Sesungguhnya adab yang paling agung, yang mencakup seluruh adab
Islami, baik perkataan maupun perbuatan, yang menatanya, mendorong
kepadanya, merumuskan langkah-langkah dan perinciannya adalah adab
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena pada hakikatnya, itulah agama secara menyeluruh. Oleh
karena itu, saya menjadikannya sebagai pembuka pasal-pasal buku ini agar
menjadi pedoman dan pendorong kepadanya.
Hal itu bagi mereka yang memahami, mengerti, dan mengamalkannya
secara sempurna. Kemudian, saya menyebutkan pada akhir setiap adab
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam, serta beberapa buah hasil dan pengaruh yang terpuji yang
mendorong untuk mengamalkan adab tersebut.
Di antara adab-adab kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
1. Menujukan Ibadah Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Semata
Tidak diragukan lagi bahwasanya menujukan ibadah hanya kepada-Nya
merupakan adab teragung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini juga
merupakan buah teragung dari keimanan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
ma’rifah kepada-Nya, iman kepada rububiyyah-Nya, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya, dan pengkhususan ibadah hanya kepada-Nya karena Dia
adalah pemilik, pengatur, dan penguasa. Dialah yang telah menciptakan
segenap makhluk dan melimpahkan rizki kepada mereka, tidak ada sekutu
bagi-Nya.
Oleh karena itu hanya Dialah dzat yang berhak untuk disembah. Tidak
boleh memalingkan satu bentuk ibadah pun kepada selain Allah Subhanahu
wa Ta’ala, siapa pun dia, baik Malaikat yang didekatkan, seorang Nabi
yang diutus, wali yang shalih, batu, pohon, binatang, atau yang selainnya.
Ini menjelaskan bathilnya perbuatan sebagian orang yang menisbatkan
dirinya kepada Islam dari para penyembah kubur, tempat-tempat keramat,
dan kuburan orang-orang shalih. Orang-orang itu mengharapkan dari mereka
untuk mendatangkan manfaat, menolak mudharat, serta mengabulkan
berbagai macam hajat. Padahal orang mati yang berada di kubur tidak
memiliki kemampuan untuk mendatangkan manfaat dan menolak mudharat bagi
diri mereka sendiri, apalagi bagi orang lain.
Ini merupakan kesyirikan yang sangat besar kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Sangat disayangkan, musibah ini telah merata di seluruh negeri
kaum Muslimin sehingga kedustaan dan khurafat merupakan perkara yang
tidak dapat dipungkiri. Di balik kedok inilah, harta manusia dimakan
secara bathil dan kemungkaran merajalela. Laa haula walaa quwwata illa
billah.
Celakalah orang yang telah dikotori oleh akalnya yang sakit hingga
meyakini bahwasanya makhluk ini memiliki kemampuan untuk mendatangkan
manfaat dan mudharat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan
kamu membuat dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak
mampu memberikan rizki kepadamu; maka mintalah rizki itu di sisi Allah,
dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nya kamu
akan dikembalikan.” (QS Al-Ankabut: 17)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “…Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai
apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka
tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari Kiamat mereka akan
mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan
kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Faathir: 13-14).
Ayat-ayat dalam hal ini sangat banyak. Adab ini memiliki atsar yang agung dan terpuji, di antaranya:
a). Keikhlasan ibadah hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala semata; Sedikit ataupun banyak, besar maupun kecil.
Oleh karena itu, seorang hamba yang taat beribadah dan ikhlas
tidaklah melihat di hadapannya kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia
menghadapkan dan mengkhususkan ibadah hanya kepada-Nya. Dia menjauhi
seluruh perkara yang bertentangan dengan keikhlasan, atau yang dapat
mengurangi kesempurnaannya.
Keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja merupakan pokok
agama ini dan rukun-rukun yang paling kuat, sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (QS. Az-Zumar: 11)
“Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Ayat yang semakna dengan ini sangat banyak.
b). Jauh dari riya’.
Di dalam perkataan maupun perbuatan. Ini merupakan kelanjutan dari
pengaruh sebelumnya. Sesungguhnya seorang yang benar keikhlasan di dalam
hatinya, maka seluruh perkataan dan perbuatannya akan bersumber dari
keikhlasan ini. Yang ia lihat dengan mata hati dan bashirah (akal)
hanyalah Rabb-nya Subhanahu wa Ta’ala. Maka terhapuslah riya’ dalam
ucapan dan perbuatannya.
Dia tidak lagi mencari keuntungan dunia atau keridhaan salah seorang
dari makhluk di balik itu semua. Bahkan, ia semata-mata mencari
keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap dapat melihat
wajah-Nya yang mulia. Jika niat seorang hamba telah ikhlas, begitu juga
amal dan kehendaknya bersih dari riya’ dan keinginan duniawi, maka yang
demikian itu merupakan sebab terbesar untuk meraih kebaikan agama maupun
dunia.
c). Memerangi segala bentuk syirik dan riya’.
Karena seorang Mukmin melihat bahwasanya dia harus memerangi segala
bentuk kesyirikan, kebohongan, dan khurafat dengan seluruh kemampuan
yang dia miliki. Selain itu, menjelaskan kepada manusia tentang
kesesatan dan kebathilannya, serta melawannya baik dengan lisan, tangan,
maupun harta hingga tidak ada lagi fitnah dan agama seluruhnya bagi
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Mengagungkan dan Memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Seorang yang beriman mengagungkan dan memuliakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala ketika menyaksikan kekuasaan-Nya terhadap alam semesta, melihat
keagungan rabbaniyyah di sekitarnya berupa segenap makhluk dan segala
yang ada, yang menunjukkan keagungan al-Khaliq ‘Azza wa Jalla dan
kekuasaan-Nya yang tiada batas.Tatkala seseorang mengimani bahwasanya
Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna dan bersih dari segala
kekurangan, serta bahwasanya makhluk tidak meliputi ilmu-Nya dan tidak
juga mengetahui hakikatnya.
Ketika dia menyaksikan semua itu dan mengimaninya, niscaya hatinya
akan dipenuhi rasa pengagungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Pengagungan
yang tiada bandingnya dan segenap makhluk terasa kecil dalam hatinya.
Dia tidak melihat sesuatu yang memiliki keagungan dan kemuliaan yang
hakiki kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengagungan ini akan membuahkan beberapa perkara:
- a). Bersegera untuk melakukan ketaatan dan amal kebaikan.
- b). Menjauhi segala bentuk maksiat, kejelekan, dan kerusakan.
- c). Tidak merasa takut kepada makhluk dalam membela hak Allah dan
menegakkan kalimat haq, baik kepada orang yang dia harapkan maupun yang
dia takuti.
3. Takut Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Takut kepada Allah merupakan adab tertinggi kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Rasa takut ini muncul dari ma’rifah (mengenal) kekuasaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, kekuasaan-Nya terhadap makhluk, keagungan
kekuasaan-Nya, kerasnya siksaan, dan hukuman Allah terhadap
musuh-musuh-Nya, musuh para Rasul, dan wali-wali-Nya serta adzab yang
diturunkan kepada mereka di dunia.
Rasa takut juga muncul dengan memperhatikan ayat-ayat ancaman dan
memikirkan apa yang telah disediakan oleh Allah bagi musuh-musuh-Nya
berupa adzab di dalam kubur dan di Neraka Jahannam. Begitu pula ketika
seorang Muslim meyakini bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berkuasa
untuk mengadzab seluruh makhluk jika Dia menghendaki.
Tidak ada yang dapat menolak keputusan-Nya dan tidak dapat
dibayangkan dahsyatnya. Jika seorang Muslim mengimani semua itu niscaya
akan membuahkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala; hingga rasa
takut ini akan mencegah seorang Muslim dari perbuatan maksiat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mencegahnya untuk melakukan perkara yang
Dia benci, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “…Demikianlah Allah
mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan adzab itu. Maka bertakwalah
kepada-Ku, hai hamba-hamba-Ku.” (QS. Az-Zumar: 16)
“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan
Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya sebagian
ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) al-Qur’an itu menimbulkan
pengajaran bagi mereka.” (QS.Thaahaa: 113)
Rasa takut ini merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat bagi seorang
Muslim, terlebih lagi semasa dia muda dan kuat. Maka sudah selayaknya
rasa takut ini senantiasa dimiliki dan tidak terlepas dari seorang
Muslim di segala kondisi dan sepanjang umurnya.
Seorang Mukmin yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dapat
memetik faidah yang sangat besar. Tidak adanya rasa takut kepada-Nya
merupakan adab yang buruk dan dapat mendorong seseorang jatuh ke dalam
maksiat kepada-Nya, melangar hukum-hukum-Nya, serta mengerjakan apa yang
diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla.
Rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuahkan banyak hal, di antaranya:
- a). Meninggalkan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhinya.
- b). Menunaikan semua kewajiban dan amal ketaatan, serta bersegera melakukannya dan selalu menjaganya.
- c). Selalu bergantung kepada Allah Ta’ala. Sebab, tidak ada tempat lari
dari-Nya kecuali kepada-Nya dan tidak ada yang dapat menyelamatkan dari
adzab-Nya kecuali Dia semata.
- d). Ketetapan hati di hadapan para makhluk dan tidak merasa takut kepada
mereka. Sebab, hati yang dipenuhi rasa takut kepada Allah Ta’ala tidak
akan takut kepada selain-Nya. Bahkan, seluruh makhluk takut kepadanya.
Sampai-sampai engkau mendapati para pendosa takut kepada seorang yang
shalih. Sebaliknya, dia tidak takut kepada mereka.
4. Mencintai Allah dan Rasul-Nya Lebih daripada yang Lainnya
Mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lainnya merupakan adab
yang sangat agung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Asal dari cinta ini adalah ketika seorang Mukmin
menyaksikan dengan mata hati dan bashirah-nya keagungan kekuasaan Allah
Ta’ala dan hikmah-Nya, juga ilmu dan keagungan-Nya; ketika dia mengimani
sifat-sifat Allah Ta’ala yg indah dan sempurna, yang bersih dari segala
aib dan cela; ketika dia melihat dengan mata bashirah-nya sifat-sifat
Allah yang mulia dan sempurna; dan melihat kesantunan Allah Ta’ala yang
tidak menyegerakan adzab dan hukuman kepada para pelaku maksiat, bahkan
Dia menangguhkan dan sabar terhadapnya. Di samping itu, ketika ia
menyaksikan rahmat Allah yang Maha Luas, yaitu Dia melimpahkan rizki
kepada para hamba-Nya, baik yang Mukmin maupun yang kafir, dan tidak
memutus limpahan rizki itu disebabkan dosa-dosa mereka. Sesungguhnya
Allah adalah pemilik keutamaan yang agung atas manusia dan pemilik
segala nikmat dalam kehidupan mereka, sebagaimana firman-Nya, yang
artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53)
Dialah yang telah menciptakan manusia dari ketiadaan sebagaimana
Dialah yang mengatur segala urusan manusia serta menetapkan syari’at
yang membawa kemaslahatan bagi agama dan dunia mereka. Ketika seorang
Mukmin menyaksikan itu semua, niscaya hatinya akan dipenuhi oleh rasa
cinta kepada Allah. Cinta yang tiada batasnya. Cinta yang membawa
pemiliknya untuk mentaati Allah dengan ketaatan yang mutlak. Pemilik
cinta itu akan selalu berusaha untuk meraih keridahaan-Nya dengan
melakukan segala yang Allah ridhai dan meninggalkan segala perkara yang
Dia benci.
Sudah seharusnya cinta ini mengalahkan seluruh cinta yang lain dan
menjadi asal dari semua cinta sehingga seluruh cinta kepada selain Allah
merupakan cabang darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang
artinya:“…Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…” (QS. Al-Baqarah: 165)
Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah manusia
yang paling banyak kebaikannya. Beliau datang untuk menyampaikan
syari’at dan agama Allah Ta’ala, serta mengajak kepada jalan yang lurus,
yakni jalan menuju surga, dan kepada seluruh kebaikan. Di samping itu,
beliau memperingatkan manusia dari jalan yang buruk, yakni Neraka.
Beliau telah mengerahkan segala daya untuk itu dan upaya beliau tidak
kurang dalam menyampaikan kebenaran. Setiap Muslim di alam ini merupakan
hasil dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena
itulah, sudah selayaknya bagi seorang Muslim untuk mencintai Allah dan
Rasul-Nya lebih daripada selainnya, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits, yang artinya: “Tiga
perkara yang dengannya seseorang dapat merasakan manisnya iman: Allah
dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya…” (HR. Bukhari no.16-21
dan Muslim no. 43 dari Anas radhiyallahu ‘anhu).
Hendaknya pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi makhluk
yang paling dicintai oleh seorang Muslim, sebagaimana sabda beliau, yang
artinya: “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia
cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR.
Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas radhiyallahu ‘anhu)
Maka jika seorang Mukmin menyaksikan itu semua, mengimaninya, dan
mengakuinya dalam hati, niscaya hatinya akan dipenuhi rasa cinta kepada
Allah Ta’ala dan cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cinta yang tidak tertandingi dan tersaingi oleh cinta yang lain,
sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang orang-orang yang beriman:
“…Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah…”
(QS. Al-Baqarah: 165)
Maka dari itu, rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi
cintanya kepada istri dan anaknya, bahkan melebihi cintanya kepada diri
sendiri. Sampai-sampai, seluruh cintanya kepada yang lain merupakan
cabang dari cinta kepada Allah. Tidaklah ia mencintainya kecuali
“billah” (karena Allah), “lillah” (untuk Allah), dan “fillah” (di jalan
Allah). Cinta inilah yang menjadikan ia mencintai orang-orang shalih
karena mereka adalah orang-orang yang mencintai Allah.
Selain itu, menjadikan ia cinta kepada amal-amal shalih karena itu
merupakan suatu yang dicintai Allah Ta’ala dan dapat menolongnya untuk
mencintai-Nya. Dengan demikian, cinta kepada Allah Ta’ala merupakan
tanggung jawab setiap hamba, yang mempengaruhi seluruh cintanya serta
menjadi sumber semua ucapan dan perbuatannya.
Sudah selayaknya bagi seorang hamba mengetahui bahwasanya ia tidak
akan dapat mencintai Allah kecuali jika didahului oleh cinta Allah
kepada dirinya. Karena sesungguhnya jika Allah Ta’ala mencintai seorang
hamba, niscaya Dia akan memberikan taufik kepadanya unuk mencintai-Nya
dan membantu hamba tersebut untuk mendapatkannya. Jika seorang hamba
bersungguh-sungguh untuk mendapatkan cinta ini, maka akan bertambahlah
cinta Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “…Maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutan cinta-Nya kepada
mereka sebelum cinta mereka kepada Allah. Meskipun huruf “wau” tidak
selalu memberikan arti tertib, namun urutan yang disebutkan dalam ayat
ini mengisyaratkan kepada apa yang kami sebutkan. Allahu a’lam.
Bagaimana tidak cinta kepada Allah Ta’ala dalam hati seorang Mukmin
dapat mengalahkan cinta kepada selain-Nya? Bagaimana tidak hatinya
dipenuhi dengan cinta itu hingga menyibukkannya dari mencintai
selain-Nya? Allah Ta’ala adalah dzat yang paling banyak berbuat kebaikan
dan memberikan nikmat kepada manusia, paling pemaaf terhadap
kesalahan-kesalahan mereka, dan paling santun terhadap kejahilan mereka.
Dia telah memuliakan manusia atas semua makhluk. Dialah yang
menciptakan mereka dari ketiadaan dan melimpahkan kepada mereka berbagai
macam kenikmatan. Bukankah semua itu akan menumbuhkan rasa cinta yang
sempurna, yang khusus kepada Allah Ta’ala dalam hati seorang Mukmin?
Bagaimana pula tidak cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melebihi cintanya kepada semua makhluk, sedangkan seorang Muslim
mengetahui keutamaan beliau, cinta Allah kepada beliau, dan kebaikan
beliau kepada segenap makhluk, hingga menjadikan Rasulullah sebagai
orang yang paling ia cintai?
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ini akan membuahkan hasil yang sangat banyak, di antaranya:
a) Seorang Mukmin hanya akan mencintai orang-orang shalih
Karena mereka adalah orang-orang yang dicintai oleh Allah Ta’ala.
b). Seorang Mukmin akan mencintai amal-amal shalih berupa amal kebaikan, kebajikan, dan ketaatan.
Sebab, semua itu dicintai oleh Allah dan dapat menolongnya untuk meraih cinta Allah Ta’ala.
c). Seorang Mukmin akan membenci segala yang dibenci oleh Allah Ta’ala
Yakni orang-orang kafir, munafik, para pelaku maksiat, dan amal-amal
keburukan. Sebab, Allah membenci semua itu dan membenci penganutnya.
Sesungguhnya seorang yang mencintai sesuatu tentu hasratnya akan
mengikuti keridhaan yang dicintainya.
d). Bersegera melaksanakan segala kewajiban karena itu adalah perintah Allah Ta’ala, tidak bermalas-malasan mengerjakannya.
Kemudian, menambahnya dengan memperbanyak amalan-amalan nafilah
(sunnah) karena semua itu akan menolongnya untuk meraih cinta Allah,
sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits qudsi, Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman, artinya: “Barang siapa memerangi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang
terhadapnya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku sukai daripada perkara-perkara yang telah Aku
wajibkan atasnya. Hambaku terus-menerus mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Jika Aku
mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran yang dengannya ia
mendengar, penglihatan yang dengannya ia melihat, tangan yang dengannya
ia bertindak, dan kaki yang dengannya ia melangkah.” (HR. Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
e). Menjauhi kemaksiatan dan segala perkara yang mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala karena semua itu dibenci oleh-Nya.
Orang yang benar-benar mencintai Allah tidak mungkin mendurhakai-Nya
atau berbuat sesuatu yang dapat mendatangkan kemurkaan-Nya. Sebaliknya,
ia akan selalu melakukan apa yang dicintai oleh Allah dan meninggalkan
apa yang Dia benci. Sungguh bagus ucapan seseorang yang mengatakan:
“Engkau mendurhakai Allah, sementara engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya.
Ini adalah suatu permisalan yang buruk.
Seandainya tulus cintamu, niscaya engkau akan mentaatinya.
Sesungguhnya orang yang mencintai pasti akan taat kepada yang dicintainya.”
f). Bersemangat untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berpegang teguh dengannya dan tidak meninggalkan atau menjauhinya.
Sebab, hal itu merupakan bukti ketulusan cinta kepada Allah Ta’ala dan
cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta menjadi
penolong untuk mendapatkan cinta-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah
aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’…” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Selain itu, berusaha menghindari serta berhati-hati dari menyelisihi
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau terjatuh pada perkara
yang menyelisihinya.
g). Banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sebab, barang siapa
yang mencintai sesuatu dan cintanya itu bertambah, niscaya dia akan
banyak mengingatnya.
Tidak akan hilang dari ingatannya meskipun hanya sekejap. Maka jika
telah sempurna rasa cinta kepada Allah dalam hati seorang Mukmin,
niscaya ia akan terus-menerus berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan hati
maupun lisannya. Dia akan memperbanyak dzikir kepada-Nya dan selalu
melakukannya hingga tidak pernah terlepas darinya. Rasa cinta kepada
Allah Ta’ala telah menguasai seluruh anggota badannya. Dzikir ini
merupakan sebab terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala,
perkara yang sangat bermanfaat bagi seorang hamba Mukmin, dan untuk
keistiqamahan seluruh anggota badannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati
menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
h). Memperbanyak shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal itu merupakan buah dari cinta yang dalam kepada Nabi dalam hati
seorang Mukmin dan buah dari ma’rifah seorang Mukmin terhadap keutamaan
bershalawat kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan datang
penjelasan tentang hal ini pada adab ketujuh belas, insya Allah.
i). Penjagaan seorang Mukmin terhadap perintah-perintah Allah Ta’ala pada anggota badannya.
Yaitu dengan selalu bersemangat melakukan ketaatan dan menjauhi
segala bentuk maksiat, hingga seluruh gerak ataupun diamnya senantiasa
disertai rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Tidaklah bergerak anggota
badannya kecuali untuk sesuatu yang diridhai Allah. Hal ini dibenarkan
oleh firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya: “Maka
jika Aku telah mencintainya, niscaya Aku akan menjadi pendengaran
yang dengannya ia mendengar, penglihatan yang dengannya ia melihat,
tangannya yang dengannya ia bertindak, dan kaki yang dengannya ia
melangkah. Jika ia meminta, niscaya akan Aku kabulkan dan jika ia
meminta perlindungan, niscaya akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari no. 6502
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam riwayat lain disebutkan: “Dengan-Ku ia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dan dengan-Ku ia bertindak…”
Maksudnya bahwa seluruh anggota badan tidak bergerak kecuali atas
dasar cinta kepada Allah Ta’ala. Tidaklah ia berusaha kecuali dalam
perkara yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa amal-amal
kebaikan, kebajikan, dan ketaatan.
j). Penjagaan Allah terhadap hamba yang Mukmin. Sebab,
seseorang yang mencintai-Nya dengan sebenar-benar cinta, niscaya Allah
akan mencintainya.
Barang siapa yang dicintai Allah ‘Azza wa Jalla, niscaya Dia akan
menjaganya dari segala keburukan. Barang siapa yang menjaga perintah dan
larangan Allah, niscaya Allah akan menjaganya, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya: “Jagalah Allah,
niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau dapati Dia di
hadapanmu.” (HR. Ahmad, I/306; at-Tirmidzi no. 2516 dan dia berkata:
“Hasan
shahih”; al-Hakim, III/541 dan lain-lain dengan lafazh yang hamper sama
dari Ibnu ‘Abbas. Lihat kitab Shahiihul Jaami’ no. 7957).
Dalam riwayat lain: “Di depanmu…”
k). Allah akan mengabulkan permohonan hamba-Nya yang Mukmin dan memberikan apa yang ia minta.
Ini merupakan buah dari cinta Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, yang
merupakan konsekuensi dari cinta hamba kepada Rabbnya. Yakni, Dia akan
mengabulkan apa yang ia minta, melindunginya dari apa yang ia minta
perlindungan darinya, dan menjauhkannya dari perkara yang ia benci –
kecuali yang memang telah Allah takdirkan menimpanya. Hal ini dibenarkan
oleh firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya: “Jika
ia meminta kepada-Ku, niscaya Aku beri dan jika ia meminta perlindungan
kepada-Ku, niscaya Aku lindungi.” (Telah berlalu takhrij-nya).
Semua itu tidak akan diperoleh kecuali setelah seorang hamba mencintai Allah Ta’ala..
5. Bertawakkal Hanya Kepada Allah Ta’ala Semata
Di samping bertawakkal kepada Allah semata, hendaknya pula
menyerahkan seluruh perkara kepada Allah dan selalu bergantung
kepada-Nya. Ini merupakan buah dari ma’rifah kepada Allah Ta’ala, iman
kepada-Nya, kepada kekuasaan-Nya yang agung dan Mahaluas, kekuatan-Nya,
hikmah-Nya, dan ilmu-Nya yang meliputi setiap sesuatu. Tawakkal
adalah buah dari pengetahuannya bahwa Allah Ta’ala senantiasa membela
orang-orang yang beriman, serta keyakinan bahwasanya jika Allah Ta’ala
menghendaki sesuatu, pasti akan terlaksana. Tidak ada satu pun yang
dapat menghalanginya. Bahwasanya Dia berkuasa menjaga hamba-Nya dari
segala perkara yang ia benci serta makar para musuh Allah dari kalangan
syaitan, manusia maupun jin.
Berangkat dari situlah seorang hamba Mukmin hanya bertawakkal kepada
Allah Ta’ala, tidak bertawakkal kepada selain-Nya, sebagaimana firman
Allah Ta’ala: “…Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika
kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-Maa-idah: 23)
Tawakkal hanya kepada Allah ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan seorang Mukmin, di antaranya:
a). Perlindungan Allah terhadap hamba-Nya yang Mukmin dengan
menjaganya dari keburukan manusia maupun jin, serta dari seluruh
keburukan.
Ssebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Dan barang siapa yang bertawakkal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…” (QS.
Ath-Thalaq: 3)
Maka dari itu, barang siapa yang membaguskan tawakkal kepada Allah,
niscaya Dia akan menjaganya dari setiap keburukan. ’Umar ibnul Khaththab
pernah berkata: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
akan menjaganya. Barang siapa bertawakkal kepada-Nya, niscaya Dia akan
mencukupinya. Barang siapa memberi pinjaman kepada-Nya, niscaya Dia akan
membalasnya. Barang siapa bersyukur kepada-Nya, niscaya Dia akan
menambahnya.”
b). Kekuatan hati seorang Mukmin
Yaitu ia berani menyampaikan kalimat yang haq, menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, berdakwah kepada Allah,
melaksanakan semua perintah Allah Ta’ala, dan tidak takut terhadap
celaan orang yang mencela. Dia tidak takut kepada siapa pun dalam
membela hak-hak Allah ’Azza wa Jalla. Sebab, ia mengetahui bahwasanya
tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan manfaat ataupun mudharat
kecuali atas izin Allah ’Azza wa Jalla. Ia pun mengimani bahwasanya ajal
dan rizki hanya berada di tangan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril Alaihissalam) membisikkan ke dalam
hati sanubariku bahwasanya tidak akan mati suatu jiwa hingga terpenuhi
rizki dan ajalnya. Maka bertakwalah kalian kepada Allah, perbaguslah
caramu dalam mencari rizki, dan janganlah rizki yang terlambat datangnya
itu memaksamu untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah.
Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah tidak akan dapat diperoleh
kecuali dengan mentaati-Nya.” (Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, X/27 dan yang
lainnya dari Abu Umamah. Lihat kitab Shahiihul Jaami no. 2085)
c). Bersahaja dalam mencari rizki.
Sebab seorang Mukmin mengetahui bahwasanya usaha dalam mencari
kenikmatan dunia tidak akan menambah rizki yang telah Allah takdirkan,
Allah tulis, dan Allah kehendaki. Demikianlah perintah Nabi, yakni
bersahaja dalam kebutuhan hidup di dunia, sebagaimana hadits yang telah
lalu.
d). Seorang Mukmin berusaha dengan cara-cara yang disyari’atkan.
Hal itu berlaku dalam seluruh urusan hidupnya. Dia berusaha dengan
cara-cara yang disyari’atkan guna memenuhi hajat-hajatnya dan mengejar
cita-citanya, dengan menyerahkan semua urusan kepada Allah. Dia menikah
untuk mendapatkan keturunan yang shalih, namun dia menyerahkan urusan
kepada Allah. Dia bertani dan mengairi sawahnya agar dapat memetik panen
dan keuntungan. Meskipun demikian dia tahu bahwasanya segala sesuatu
ada di tangan Allah ‘Azza wa Jalla. Dia berobat karena mengharapkan
kesembuhan. Dia tahu bahwasanya kesembuhan itu ada di tangan Allah.
Tawakkal tidaklah menafikan usaha dengan cara-cara yang disyari’atkan.
Sebab, meninggalkan usaha secara total adalah tawakkal semu, bukan
tawakkal yang sesungguhnya.
6. Selalu Mengaitkan Diri Kepada Allah ’Azza wa Jalla
Hati seorang Mukmin selalu terikat kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala
dengan cinta, pengagungan, tawakkal, inabah (taubat), pengharapan,
serta rasa takut. Maka ia pergi, bergerak, dan beraktifitas, sementara
hatinya terkait kepada Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala dan aanggota badannya
selalu bersama perintah Allah, mengharap rahmat-Nya, takut terhadap
adzab-Nya, serta mengharapkan didatangkannya manfaat dan dijauhkannya
dari mudharat. Sebab, dia telah mengetahui dan menyaksikan bukti-bukti
yang menunjukkan kekuasaan, keagungan, dan hikmah rabbaniyyah yang
sangat agung.
Barang siapa yang selalu mengaitkan hatinya kepada Allah, maka Allah
pasti memenuhi semua hajatnya dan melindunginya dalam segala urusan.
7. Tunduk Kepada Allah dan Merasa Butuh Kepada-Nya
Tunduk dan merasa butuh kepada-Nya disebabkan seorang Mukmin
menyaksikan hikmah Allah Ta’ala, kekuatan Allah ‘Azza wa Jalla yang
tidak dapat dilawan, fenomena keagungan Allah Tabaaraka wa Ta’ala,
tanda-tanda ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk-Nya, qayyumiyyah (berdiri
sendiri)-Nya dalam kerajaan-Nya, dan keagungan-Nya yang Mahabesar.
Kemudian, ia kembali dan memikirkan keadaan dirinya sendiri serta
seluruh makhluk Allah ’Azza wa Jalla. Ia pun mendapati semua bertolak
belakang dan berkebalikan dengan Allah. Mereka semua hina, lemah, fakir,
banyak kekurangan, dan sangat membutuhkan Allah ’Azza wa Jalla dalam
seluruh urusan kehidupan mereka. Mereka tidak dapat terlepas dari Allah
sedikit pun. Telah ditetapkan pula atas mereka kefanaan.
Maka jika seorang Mukmin merasakan hal itu pada dirinya dan alam
sekitarnya, akan bertambahlah ketundukannya kepada Allah, kerendahan,
ketawadhu’an, rasa butuh dan berlindung kepada-Nya, untuk menutupi
segala kerendahan dan kekurangannya, mengampuni kesalahannya, dan
memperbaiki cacatnya. Jika demikian, ketundukan dan rasa membutuhkan
Allah ini akan membuahkan pengaruh yang sangat banyak, di antaranya:
a). Ketawadhu’an hamba di hadapan seluruh manusia: tidak sombong, takabur, dan membanggakan diri sendiri.
Sebaliknya, ia tawadhu’ di hadapan makhluk sebagi buah dari
ketundukannya kepada Allah Ta’ala. Sikap tawadhu’ ini merupakan sebab
terbesar untuk memperbaiki hubungan seorang hamba dengan orang lain,
sebagimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewahyukan kepadaku agar kalian
bertawadhu’ sehingga seseorang tidak menyombongkan diri dan berbuat
aniaya terhadap orang lain.” (HR. Mslim no. 2865 dari ‘Iyadh bin Himar
al-Mujasyi’i)
b). Mengaitkan hati kepada Allah ’Azza wa Jalla dalam setiap urusan
Yaitu dengan menyerahkan setiap urusan kepada-Nya dan menggantungkan semua hajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
c). Bertambahnya keimanan seorang Mukmin, karena apa yang disebutkan di atas merupakan bentuk ibadah yang sangat agung.
Maka dari itu, tatkala seorang manusia telah menyempurnakan seluruh
perkara ini, akan bertambahlah imannya dan semakin tinggi kedudukannya
di sisi Allah Ta’ala.
8. Berlindung Kepada Allah ’Azza wa Jalla
Berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan buah dari apa yang
disebutkan sebelumnya. Apabila telah tertanam dalam jiwa seorang hamba
bahwasanya Allah Ta’ala adalah pemilik segalanya, di tangan-Nyalah
kekuasaan langit dan bumi, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, maka
saat itulah ia akan berlindung kepada Allah ’Azza wa Jalla, kepada
Pemilik alam semesta, Pemilik kemuliaan dan kekuasaan.
Ia akan mendatangi pintu-Nya, mengakui semua nikmat yang tellah Allah
karuniakan kepadanya, serta mengakui kelemahan dan kekurangan dirinya
dengan penuh pengharapan dan rasa takut kepada-Nya. Ia mengetahui
bahwasanya tidak ada tempat lari dari-Nya kecuali kepada-Nya. Tidak ada
yang bisa terlepas dari perhitungan Allah kecuali orang-orang yang
dirahmati-Nya. Ia mengharapkan pertolongan dan kekuatan dari-Nya,
khususnya pada saat tertimpa musibah dan bencana. Selain itu, ia
meninggalkan segala sesuatu selain Allah, baik manusia, batu, Malaikat,
maupun wali yang shalih, dan menyandarkan seluruh hajatnya kepada Allah
semata. Sebab, ia mengetahui bahwasanya tidak ada yang memiliki sesuatu
pun di alam semesta ini kecuali Allah ’Azza wa Jalla. Sikap kembali dan
bergantung kepada Allah ini inti dan hakikat ’ubudiyyah (peribadatan).
9. Malu Kepada Allah ’Azza wa Jalla
Malu kepada Allah Ta’ala merupakan adab yang sangat agung.
Sesungguhnya seorang Mukmin jika telah tertanam dalam jiwanya bahwasanya
Allah ’Azza wa Jalla mendengar setiap ucapan, melihat setiap amal,
mengetahui seluruh perkara baik yang tersembunyi maupun yang nyata,
selalu mengawasinya, mengetahui seluruh keadaannya, dan mengawasi setiap
apa yang dilakukan masing-masing jiwa, maka ketika itu ia akan merasa
malu sebab Allah melihatnya mengucapkan kata-kata yang buruk, melakukan
perbuatan jelek, atau berusaha dalam berbuat kerusakan.
Rasa malu ini akan selalu ada dalam setiap keadaannya. Tidak pernah
terlepas atau terpisah darinya selamanya, terlebih lagi saat ia
bersendiri. Jika ia jauh dari pandangan manusia dan berdiam seorang
diri, maka ia merasakan kebersamaan Allah Ta’ala dengannya. Dengan
demikian, ia malu karena Allah melihatnya melakukan kemaksiatan. Rasa
malu ini merupakan suatu hal yang sangat bermanfaat bagi seorang hamba
dan memiliki pengaruh yang sangat besar, di antaranya:
a). Bersegera melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.
Hal itu dilakukan karena malu jika Allah Ta’ala melihat hamba-Nya
yang Mukmin meninggalkan suatu perintah atau melakukan suatu larangan.
Sesungguhnya seorang Mukmin malu jika Allah melihatnya dalam keadaan
seperti itu.
b). Malu Allah kepada hamba.
Sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amal. Barang siapa malu kepada
Allah untuk berbuat maksiat, niscaya Allah Ta’ala akan malu
mengadzabnya pada hari kiamat. Dalam sebuah hadits Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda tentang tiga orang yang berada
dalam sebuah majelis ilmu: “Adapun salah seorang dari mereka kembali kepada Allah ’Azza wa
Jalla, maka Allah pun menyambutnya. Seorang yang lain malu kepada Allah,
maka Allah pun malu kepadanya. Sementara yang lain lagi berpaling, maka
Allah pun berpaling darinya.” (HR. Bukhari no. 66 dan Muslim no. 2176
dari Abu Waqid al-Laitsi)
c). Menanamkan pada diri seorang Mukmin rasa malu kepada makhluk.
Sesungguhnya barang siapa yang membiasakan malu kepada Allah, maka
rasa malu itu akan menghalanginya untuk melakukan keburukan. Rasa malu
itu akan menjadi kebiasaan, tabiat, dan perangainya sehingga
menjadikannya malu kepada manusia dan mencegahnya dari perbuatan buruk.
Malu adalah bagian dari iman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam: “Iman itu ada tujuh puluh sekian cabang, dan malu adalah cabang dari
iman.” (HR. Muslim no. 35 dari Abu Hurairah. Al-Bukhari juga
meriwayatkan hadits yang serupa).
10. Mengamalkan Konsekuensi Makna Asma’ (Nama) dan Sifat Allah ’Azza wa Jalla
Mengamalkan konsekuensi makna Asma’ dan Sifat Allah ’Azza wa Jalla
merupakan buah keimanan yang sangat agung. Sebab, seorang yang beriman
kepada Allah ’Azza wa Jalla meyakini apa-apa yang ditetapkan bagi Dia
dari nama-nama-Nya yang husna (indah) dan sifat-sifat-Nya yang ’ulya
(tinggi), dan menetapkan bagi-Nya kesempurnaan maknanya yang hakiki,
serta makna-makna ini tertanam dalam jiwanya serta meresap ke dalam
hatinya, sehingga keimanan ini akan membuahkan hasil yang nyata dalam
perilaku dan muamalahnya, tampak pada anggota badannya, dan tercermin
dari perkataan maupun perbuatannya.
Maka barang siapa yang beriman bahwasanya Allah Ta’ala Maha Mendengar
niscaya ia tidak akan berbicara dengan ucapan yang mengundang kemurkaan
Allah Ta’ala, takut Allah akan mencatatnya dan mengadzabnya karena hal
itu. Barang siapa mengimani bahwasanya Allah Maha Melihat, menyaksikan
dan mengawasi, niscaya ia akan takut Allah melihatnya berbuat maksiat
dan mengadzabnya dengan siksa yang pedih. Maka dari itu, ia pun tercegah
dari perbuatan maksiat dan berhenti melakukannya. Barang siapa meyakini
bahwasanya Allah Ta’ala Maha Perkasa, niscaya ia tidak akan tunduk
kepada selain Allah dan tidak merendahkan diri kecuali kepada-Nya.
Barang siapa mengimani bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla berkuasa menahan
dan membentangkan rizki, niscaya ia tidak akan meminta kelapangan rizki
atau selainnya kecuali kepada-Nya. Barang siapa mengimani bahwasanya
Allah Ta’ala Mahakuat lagi Mahaperkasa, niscaya akan semakin bertambah
ketundukannya kepada-Nya dan kekuatan seluruh manusia terasa kecil dalam
dirinya sehingga ia tidak merasa takut dan lemah di hadapan mereka.
Demikian halnya dengan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah yang
lain. Kita harus merasakan hakikat maknanya secara sempurna dan
mengamalkan seluruh konsekuensinya. Inilah hakikat menghitung nama-nama
Allah Ta’ala yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus
kurang satu. Barang siapa menghitungnya, niscaya ia masuk surga.” (HR.
Bukhari no. 6410, Muslim no. 2677 dan lafazh ini miliknya, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ’anhu).
Menghadirkan makna nama-nama Allah yang husna (indah) dan
sifat-sifat-Nya yang ’ulya (tinggi) merupakan suatu hal yang sangat
bermanfaat bagi seorang Mukmin. Di samping itu, merupakan sebab terbesar
yang meluruskan perilaku maupun anggota badannya sehingga menjadi sebab
kebaikan hatinya, anggota badan, serta amal perbuatannya. Ini merupakan
realisasi kebenaran tauhid.
11. Merasa Kuat Dengan Allah Ta’ala
Barang siapa beriman kepada Allah Ta’ala; meyakini keagungan
kekuasaan, kekuatan, kesempurnaan ilmu, dan hikmah-Nya; menyaksikan
dengan mata hatinya fakta-fakta yang menunjukkan kekuatan dan keagungan
rabbaniyyah (Allah) pada segala sesuatu; membuktikan keimanan kepada
Allah dan mengenal-Nya; kemudian tertanam dalam dirinya hakikat makna
nama al-‘Aziz bagi Allah Ta’ala dengan seluruh bentuk kemuliaan yang
ditetapkan bagi-Nya; lalu membaca firman Allah Ta’ala: “…Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang Mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”
(QS. Munaafiquun: 8)
Maka, ketika itulah jiwa seorang Mukmin semakin tinggi. Hal itu
mengalahkan seluruh sebab kelemahan dan kehinaan sehingga dirinya
menjadi mulia dengan Allah Ta’ala. Tidak dapat dihinakan oleh siapa pun
meskipun ia lemah dan fakir. Ia selalu mulia dengan Allah Ta’ala dan
tidak menghinakan dirinya di hadapan selain-Nya.
12. Sibuk Mengerjakan Amal Ketaatan (Ibadah) dan Menjauhi Kemaksiatan
Barang siapa mengimani bahwasanya Allah Ta’ala adalah Rabb,
satu-satunya dzat yang berhak disembah dan ditaati, dan ia melihat
dengan mata hatinya fakta-fakta yang menunjukkan kekuasaan dan
keperkasaan Allah; menyaksikan hikmah Allah dalam setiap perintah,
larangan, syari’at serta kekuasaan-Nya; mengetahui apa yang telah
ditimpakan kepada musuh-musuh Allah Ta’ala dari orang-orang kafir dan
para pelaku kemaksiatan di dunia serta apa yang Allah sediakan bagi
mereka di akhirat, maka tidak diragukan lagi semua ini akan mendorongnya
untuk melakukan ketaatan, menunaikan semua kewajiban, dan menjauhi
maksiat baik besar maupun kecil. Semua itu ia tinggalkan karena takut
kepada Allah, menghindarkan diri dari adzab-Nya, dan mengharapkan
pahala-Nya.
Jika seseorang selalu sibuk melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan, niscaya hal itu akan memberikan pengaruh yang sangat
terpuji dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat, di antaranya:
a). Kebaikan dalam kehidupan dunia, yakni dengan berkah rizki dan makanan
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96)
Selain itu, dengan membasmi sebab-sebab kerusakan dan kesengsaraan di
dunia dari perkara-perkara yang merusak kehidupan manusia dan
menyebabkan terjadinya berbagai macam keburukan dan kerusakan,
sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan
sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan
Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS.
Thaahaa: 123-124)
Semua yang kita saksikan di alam semesta dari berbagai macam
kerusakan, merebaknya kemaksiatan, berpaling dari kebenaran, kerusakan
pada makanan, serta tersebar luasnya malapetaka, bencana, dan lain
sebagainya, sesungguhnya sebab yang pasti adalah karena meninggalkan
ketaatan dan terjerumusnya ke dalam kemaksiatan. Dengan demikian,
jaminan kebaikan dalam kehidupan manusia adalah menyibukkan diri dengan
mengamalkan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan kemaksiatan.
b). Keberuntungan dan keselamatan di akhirat.
Sebab, masuknya seseorang ke dalam Surga dan keselamatan dari Neraka
tergantung pada ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menjauhi kemaksiatan,
sebagaimana firman Allah Ta’ala: “…Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam Surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan
barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api Neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS.
An-Nisaa’: 13-14)
Masih banyak pengaruh-pengaruh terpuji lainnya dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
13. Berhukum Kepada Syari’at`Allah Ta’ala
Maksud berhukum dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala yakni
meminta (keputusan) hukum yang diturunkan oleh-Nya kepada Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah.
Semangat ini bersumber dari keimanan kepada Allah Ta’ala, kepada
rububiyyah-Nya atas segala sesuatu, kesendirian-Nya di dalam kerajaan
dan pengaturan, iman kepada sifat-sifat-Nya, yang memiliki hikmah sangat
tinggi dalam syari’at, perintah dan larangan-Nya, keyakinan kepada
ilmu-Nya yang maha luas atas segala sesuatu, dan bahwasanya Allah lebih
mengetahui tentang keadaan makhluk-Nya daripada diri mereka sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu
lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS.
Al-Mulk: 14)
Keyakinan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang kepada
segenap makhluk, bahkan lebih sayang daripada mereka sendiri, sebagimana
firman-Nya: “…Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Keyakinan bahwasanya Allah adalah Raja Yang Maha Adil, yang tidak
pernah berbuat zhalim kepada makhluk-Nya meski sebesar biji atom. Dia
pun menghendaki kemudahan bagi mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)
Demikian juga ketika seorang Mukmin menyaksikan sifat-sifat Allah
yang penuh kesempurnaan dan keindahan, sedangkan sifat makhluk
berkebalikan dengan itu, dan dia mengetahui bahwasanya Allah menetapkan
hukum atas para hamba-Nya berdasarkan tuntutan ilmu, hikmah, kekuasaan,
dan lain sebagainya. Di samping itu seorang Muslim juga meyakini
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menetapkan hukum
berdasarkan hawa nafsu. Akan tetapi, beliau menetapkan hukum berdasarkan
apa yang Allah turunkan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu…” (QS. An-Nisaa’: 105)
Dengan demikian, tatkala seorang Mukmin telah meyakini
perkara-perkara di atas, niscaya ia akan berhukum dalam semua urusannya
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dengan merujuk kepada
hukum al-Qur’an dan as-Sunnah. Kondisi demikian juga memaksa dirinya
untuk ridha terhadap hukum tersebut meskipun bertentangan dengan
pemikiran dan hawa nafsunya. Ia pun tunduk kepada-Nya dengan ketundukan
yang sempuran serta menerima dengan sepenuhnya, sebagaimana firman Allah
Ta’ala: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.
An-Nisaa’: 65)
Sudah selayaknya seorang Mukmin mengetahui bahwasanya menetapkan
hukum di antara manusia adalah hak Allah semata, tidak boleh di sertakan
di dalamnya seorang pun dari makhluk. Allah Ta’ala berfirman: “…Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf: 40)
Jika manusia telah berhukum kepada kitab Allah Ta’ala dan sunnah
Nabi-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, niscaya hal itu akan memberikan
pengaruh yang terpuji di dunia maupun akhirat. Di antara pengaruh
tersebut adalah:
a). Kedamaian di antara mereka.
Sebab, jika manusia berhukum kepada Kitabullah dan ridha dengannya
serta menerimanya, maka hal itu merupakan faktor terpenting untuk
melenyapkan permusuhan dan perselisihan di antara mereka. Kebanyakan
dari sebab-sebab perselisihan, pertengkaran, pemutusan hubungan, dan
permusuhan di antara manusia pada hakikatnya adalah karena berpaling
dari hukum Allah dan beralih kepada hukum-hukum selainnya yang
diciptakan oleh manusia, yang tidak akan dapat memperbaiki keadaan
mereka.
b). Berkah pada rizki dan tersebarnya keamanan.
Semua itu merupakan buah dari berhukum kepada Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan sekiranya mereka
sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat,
Injil, dan (al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb-nya,
niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah
kaki mereka…” (QS. Al-Maa-idah: 66)
Terhapusnya berkah pada rizki dan makanan, rusaknya keadaan manusia,
dan tersebarnya kerusakan di antara mereka, semua itu merupakan akibat
berpaling dari hukum Allah Ta’ala dan hukum Rasul-Nya shallallahu
’alaihi wa sallam, serta akibat dari kemaksiatan dan kerusakan.
c). Mencegah terjadinya kezhaliman di antara sesama manusia.
Sesungguhnya jika manusia berhukum kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
serta berpaling dari berhukum kepada hukum ciptaan manusia, yang berasal
dari pemikiran dan hawa nafsu yang pasti cacat atau kurang, niscaya
akan tercegahlah segala bentuk kezhaliman sebagian orang atas sebagian
lainnya. Tidak ada lagi keharusan berhukum kepada hukum-hukum manusia
dan merujuk kepadanya. Selain itu, lenyaplah kultus individu yang semu
atas mereka.
d). Meninggalkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang
bertentangan dengan hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dibuat oleh
manusia dan tidak mungkin disandingkan dengan hukum Allah Ta’ala.
Pengecualian dalam hal ini ialah peraturan-peraturan yang tidak
bertentangan dengan hukum Allah Ta’ala, bahkan sesuai dengannya dan
berasal darinya, dalam perkara-perkara yang tidak terdapat hukum Allah
secara jelas. Adapun undang-undang yang dibuat oleh manusia, dan
bertentangan dengan hukum Allah pasti terhapus, jika hukum Allah
diterapkan dan manusia berhukum kepadanya. Para hakim tidak akan
berkesempatan berhukum kepada hukum buatan manusia. Demikian juga
orang-orang yang bersengketa tidak akan bisa berhukum kepadanya.
Sebaliknya, mereka akan mengembalikan seluruh perkara kepada hukum
Allah.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…”
(QS. Al-Maa-idah: 49) Dan masih banyak pengaruh-pengaruh terpuji lainnya.
14. Berkeyakinan Bahwasanya Syari’at Allah Itu Mudah
Wajib atas setiap Muslim meyakini bahwasanya agama Allah itu mudah.
Allah Ta’ala tidak mensyari’atkan kepada manusia sesuatu yang dipandang
sulit, bahkan seluruh syari’at Islam itu mudah, walhamdulillah. Di
dalamnya terdapat keringanan bagi manusia serta perhatian terhadap
keadaan dan kelemahan mereka. Allah Ta’ala berfirman: “…Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”
(QS. Al-Baqarah: 185)
Tidak ada di dalam agama-Nya sesuatu yang menyebabkan kesulitan bagi
manusia, sebagaimana firman-Nya: “…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj: 78)
Kemudahan ini meliputi seluruh syari’at di dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah. Demikian pula petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
seluruhnya mudah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
“Tidaklah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam diberikan dua pilihan
kecuali beliau memilih yang mudah di antara keduanya, selama hal itu
bukan dosa. Adapun jika hal itu dosa, maka beliau adalah orang yang
paling jauh darinya…” (HR. Bukhari no. 6786 dan Muslim no. 2327 dari
’Aisyah radhiyallahu ’anha)
Maknanya, bahwasanya seluruh perkara di dalam syari’at mudah,
sedangkan perkara yang menyelisihinya pasti sulit. Tidak mungkin
syari’at dan lawannya mudah pada saat yang sama. Maka apabila sunnah itu
mudah, berarti yang menyelisihinya pasti sulit. Sebab, sekiranya itu
mudah, tentulah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah memilihnya,
sebagaimana tersebut dalam hadits di atas. Barang siapa yang menyelisihi
sunnah, sesungguhnya ia telah mempersempit dan mempersulit dirinya
sendiri, meskipun beranggapan sebaliknya atau berkeyakinan telah memilih
yang mudah. Pada hakikatnya, itu merupakan persangkaan yang keliru.
Dengan demikian, agama ini berhak disifati dengan kemudahan seluruhnya
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39, 5673, 6463, 7235, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)
Adapun keyakinan bahwa sesuatu dari agama ini sulit, atau keyakinan
bahwa Allah telah mempersulit para hamba-Nya, hal itu termasuk adab yang
buruk kepada Allah Ta’ala dan prasangka kepada Allah dengan persangkaan
Jahiliyah.
15. Berbaik Sangka Kepada Allah dan Rasul-Nya
Berbaik sangka merupakan salah satu adab kepada Allah Ta’ala dan
kepada Rasul-Nya. Hendaknya seorang Muslim selalu berbaik sangka kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wa sallam, di antaranya:
a). Berbaik sangka kepada Allah dalam dzat-Nya.
Bahwasanya Dia Maha Tinggi, Maha Esa dan tidak berbilang, serta suci dari segala aib dan kekurangan.
b). Berbaik sangka kepada Allah dalam rububiyyah-Nya.
Bahwasanya Dialah yang mengatur semua urusan makhluk dan hanya Dialah
yang mampu memperbaiki keadaan mereka. Dia bersendiri dalam penciptaan
dan kerajaan, serta seluruh makna-makna rububiyyah yang sempurna dan
agung.
c). Berbaik sangka kepada Allah dalam uluhiyyah-Nya.
Bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla adalah satu-satunya dzat yang berhak
diibadahi, bukan selain-Nya. Dialah raja bagi semua urusan dan
sebab-sebabnya. Tidak ada sesuatu pun selain Dia yang berhak untuk itu.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah (yang haq) melainkan Allah…” (QS. Muhammad: 19)
“Kuasa Allah yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah,
Dialah (Rabb) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain
Allah, itulah yang bathil…” (QS. Al-Hajj: 62)
d). Berbaik sangka kepada Allah dalam asma’ dan sifat-Nya.
Bahwasanya Dialah dzat yang memiliki nama-nama yang indah dan
sifat-sifat yang tinggi, sama sekali tidak memiliki cacat maupun aib
dari segi mana pun. Tidak mungkin hal itu ada pada Allah, bahkan seluruh
sifat-sifat-Nya baik dan sempurna, agung dan indah. Demikianlah seluruh
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun sifat-sifat yang
terkandung di dalamnya cacat maupun aib, sesungguhnya Allah Ta’ala
bersih dari itu semua. Sekali-kali itu bukanlah termasuk sifat-Nya.
Allah Ta’ala berfirman: “Hanya milik Allah Asma-ul Husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu…” (QS.
Al-A’raaf: 180)
e). Berbaik sangka kepada Allah dalam qadar-Nya.
Bahwasanya Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu sebelum ia
diciptakan. Dialah yang telah menulisnya, menghendakinya, dan
mengadakannya. Segala sesuatu di alam ini ada atas`iradah (kehendak)
Allah Ta’ala dan takdir-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “…Dia telah
menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan: 2)
“Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan
(terdapat) dalam Kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh).” (QS. An-Naml: 75)
“Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya…” (QS. Al-Hadiid: 23)
f). Berbaik sangka kepada Allah dalam syari’at-Nya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan bagi kita syari’at dan
agama yang paling sempurna. Tidak terkandung sedikit pun cacat atau aib
pada syari’at-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi
agamamu…” (QS. Al-Maa-idah: 3)
Demikian juga Allah Ta’ala tidak menetapkan syari’at bagi hamba-Nya
kecuali yang terkandung di dalamnya kemaslahatan, keselamatan dan
kemenangan bagi mereka di dunia maupun akhirat, sebagaimana Allah ‘Azza
wa Jalla tidak akan menetapkan syari’at bagi hamba-Nya yang mempersulit
mereka. Dia tidak akan membebani para hamba-Nya di luar kemampuan
mereka. Allah Ta’ala berfirman: “Allah tidak akan membebani seseorang,
melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. Al-Baqarah: 286)
“…Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya…” (QS. Ath-Thaalaq: 7)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahasantun kepada segenap
hamba-Nya. Dia menghendaki kemudahan bagi mereka dan tidak menghendaki
kesulitan, sebagaimana firman-Nya: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah: 185)
“…Sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (QS. Al-Hajj: 78)
g). Berbaik sangka kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
Bahwasanya beliau benar-benar utusan Allah, benar dalam segala kabar
yang beliau sampaikan, beliau telah menyampaikan syari’at Allah, dan
tidak menyembunyikan sesuatu pun dari wahyu yang disampaikan kepada
beliau. Beliau adalah hamba yang paling bertakwa dan paling taat
kepada-Nya, serta paling sempurna dalam mengetahui hukum-hukum Allah
‘Azza wa Jalla, mengikuti segala perintah-Nya, dan hamba yang paling
tinggi kedudukannya di sisi Allah. Beliau adalah manusia yang paling
penyayang terhadap makhluk, paling bersemangat menyampaikan hidayah di
alam ini, dan paling gigih berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atasnya.
16. Banyak Berdzikir Kepada Allah Ta’ala
Barang siapa yang beriman kepada Allah, mencintai-Nya, takut
kepada-Nya, dan selalu bergantung kepada-Nya, pasti dia akan banyak
mengingat-Nya di dalam hati dengan penuh rasa cinta, pengharapan,
kesadaran, dan ketergantungan kepada-Nya. Akibatnya, ia akan selalu
berdzikir dengan lisannya, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, takbir,
tahlil, do’a, dan istighfar. Di samping itu, berdzikir dengan anggota
badannya, yakni dengan mengerjakan amal-amal ketaatan. Itu semua
merupakan konsekuensi iman, mahabbah (kecintaan), serta rasa bergantung
dan takut kepada Allah. Sesungguhnya barang siapa mencintai sesuatu,
niscaya ia akan banyak mengingatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: "Hai, orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Ahzab: 41-42
Dzikir kepada Allah Ta’ala akan membawa pengaruh yang sangat baik di dunia maupun di akhirat, di antaranya:
a). Hati akan menjadi tenteram dan teguh dengan dzikrullah Ta’ala
Sebagaimana firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram
dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati
menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
b). Istiqamah dalam ketaatan.
Sebab, barang siapa yang lisannya selalu sibuk dengan dzikrullah,
niscaya ia tidak akan mungkin berbicara maksiat. Barang siapa yang
anggota badannya sibuk dengan amal ketaatan, niscaya ia tidak akan
disibukkan dengan maksiat. Maka seorang yang senantiasa berdzikir akan
selalu istiqamah di atas manhaj Allah Ta’ala dengan hati, lisan, dan
anggota badannya.
c). Benteng dari Syaitan.
Syaitan akan bersembunyi dan lari jika seorang berdzikir kepada Allah
Ta’ala. Maka dari itu, barang siapa banyak berdzikir kepada Allah,
berarti ia telah membentengi dirinya dari syaitan. Keadaannya seperti
orang yang berlindung di balik benteng yang kokoh dari serangan musuh.
d). Banyak melakukan amal kebaikan.
Sebab, dzikir merupakan amal shalih terbesar untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan meraih berbagai kebaikan. Banyak sekali atsar (riwayat)
yang menjelaskan tentang berbagai pahala bagi macam-macam dzikir, namun
bukan di sini tempat untuk membahasnya secara rinci.
e). Dzikrullah dan kebersamaan Allah dengan hamba
Sesungguhnya barang siapa mengingat Allah niscaya Allah akan
mengingatnya. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits qudsi: “Aku
sebagaimana persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan bersamanya
selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku
akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di majelis,
niscaya Aku mengingatnya di majelis yang lebih baik daripada majelis
itu…” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675, dari Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu)
Jika Allah Ta’ala mengingat seorang hamba, maka hal itu merupakan
sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan, kemenangan, serta petunjuk dan
bimbingan bagi hamba tersebut. Sebenarnya dzikir mempunyai banyak sekali
faidah yang besar, namun bukan di sini tempat untuk membahasnya. Apa
yang aku isyaratkan kiranya telah mencukupi.
17. Banyak Bershalawat Kepada Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam
Pada hakikatnya, wajibnya bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika disebut nama beliau, akan muncul dai ma’rifah
(kepahaman) seorang Mukmin. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai, orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)
Sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam: "Orang bakhil adalah
orang yang namaku disebut di sisinya, namun ia tidak bershalawat
kepadaku.” (HR. Ahmad no. 7405, at-Tirmidzi no. 2675 dan dia
menshahihkannya, ath-Thabrani dalam al-Kabir,
III/2885,
dan lain-lain dari hadits al-Husain bin ‘Ali. Diriwayatkan juga
al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab no. 1565 dari ABu Hurairah dan dari ‘Ali.
Silakan lihat kitab Shahiihul Jaami’ no. 2878)
Disunnahkan memperbanyak shalawat Nabi di setiap waktu karena itu merupakan dzikir yang utama.
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, niscaya Allah akan
bershalawat atasnya sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 308 dari Abu Hurairah
radhiyallahu ’anhu)
Banyak bershalawat atas Nabi merupakan sebab terbesar untuk meraih
kelapangan hati, kemudahan urusan, dan diterangi kuburnya. Bagaimana
seorang Muslim tidak banyak bershalawat atas Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam, sedangkan beliau adalah seorang yang paling ia cintai dan orang
yang paling banyak berbuat kebaikan kepadanya. Seluruh kebaikan yang
ada di sisinya merupakan berkah dari dakwah beliau shallallahu ’alaihi
wa sallam. Dengan demikian, banyak bershalawat atas Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam merupakan bukti kecintaan kepada beliau dan tanda
mengikuti sunnahnya. Ini merupakan adab yang sangat agung kepada
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.
18. Bertakwa Kepada Allah ’Azza wa Jalla
Bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla merupakan faidah yang meliputi
perkara-perkara yang telah disebutkan. Maksudnya adalah menyibukkan diri
dengan ketaatan kepada Allah, menjauhi kemaksiatan, mengharapkan
ketaatan kepada-Nya, dan takut terhadap siksa-Nya. Takwa merupakan buah
keimanan kepada Allah Ta’ala yang paling agung. Takwa memiliki faidah
yang sangat banyak, di antaranya:
a). Kebersamaan Allah dengan hamba-Nya
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa…” (QS. An-Nahl: 128)
Kebersamaan Allah dengan hamba membawa konsekuensi hidayah,
bimbingan, pemeliharaan, taufik, penerimaan, rahmat, penjagaan, dan lain
sebagainya.
b). Keselamatan dari makar musuh walau bagaimanapun besarnya makar mereka
Sebagimana firman Allah Ta’ala: “…Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit
pun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepadamu…” (QS. Ali-’Imran:
120)
c). Dapat membedakan antara kebenaran dan kebathilan
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai, orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya
Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala
kesalahan-kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa)mu…” (QS. Al-Anfaal: 29)
Allah akan memberikan kepada orang-orang yang bertakwa cahaya dan
furqaan (petunjuk) sehingga dapat membedakan antara yang haq dan yang
bathil, antara petunjuk dan kesesatan. Mereka tidak akan sesat, tidak
akan menyimpang, dan tidak akan jatuh dalam lembah kesesatan yang mereka
kira hidayah dan petunjuk.
d). Dihapuskan kesalahan dan diampuni dosa-dosa.
Hal itu berdasarkan ayat di atas dan ayat-ayat yang semakna
dengannya. Takwa merupakan sebab terbesar diampuninya dosa dan
dihapusnya keburukan dan kesalahan.
e). Tercurahnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sebagaimana firman-Nya: “…Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan
rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa…” (QS. Al-A’raaf: 156)
Orang-orang yang bertakwa adalah makhluk yang paling layak mendapatkan curahan rahmat Allah Ta’ala.
f). Dimasukkan ke dalam Surga dan selamat dari adzab Neraka
Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Itulah Jannah yang akan Kami wariskan
kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa.” (QS. Maryam: 63)
“Kemudian, Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan
membiarkan orang-orang yang zhalim di dalam Neraka dalam keadaan
berlutut.” (QS. Maryam: 72)
Ini merupakan konsekuensi dari rahmat Allah. Sebenarnya takwa
memiliki buah yang sangat banyak selain yang telah disebutkan, namun
bukan di sini tempat untuk membahasnbya secara rinci.
19. Memurnikan Ittiba’ (meneladani) Kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam
Maknanya ittiba’ adalah seorang Muslim menjadikan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagi panutan dan teladan, sebagaimana
firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:
21)
Maka dari itu, meneladani Nabi dan mengikuti beliau merupakan dalil
benarnya keimanan kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Mengikuti
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jalan untuk
mendapatkan hidayah, sebagaiamana firman Allah Ta’ala: “…Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi
yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” (QS.
Al-A’raaf: 158)
Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan jalan
untuk mendapatkan cinta Allah Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-’Imran: 31)
Demikian juga, tidak akan mungkin baik keadaan manusia di dunia dan
di akhirat tanpa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa
sallam. Oleh karena itulah, wajib bagi setiap Muslim berusaha untuk
mengikuti Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam setiap keadaannya,
dalam aqidah, ibadah, perilaku, akhlak, muamalah, jihad, dan semua
urusannya. Sebab, ini merupakan bukti keimanan yang paling kuat dan
paling benar.
Adapun berpaling dari ittiba’ kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam dan menggantinya dengan yang lain merupakan sebab terbesar
timbulnya kerusakan dan kekurangan dalam setiap perkara, kesesatan di
dunia, serta kerugian dan adzab di akhirat.
Kerusakan yang terjadi di tengah kaum Muslimin; kekurangan dalam
berbagai sisi kehidupan mereka; musush-musuh berkuasa, menimpakan adzab,
serta mengambil apa yang ada di tangan mereka; harga-harga melambung
tinggi, tersebarnya berbagai macam penyakit dan wabah; serta munculnya
virus-virus penyakit yang tidak pernah dikenal sebelumnya, itu terjadi
karena ummat telah berpaling dari petunjuk Muhammad shallallahu ’alaihi
wa sallam. Padahal, petunjuk Nabi sudah cukup untuk memperbaiki keadaan
mereka di dunia, mengangkat kedudukan mereka, mengalahkan musuh, dan
meraih kemenangan di akhirat. Yaitu, dengan mengikuti petunjuk tersebut
dan berpegang teguh dengannya.
Sesungguhnya hal itu merupakan kewajiban yang paling utama atas
mereka setelah mengikhlaskan agama kepada Allah Ta’ala semata.
Memurnikan ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan
realisasi syahadat Muhammad Rasulullah dan bukti kejujuran syahadat
tersebut. Tanpa ittiba’, orang yang mengucapkan syahadat dianggap telah
berdusta karena apa yang ia lakukan bertentangan dengan ucapannya. Oleh
sebab itu, wajib atas setiap Muslim untuk memperbaiki ittiba’ kepada
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam setiap urusannya karena hal itu
merupakan jalan untuk meraih kemenangan dan keselamatan.
Inilah yang dapat kami sajikan sebagian dari beberapa adab kepada
Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, yang sebenarnya masih banyak lagi. Namun,
apa yang kami sebutkan kiranya telah mencukupi, yang jumlahnya ada
sembilan belas adab.
Walhamdulillaahi Rabbil ’aalamiin.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam,
Subhanakallohuma wabihamdika, asyhadu al-laa ilaha illaa ant, asytagfiruka wa atubu ilaik
****
Ditulis: Al-Akh
Abu Muhammad Herman
Dikutip dari kitab Ensiklopedi Adab Islam Menurut Al-Qur’an dan
As-Sunnah, hlm. 9-12, oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada,
terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cetakan pertama/Agustus 2007
Sumber: http://abuzuhriy.com/
http://faisalchoir.blogspot.com/2012/09/adab-adab-kepada-allah-dan-rasul-nya.html