AHLUS SUNNAH MEMULIAKAN PARA SAHABAT RADHIYALLAHU ANHUM[1]
Oleh:Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Termasuk dari prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu menjaga hati dan
lisan mereka terhadap para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan mereka menerima apa yang datang dari Al-Qur-an, As-Sunnah
dan Ijma’ tentang keutamaan-keutamaan dan kedudukan mereka. Ahlus Sunnah
juga mengakui keutamaan seluruh Sahabat, karena mereka (para Sahabat
Radhiyallahu anhum) adalah ummat yang paling tinggi akhlak dan
perangainya. Meskipun demikian Ahlus Sunnah tidak melewati batas
terhadap para Sahabat, dan mereka tidak mempunyai keyakinan tentang
kema’shuman para Sahabat, bahkan mereka melaksanakan hak-hak para
Sahabat dan mencintainya, karena mereka mempunyai hak yang besar atas
seluruh ummat ini, kita dianjurkan untuk mendo’akan mereka.
Sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا
وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي
قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar)
berdo’a: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang
lebih dahulu beriman dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Mahapenyantun lagi Mahapenyayang.’” [Al-Hasyr:
10][2]
Do’a ini adalah do’anya orang-orang yang mengikuti kaum Muhajirin dan
Anshar dengan kebaikan, yang menunjukkan atas kesempurnaan cinta mereka
kepada para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga sanjungan
mereka terhadapnya. Sesungguhnya orang yang pertama kali masuk dalam
do’a ini adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum, merekalah yang terlebih
dahulu beriman, dan mereka pula yang telah mewujudkan keimanan
tersebut.
Ayat tersebut menafikan (meniadakan) kedengkian (kebencian) dari semua
segi. Hal ini menunjukkan tentang kesempurnaan cinta mereka kepada
Sahabat. Ahlus Sunnah mencintai para Sahabat karena Allah dan Rasul-Nya
memerintahkan untuk mencintai mereka yang lebih dahulu beriman, dan
mendapat kehormatan menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga
karena mereka telah berbuat baik kepada seluruh ummat dan karena
merekalah yang menyampaikan semua yang dibawa oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa saja yang sampai kepada kaum
Muslimin, apakah ilmu atau kebaikan, itu hanya dengan perantaraan
mereka.[3]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang keras ummat Islam
mencaci maki para Sahabat Radhiyallahu anhum, sebagaimana sabda beliau:
لاَ تَسُبُّوْا أَصْحَابِيْ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ
أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيْفَهُ.
“Jangan kalian mencaci Sahabatku!! Demi Rabb Yang diriku berada di
tangan-Nya, jika seandainya salah seorang dari kalian memberikan infaq
emas sebesar gunung Uhud, maka belumlah mencapai nilai infaq mereka
meskipun (mereka infaq hanya) satu mudd (yaitu sepenuh dua telapak
tangan) dan tidak juga separuhnya.” [4]
Juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam :
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ، وَالْمَلاَئِكَةِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.
“Barangsiapa mencaci-maki Sahabatku, maka baginya laknat Allah, Malaikat, dan manusia seluruhnya!!!” [5]
Maka, wajib atas ummat Islam untuk taat kepada Nabi-Nya Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam setiap perkara, khususnya dalam masalah ini
(memuliakan para Sahabat Radhiyallahu anhum), dan hendaklah mereka
menghormati serta memuliakannya, dan Ahlus Sunnah meyakini bahwa sedikit
saja dari amal mereka (Sahabat) itu mengalahkan amal yang banyak dari
selainnya, sebagaimana dalam hadits di atas. Dan ini bukti yang besar
atas keutamaan para Sahabat dari selain mereka.
Kata ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma: “Janganlah kalian mencaci
para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berdirinya
mereka sesaat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih baik dari
ibadah seorang dari kalian sepanjang umurnya.” [6]
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah menyebutkan tentang keutamaan yang banyak atas para Sahabat
dibandingkan ummat-ummat yang lain. Maka, wajib atas umat ini untuk
mengimani tentang keutamaan Sahabat dan mencintai mereka karenanya.
Ahlus Sunnah meyakini tentang orang-orang yang dijamin masuk Surga
sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan dalam Al-Qur-an surat
at-Taubah: 100 dan juga dalam surat al-Hadiid: 10.[7]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَىٰ
“Semuanya Allah janjikan Surga” [Al-Hadiid: 10]
Maksudnya orang-orang yang masuk Islam, berperang, dan berinfaq sebelum
Fat-hu Makkah maupun sesudahnya, semuanya Allah jamin masuk Surga. Hal
ini menunjukkan keutamaan para Sahabat semuanya Radhiyallahu anhum.
Allah saksikan keimanan mereka dan Allah jamin masuk Surga.[8]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga menyebutkan
Sahabat-Sahabat yang masuk Surga seperti sepuluh orang yang dijamin
masuk Surga [9] , Sahabat Tsabit bin Qais bin Syammasy [10] dan selain
mereka dari Sahabat (seperti Ummahatul Mu’minin, Bilal bin Rabah,
‘Abdullah bin Sallam: ‘Ukkasyah bin Mihshan, Sa’ad bin Mu’adz dan selain
mereka Radhiyallahu anhum). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
juga menyebutkan tentang orang yang ikut perang Badar dan Hudaibiyyah
bahwa mereka tidak akan masuk Neraka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
لَنْ يَدْخُلَ النَّارَ رَجُلٌ شَهِدَ بَدْراً وَالْحُدَيْبِيَّةَ.
“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut hadir dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyyah.” [11]
Hal tersebut merupakan sebesar-besar keutamaan, karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhususkan kepada mereka persaksiannya
dengan Surga. Dan ini termasuk bukti dari sejumlah risalah beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam karena sesungguhnya setiap orang yang
ditentukan dan dijamin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk
Surga dengan ketentuan-ketentuannya, maka mereka akan tetap istiqamah di
atas iman, sehingga mereka mendapatkan apa yang telah dijanjikan kepada
mereka, mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.
Ahlus Sunnah menerima dan menetapkan apa yang diriwayatkan secara
mutawatir dari Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib [12] dan yang
lainnya, bahwa sebaik-baik orang dari ummat ini sesudah Nabi-Nya
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar [13], ‘Umar, ‘Utsman dan
‘Ali, Radhiyallahu anhum. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh atsar dan
ijma’ para Sahabat Radhiyallahu anhum yang mendahulukan ‘Utsman
Radhiyallahu anhu dalam bai’at.
Khilafah salah seorang dari keduanya (‘Utsman dan ‘Ali Radhiyallahu
anhuma) tidak akan terjadi melainkan setelah musyawarah seluruh kaum
Muslimin, menurut perbedaan tingkatan mereka dan kisah ini masyhur dalam
kitab-kitab taariikh (sejarah).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahwasanya khalifah sesudah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Abu Bakar: ‘Umar:
‘Utsman, dan ‘Ali Radhiyallahu anhum. Barangsiapa yang mencela atau
tidak membenarkan tentang kekhilafahan salah seorang dari mereka, maka
dia lebih sesat daripada keledai piaraannya.[14]
Ahlus Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada Ahlul Bait. Sesuai wasiat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya:
أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِي أَهْلِ بَيْتِيْ، أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِيْ أَهْلِ بَيْتِيْ.
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian terhadap Ahlul Baitku
(keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kalian terhadap Ahlul Baitku
(keluargaku), sesungguhnya aku mengingatkan kalian terhadap Ahlul
Baitku (keluargaku).” [15]
Yang termasuk Ahlul Bait (keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam) adalah isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa allam, firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاءِ ۚ إِنِ
اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي
قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
“Wahai para isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk (merendahkan suara)
ketika berbicara sehingga berkeinginan (buruk)lah orang berpenyakit di
dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyyah dahulu, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak
menghilangkan dosa darimu, wahai Ahlul Bait dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya.” [Al-Ahzaab: 32-33]
Karena mereka adalah Ummahaatul Mu’-miniin (ibu-ibu kaum Mukminin),
serta meyakini bahwasanya mereka adalah isteri-isteri beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam di akhirat nanti.
Pada prinsipnya Ahlul Bait (keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam) itu adalah saudara-saudara dekat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, dan yang dimaksud di sini adalah yang shalih di antara
mereka. Sedangkan saudara-saudara dekat yang tidak shalih seperti
pamannya, Abu Thalib, Abu Lahab, maka mereka tidak memiliki hak sama
sekali!
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ
“Celaka kedua tangan Abu Lahab dan sungguh celaka dia.” [Al-Lahab: 1]
Maka, sekedar hubungan darah yang dekat dan bernisbat kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa keshalihan dan ketaqwaan dalam
menjalankan syari’at Islam, tidak ada manfaat baginya sedikit pun di
hadapan Allah l!
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ اشْتَرُوْا أَنْفُسَكُمْ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ
اللهِ شَيْئًا، يَا بَنِيْ عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللهِ
شَيْئًا، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ
اللهِ شَيْئًا، يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُوْلِ اللهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ
مِنَ اللهِ شَيْئًا، يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ... لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا.
“Hai kaum Quraisy, belilah diri-diri kalian, sebab aku tidak dapat
memberi kalian manfaat di hadapan Allah sedikit pun. Wahai Bani ‘Abdu
Manaf, aku tidak dapat memberimu man-faat di hadapan Allah sedikit pun.
Wahai ‘Abbas anak dari ‘Abdul Muththalib, aku tidak dapat memberikan
manfaat apapun di hadapan Allah. Wahai Shafiyyah bibi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku tidak dapat memberimu manfaat apapun
di hadapan Allah. Wahai Fathimah anak Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam, mintalah (dari hartaku) sesukamu, aku tidak dapat memberimu
manfaat apapun bagimu di hadapan Allah.” [16]
Saudara-saudara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shalih
tersebut mempunyai hak atas kita berupa penghormatan, cinta dan
penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan terhadap mereka
dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepadanya. Adapun keyakinan
bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi manfaat atau mudharat
selain dari Allah adalah bathil. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam saja tidak kuasa memberikan manfaat dan menolak bahaya. Bahkan
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara yang ghaib
-kecuali yang diberitahukan Allah- apalagi orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Bahwasanya aku tidak kuasa mendatangkan kemudharatan dan manfaat bagi kalian.” [Jin: 21]
قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ
اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi
diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki
Allah, dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat
kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan.’”
[Al-A’raaf: 188]
Apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saja demikian, maka
bagaimana pula dengan yang lainnya. Jadi apa yang diyakini sebagian
manusia terhadap kerabat Rasul bahwa mereka dapat memberi manfaat dan
menolak bahaya, semua itu adalah suatu keyakinan yang bathil! [17]
Mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) berlepas diri dari sikap dan cara
orang-orang Rafidhah, di mana mereka membenci para Sahabat Radhiyallahu
anhum dan mencaci-maki mereka. Dan Ahlus Sunnah juga berlepas diri dari
sikap dan cara orang-orang Nawashib, yang mereka menyakiti Ahlul Bait
dengan perkataan dan perbuatan mereka.
Mereka (Ahlus Sunnah) bersikap menahan diri dari perselisihan yang
terjadi di antara para Sahabat, dan mereka berkata: “Sesungguhnya
riwayat-riwayat tentang hal kejelekan yang terjadi di antara mereka ada
yang dusta (bohong), ada yang ditambah dan ada pula yang dikurangi,
serta ada juga yang diselewengkan dari yang sebenarnya. Sedangkan dalam
riwayat yang shahih mereka adalah dimaafkan, karena mereka adalah
orang-orang yang berijtihad yang bisa benar dan bisa pula salah.
Meskipun demikian, Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mempunyai i’tiqaad
(keyakinan) bahwa setiap individu Sahabat adalah ma’shum dari dosa-dosa
besar atau kecil, bahkan bisa saja di antara mereka ada yang melakukan
dosa-dosa sebagaimana umumnya anak Adam berbuat dosa, akan tetapi mereka
itu punya kelebihan, yaitu lebih dahulu beriman dan mempunyai keutamaan
yang dapat menghapuskan dosa-dosa yang timbul dari mereka, kalau hal
tersebut ada, sehingga mereka diberikan ampunan atas kesalahan-kesalahan
yang tidak dimiliki oleh orang-orang sesudahnya.
Banyak hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih yang
menjelaskan, bahwa mereka adalah sebaik-baik manusia, ummat dan
generasi. Bahkan satu mudd (ukuran dua telapak tangan) yang diinfaqkan
oleh salah seorang dari mereka, adalah lebih utama (lebih unggul)
daripada emas sebesar gunung Uhud, yang diinfaqkan oleh orang-orang
sesudah mereka.
Perkara-perkara ini jika dibandingkan dengan kesalahan mereka, maka
kesalahan-kesalahan itu akan hapus dengan kebaikan yang sekian banyak,
dan tidak ada seorang pun yang dapat menyamai mereka Radhiyallahu anhum.
Mudah-mudahan Allah l meridhai mereka semua.
Lalu jika timbul suatu perbuatan dosa dari salah seorang di antara
mereka, maka bisa jadi mereka itu sudah bertaubat atau berbuat sejumlah
kebaikan yang hal itu dapat menghapuskan dosa (kesalahan) itu, atau
diampuni kesalahannya sebab mereka lebih dahulu dalam segala hal, atau
diampuni dengan sebab syafa’at Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan
mereka adalah orang yang paling berhak untuk mendapatkan syafaat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Atau mereka diuji di dunia ini dengan
ujian yang dapat menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka itu. Apabila
yang demikian berlaku pada dosa-dosa yang benar-benar terjadi, maka
bagaimana dalam perkara-perkara yang mereka ijtihadkan? Padahal kalau
mereka benar, memperoleh dua ganjaran, tetapi kalau mereka itu salah,
mereka memperoleh satu ganjaran, semen-tara kesalahannya itu juga
terampuni.
Sesungguhnya jumlah (ukuran) yang diingkari dari perbuatan sebagian
mereka (yang tidak menyenangkan) sangat sedikit sekali, lagi pula dapat
diampuni, jika dibandingkan dengan keutamaan dan kebaikan-kebaikan
mereka, yaitu iman kepada Allah dan Rasul-Nya, jihad, hijrah di jalan
Allah, membantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mempelajari
ilmu yang bermanfaat, dan beramal shalih serta lainnya.
Siapapun yang memperhatikan sirah (perikehidupan) para Sahabat serta
keistimewaan-keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka dengan
ilmu dan keyakinan yang benar, maka ia akan mengetahui dengan yakin,
bahwa mereka (para Sahabat) adalah sebaik-baik manusia sesudah para
Nabi, yang tidak pernah ada sebelumnya serta tidak akan ada lagi yang
seperti mereka. Mereka adalah orang-orang pilihan dari generasi ummat
ini, mereka adalah sebaik-baik ummat yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.
“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah pada masaku (Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam) ini, kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in),
kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in).” [Muttafaqun ‘alaihi]
[18]
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box
7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Bahasan ini dapat dilihat dalam Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah,
at-Tanbii-haatul Lathiifah (hal. 89-97), Syarhul ‘Aqiidah
al-Waasithiyyah, asy-Syarii’ah oleh Imam al-Ajurri, Syarah Ushuul
I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii
Itsbaatil ‘Aqiidah, dan kitab-kitab lainnya.
[2]. Lihat At-Taubah: 100, al-Fat-h: 18 dan yang lainnya tentang keutamaan para Sahabat Radhiyallahu anhum.
[3]. Lihat Syarhul ‘Aqiidah al-Waasithiyyah (hal. 237-238) oleh Khalil Hirras.
[4]. Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3673), Muslim (no.
2541), Abu Dawud (no. 4658), at-Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11),
al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan Ibnu Abi ‘Ashim
(no. 988), dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu. Lihat
Fat-hul Baari (VII/34-36).
[5]. HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (XII/111 no. 12709), dari
Sahabat Ibnu ‘Abbas c. Hadits ini hasan, lihat Shahiihul Jaami’ish
Shaghiir wa Ziyaadatuhu (no. 6285) dan Silsilatul Ahaadiits
ash-Shahiihah (no. 2340).
[6]. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadhaa-ilush Shahaabah (no. 20), Ibnu
Abi ‘Ashim (no. 1006) Ibnu Majah (no. 162) dengan sanad yang shahih.
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Lebih dari 40 tahun.” Lihat Syarhul
‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah (hal. 469) tahqiq Syaikh al-Albani.
[7]. Lihat juga al-Qur-an surat al-Anfaal: 72, al-Fat-h: 29 dan al-Hasyr: 8-9.
[8]. Lihat Taisiirul Kariimir Rahman fii Tafsiir Kalaamil Mannan (hal. 909), cet. Mak-tabah al-Ma’arif-1420 H.
[9]. Sepuluh orang Sahabat yang dinyatakan Rasulullah j masuk Surga
adalah: Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab, ‘Utsman bin
‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, az-Zubair bin Awwam,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Sa’id bin Zaid, Abu ‘Ubaidah al-Jarrah dan
Thalhah bin ‘Ubaidillah g. Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Abu
Dawud (no. 4649-4650), at-Tir-midzi (no. 3748, 3757), Ibnu Majah (no.
133-134), Ahmad (I/187-188, 1890), Ibnu Abi ‘Ashim (no. 1428, 1431,
1433, 1436), al-Hakim (III/450). Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyyah
takhrij dan ta’liq oleh ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki dan
Syu’aib al-Arnauth (hal. 731) dan dengan tahqiq Syaikh al-Albani (no.
727), dimuat oleh beliau dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah
(II/531).
[10]. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 3613), Muslim (no. 119), dari Sahabat Anas Radhiyallahu anhum.
[11]. HR. Ahmad (III/396), dari Sahabat Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu
anhum, lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2160).
[12]. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 3671), dari Muhammad bin
Hanafiyah, ia berkata: “Aku berkata kepada ayahku, yaitu ‘Ali bin Abi
Thalib: ‘Siapakah ma-nusia yang paling baik setelah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam?’ ‘Ali bin Abi Thalib menjawab, ‘Abu
Bakar.’ Aku berkata lagi: ‘Kemudian siapa?’ Dijawab: ‘'Umar.’ Dan aku
khawatir ia akan mengatakan ‘Utsman. Aku bertanya lagi: ‘Kemudian
engkau?’ ‘Ali menjawab: ‘Tidaklah aku melainkan termasuk kaum Muslimin
biasa.’” Lihat Shahiihul Bukhari (no. 3655), dari Sahabat Ibnu ‘Umar,
juga Fat-hul Baari (VII/33-34).
[13]. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin Abi Qahafah, ‘Utsman bin
‘Amir al-Qurasyi Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu, pengganti
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan termasuk orang yang pertama
kali masuk Islam. Beliau dilahirkan dua setengah tahun setelah عَامُّ
الْفِيْلِ (tahun Gajah), dan menemani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
baik sebelum maupun sesudah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjadi Rasul, menemani ketika hijrah, dan ikut bersama Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam di setiap peperangan. Beliau adalah khalifah yang
pertama dan dijamin masuk Surga. Beliau Radhiyallahu anhu wafat tahun 13
H, pada usia 63 tahun.
[14]. Lihat Syarh ‘Aqidah Wasithiyyah (hal. 243) oleh Syaikh Khalil Hirras.
[15].HR. Muslim (no. 2408 (36)), dari Sahabat Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu.
Lanjutan riwayat tersebut adalah: Husain bertanya kepada Zaid bin Arqam,
“Wahai Zaid, siapakah sebenarnya Ahlul Bait Nabi j?” Zaid bin Arqam
berkata: “Isteri-isteri beliau j adalah Ahlul Baitnya. Tetapi Ahlul Bait
yang dimaksud ada-lah orang yang diharamkan menerima shadaqah
sepeninggal beliau j.” Husain ber-tanya: “Siapakah mereka?” Zaid bin
Arqam menjawab: “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keturunan ‘Aqil, keluarga
Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.” Husain bertanya: “Apa-kah mereka semua
diharamkan untuk menerima shadaqah?” Jawab Zaid: “Ya.”
[16]. HR. Al-Bukhari (no. 2753, 4771) dan Muslim (no. 206 (351)), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[17]. Lihat Min Ushuuli ‘Aqiidah Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan.
[18]. At-Tanbiihaatul Lathiifah 'ala Mahtawat 'alaihil 'Aqiidah al-Waasithiyyah (hal.96-97)
http://almanhaj.or.id/content/2466/slash/0/ahlus-sunnah-memuliakan-para-sahabat-radhiyallahu-anhum/