Larangan Shalat di Kubur
Seluruh tempat di muka bumi ini bisa dijadikan tempat untuk shalat, itulah asalnya. Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِى أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ
“Seluruh bumi dijadikan sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah di tempat tersebut” (HR. Bukhari no. 438 dan Muslim no. 521).
Namun ada tempat-tempat terlarang untuk shalat semisal kuburan atau daerah pemakaman.
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian” (HR. Tirmidzi no. 317, Ibnu Majah no. 745, Ad Darimi no. 1390, dan Ahmad 3: 83.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Abu Martsad Al Ghonawi, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah shalat menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya” (HR. Muslim no. 972).
Larangan Bersatunya Kubur dan Masjid
Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا
الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR. Muslim no. 532).
Ummu Salamah pernah menceritakan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai gereja yang ia lihat di negeri Habaysah yang disebut Mariyah. Ia menceritakan pada beliau apa yang ia lihat yang di dalamnya terdapat gambar-gambar. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُولَئِكَ
قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ – أَوِ الرَّجُلُ
الصَّالِحُ – بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ، وَصَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ
الصُّوَرَ ، أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
“Mereka adalah kaum yang jika hamba atau orang sholeh mati di tengah-tengah mereka, maka
mereka membangun masjid di atas kuburnya. Lantas mereka membuat gambar-gambar (orang sholeh) tersebut. Mereka inilah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah” (HR. Bukhari no. 434).
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan bahwa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid ada dua makna:
1- Membangun masjid di atas kubur.
2- Menjadikan kubur sebagai tempat untuk shalat, di mana kubur menjadi maksud (tujuan) ibadah. Namun jika seseorang shalat di sisi kubur dan tidak menjadikan kubur sebagai maksud (tujuan), maka ini tetap bermakna menjadikan kubur sebagai masjid dengan makna umum. (Al Qoulul Mufid, 1: 411)
Kami pernah mengajukan pertanyaan pada guru kami, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah mengenai kasus suatu masjid, yaitu masjid tersebut terdapat satu kuburan di arah kiblat namun di balik tembok, di mana kuburan tersebut masih masuk halaman masjid, bagaimana hukum shalat di masjid semacam itu?
Jawaban beliau hafizhohullah, “Jika kuburan tersebut masih bersambung (muttashil) dengan masjid (artinya: masih masuk halaman masjid), maka tidak boleh shalat di masjid tersebut. Namun jika kuburan tersebut terpisah (munfashil), yaitu dipisah dengan jalan misalnya dan tidak menunjukkan bersambung dengan masjid (artinya bukan satu halaman dengan masjid), maka boleh shalat di masjid semacam itu”. (Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan, Al Muntaqo).
Baca selengkapnya bahasan Rumaysho.Com sebelumnya: Shalat di Masjid yang Ada Kubur.
Shalat di Masjid yang Ada Kubur, Sahkah ataukah Shalatnya Perlu Diulang?
Jumhur ulama berpendapat, makruh shalat di masjid yang ada kubur. Demikian pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah, juga merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad dan salah satu pendapat Imam Malik.
Adapun ulama Malikiyah berpendapat bolehnya tanpa ada penilaian makruh.
Sedangkan ulama Hambali menganggap bahwa shalat di masjid yang ada kubur dihukumi haram dan shalatnya tidak sah.
Pahami Kaedah!
Ulama punya kaedah dalam memahami hal ini,
فَكُلُّ نَهْيٍ عَادَ لِلَّذَوَاتِ أَوْ لِلشَّرْطِ مُفْسِدًا سَيَأْتِي
وَإِنْ يَعُدْ لِخَارِجٍ كَالعِمَّهْ فَلَنْ يَضِيْرَ فَافْهَمَنَّ العِلَّةَ
Setiap larangan yang kembali pada dzat atau syarat ibadah, maka itu akan mencacati dan nanti akan datang penjelasannya
Sedangkan
larangan yang kembali pada luar ibadah seperti menggunakan imamah (yang
haram), maka tidak mencatati, oleh karenanya pahamilah ‘illah
Ada dua hal yang bisa dipahami dari kaedah yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin di atas dalam Manzhumah Ushul Fiqh (hal. 89) di atas: (1) suatu larangan yang ada kaitannya dengan zat atau syarat ibadah, (2) suatu larangan yang tidak kaitannya dengan zat atau syarat ibadah, namun di luar ibadah.
Larangan yang ada kaitannya dengan zat ibadah, maka membuat ibadah itu tidak sah. Contohnya, wanita yang sedang haidh dilarang untuk shalat. Larangan tidak boleh shalat ini ada kaitannya dengan zat ibadah, maka jika ada wanita haidh shalat dalam keadaan tidak suci seperti itu, maka ibadahnya tidak sah. Begitu pula larangan berpuasa pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, ini kembali pada zat ibadah. Sehingga jika ada yang beribadah pada dua hari tersebut, ibadahnya tidak sah bahkan dinilai berdosa.
Sedangkan larangan yang berkaitan dengan syarat ibadah seperti yang para ulama bahas yaitu hukum shalat dengan kain sutera yang dilarang bagi pria, apakah shalatnya sah ataukah tidak. Perlu kita ingat bahwa syarat shalat adalah menutup aurat dengan pakaian yang mubah. Sedangkan sutera adalah pakaian yang haram. Larangan ini ada kaitannya dengan syarat shalat, maka membuat shalatnya tidak sah.
Adapun contoh larangan yang tidak ada kaitannya dengan zat maupun syarat seperti:
- Shalat dengan imamah penutup kepala dari sutera. Hal ini tetap membuat ibadah sah karena menutup kepala tidak termasuk syarat shalat, namun di luar shalat.
- Memakai cincin emas bagi pria saat shalat. Hal ini tetap membuat ibadahnya sah, sedangkan memakai cincin tersebut dinilai sebagai dosa tersendiri.
Mengenai kaedah apakah larangan membatalkan ibadah, baca pula di Ma’alim Ushul Fiqh karya Muhammad bin Husain Al Jizani (cetakan ke-9, tahun 1433 H), hal. 302-303.
Adapun yang sedang kita kaji yaitu shalat di masjid yang ada kubur, apakah kembali pada zat ataukah di luarnya, para ulama khilaf. Namun karena memperhatikan hadits-hadits yang ada, kami sendiri cenderung pada pendapat yang mengatakan bahwa larangan shalat di masjid yang ada kubur kembali pada zat ibadah. Sehingga shalat di masjid seperti itu tidak sah.
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah shalat menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya” (HR. Muslim no. 972). Ini di antara dalil yang menunjukkan bahwa memang shalat di masjid yang ada kubur itu terlarang. Sehingga konsekuensinya, ibadahnya tidak sah. Wallahu Ta’ala a’lam.
Bagaimana Jika Shalat di Masjid yang Ada Kubur Dalam Keadaan Tidak Tahu?
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وسر
الفرق أن من فعل المحظور ناسيا يجعل وجوده كعدمه ونسيان ترك المأمور لا
يكون عذرا في سقوطه كما كان فعل المحظور ناسيا عذرا في سقوط الإثم عن فاعله
“Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lamul Waqi’in, 2: 51). Lihat bahasan selengkapnya: Melakukan Larangan dan Meninggalkan Kewajiban Karena Lupa.
Dari kaedah Ibnul Qayyim di atas berarti yang mengerjakan shalat di masjid yang ada kubur -padahal itu termasuk larangan- dalam keadaan tidak tahu, maka berarti ia seperti tidak melakukannya dan ini berarti ibadahnya sah dan tidak perlu diulang. Hal ini berbeda jika seseorang itu tahu dan dalam keadaan ingat, lalu tetap tidak mengindahkan larangan dan shalat di masjid semacam itu, maka ibadahnya tidak sah. Wallahu a’lam.
Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
—Selesai disusun di malam hari, 15 Syawal 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Artikel www.rumaysho.com