Oleh:Ustadz Abu Ihsan al-Atsari
SIAPAKAH YANG BOLEH DISEBUT SAHABAT NABI?
Ibnu Fâris rahimahullah, seorang ahli bahasa, menjelaskan dalam
Mu'jamu Maqâyisil-Lughah (III/335) pasal Sha-ha-ba, mengatakan:
"(Himpunan tiga huruf itu) menunjukkan penyertaan sesuatu dan
kedekatannya dengan seseorang yang bersamanya. Bentuk jamaknya ialah
shuhhâb sebagaimana kata râkib bentuk jamaknya rukkâb. Sama seperti
kalimat أَصْحَبَ فُلاَنٌ ('ashhaba fulân), artinya menjadi tunduk'. Dan
kalimat 'ashhabar rajulu, artinya jika anaknya telah berusia baligh',
dan segala sesuatu yang menyertai sesuatu maka boleh dikatakan telah
menjadi sahabatnya".
Dalam Mu'jamul-Wasîth (I/507) disebutkan, "Shâhabahu, ialah râfaqahu
(menemaninya), istashhaba syai'an artinya lâzamahu (menyertainya).
Ash-Shâhib, ialah al-murâfiq (teman), pemilik sesuatu, pelaksana suatu
pekerjaan. Dipakai juga untuk orang yang menganut sebuah madzhab atau
pendapat tertentu.
الصَّحَابِيُّ (ash-Shahâbi) ialah orang yang bertemu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beriman kepadanya, dan meninggal (wafat)
dalam keadaan muslim.
Dalam kitab al-Ifshâh fil-Lughah, halaman 708 disebutkan: "Ash-shuhbah, artinya الْمُعَاشَرَةُ (al-mu'âsyarah, pergaulan)".
Tidak ada penjelasan dari pakar bahasa yang mensyaratkan penyertaan
tersebut harus dalam jangka waktu tertentu atau menyebutkan batasan
tertentu selain penyertaan secara mutlak, untuk jangka waktu yang lama
maupun singkat. Oleh sebab itu, Ibnu Fâris t menyebutkan bahwa asal kata
ash-shuhbah, maknanya penyertaan dan kedekatan.
Ibnu Taimiyyah t mengatakan dalam Majmu' Fatâwâ (IV/464):
" الصُّحْبَة Shuhbah ialah istilah yang digunakan untuk orang-orang
yang menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jangka
waktu yang lama maupun singkat. Akan tetapi, kedudukan setiap sahabat
ditentukan oleh jangka waktu ia menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Ada yang menyertai beliau setahun, sebulan, sehari, sesaat,
atau melihat beliau sekilas lalu beriman. Derajat masing-masing
ditentukan sesuai jangka waktunya dalam menyertai Rasulullah".
Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Siapa saja yang menyertai
Rasulullah setahun, sebulan, sehari, atau sesaat, atau melihat beliau,
maka ia termasuk sahabat Nabi. Derajat masing-masing ditentukan menurut
jangka waktunya menyertai Rasulullah".[1]
Imam al-Bukhâri mengatakan dalam kitab Shahîh-nya (II/5): "Siapa
saja dari kalangan kaum muslimin, yang pernah menyertai dan melihat
Rasulullah, maka ia terhitung sahabat nabi".
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam al-Ihkâm (V/89) berkata:
"(Yang disebut) sahabat, ialah semua orang yang telah duduk bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meski hanya sesaat dan
mendengar perkataan beliau meski hanya satu kalimat atau lebih, atau
menyaksikan beliau secara langsung dan tidak termasuk kaum munafik yang
sudah dikenal kemunafikannya dan mati dalam keadaan munafik. Dan tidak
termasuk orang-orang yang diusir oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena alasan yang patut, misalnya kaum banci dan orang-orang
semacam itu. Siapa saja yang telah memenuhi kriteria tersebutm, maka ia
berhak disebut sahabat. Semua sahabat termasuk (sebagai) imam panutan,
insan utama dan diridhai. Kita wajib menghormati mereka, mengagungkan
mereka, memohon ampunan bagi mereka dan mencintai mereka. Sebiji kurma
yang mereka sedekahkan lebih utama daripada seluruh harta yang
disedekahkan oleh selain mereka. Kedudukan mereka di sisi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada ibadah kita seumur
hidup; baik yang masih kanak-kanak maupun yang sudah baligh. An-Nu'mân
bin Basyîr, 'Abdullah bin az-Zubair, al-Hasan dan al-Hushain bin 'Ali
bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhum masih berusia sekitar sepuluh tahun
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Adapun
al-Hushain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ia
masih berusia enam tahun. Mahmûd bin ar-Rabî' berusia lima tahun ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, ia masih ingat semburan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke wajahnya dengan air yang
diambil dari sumur mereka. Mereka semua termasuk sahabat terbaik,
riwayat-riwayat mereka dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
diterima sepenuhnya, baik dari kalangan pria, wanita, budak maupun orang
merdeka".
Walaupun diselingi dengan kemurtadan, kemudian kembali kepada Islam,
ia tetap disebut sahabat. Ibnu Hazm rahimahullah melanjutkan
penjelasannya dalam kitab yang sama: "Adapun yang murtad dari Islam
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau setelah ia
bertemu beliau kemudian kembali masuk Islam dan bagus keislamannya,
seperti al-'Asyats bin Qais, 'Amru bin Ma'dikarib dan selainnya, maka
tanpa diragukan lagi, mereka masih termasuk sahabat, berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ
(engkau telah masuk Islam dengan membawa kebaikan yang dahulu engkau kerjakan)
Mereka semua shalih, memiliki keutamaan dan termasuk penduduk surga."
NASH-NASH YANG MENJELASKAN KEUTAMAAN SAHABAT NABI
Keutamaan sahabat Nabi, serta tingginya kedudukan dan derajat mereka
merupakan perkara yang sudah dimaklumi oleh semua kalangan. Terdapat
banyak dalil, baik dari Al-Qur'ân maupun Sunnah yang menerangkannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya: Muhammad itu
adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu
lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,
tanda-tanda meraka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injîl;
yaitu seperti tanaman mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas
pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya, karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan
orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar. [al-Fath/48 ayat 29].
Ayat ini mencakup seluruh sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, karena
mereka seluruhnya hidup bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.
Sementara itu, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menyebutkan keutamaan para sahabat tidak sedikit. Dalam kitab
Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits 'Abdullah bin
Mas'ûd Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ
وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ
Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya,
dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang
persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian.[2]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, mereka ialah
sebaik-baik manusia. Akan tetapi, musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala
tetap mencela sebaik-baik manusia yang telah dipuji oleh sebaik-baik
hamba yang tidak berucap dengan hawa nafsu. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjelaskan, kurun beliau dan kurun para sahabatnya
ialah sebaik-baik kurun secara mutlak. Tidak ada kurun yang lebih baik
daripada kurun mereka. Barang siapa mengatakan selain itu, maka ia
termasuk zindîq (orang sesat).
Dalam hadits 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: "Seorang
lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
'Siapakah sebaik-baik manusia?' Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: '(Yaitu) kurun, yang aku hidup saat ini, kemudian kurun
berikutnya, kemudian kurun berikutnya'."[3]
Abu Burdah meriwayatkan dari ayahnya, bahwasanya ia berkata: Kami
mengerjakan shalat Maghrib bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Selepas shalat, kami berkata: "Bagaimana kalau kita duduk
menunggu untuk mengerjakan 'Isyâ bersama beliau?" Maka kami pun sepakat
duduk menunggu. Lalu beliau keluar menemui kami, beliau berkata: "Apakah
kalian masih di sini?" Kami menjawab: "Wahai Rasulullah, kami
mengerjakan shalat Maghrib bersamamu, kemudian kami duduk menunggu di
sini agar dapat mengerjakan shalat 'Isyâ bersamamu".
"Bagus, sungguh tepat yang kalian lakukan itu!" sahut beliau.
Kemudian beliau menengadahkan wajahnya ke langit, biasanya beliau
sering menengadahkan wajah ke langit. Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى
السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لِأَصْحَابِي فَإِذَا ذَهَبْتُ
أَتَى أَصْحَابِي مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِي أَمَنَةٌ لِأُمَّتِي فَإِذَا
ذَهَبَ أَصْحَابِي أَتَى أُمَّتِي مَا يُوعَدُونَ
"Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika
bintang-bintang itu lenyap, maka akan datang apa yang telah dijanjikan
atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi
maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku
adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan
datang apa yang telah dijanjikan atas umatku".[4]
Anas Radhiyallahu anhu meriwayatkan, sewaktu menggali khandaq (parit pertahanan), para sahabat nabi melantunkan syair:
Kamilah yang telah membaiat Muhammad.
Untuk memegang teguh Islam selama hayat dikandung badan.
Atau mereka mengatakan: Untuk berjihad selama hayat di kandung badan.
Hammad ragu-ragu meriwayatkannya. Lantas Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam membalasnya dengan ucapan: Ya Allah, sesungguhnya
sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan akhirat. Ampunilah kaum Anshâr dan
Muhâjirin[5].
Dalam lafazh lain disebutkan: Berkatilah kaum Anshâr dan Muhâjirin.
Dalam riwayat lain disebutkan: Berikanlah kebaikan bagi kaum Anshâr dan Muhâjirin.
Dalam riwayat lain pula disebutkan: Muliakanlah kaum Anshâr dan Muhâjirin.
Dalam riwayat Sahal bin Sa'ad, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam datang menemui kami, sedangkan ketika itu, kami sedang
menggali parit (khandaq) dan membawa tanah dengan bahu kami sendiri,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Ya Allah!
Sesungguhnya kehidupan yang hakiki ialah kehidupan akhirat. Berilah
ampunan bagi kaum Muhâjirin dan Anshâr".[6]
Coba lihat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohonkan
ampunan, kemuliaan, kebaikan dan berkah untuk mereka. Anehnya, kemudian
setelah itu muncul pula orang yang mencela para sahabat nabi, melaknat
mereka, mengkafirkan mereka, menuding mereka munafik, dan banyak
pelecehan lainnya.
Sifat-sifat buruk tersebut, sebenarnya lebih tepat untuk yang mencela mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. [an-Nûr/24 ayat 63].
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita agar tidak
menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak
menyimpang dari jalan beliau, manhaj, sunnah dan syariatnya. Semua
perkataan dan perbuatan diukur menurut perkataan dan perbuatan
Rasulullah. Baru bisa diterima bila selaras dengan perkataan dan
perbuatan beliau, dan tertolak bila menyelisihinya. Seseorang yang
mengucapkan perkataan dan mengerjakan perbuatan yang menyelisihi
perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
berarti ia termasuk yang menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ia termasuk orang yang rendah
dan terhina.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا
كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۚ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti
mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah
mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti yang
nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan.
[al-Mujâdilah/58 ayat 5].
Di antara bentuk penentangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling keji ialah mencaci
para wali-Nya. Dan wali Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling mulia
setelah para nabi dan rasul-Nya, ialah para sahabat yang telah dipilih
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menyertai Nabi-Nya, yaitu Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PARA SAHABAT NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MERAIH KEISTIMEWAAN DAN KEUTAMAAN
Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma berkata: "Janganlah kalian mencela
sahabat Muhammad. Sesungguhnya, amal perbuatan salah seorang dari mereka
sesaat, (itu) lebih baik daripada amal salah seseorang di antara kalian
selama hidupnya".[7]
Kesempatan dapat menyertai dan bertemu dengan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam merupakan anugerah yang tidak dapat tergantikan oleh
apapun. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih di antara para hamba-Nya
untuk menyertai rasul-Nya dalam menegakkan agama-Nya di muka bumi.
Manusia-manusia pilihan ini, tentu memiliki kedudukan istimewa dibanding
yang lain. Karena pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin
keliru.
'Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: "Barang siapa di
antara kalian ingin mengikuti sunnah, maka ikutilah sunnah orang-orang
yang sudah wafat. Karena orang yang masih hidup, tidak ada jaminan
selamat dari fitnah (kesesatan). Mereka ialah sahabat-sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka merupakan generasi terbaik umat
ini, generasi yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya, yang
tidak banyak mengada-ada, kaum yang telah dipilih Allah menjadi sahabat
Nabi-Nya dalam menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka,
ikutilah jejak mereka, berpegang teguhlah dengan akhlak dan agama mereka
semampu kalian, karena mereka merupakan generasi yang berada di atas
Shirâthal- Mustaqîm."[8]
Beliau Radhiyallahu anhu juga berkata: "Sesungguhnya Allah Subhanahu
wa Ta’ala melihat hati para hamba-Nya. Allah menemukan hati Muhammad
adalah sebaik-baik hati hamba-Nya. Allah memilihnya untuk diri-Nya dan
mengutusnya dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para
hamba setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati sahabat-sahabat
beliau adalah sebaik-baik hati hamba. Maka Allah mengangkat mereka
sebagai wâzir (pembantu-red) Nabi-Nya, berperang demi membela agama-Nya.
Maka apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), pasti
baik di sisi Allah. Dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, pasti
buruk di sisi-Nya".[9]
Dari perkataan Ibnu Mas’ûd di atas, kita dapat mengetahui beberapa
keistimewaan para sahabat dibandingkan kaum muslimin lainnya. Yaitu:
1. Para sahabat Nabi merupakan generasi terbaik yang ditempa
langsung oleh tangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
2. Kedudukan seorang sahabat nabi sesaat bersama Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam lebih utama daripada amal seseorang sepanjang
hayatnya.
3. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling bersih hatinya.
4. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling dalam ilmunya.
5. Sahabat Nabi merupakan generasi yang tidak suka mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama.
6. Sahabat Nabi merupakan generasi yang selamat dari bid’ah.
7. Sahabat Nabi merupakan generasi yang paling baik akhlaknya.
8. Sahabat Nabi merupakan generasi yang dipilih Allah sebagai pendamping Nabi-Nya.
9. Para sahabat merupakan orang-orang yang beruntung mendapat doa langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]
10. Sahabat Nabi sebagai pengawas dan pengaman umat ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya
bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang
itu lenyap maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku
adalah pengaman bagi sahabatku, jika aku telah pergi maka akan datang
apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku adalah pengaman
bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah
dijanjikan atas umatku"[11].
11. Sahabat Nabi sebagai sumber rujukan saat perselisihan dan sebagai pedoman dalam memahami Al-Qur`ân dan Sunnah.
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ
عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ مَا أَنَا عَلَيْهِ اليَوْمَ وَ أَصْحَابِي
Ketahuilah, sesungguhnya Ahli Kitab sebelum kalian telah
terpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sesungguhnya umat ini juga akan
terpecah menjadi 73 golongan. Tujuh 72 di antaranya masuk neraka, dan
satu golongan di dalam surga, yakni golongan yang mengikuti pedoman yang
aku dan para sahabatku berada di atasnya.[12]
12. Mengikuti pedoman sahabat adalah jaminan mendapatkan kemenangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُبْعَثُ مِنْهُمُ الْبَعْثُ
فَيَقُولُونَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ فِيكُمْ أَحَدًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ
فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّانِي فَيَقُولُونَ
هَلْ فِيهِمْ مَنْ رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ ثُمَّ يُبْعَثُ الْبَعْثُ الثَّالِثُ
فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى
أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَكُونُ
الْبَعْثُ الرَّابِعُ فَيُقَالُ انْظُرُوا هَلْ تَرَوْنَ فِيهِمْ أَحَدًا
رَأَى مَنْ رَأَى أَحَدًا رَأَى أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيُوجَدُ الرَّجُلُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ بِهِ
"Akan datang suatu masa, yang saat itu ada satu pasukan dikirim
(untuk berperang). Mereka berkata: 'Coba lihat, adakah di antara kalian
seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?' Ternyata ada satu
orang sahabat Nabi, maka karenanya Allah memenangkan mereka. Kemudian
dikirim pasukan kedua. Dikatakan kepada mereka: 'Adakah di antara mereka
yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?' maka
karenanya Allah memenangkan mereka. Lalu dikirim pasukan ketiga.
Dikatakan: 'Coba lihat, apakah ada di antara mereka yang pernah melihat
seorang yang pernah melihat sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?'
maka didapatkan satu orang, sehingga Allah memenangkan mereka. Kemudian
dikirim pasukan keempat. Dikatakan: 'Coba lihat, apakah ada di antara
mereka yang pernah melihat seorang yang pernah seseorang yang melihat
sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?" maka didapatkan satu orang.
Akhirnya Allah memenangkan mereka". [13]
13. Syariat mengharamkan celaan terhadap sahabat Nabi. Siapa saja
yang mencela para sahabat Nabi, maka ia berhak mendapat laknat Allah,
malaikat dan seluruh manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Janganlah mecela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Demi Allah
yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun kalian menginfaqkan emas
sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan dapat menyamai satu mud sedekah
mereka; tidak juga separuhnya.[14]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَ المَلاَئِكَةِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Barang siapa yang mencela sahabatku, maka atasnya laknat Allah, laknat malaikat dan laknat seluruh umat manusia.[15]
14. Sahabat Nabi, mereka ialah orang-orang yang telah mendapat ridha
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi
mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
[at-Taubah/9 ayat 100].
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah telah
ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu
di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka
lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka
dengan kemenangan yang dekat (waktunya). [al-Fath/48 ayat 18].
15. Mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti iman, dan membenci mereka berarti kemunafikan.
Ath-Thahâwi dalam 'Aqidah-nya mengatakan: “Kami (yakni Ahlus Sunnah
wal-Jama’ah) menyintai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Kami tidak berlebih-lebihan dalam menyintai salah seorang dari mereka.
Dan kami tidak berlepas diri dari mereka. Kami membenci orang yang
membenci mereka dan yang menyebut mereka dengan sebutan yang tidak baik.
Kami tidak menyebut mereka kecuali dengan kebaikan. Menyintai mereka
adalah ketaatan, keimanan dan kebaikan, sedangkan membenci mereka adalah
kekufuran, kemunafikan dan kesesatan”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar.[16]
Demikian, masih banyak lagi faktor lain yang membuat mereka lebih
istimewa dan lebih utama dibandingkan dengan kaum muslimin lainnya.
Namun demikian, Ahlus Sunnah wal-Jama'ah juga tidak mengatakan para
sahabat Nabi itu ma'shum dari kesalahan. Ahlus Sunnah wal-Jama'ah juga
tidak berlebih-lebihan dalam menyikapinya sebagaimana halnya kaum Syi’ah
Rafidhah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib Rdhiyallahu anhu. Bahkan
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan, ialah memuliakan mereka,
menjaga hak-hak mereka, memohonkan ampunan bagi mereka, dan mengucapkan
doa bagi mereka dengan kalimat "radhiyallahu 'anhum (semoga Allah
meridhai mereka semua).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ
لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ
فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ
رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau
membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.
Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang".
[al-Hasyr/59 ayat 10].
Wallahu 'alam.
Maraji`:
1. Al-Fâizûna bi Du’aain-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karya Taufiq Umar Sayyidi.
2. Al-Fushul fi Sîratir-Rasûl, Ibnu Katsir, Takhrîj: Syaikh Sâlim bin ‘Id al-Hilâli.
3. Al-Ibanah Lima lish-Shahabah minal-Manzilah wal-Makânah, Hamd bin 'Abdillah bin 'Ibrâhim al- Humaidi.
4. Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni.
5. Madârikun-Nazhar fis-Siyâsah Syar’iyyah, 'Abdul Malik ar-Ramadhâni.
6. Nawâqidhul-Imân, Dr. 'Abdul-'Aziz bin Muhammad bin 'Ali 'Abdul-Lathîf.
7. Sirah Shahîhah, Dr. Dhiyâ’ Akram al-‘Umari.
8. Tahdzib Bidâyah wan-Nihâyah, Muhammad bin Shamil as-Sulami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dinukil oleh Ibnu Abi Ya'lâ dalam ath-Thabaqât (I/243), dengan
sanadnya dari Imam Ahmad. Al-Khathîb al-Baghdâdi dalam al-Kifâyah,
halaman 51. Juga disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' Fatâwâ
(20/298), bahwasanya Imam Malik mengucapkan perkataan seperti itu.
[2]. HR al-Bukhâri, 3651, dan Muslim, 2533.
[3]. HR Muslim, 2536.
[4]. HR Muslim (2531), dari Abu Musâ al-Asy’ari Radhiyallahu anhu
[5]. HR al-Bukhâri (2835) dan Muslim (1805). Lafazh di atas adalah lafazh Muslim.
[6]. HR al-Bukhâri (3797) dan Muslim (1804). Lafazh di atas adalah lafazh Muslim.
[7]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Fadhâ`il, 15 dan 20. Ibnu
Mâjah (162), Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (104). Seluruhnya dari
jalur ats-Tsauri dari Nusair az-Za'lûq, ia berkata: "Saya mendengar
'Umar berkata…". Sanadnya shahîh.
[8]. Perkataan senada juga diriwayatkan dengan penuturan di atas
oleh Ibnu 'Abdil-Bar dalam Jâmi' al-Bayân (II/97), Abu Nu'aim dalam
al-Hilyah, dari Ibnu Umar c (I/305).
[9]. HR Ahmad dan lainnya. Riwayat ini derajatnya hasan.
[10]. Silakan baca buku al-Fâizûnâ bi Du’âin-Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam (Orang-orang yang beruntung mendapat doa dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam), karya Taufiq Umar as-Sayyidi.
[11]. HR Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu.
[12]. HR Abu Dawud dan lainnya dari banyak jalur dari sejumlah sahabat nabi, dan dishahîhkan oleh al-Albâni.
[13]. HR Muslim dari hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu.
[14]. HR Muslim (2540), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[15]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabi (XII/142),
Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah (II/483), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah
(VII/103) dan dihasankan oleh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (2340).
[16]. HR al-Bukhâri, dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu.
http://almanhaj.or.id/content/3448/slash/0/keutamaan-sahabat-nabi/