Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir masa. Amma ba’du.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)
Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat
Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!
Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah menurunkan ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)
(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-orang yang berhak dan pantas mendapatkan predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah) justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada suatu saat Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’ dalam rangka memintakan ampunan bagi para sahabat yang sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela mereka !!
Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka serta apa yang akan muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan seenaknya ….
Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)
“Barang siapa hendak mengambil teladan maka teladanilah orang-orang yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah guna menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menyampaikan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” (Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 198)
Pengertian Sahabat
Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan muslim, meninggal dalam keadaan Islam, meskipun sebelum mati dia pernah murtad seperti Al Asy’ats bin Qais. Sedangkan yang dimaksud dengan berjumpa dalam pengertian ini lebih luas daripada duduk di hadapannya, berjalan bersama, terjadi pertemuan walau tanpa bicara, dan termasuk dalam pengertian ini pula apabila salah satunya (Nabi atau orang tersebut) pernah melihat yang lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahu’anhu yang buta matanya tetap disebut sahabat (lihat Taisir Mushthalah Hadits, hal. 198, An Nukat, hal. 149-151)
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Para Sahabat
Syaikh Abu Musa Abdurrazzaq Al Jaza’iri hafizhahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah As Salafiyun senantiasa mencintai mereka (para sahabat) dan banyak menyebutkan berbagai kebaikan mereka. Mereka juga mendoakan rahmat kepada para sahabat, memintakan ampunan untuk mereka demi melaksanakan firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka mengatakan; Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan janganlah Kau jadikan ada rasa dengki di dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman, sesungguhnya Engkau Maha Lembut lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr [59]: 10)
Dan termasuk salah satu prinsip yang diyakini oleh Ahlus Sunnah As Salafiyun adalah menahan diri untuk tidak menyebut-nyebutkan kejelekan mereka serta bersikap diam (tidak mencela mereka, red) dalam menanggapi perselisihan yang terjadi di antara mereka. Karena mereka itu adalah pilar penopang agama, panglima Islam, pembantu-pembantu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, penolong beliau, pendamping beliau serta pengikut setia beliau. Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah perbedaan dalam hal ijtihad. Mereka adalah para mujtahid yang apabila benar mendapatkan pahala dan apabila salah pun tetap mendapatkan pahala. “Itulah umat yang telah berlalu. Bagi mereka balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Dan bagi kalian apa yang kalian perbuat. Kalian tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Baqarah [2]: 141). Barang siapa yang mendiskreditkan para sahabat maka sesungguhnya dia telah menentang dalil Al Kitab, As Sunnah, Ijma’ dan akal.” (Al Is’aad fii Syarhi Lum’atil I’tiqaad, hal. 77)
Dalil-dalil Al Kitab Tentang Keutamaan Para Sahabat
- Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad adalah utusan Allah beserta orang-orang yang bersamanya adalah bersikap keras kepada orang-orang kafir dan saling menyayangi sesama mereka. Engkau lihat mereka itu ruku’ dan sujud senantiasa mengharapkan karunia dari Allah dan keridhaan-Nya.” (QS. Al Fath: 29)
- Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Bagi orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin yang diusir dari negeri-negeri mereka dan meninggalkan harta-harta mereka karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya demi menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Sedangkan orang-orang yang tinggal di negeri tersebut (Anshar) dan beriman sebelum mereka juga mencintai orang-orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin) dan di dalam hati mereka tidak ada rasa butuh terhadap apa yang mereka berikan dan mereka lebih mengutamakan saudaranya daripada diri mereka sendiri walaupun mereka juga sedang berada dalam kesulitan.” (QS. Al Hasyr [59]: 8-9)
- Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18)
- Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan orang-orang yang terlebih dulu (berjasa kepada Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. dan Allah telah mempersiapkan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (QS. At Taubah [9]: 100)
- Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari di mana Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya. Cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka.” (QS. At Tahrim [66]: 8) (lihat Al Is’aad, hal. 77-78)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela seorang pun di antara para sahabatku. Karena sesungguhnya apabila seandainya ada salah satu di antara kalian yang bisa berinfak emas sebesar Gunung Uhud maka itu tidak akan bisa menyaingi infak salah seorang di antara mereka; yang hanya sebesar genggaman tangan atau bahkan setengahnya.” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau juga bersabda, “Sebaik-baik umat manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (tabi’in) dan kemudian orang-orang yang mengikuti mereka lagi (tabi’ut tabi’in).” (Muttafaq ‘alaih)
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bintang-bintang itu adalah amanat bagi langit. Apabila bintang-bintang itu telah musnah maka tibalah kiamat yang dijanjikan akan menimpa langit. Sedangkan aku adalah amanat bagi para sahabatku. Apabila aku telah pergi maka tibalah apa yang dijanjikan Allah akan terjadi kepada para sahabatku. Sedangkan para sahabatku adalah amanat bagi umatku. Sehingga apabila para sahabatku telah pergi maka akan datanglah sesuatu (perselisihan dan perpecahan, red) yang sudah dijanjikan Allah akan terjadi kepada umatku ini.” (HR. Muslim)
- Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234)
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24) (lihat Al Is’aad, hal. 78)
- Imam Ibnush Shalah rahimahullah berkata di dalam kitab Mukaddimah-nya, “Sesungguhnya umat ini telah sepakat untuk menilai adil (terpercaya dan taat) kepada seluruh para sahabat, begitu pula terhadap orang-orang yang terlibat dalam fitnah yang ada di antara mereka. hal ini sudah ditetapkan berdasarkan konsensus/kesepakatan para ulama yang pendapat-pendapat mereka diakui dalam hal ijma’.”
- Imam Nawawi rahimahullah berkata di dalam kitab Taqribnya, “Semua sahabat adalah orang yang adil, baik yang terlibat dalam kancah fitnah maupun tidak, ini berdasarkan kesepakatan para ulama yang dapat diperhitungkan.”
- Al Hafizh Ibnu Hajar berkata di dalam kitab Al Ishabah, “Ahlus Sunnah sudah sepakat untuk menyatakan bahwa semua sahabat adalah adil. Tidak ada orang yang menyelisihi dalam hal itu melainkan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah.”
- Imam Al Qurthubi mengatakan di dalam kitab Tafsirnya, “Semua sahabat adalah adil, mereka adalah para wali Allah ta’ala serta orang-orang suci pilihan-Nya, orang terbaik yang diistimewakan oleh-Nya di antara seluruh manusia ciptaan-Nya sesudah tingkatan para Nabi dan Rasul-Nya. Inilah madzhab Ahlus Sunnah dan dipegang teguh oleh Al Jama’ah dari kalangan para imam pemimpin umat ini. Memang ada segolongan kecil orang yang tidak layak untuk diperhatikan yang menganggap bahwa posisi para sahabat sama saja dengan posisi orang-orang selain mereka.” (lihat Al Is’aad, hal. 78)
Syaikh Abdurrazzaq Al Jazaa’iri hafizhahullah berkata, “Kaum Rafidhah (Syi’ah) menganggap bahwasanya semua sahabat adalah kafir kecuali sebagian saja di antara mereka. Sedangkan kaum Mu’tazilah menilai adil mereka semua kecuali para sahabat yang terlibat dalam kancah fitnah. Duhai, sungguh mengherankan apa yang mereka perbuat !!
Sementara Allah ta’ala berfirman di dalam kitab-Nya yang artinya, “Maka Allah telah menurunkan ketenangan dari-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang beriman (para sahabat) serta Allah telah menetapkan kalimat takwa kepada mereka. Mereka itulah (Rasul dan para sahabat) orang-orang yang memang berhak dan layak untuk menerimanya. Dan Allah Maha mengetahui atas segala sesuatunya.” (QS. Al Fath [48]: 26)
(Di dalam ayat ini) Allah telah menjadikan mereka (para sahabat) sebagai orang-orang yang berhak dan pantas mendapatkan predikat takwa, sedangkan mereka (Rafidhah dan Mu’tazilah) justru mencela mereka!! Kemudian (dalil yang lainnya, red) Pada suatu saat Allah ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam supaya berangkat ke Baqi’ dalam rangka memintakan ampunan bagi para sahabat yang sudah meninggal di antara mereka dan agar beliau mendoakan mereka. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah meninggal dalam keadaan ridha kepada mereka, kemudian orang-orang itu justru mencela mereka !!
Kemudian lagi,… (dalil akal yang lainnya adalah) begitu banyaknya pujian dari Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan juga pujian yang keluar dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka dalam keadaan Allah Maha tahu tentang perbuatan mereka serta apa yang akan muncul dari mereka sesudah Nabi meninggal, sementara orang-orang itu berani mencela mereka dengan seenaknya ….
Kemudian alasan berikutnya, yaitu Allah telah menobatkan mereka sebagai para da’i yang menyampaikan agama-Nya serta menampakkan syari’at-Nya dan menjadikan mereka sebagi guru umat manusia setelah Rasul-Nya sedangkan orang-orang ini justru berani mencaci maki mereka… Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar.” (Al Is’aad, hal. 79)
Di antara jasa terbesar yang disumbangkan oleh para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum kepada umat Islam adalah sebagai berikut.
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat, dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin selamat !!
Hukum Mencela Sahabat
Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)
Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:
- Pencatatan dan penghafalan wahyu al-Qur’an di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup dan sesudahnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang ummi/buta huruf. Oleh sebab itu maka beliau memilih beberapa orang sahabatnya untuk mencatat wahyu, di antara mereka ialah: Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Sehingga apabila wahyu turun merekalah yang diperintahkan untuk mencatat dan di samping juga untuk dihafalkan di dalam ingatan mereka. Di antara para sahabat ada pula yang berinisiatif untuk menulisnya untuk mereka pribadi tanpa perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetorkan hafalan Qur’annya kepada malaikat Jibril setiap tahun pada setiap malam bulan Ramadhan, maka para sahabat pun menyetorkan hafalan dan catatan wahyu yang mereka miliki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tatkala Rasul wafat al-Qur’an itu sudah terpelihara di dalam dada-dada para sahabat serta tertulis di dalam shuhuf, kayu, dan lain sebagainya. Kemudian tibalah masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika itu tahun 12 hijriyah terjadi perang Yamamah antara kaum muslimin melawan orang-orang yang murtad. Dalam peperangan ini 70 orang sahabat penghafal al-Qur’an gugur. Karena itulah Umar bin Khaththab datang menemui Abu Bakar mendesaknya untuk berupaya mengumpulkan al-Qur’an yang masih terpisah-pisah. Hingga akhirnya Abu Bakar pun menerima saran tersebut. Maka Abu Bakar pun memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mencatatnya dengan mengurutkan ayat dan surat-suratnya. Sehingga berkat jasa Abu Bakar dan para sahabat lainnya inilah terwujud sebuah kumpulan ayat-ayat al-Qur’an yang sudah berbentuk mushaf. Kemudian upaya penertiban berikutnya dilakukan di masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu (lihat Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 118-134)
- Pencatatan dan penghafalan hadits-hadits Nabi. Memang pada awalnya hadits-hadits Nabi belum boleh dicatat karena ketika itu kaum muslimin masih di awal-awal turunnya al-Qur’an dan khawatir akan tercampur dengan catatan ayat. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk mencatat selain al-Qur’an. Akan tetapi kemudian larangan itu beliau hapus sesudah al-Qur’an banyak dihafal dan dicatat dengan baik oleh para sahabat sehingga tidak dikhawatirkan lagi catatan atau hafalan hadits tercampur dengan al-Qur’an. Banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwasanya pencatatan hadits itu memang sudah terjadi di jaman Nabi bahkan beliau sendiri yang memerintahkannya. Di antara dalilnya ialah sabda beliau pada saat khutbah di tahun pembukaan kota Mekkah ketika Abu Syah meminta kepada beliau untuk dituliskan ceramah yang beliau sampaikan, “Tuliskanlah bagi Abu Syah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Juga hadits Abu Hurairah. Beliau menceritakan, “Sesungguhnya dia (Abdullah bin Amr) dahulu mencatat (hadits) sedangkan aku tidak mencatat.” (HR. Bukhari) Begitu pula ketika Nabi ditanya oleh Abdullah bin Amr, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar sabdamu dan akupun mencatatnya.” Maka beliau mengatakan, “Ya, (silakan).” Abdullah berkata, “Baik pada saat marah maupun ridha?” Beliau menjawab, “Iya, karena sesungguhnya aku tidak berkata kecuali haq.” (HR. Ahmad, sanadnya shahih kata Syaikh Ahmad Syakir) (lihat Al Hadits An Nabawi, Mushthalahuhu, Balaghatuhu, Kutubuhu, hal. 40-49)
Maka sungguh tidak beradab orang-orang yang mengaku sebagai muslim akan tetapi rela menghinakan dirinya dengan mencurahkan energi dan pikirannya demi mendiskreditkan dan mencaci maki para sahabat. Ingatlah…, malaikat selalu mencatat, dan kejahatan mereka sangat layak untuk dibalas dan dijatuhi hukuman berat!! Kalau tidak di dunia maka di akhirat, maka tunggulah wahai orang-orang yang tidak tahu terima kasih ! Atau segeralah bertaubat, jika kalian memang masih ingin selamat !!
Hukum Mencela Sahabat
Hukum bagi orang yang mencela atau mendiskreditkan para sahabat terbagi menjadi beberapa tingkatan:
- Apabila orang tersebut mencela mereka sehingga celaannya itu melahirkan konsekuensi kafirnya semua sahabat atau sebagian besar di antara mereka, atau mendudukkan mayoritas mereka ke dalam golongan orang-orang fasik, maka tindakan semacam ini tidak diragukan lagi tentang kekafirannya. Karena dia telah berani mendustakan Allah, Rasul-Nya dan berdusta atas nama agama.
- Orang yang mencaci mereka atau mengolok-olok perbuatan mereka. Dalam hal ini ada dua pendapat ulama tentang status kekafirannya. Perbedaan ini muncul disebabkan adanya perbedaan hukuman yang dijatuhkan akibat laknat yang muncul karena kemarahan temporal dengan laknat yang muncul akibat kemarahan permanen yang bersumber dari keyakinan hati
- Orang yang mendiskreditkan mereka akan tetapi tidak sampai merusak citra keadilan dan agama mereka, seperti dengan menyebut mereka sebagai orang yang pengecut, pelit, tidak zuhud dan semacamnya, maka orang yang melakukan perbuatan seperti itu berhak menerima ta’zir (hukuman khusus) yang keras, ditahan dan dibatasi aktifitasnya oleh pemerintahan Islam. (lihat Al Is’aad, hal. 79)
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah berkata, “Para sahabat itu memiliki keutamaan yang bertingkat-tingkat.
- Yang paling utama di antara mereka adalah khulafa rasyidin yang empat; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, radhiyallahu ‘anhum al jamii’. Mereka adalah orang yang telah disabdakan oleh Nabi ‘alaihi shalatu wa salam, “Wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah khulafa rasyidin yang berpetunjuk sesudahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
- Kemudian sesudah mereka adalah sisa dari 10 orang yang diberi kabar gembira pasti masuk surga selain mereka, yaitu: Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al Jarrah, Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Zubeir bin Al Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhum.
- Kemudian diikuti oleh Ahlul Badar, lalu
- Ahlu Bai’ati Ridhwan, Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman (para sahabat Nabi) ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon (Bai’atu Ridwan). Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada mereka dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48] : 18)
- Kemudian para sahabat yang beriman dan turut berjihad sebelum terjadinya Al Fath. Mereka itu lebih utama daripada sahabat-sahabat yang beriman dan turut berjihad setelah Al Fath. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Tidaklah sama antara orang yang berinfak sebelum Al Fath di antara kalian dan turut berperang. Mereka itu memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang berinfak sesudahnya dan turut berperang, dan masing-masing Allah telah janjikan kebaikan (surga) untuk mereka.” (QS. Al Hadid [57]: 10) Sedangkan yang dimaksud dengan Al Fath di sini adalah perdamaian Hudaibiyah.
- Kemudian kaum Muhajirin secara umum,
- Kemudian kaum Anshar.
Allah mendahulukan kaum Muhajirin dan amal mereka sebelum kaum Anshar dan amal mereka yang menunjukkan bahwasanya kaum Muhajirin lebih utama. Karena mereka rela meninggalkan negeri tempat tinggal mereka, meninggalkan harta-harta mereka dan berhijrah di jalan Allah, itu menunjukkan ketulusan iman mereka…” (Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah yang dicetak bersama Syarah ‘Aqidah Thahawiyah Darul ‘Aqidah, hal. 492-494)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sebab berbedanya martabat para sahabat adalah karena perbedaan kekuatan iman, ilmu, amal shalih dan keterdahuluan dalam memeluk Islam. Apabila dilihat secara kelompok maka kaum Muhajirin paling utama kemudian diikuti oleh kaum Anshar. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar.” (QS. At Taubah [9] : 117) Hal itu disebabkan mereka (Muhajirin) memadukan antara hijrah meninggalkan negeri dan harta benda mereka dengan pembelaan mereka (terhadap dakwah Nabi di Mekkah, red).
Sedangkan orang paling utama di antara para sahabat adalah Abu Bakar, kemudian Umar. Hal itu berdasarkan ijma’. Kemudian ‘Utsman, kemudian ‘Ali. Ini menurut pendapat jumhur Ahlis Sunnah yang sudah mantap dan mapan setelah sebelumnya sempat terjadi perselisihan dalam hal pengutamaan antara Ali dengan ‘Utsman. Ketika itu sebagian ulama lebih mengutamakan ‘Utsman kemudian diam, ada lagi ulama lain yang lebih mendahulukan ‘Ali kemudian baru ‘Utsman, dan ada pula sebagian lagi yang tawaquf tidak berkomentar tentang pengutamaan ini. Orang yang berpendapat bahwa ‘Ali lebih utama daripada ‘Utsman maka tidak dicap sesat, karena memang ada sebagian (ulama) Ahlus Sunnah yang berpendapat demikian.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 77)
Menyikapi Polemik Yang Terjadi di Kalangan Para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sikap mereka (Ahlus Sunnah) dalam menyikapi hal itu ialah; sesungguhnya polemik yang terjadi di antara mereka merupakan (perbedaan yang muncul dari) hasil ijtihad dari kedua belah pihak (antara pihak ‘Ali dengan pihak Mu’awiyah, red), bukan bersumber dari niat yang buruk. Sedangkan bagi seorang mujtahid apabila ia benar maka dia berhak mendapatkan dua pahala, sedangkan apabila ternyata dia tersalah maka dia berhak mendapatkan satu pahala.
Dan polemik yang mencuat di tengah mereka bukanlah berasal dari keinginan untuk meraih posisi yang tinggi atau bermaksud membuat kerusakan di atas muka bumi; karena kondisi para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak memungkinkan untuk itu. Sebab mereka adalah orang yang paling tajam akalnya, paling kuat keimanannya, serta paling gigih dalam mencari kebenaran. Hal ini selaras dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebaik-baik umat manusia adalah orang di jamanku (sahabat).” (HR. Bukhari dan Muslim) Dengan demikian maka jalan yang aman ialah kita memilih untuk diam dan tidak perlu sibuk memperbincangkan polemik yang terjadi di antara mereka dan kita pulangkan perkara mereka kepada Allah; sebab itulah sikap yang lebih aman supaya tidak memunculkan rasa permusuhan atau kedengkian kepada salah seorang di antara mereka.” (Mudzakkirah ‘alal ‘Aqidah Wasithiyah, hal. 82)
Keterjagaan para Sahabat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “(Individu) Para sahabat bukanlah orang-orang yang ma’shum dan terbebas dari dosa-dosa. Karena mereka bisa saja terjatuh dalam maksiat, sebagaimana hal itu mungkin terjadi pada orang selain mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang paling layak untuk meraih ampunan karena sebab-sebab sebagai berikut:
- Mereka berhasil merealisasikan iman dan amal shalih
- Lebih dahulu memeluk Islam dan lebih utama, dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa mereka adalah sebaik-baik generasi (sebaik-baik umat manusia, red)
- Berbagai amal yang sangat agung yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang selain mereka, seperti terlibat dalam perang Badar dan Bai’atur Ridhwan
- Mereka telah bertaubat dari dosa-dosa, sedangkan taubat dapat menghapus apa yang dilakukan sebelumnya.
- Berbagai kebaikan yang akan menghapuskan berbagai amal kejelekan
- Adanya ujian yang menimpa mereka, yaitu berbagai hal yang tidak disenangi yang menimpa orang; sedangkan keberadaan musibah itu bisa menghapuskan dan menutup bekas-bekas dosa.
- Kaum mukminin senantiasa mendoakan mereka
- Syafa’at dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan mereka adalah umat manusia yang paling berhak untuk memperolehnya.
Fatwa Para Sahabat Lebih Layak Untuk Diikuti
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat-pendapat ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.
Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24)
Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!
Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”
Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih dahulu melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada yang menciptakannya kecuali orang yang menentang petunjuk mereka serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan. Dan apa yang mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang sengaja mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem. Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”
Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”
Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam kebatilan.”
Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain. “Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”
Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan merangkum wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 197-206)
Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.
Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Boleh berfatwa dengan menggunakan atsar/riwayat dari para ulama Salaf dan fatwa para sahabat. Dan itu merupakan fatwa yang lebih layak untuk diambil daripada pendapat-pendapat ulama muta’akhirin (belakangan) serta fatwa mereka. Karena sesungguhnya kedekatan mereka terhadap kebenaran itu tergantung dengan kedekatan masa mereka dengan masa Rasul shalawatullaahi wa salaamuhu ‘alaihi wa ‘ala aalihi. Sehingga fatwa-fatwa para Sahabat itu lebih utama untuk diikuti daripada fatwa para tabi’in.
Begitu pula fatwa para tabi’in itu lebih utama diambil daripada fatwa tabi’ut tabi’in, demikianlah seterusnya. Oleh karena itu setiap kali suatu masa itu semakin dekat dengan masa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kebenaran yang ada pun juga semakin mendominasi. Inilah hukum yang berlaku bila ditinjau dari tingkatan orang, bukan menurut tinjauan perindividu…” (dinukil dari Al Bayyinaat As Salafiyah ‘ala Anna Aqwaala Shahabah Hujjah Syar’iyah karya Ahmad Salam, hal. 11)
Macam-Macam Perkataan Sahabat
Perkataan atau fatwa para sahabat itu dapat dikategorikan menjadi 4:
- Masalah yang disampaikan bukan medan akal. Maka hukum ucapan mereka adalah marfu’ (bersumber dari Nabi). Ucapan itu dapat dipakai untuk berdalil dan bisa dijadikan hujjah/argumen. Ia bisa juga dikategorikan dalam hadits yang marfu’ dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dari sisi periwayatan makna saja (bukan lafadznya). Akan tetapi jika sisi ini yang diambil maka ucapan mereka itu tidak boleh disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan secara tegas dinyatakan bahwa ucapan itu adalah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Perkataan sahabat yang tidak diselisihi oleh sahabat yang lain. Maka perkataan sebagian mereka tidak bisa dijadikan sebagai argumen untuk memaksa sahabat yang lain untuk mengikutinya. Dan mujtahid sesudah mereka tidak boleh taklid kepada sebagian mereka saja. Akan tetapi yang harus dilakukan dalam permasalahan itu adalah mencari pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
- Perkataan sahabat yang populer dan tidak bertentangan dengan perkataan sahabat lainnya, maka ini termasuk sesuatu yang dihukumi sebagai ijma’ menurut mayoritas para ulama.
- Selain ketiga kategori di atas. Maka inilah yang kita maksudkan dalam pembicaraan ini. Yaitu apabila ada perkataan sahabat yang tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya, tidak populer, atau tidak diketahui apakah ucapannya itu populer atau tidak, sedangkan hal yang disampaikan adalah sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka para imam yang empat dan mayoritas umat Islam menganggapnya sebagai argumen/hujjah, berbeda dengan pendapat kaum filsafat yang menyimpang.
- Dalam persoalan ijtihadiyah, adapun ucapan mereka dalam hal yang tidak boleh berijtihad maka ia dihukumi marfu’ (bersumber dari Nabi)
- Tidak ada seorangpun sahabat yang menyelisihi pendapatnya. Karena apabila ucapan sahabat tidak diselisihi oleh sahabat yang lain maka secara otomatis itu menunjukkan bahwa yang diucapkan oleh sahabat tadi adalah benar, sehingga sahabat yang lain mendiamkannya. Dan apabila ternyata ada perselisihan dengan sahabat lainnya maka seorang mujtahid harus berijtihad untuk menguatkan salah satu pendapat mereka.
- Selain itu pendapat tersebut tidak boleh bertentangan dengan nash/dalil yang tegas dari al-Qur’an atau hadits. Poin kedua dan poin ketiga adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena apabila ada seorang sahabat yang menentang nash maka sudah pasti akan ada sahabat lain yang menentang pendapatnya itu.
- Fatwa tersebut sudah sangat populer di kalangan para sahabat sehingga tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Apabila suatu pendapat termasuk kategori ini maka dia tergolong ijma’/kesepakatan yang harus diikuti menurut pendapat jumhur ulama.
- Tidak boleh bertentangan dengan qiyas/analogi yang benar. Perlu dicatat bahwasanya ucapan sahabat yang telah disepakati oleh para imam untuk dijadikan sebagai hujjah tidak mungkin bertentangan dengan analogi. Akan tetapi jika (seandainya !!) memang ada ucapan mereka yang bertentangan dengan analogi maka kebanyakan ulama memilih untuk tawaquf/diam. Karena tidak mungkin seorang sahabat menyelisihi analogi berdasarkan ijtihad dirinya sendiri. Walaupun begitu, menurut mereka perkataan sahabat yang bertentangan dengan analogi itu tetap harus didahulukan daripada analogi. Karena ucapan sahabat adalah nash/dalil tegas. Sedangkan dalil tegas harus didahulukan daripada analogi !! (lihat Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, DR. Muhammad bin Husein Al Jizani hafizhahullah, hal. 222-225)
Maka sekarang kita akan bertanya kepada orang-orang yang berupaya menjatuhkan martabat para sahabat di mata kaum muslimin: Lalu fatwa siapakah yang akan kalian ambil jika para sahabat saja sudah kalian caci maki ?! laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Tidakkah mereka merasa cukup dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barang siapa yang mencela para sahabatku maka dia berhak mendapatkan laknat dari Allah, laknat para malaikat dan laknat dari seluruh umat manusia.” (Ash Shahihah: 234) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila disebutkan tentang para sahabatku maka diamlah.” (Ash Shahihah: 24)
Duhai para tukang cela, tutuplah mulut-mulut kalian, sebelum kematian menjemput dan tanah kuburanlah yang akan menyumpal mulut-mulut kalian yang kotor itu !!!
Ikutilah Pemahaman Sahabat Dan Jauhilah Bid’ah
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk menimba ilmu sebelum ilmu itu diangkat. Ketahuilah bahwa hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya ulama. Dan berhati-hatilah kalian dari kebid’ahan, jangan membuat-buat ajaran baru dan bersikap melampaui batas. Kalian wajib mengikuti urusan generasi awal yang lebih tua dan utama (para sahabat).”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Segala macam ibadah yang yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka janganlah kamu beribadah dengannya. Karena sesungguhnya generasi pertama sudah tidak menyisakan lagi kritikan ajaran untuk generasi belakangan. Oleh sebab itu maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para ahli baca al-Qur’an. Ikutilah jalan para sahabat yang mendahului kalian.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Barang siapa hendak mencontoh maka teladanilah para ulama yang telah meninggal. Mereka itulah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling baik hatinya di kalangan umat ini. Ilmu mereka paling dalam serta paling tidak suka membeban-bebani diri. Mereka adalah suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menularkan ajaran agama-Nya. Oleh karena itu tirulah akhlak mereka dan tempuhlah jalan-jalan mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” Beliau juga mengatakan, “Ikutilah tuntunan, karena sesungguhnya ajaran untuk kalian sudah cukup. Wajib bagi kalian mengikuti urusan kaum tua/para sahabat.”
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Umat manusia senantiasa akan berada di atas jalan yang benar selama mereka terus mengikuti atsar (jejak Rasul dan para sahabat).” Beliau juga berkata, “Semua bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang memandangnya sebagai kebaikan.”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kamu tidak akan sesat selama kamu tetap konsisten dengan atsar.”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seandainya agama itu dibangun di atas pikiran semata niscaya bagian bawah dari terompah itu lebih layak untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun karena aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap permukaan atas kedua terompahnya (maka itulah ajaran yang harus diikuti).”
Dari Abbas bin Rabi’ah, dia mengatakan: Aku melihat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu tatkala mencium hajar aswad berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanya sekedar batu, tidak bisa mendatangkan madharat atau manfaat. Seandainya bukan karena aku melihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu niscaya aku tidak akan menciummu.”
Khalifah yang adil ‘Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Berhentilah di mana kaum itu (para sahabat) berhenti. Karena mereka diam dan berhenti dengan landasan ilmu. Mereka menahan diri dengan bekal pandangan yang cermat dan tajam. Padahal sebenarnya mereka adalah orang yang paling mampu untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Dan tentu saja mereka jauh lebih dahulu melakukannya jika hal itu memang sesuatu yang lebih utama. Seandainya ada di antara kalian yang berkata: ada ajaran baru sesudah mereka. Maka pada hakikatnya tidak ada yang menciptakannya kecuali orang yang menentang petunjuk mereka serta membenci sunnah mereka. Sesungguhnya mereka telah membicarakannya dan sudah cukup memberikan jalan pemecahan. Dan apa yang mereka bicarakan sebenarnya sudah sangat mencukupi. Oleh sebab itu siapapun yang melampaui mereka maka dia adalah orang yang nekat melanggar batasan. Dan siapapun yang sengaja mengurang-ngurangi ajaran mereka maka dia adalah orang yang melecehkan. Sungguh telah ada suatu kaum yang sengaja mengurang-ngurangi petunjuk mereka sehingga akhirnya mereka pun celaka. Dan ada pula yang nekat melanggar batas hingga akhirnya mereka pun menjadi ekstrem. Sesungguhnya para sahabat itu meniti jalan tengah di antara keduanya, mereka senantiasa berada di atas petunjuk yang lurus.”
Imam Auza’i rahimahullahu ta’ala berkata, “Kamu harus mengikuti jejak para ulama salaf. Meskipun risikonya orang-orang menjadi menolak dirimu. Dan jauhilah pendapat-pendapat orang, meskipun mereka berusaha mengemasnya dengan ucapan-ucapan yang indah. Karena sesungguhnya urusan agama ini sudah terang dan kamu tetap harus meniti jalan yang lurus.”
Abu Ayyub As Sikhtiyani rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang ahli bid’ah semakin menambah kesungguhannya melainkan dia pasti akan semakin bertambah jauh dari Allah.”
Hasan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata, “Tidaklah suatu kaum menciptakan kebid’ahan melainkan akan dicabut sunnah yang sepadan dengannya.”
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama dahulu mengatakan: Selama seseorang meniti atsar maka itu berarti dia masih berada di atas jalan yang benar.”
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Bid’ah itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat. Karena maksiat masih bisa diharapkan taubatnya. Adapun bid’ah sangat kecil harapan taubatnya.”
Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Hendaknya pegangan yang harus kau ikuti adalah atsar (hadits), dan boleh saja kamu mengambil pendapat orang yang benar dalam hal menafsirkan hadits.”
Dari Nuh Al Jami’. Dia mengatakan: Aku pernah berkata kepada Abu Hanifah rahimahullah, “Apa pendapatmu tentang perkara yang diada-adakan oleh sebagian orang yaitu pembicaraan tentang ‘ardh (badan) dan jism (jasad, maksudnya Apakah Allah itu memiliki tubuh, red) ?” Maka beliau pun menjawabnya, “Itu adalah ocehan kaum filsafat. Kamu harus berpegang dengan atsar/riwayat dan mengikuti jalan kaum Salaf. Jauhilah semua yang diada-adakan karena ia adalah bid’ah.”
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Sunnah adalah bahtera Nabi Nuh. Barang siapa yang menaikinya niscaya akan selamat. Dan barang siapa yang tertinggal darinya pasti akan tenggelam.” Beliau juga mengatakan, “Seandainya ilmu kalam/filsafat itu benar-benar ilmu, pastilah para sahabat sudah membicarakannya dan juga para tabi’in. Sebagaimana mereka telah berbicara dalam masalah hukum-hukum. Akan tetapi ilmu itu memang suatu kebatilan dan akan menjerumuskan ke dalam kebatilan.”
Dari Ibnul Majisyun. Dia mengatakan, “Aku pernah mendengar Malik berkata: Barang siapa yang menciptakan suatu kebid’ahan di dalam Islam dan dia mengiranya sebagai sebuah kebaikan. Maka pada hakikatnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati misi kerasulan. Sebab Allah telah berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Oleh karena itu maka sesuatu yang bukan menjadi ajaran agama pada hari itu maka dia juga tidak boleh dijadikan sebagai ajaran agama pada hari ini.”
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Pokok-pokok ajaran As Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan apa yang dipahami oleh para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meniru mereka, meninggalkan bid’ah. Dan (kami yakin) bahwa semua bid’ah adalah sesat.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Apabila aku melihat seseorang yang termasuk sebagai kaum Ash-habul hadits (pembela hadits) maka seolah-olah aku sedang melihat salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ja’far bin Muhammad mengatakan; Aku penah mendengar Qutaibah rahimahullah mengatakan, “Jika kamu melihat ada seorang yang mencintai ahli hadits seperti Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih…” beliau juga menyebutkan nama-nama yang lain. “Maka ketahuilah bahwa dia berada di atas sunnah. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka maka ketahuilah bahwa dia adalah mubtadi’ (tukang bid’ah).”
Imam Malik rahimahullah telah memancangkan sebuah kaidah yang sangat agung dan merangkum wasiat para imam di atas. Beliau mengatakan, “Tidak akan ada yang bisa memperbaiki generasi akhir umat ini melainkan dengan sesuatu yang telah berhasil memperbaiki generasi awalnya. Oleh sebab itu ajaran apapun yang tidak termasuk agama pada hari itu maka juga bukan termasuk agama pada hari ini.” (silakan lihat wasiat-wasiat para ulama ini lebih lengkap di dalam Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 197-206)
Oleh sebab itulah maka tidak mengherankan jika Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan dengan tegas di dalam kitab ‘Aqidahnya, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang yang menceritakan mereka dengan cara yang tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488)
Maka kita pun akan mengatakan: Cinta Sahabat berarti cinta Islam. Dan membenci Sahabat berarti membenci Islam. Wallahu ta’ala a’lam bish shawaab.
Yogyakarta, Kamis 27 Rabi’uts Tsani 1427 Hijriyah
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/manhaj/kedudukan-sahabat-nabi-di-mata-umat-islam-1.html
http://muslim.or.id/manhaj/kedudukan-sahabat-nabi-di-mata-umat-islam-2.html
http://muslim.or.id/manhaj/kedudukan-sahabat-nabi-di-mata-umat-islam-3.html