Oleh:Ustadz Nur Kholis Bin Kurdian
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِن
قَبْلُ ۚ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang yang mendirikan masjid
untuk menimbulkan kemadharatan (pada orang-orang Mukmin), untuk
kekafiran dan memecah belah antara orang-orang Mukmin serta menunggu
kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu.
Mereka sesungguhnya bersumpah,”kami tidak menghendaki selain
kebaikan.”Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah
pendusta (dalam sumpahnya).[at-Taubah/9:107]
SEBAB TURUNNYA AYAT
Ibnu Mardawaih rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Ishâq rahimahullah
yang berkata, “Ibnu Syihâb az-Zuhri menyebutkan dari Ibnu Akîmah
al-Laitsi dari anak saudara Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu. Dia
mendengar Abi Rahmi al-Ghifâri Radhiyallahu ‘anhu – dia termasuk yang
ikut baiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari
Hudaibiyah - berkata, “Telah datang orang-orang yang membangun masjid
dhirâr kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,pada saat beliau
bersiap-siap akan berangkat ke Tabuk. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah membangun masjid buat
orang-orang yang sakit maupun yang mempunyai keperluan pada malam yang
sangat dingin dan hujan. Kami senang jika engkau mendatangi kami dan
shalat di masjid tersebut.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,” Aku sekarang mau berangkat bepergian, insya Allah Azza
wa Jalla setelah kembali nanti aku akan mengunjungi kalian dan shalat
di masjid kalian.” Kemudian dalam perjalanan pulang dari Tabuk, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristirahat di Dzu Awan (jaraknya ke
Madinah sekitar setengah hari perjalanan). Pada waktu itulah Allah Azza
wa Jalla memberi kabar kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang masjid tersebut (dan larangan shalat di dalamnya) dengan
menurunkan ayat ini. [1]
PENJELASAN AYAT
Sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah, di
kota suci ini ada seorang laki-laki dari bani Khazraj berjuluk Abu Amir
ar-Râhib. Lelaki ini pada masa jahiliyah beragama Nasrani dan
mempelajari kitabkitabnya, sehingga dia termasuk orang yang tekun
beribadah pada masa itu. Di sisi lain dia juga mempunyai kedudukan dan
pengaruh besar dalam kabilahnya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam hijrah ke Madinah, kaum Muslimin bersatu di bawah tampuk
kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; sehingga Islam
menjadi kuat, apalagi setelah Allah Azza wa Jalla memenangkannya pada
waktu perang Badar.
Melihat keadaan seperti ini Abu Amir tidak rela, sehingga dia
menampakkan permusuhannya terhadap kaum Muslimin; sampai-sampai dia
pergi ke Mekah menemui orang-orang kafir Quraisy untuk mengajak
memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin di
Madinah. Mereka pun setuju dan kemudian menyusun kekuatan; hingga
terjadilah perang Uhud. Dia juga mengajak kaum Anshar untuk bekerja sama
dan menyetujui pemikirannya. Namun ketika mereka mengetahui maksud
buruknya, mereka berkata,”Wahai musuh Allah Azza wa Jalla, semoga Allah
Azza wa Jalla menjadikanmu sebagai orang yang dibenci setiap orang yang
melihatmu”, Mereka mencaci-maki dan mencelanya; lalu dia pulang dan
berkata,”Demi Allah Azza wa Jalla, kejelekan telah menimpa kaumku”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajaknya untuk
masuk Islam serta membacakan al-Qur’ân kepadanya sebelum dia lari ke
negeri Romawi. Meskipun demikian, dia tetap menolak masuk Islam, [2]
bahkan mengatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku
tidak menemui suatu kaum yang memerangimu kecuali aku bersama
mereka”.[3] Maka beliau mendoakan dia agar mati di tempat yang jauh
dalam keadaan terusir. [4]
Lelaki ini memang selalu bersama orang-orang kafir dalam semua
peperangan melawan kaum Muslimin. Kemudian ketika mereka kalah dalam
perang di Hawazun, dia pergi ke negeri Romawi meminta bantuan raja
Romawi untuk memerangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari
sana dia juga menyuruh orang-orang munafik (dari penduduk Madinah) untuk
membangun masjid dhirâr.[5]
Atas dasar perintah tersebut, mereka lalu mendirikan masjid berdekatan
dengan masjid Quba’. Masjid tersebut selesai didirikan sebelum
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Tabuk. Lalu mereka
mendatangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta agar beliau
mengunjungi mereka dan shalat di masjid itu. Sebenarnya mereka bermaksud
(mengelabui kaum Muslimin) menjadikan shalat beliau ini sebagai hujjah
bagi mereka, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyetujui pembangunan masjid tersebut. Mereka menyebutkan kepada beliau
alasan mendirikan masjid itu; yaitu untuk orang-orang tua maupun yang
sakit (yang tidak bisa hadir shalat berjama’ah di masjid Quba’) pada
saat malam musim dingin (akan tetapi alasan ini tidaklah benar
adanya).[6]
Kemudian Allah Azza wa Jalla melarang rasul-Nya agar tidak melaksanakan
shalat di masjid tersebut, dengan menurunkan ayat di atas.
Penjelasannya:
“Mereka yang mendirikan masjid dhirâr adalah sekawanan orang (munafik)
dari penduduk Madinah yang jumlahnya dua belas orang.[7] Mereka
mendirikan masjid dengan tujuan menimbulkan kemadharatan pada
orang-orang Mukmin dan masjid mereka’,[8] dan untuk menguatkan kekafiran
orang-orang munafik,[9] serta memecah belah jama’ah kaum Mukminin. Pada
awalnya mereka semua shalat berjamaah di satu masjid (masjid Quba’),
kemudian terpecah menjadi dua masjid (di masjid Quba’ dan masjid
dhirâr). Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk menyebarkan syubhat,
menghasut, menfitnah dan memecah belah shaf kaum Mukminin. [10] Juga
untuk menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah Azza wa Jalla
dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu yaitu Abu Amir
ar-Râhib.[11] Mereka sesungguhnya bersumpah dengan mengatakan,”Kami
tidak menghendaki kecuali kebaikan yaitu menunaikan shalat dan berdzikir
di dalamnya serta memberi kemudahan bagi para jama’ah.” Dan Allah Azza
wa Jalla menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta
(dalam sumpahnya).[12]
Larangan Allah Azza wa Jalla tersebut telah di sebutkan dengan jelas di dalam ayat berikutnya, yaitu:
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ
أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن
يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
Janganlah kamu shalat di dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya
masjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin
membersihkan diri. Dan Allah Azza wa Jalla menyukai orang-orang yang
bersih.[at-Taubah/9:108]
Larangan Allah Azza wa Jalla ini tidaklah khusus bagi Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, akan tetapi kaum Muslimin juga
termasuk dalam larangan tersebut; sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu
Katsîr rahimahullah, “Ayat (di atas) merupakan larangan dari Allah Azza
wa Jalla kepada Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm agar tidak
shalat di masjid tersebut selamalamanya, dan umatnya mengikutinya dalam
hal ini.” [13]
Kemudian Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk melaksanakan shalat di masjid Quba’ yang telah
didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama. Maksudnya atas dasar
ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya dan juga untuk mempersatukan
ukhuwah kaum Muslimin serta sebagai markas mereka.[14]
Dalam ayat di atas juga terdapat pujian Allah Azza wa Jalla kepada penduduk Quba’.
Syaikh Abu Bakar al-Jazâiri hafidzahullâh berkata, “(Di dalam ayat ini)
terdapat pujian kepada penduduk Quba’ dan kabar bahwa mereka adalah
orang-orang yang menyukai bersuci dari kotoran badan maupun hati.”
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ تَقْوَىٰ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ
خَيْرٌ أَم مَّنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَىٰ شَفَا جُرُفٍ هَارٍ
فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa
kepada Allah dan keridhaan-Nya itu yang lebih baik, ataukah orangorang
yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya
itu jatuh bersamasama dengan dia ke neraka Jahannam? Dan Allah tidaklah
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. [at-Taubah/9:109]
Istifhâm (pertanyaan) dalam ayat ini adalah untuk taqrîr
(menetapkan),[15] (maksudnya menetapkan bahwa mereka kaum Mukminin itu
lebih baik daripada orang-orang munafik).
Maka tidaklah sama antara orang yang mendirikan masjid atas dasar takwa
kepada Allah Azza wa Jalla dan mengharap ridha-Nya dengan orang yang
mendirikan masjid atas dasar kemadharatan, kekafiran dan memecah-belah
kaum Mukminin serta untuk menunggu kedatangan orang yang memusuhi Allah
Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak dahulu.
Pada hakikatnya mereka mendirikan masjid di tepi jurang yang akan
runtuh,[16] lalu tepi jurang itu menyebabkan bangunannya runtuh
bersama-sama mereka ke neraka Jahannam.[17] Seperti halnya mereka
membangunnya di tepi neraka Jahannam, sehingga bangunan itu runtuh
bersama mereka ke dalamnya.[18] Dan Allah Azza wa Jalla tidaklah memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim sehingga mereka merugi di dunia
maupun di akhirat.[19]
Kemudian Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا يَزَالُ بُنْيَانُهُمُ الَّذِي بَنَوْا رِيبَةً فِي قُلُوبِهِمْ إِلَّا أَن تَقَطَّعَ قُلُوبُهُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Bangunan-bangunan mereka itu senantiasa menjadi keraguan dalam hati
mereka, kecuali jika hati mereka telah hancur, dan Allah Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana. [at-Taubah/9:110]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan,
“(Bangunan tersebut) menyebabkan keraguan itu melekat di hati mereka,
kecuali jika mereka benar-benar menyesali dan bertaubat atas perbuatan
mereka serta takut kepada Allah Azza wa Jalla. Jika demikian, maka Allah
Azza wa Jalla akan mengampuni mereka. Tetapi jika sebaliknya, maka
bangunan tersebut tidak akan menambah pada mereka, kecuali kemunafikan
di atas kemunafikan. Dan Allah Azza wa Jalla Maha Mengetahui atas segala
sesuatu, baik yang ditampakkan oleh hamba-Nya maupun yang
disembunyikan. Maha Bijaksana, tidak melakukan dan menciptakan,
memerintahkan dan melarang kecuali di balik itu semua ada hikmahnya dan
bagi-Nya segala pujian.[20]
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mâlik bin
Dukhsyum saudara Bani Salim dan Ma’an bin Adi seraya berkata kepada
mereka berdua,”Pergilah kalian ke masjid yang didirikan oleh orang-orang
dzalim (masjid dhirâr), kemudian hancurkan dan bakarlah.” Maka keduanya
pun berangkat; sesampainya di perkampungan Bani Sâlim, Mâlik berkata
kepada Ma’an, “Tunggu sebentar, aku akan mengambil api dari rumah
keluargaku.” Sesaat kemudian dia keluar dengan membawa pelepah kurma
yang dibakar dan berjalan dengan Ma’an menuju masjid itu; lalu membakar
dan menghancurkannya, sehingga orang yang berada di dalamnya (berlarian)
keluar.[21]
SedangkanAbu Amir ar-Râhib; dia mati di kota Qansarin (wilayah Romawi)
akibat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atasnya.[22]
PELAJARAN DARI AYAT
1. Setiap masjid yang dibangun dengan tujuan memberikan madharat dan
memecah belah kaum Muslimin serta untuk memusuhi Allah Azza wa Jalladan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hukumnya wajib dihancurkan
dan haram shalat di dalamnya.
2. Tidak boleh mempercayai perkataan orang-orang munafik, karena perkataan mereka bohong belaka.
3. Keutamaan membersihkan diri baik dari kotoran badan maupun kotoran hati.
4. Larangan berbuat dzalim dan berlebih-lebihan dalam kedzaliman; karena
perbuatan tersebut akan menyebabkan pelakunya tidak mendapat hidayah
oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga dia mati dalam keadaan dzalim dan
merugi di dunia dan di akhirat.
5. Jika masjid Quba’ didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama, maka
masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih pantas atas berlandaskan itu.
MARAJI’
1. Aisarut-Tafâsir, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri, Maktabah Ulum Walhikam, Madinah. Cetakan kelima th.1424 H/2003M.
2. Taisîrul Karîmirrahmân Fî Tafsîri Kalâmil Mannân, Abdurrahmân bin
Nâshir bin As-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut. Cetakan pertama
tahun 1420 H- tahun 2000 M.
3. Ma’âlimut Tanzîl, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi, Dâr
Thaibah - Riyâdl – KSA. Cetakan keempat th.1417 H/ th.1997 M.
4. Tafsîrul-Qur’ânil-Adzîm, Al-Hâfidz Abul Fidâ’ Isma’îl bin Umar Bin
Katsîr Al-Qurasyi, Dârut-Taibah Riyâdl-KSA. Cetakan kedua th.1417 H/
th.1997 M.
5. Irsyâdul Aqlis Salîm Ilâ Mazâyal Qur’ânul Karîm (Tafsîr Abu Su’ûd),
Muhammad bin Muhammad Al-‘Imadi Abu Su’ûd, Dâr Ihya’ Turâts Al-Arabi –
Beirut.
6. Al-Jâmi’ li-Ahkâmil Qur’ân, Abu Abdillâh Muhammad bin Ahmad bin Abi
Bakr bin Farah Al-Anshâri Al-Qurthubi, Dâr Alamul-kutub – Riyâdl–KSA.
Cetakan th.14 23 H/th.2003 M.
7. Jâmi’ul-Bayân ‘an Ta’wîlil Ayil-Qur’ân, Muahammad bin Jarîr Abu
Ja’far at-Thabari, Mu’assasah ar-Risâlah – Lebanon. Cetakan pertama
th.1420 H/ th.2000 M.
8. Lubâbun Nuqûl Fî Asbâbin Nuzûl, Abdurrahmân bin Abu Bakr bin Muhammad As-Suyûthi Abul Fadhl, Dâr Ihyâ’il Ulûm – Beirut.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1430H/2009M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl (Hal.115).
[2]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211).
[3]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[4]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.210-211).
[5]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[6].Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.211).
[7]. Tafsir Ath-thabary (Juz 14 / Hal.468).
[8]. Tafsir As-Sa’di (Hal.351).
[9]. Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[10]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.425).
[11].Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257).
[12].Tafsir Abu Su’ûd (Juz 4 / Hal.102).
[13]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212).
[14]. Ibid.
[15]. Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.263).
[16]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.217).
[17]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426).
[18]. Tafsir Al-Baghawi (Juz 4 / Hal.97).
[19]. Aisarut Tafâsîr (Juz 2 / Hal.426).
[20]. Tafsir As-Sa’di (Hal.351).
[21]. Tafsir Ibnu Katsîr (Juz 4 / Hal.212).
[22]. Tafsir Al-Qurthubi (Juz 8 / Hal.257).
http://almanhaj.or.id/content/2574/slash/0/larangan-shalat-di-masjid-dhirar/