari, Ahmad bin Sinan dan yang lainnya, رحمهم الله[21].
Imam asy-Syafi’i [22] (wafat th. 204 H) rahimahullah berkata: “Apabila
aku melihat seorang ahli hadits, seolah-olah aku melihat seorang dari
Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mudah-mudahan Allah
memberikan ganjaran yang terbaik kepada mereka. Mereka telah menjaga
pokok-pokok agama untuk kita dan wajib atas kita berterima kasih atas
usaha mereka.” [23]
Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H) rahimahullah menjelaskan
mengenai Ahlus Sunnah: “Ahlus Sunnah yang kami sebutkan itu adalah ahlul
haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena sesungguhnya
Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan setiap orang
yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang terpilih, kemudian
ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari ahli fiqih dari setiap
generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam yang mengikuti
mereka baik di timur maupun di barat.”[24]
E. Sejarah Munculnya Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Penamaan istilah Ahlus Sunnah ini sudah ada sejak generasi pertama Islam
pada kurun yang dimuliakan Allah, yaitu generasi Sahabat, Tabi’in dan
Tabiut Tabi’in.
‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma [25] berkata ketika menafsirkan firman Allah Azza wa Jalla:
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ
اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا
الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula
wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya
(kepada mereka dikatakan): ‘Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman?
Karena itu rasakanlah adzab disebabkan kekafiranmu itu.’” [Ali ‘Imran:
106]
“Adapun orang yang putih wajahnya mereka adalah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, adapun orang yang hitam wajahnya mereka adalah Ahlul Bid’ah dan
sesat.”[26]
Kemudian istilah Ahlus Sunnah ini diikuti oleh kebanyakan ulama Salaf رحمهم الله, di antaranya:
1. Ayyub as-Sikhtiyani rahimahullah (wafat th. 131 H), ia berkata:
“Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus Sunnah
seolah-olah hilang salah satu anggota tubuhku.”
2. Sufyan ats-Tsaury rahimahullah (wafat th. 161 H) berkata: “Aku
wasiatkan kalian untuk tetap berpegang kepada Ahlus Sunnah dengan baik,
karena mereka adalah al-ghurabaa’. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.”[27]
3. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah [28] (wafat th. 187 H) berkata:
“...Berkata Ahlus Sunnah: Iman itu keyakinan, perkataan dan perbuatan.”
4. Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahullah (hidup th. 157-224 H)
berkata dalam muqaddimah kitabnya, al-Iimaan[29] : “...Maka sesungguhnya
apabila engkau bertanya kepadaku tentang iman, perselisihan umat
tentang kesempurnaan iman, bertambah dan berkurangnya iman dan engkau
menyebutkan seolah-olah engkau berkeinginan sekali untuk mengetahui
tentang iman menurut Ahlus Sunnah dari yang demikian...”
5. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah [30] (hidup th. 164-241 H), beliau
berkata dalam muqaddimah kitabnya, As-Sunnah: “Inilah madzhab ahlul
‘ilmi, ash-haabul atsar dan Ahlus Sunnah, yang mereka dikenal sebagai
pengikut Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya,
dari semenjak zaman para Sahabat Radhiyallahu anhumg hingga pada masa
sekarang ini...”
6. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (wafat th. 310 H) berkata:
“...Adapun yang benar dari perkataan tentang keyakinan bahwa kaum
Mukminin akan melihat Allah pada hari Kiamat, maka itu merupakan agama
yang kami beragama dengannya, dan kami mengetahui bahwa Ahlus Sunnah wal
Jama’ah berpendapat bahwa penghuni Surga akan melihat Allah sesuai
dengan berita yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”[31]
7. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad ath-Thahawi rahimahullah (hidup
th. 239-321 H). Beliau berkata dalam muqaddimah kitab ‘aqidahnya yang
masyhur (al-‘Aqiidatuth Thahaawiyyah): “...Ini adalah penjelasan tentang
‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”
Dengan penukilan tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa lafazh Ahlus
Sunnah sudah dikenal di kalangan Salaf (generasi awal ummat ini) dan
para ulama sesudahnya. Istilah Ahlus Sunnah merupakan istilah yang
mutlak sebagai lawan kata Ahlul Bid’ah. Para ulama Ahlus Sunnah menulis
penjelasan tentang ‘aqidah Ahlus Sunnah agar ummat faham tentang ‘aqidah
yang benar dan untuk membedakan antara mereka dengan Ahlul Bid’ah.
Sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
al-Barbahari, Imam ath-Thahawi serta yang lainnya.
Dan ini juga sebagai bantahan kepada orang yang berpendapat bahwa
istilah Ahlus Sunnah pertama kali dipakai oleh golongan Asy’ariyyah,
padahal Asy’ariyyah timbul pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyyah.[32]
Pada hakikatnya, Asy’ariyyah tidak dapat dinisbatkan kepada Ahlus
Sunnah, karena beberapa perbedaan prinsip yang mendasar, di antaranya:
1. Golongan Asy’ariyyah menta’wil sifat-sifat Allah Ta’ala, sedangkan
Ahlus Sunnah menetapkan sifat-sifat Allah sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti sifat istiwa’ , wajah,
tangan, Al-Qur-an Kalamullah, dan lainnya.
2. Golongan Asy’ariyyah menyibukkan diri mereka dengan ilmu kalam,
sedangkan ulama Ahlus Sunnah justru mencela ilmu kalam, sebagaimana
penjelasan Imam asy-Syafi’i rahimahullah ketika mencela ilmu kalam.
3. Golongan Asy’ariyyah menolak kabar-kabar yang shahih tentang
sifat-sifat Allah, mereka menolaknya dengan akal dan qiyas (analogi)
mereka.[33]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Lisaanul ‘Arab (VI/331) karya Ibnu Manzhur (wafat th. 711 H) rahimahullah.
[2]. Lihat al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish
Shifaat (I/11) karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Maghrawi,
Muassasah ar-Risalah, th. 1420 H.
[3]. Muttafaq ‘alaih. HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533
(212)), dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[4]. Al-Mufassiruun bainat Ta’wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat (I/11).
[5]. Al-Mufassiruun bainat Ta’-wiil wal Itsbaat fii Aayatish Shifaat
(I/13-14) dan al-Wajiiz fii ‘Aqiidah Salafush Shaalih (hal. 34).
[6]. Mauqif Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah min Ahlil Ahwaa' wal Bida’
(I/63-64) karya Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili, Bashaa-iru
Dzawi Syaraf bi Syarah Marwiyyati Manhajis Salaf (hal. 21) karya Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil
‘Aqiidah.
[7]. Beliau adalah Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdussalam bin ‘Abdillah
bin Khidhir bin Muhammad bin ‘Ali bin ‘Abdillah bin Taimiyyah
al-Harrani. Beliau lahir pada hari Senin, 14 Rabi’ul Awwal th. 661 H di
Harran (daerah dekat Syiria). Beliau seorang ulama yang dalam ilmunya,
luas pandangannya. Pembela Islam sejati dan mendapat julukan Syaikhul
Islam karena hampir menguasai semua disiplin ilmu. Beliau termasuk
Mujaddid abad ke-7 H dan hafal Al-Qur-an sejak masih kecil. Beliau t
mempunyai murid-murid yang ‘alim dan masyhur, antara lain: Syamsuddin
bin ‘Abdul Hadi (wafat th. 744 H), Syamsuddin adz-Dzahabi (wafat th. 748
H), Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat th. 751 H), Syamsuddin
Ibnu Muflih (wafat th. 763 H) serta ‘Imaduddin Ibnu Katsir (wafat th.
774 H), penulis kitab tafsir yang terkenal, Tafsiir Ibnu Katsiir.
‘Aqidah Syaikhul Islam adalah ‘aqidah Salaf, beliau rahimahullah seorang
Mujaddid yang berjuang untuk menegakkan kebenaran, berjuang untuk
menegakkan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Sahabat
Radhiyallahu anhum tetapi ahlul bid’ah dengki kepada beliau, sehingga
banyak yang menuduh dan memfitnah. Beliau menjelaskan yang haq tetapi
ahli bid’ah tidak senang dengan dakwahnya sehingga beliau diadukan
kepada penguasa pada waktu itu, akhirnya beliau beberapa kali dipenjara
sampai wafat pun di penjara (tahun 728 H). Semoga Allah mengampuni
dosa-dosanya, mencurahkan rahmat yang sangat luas dan memasukkan beliau
rahimahullah dalam Surga-Nya. (Al-Bidayah wan Nihayah XIII/255, XIV/38,
141-145).
[8]. Majmu’ Fataawaa Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah (IV/149).
[9]. Lisaanul ‘Arab (VI/399).
[10]. Buhuuts fii ‘Aqidah Ahlis Sunnah (hal. 16).
[11]. Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (hal. 495) oleh Ibnu Rajab, tahqiq dan
ta’liq Thariq bin ‘Awadhullah bin Muhammad, cet. II-Daar Ibnul Jauzy-th.
1420 H.
[12]. Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah fil ‘Aqiidah.
[13]. Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 61) oleh Khalil Hirras.
[14]. Beliau adalah seorang Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
nama lengkapnya ‘Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil bin Habib al-Hadzali,
Abu ‘Abdirrahman, pimpinan Bani Zahrah. Beliau masuk Islam pada
awal-awal Islam di Makkah, yaitu ketika Sa’id bin Zaid dan isterinya
-Fathimah bintu al-Khaththab- masuk Islam. Beliau melakukan dua kali
hijrah, mengalami shalat di dua Kiblat, ikut serta dalam perang Badar
dan perang lainnya. Beliau termasuk orang yang paling ‘alim tentang
Al-Qur-an dan tafsirnya sebagaimana telah diakui oleh Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Beliau dikirim oleh ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu anhu ke Kufah untuk mengajar kaum Muslimin dan diutus oleh
‘Utsman Radhiyallahu anhu ke Madinah. Beliau Radhiyallahu anhu wafat
tahun 32 H. Lihat al-Ishaabah (II/368 no. 4954).
[15]. Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril Bida’ wal Hawaadits hal. 91-92, tahqiq
oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Syarah Ushuulil I’tiqaad karya
al-Lalika-i (no. 160).
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 3641) dan Muslim (no. 1037 (174)), dari Mu’awiyah Radhiyallahu anhu.
[17]. HR. Muslim (no. 145) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[18]. HR. Ahmad (II/177, 222), Ibnu Wadhdhah no. 168. Hadits ini
dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad
(VI/207 no. 6650). Lihat juga Bashaa-iru Dzawi Syaraf bi Syarah
Marwiyyati Manhajas Salaf hal. 125.
[19]. HR. Abu Ja’far ath-Thahawi dalam Syarah Musykilil Aatsaar (II/170
no. 689), al-Lalika-i dalam Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah (no.
173) dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah a. Hadits ini shahih li ghairihi
karena ada beberapa syawahidnya. Lihat Syarah Musykilil Aatsaar
(II/170-171) dan Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1273).
[20]. HR. At-Tirmidzi (no. 2630), beliau berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat ‘Amr bin ‘Auf Radhiyallahu anhu
[21]. Sunan at-Tirmidzi: Kitaabul Fitan no. 2229. Lihat Silsilatul
Ahaadiits ash-Shahiihah karya Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany
rahimahullah (I/539 no. 270) dan Ahlul Hadiits Humuth Thaa-ifah
al-Manshuurah karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali.
[22]. Lihat kembali biografi beliau t pada catatan kaki no. 14.
[23]. Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (X/60).
[24]. Al-Fishal fil Milal wal Ahwaa’ wan Nihal (II/271), Daarul Jiil, Beirut.
[25]. Beliau adalah seorang Sahabat yang mulia dan termasuk orang
pilihan. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul
Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi, anak paman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, penafsir Al-Qur-an dan pemuka kaum Muslimin di bidang
tafsir. Dia diberi gelar ulama dan lautan ilmu, karena luas keilmuannya
dalam bidang tafsir, bahasa dan syair Arab. Beliau dipanggil oleh para
Khulafaur Rasyidin untuk dimintai nasehat dan pertimbangan dalam
berbagai perkara. Beliau Radhiyallahu anhuma pernah menjadi gubernur
pada zaman ‘Utsman a tahun 35 H, ikut memerangi kaum Khawarij bersama
‘Ali, cerdas dan kuat hujjahnya. Menjadi ‘Amir di Bashrah, kemudian
tinggal di Thaif hingga meninggal dunia tahun 68 H. Beliau lahir tiga
tahun sebelum hijrah. Lihat al-Ishaabah (II/330, no. 4781).
[26]. Lihat Tafsiir Ibni Katsiir (I/419, cet. Darus Salam), Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/79 no. 74).
[27]. Syarah Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (I/71 no. 49 dan 50).
[28]. Beliau adalah Fudhail bin ‘Iyadh bin Mas’ud at-Tamimi
rahimahullah, seorang yang terkenal zuhud, berasal dari Khurasan dan
bermukim di Makkah, tsiqah, wara’, ‘alim, diambil riwayatnya oleh
al-Bukhari dan Muslim. Lihat Taqriibut Tahdziib (II/15, no. 5448),
Tahdziibut Tahdziib (VII/264, no. 540) dan Siyar A’laamin Nu-balaa’
(VIII/421).
[29]. Tahqiq dan takhrij Syaikh al-Albani rahimahullah.
[30]. Beliau rahimahullah adalah seorang Imam yang luar biasa dalam
kecerdasan, kemuliaan, keimaman, kewara’an, kezuhudan, hafalan, alim dan
faqih. Nama lengkapnya Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin
Asad asy-Syaibani, lahir pada tahun 164 H. Seorang Muhaddits utama Ahlus
Sunnah. Pada masa al-Ma’mun beliau dipaksa mengatakan bahwa Al-Qur-an
adalah makhluk, sehinga beliau dipukul dan dipenjara, namun beliau
menolak mengatakannya. Beliau tetap mengatakan Al-Qur-an adalah
Kalamullah, bukan makhluk. Beliau wafat di Baghdad. Beliau menulis
beberapa kitab dan yang paling terkenal adalah al-Musnad fil Hadiits
(Musnad Imam Ahmad). Lihat Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/177 no. 78).
[31]. Lihat kitab Shariihus Sunnah oleh Imam ath-Thabary rahimahullah.
[32]. Lihat kitab Wasathiyyah Ahlis Sunnah bainal Firaq karya Dr. Muhammad Baa Karim Muhammad Baa ‘Abdullah (hal. 41-44).
[33]. Lihat pembahasan tentang berbagai perbedaan pokok antara Ahlus
Sunnah dengan Asy’ariyyah dalam kitab Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah
wa Manhajil Asyaa’irah fii Tamhiidillaahi Ta’aalaa oleh Khalid bin
‘Abdil Lathif bin Muhammad Nur dalam 2 jilid, cet. I/ Maktabah
al-Ghuraba’ al-Atsariyyah, th. 1416 H.
http://almanhaj.or.id/content/3428/slash/0/definisi-salaf-definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah/