Sedih rasanya melihat dua bangsa berseteru,
saling membanggakan diri dan mencaci yang lain, bahkan ada yang
menyuarakan peperangan, padahal keduanya adalah negeri kaum muslimin.
Lebih miris lagi, perseteruan ini didasari oleh hal-hal yang tidak
diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Bukannya saling berlomba dalam
kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah Ta’ala, bahkan sebaliknya, mereka
malah saling bersaing sampai berseteru dalam hal yang tidak diridhai
Allah Ta’ala. Jika demikian adanya, bagaimana mungkin umat Islam menjadi
kuat dan kokoh?
Konsep Cinta dan Benci Dalam Islam
Dalam Islam dikenal konsep Al-Wala’ wal Bara’ (cinta dan benci) yang
merupakan konsekuensi dari iman yang benar karena inti ajaran Islam
adalah mengajak umat manusia untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala semata. Konsekuensinya, seorang mukmin akan mencintai segala
bentuk peribadatan dan ketaatan kepada Allah semata dan mencintai
orang-orang yang melakukan demikian. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (Qs. At Taubah: 71)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
“Orang yang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu
karena Allah, memberi karena Allah, melarang sesuatu karena Allah,
imannya telah sempurna.” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Konsekuensi lain adalah kebalikan dari itu. Seorang mukmin akan
membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah dan maksiat,
serta membenci orang-orang yang melakukan demikian. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala:
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak,
atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Qs. Al-Mujadalah: 22)
Ringkasnya, seorang mukmin sejati mencintai orang-orang yang
menyembah Allah Ta’ala semata dan melakukan ketaatan kepada-Nya, baik ia
berbeda suku, berbeda negara, berbeda warna kulit, berbeda bahasa,
berbeda martabat. Dan seorang mukmin dalam hatinya memiliki rasa benci
kepada orang yang menyembah kepada selain Allah dan banyak melakukan
maksiat, meskipun ia satu negara, meskipun ia satu bahasa, sama warna
kulitnya, meskipun ia teman sepermainan, meskipun ia orang tuanya,
anaknya, saudara atau pun keluarganya. Inilah konsep cinta dan benci
dalam Islam.
Cinta dan Benci Orang Jahiliyah
Masa Jahiliyyah adalah masa sebelum di utusnya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan pada saat itu dunia diliputi kebodohan terhadap agama, kesesatan,
penyimpangan dan kemusyrikan (Lihat Syarh Masa’il Jahiliyyah (8), Syaikh
Shalih Fauzan Al Fauzan). Oleh karena itu, Allah Ta’ala banyak mencap
buruk orang-orang pada masa Jahiliyyah dalam Al Qur’an Al Karim.
Misalnya firman Allah Ta’ala:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
“(Wahai kaum wanita), hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan
janganlah kalian bertabarruj (bersolek) sebagaimana tabarujnya
orang-orang Jahiliyah yang terdahulu.” (Qs. Al Ahdzab: 33)
Oleh karena itu Islam melarang umatnya berperilaku sebagaimana perilaku orang-orang Jahiliyyah.
Lalu bagaimanakah konsep cinta dan benci yang diterapkan orang-orang
Jahiliyyah? Cinta dan benci mereka dibangun atas dasar kesamaan suku dan
bangsa. Ketika dua suku berseteru, mereka membenci orang-orang yang
masih satu suku bangsa dan membenci orang-orang yang berbeda suku
bangsa. Sebagaimana diceritakan hadits:
- كنا في غزاة – قال سفيان مرة : في جيش – فكسع رجل من المهاجرين رجلا
من الأنصار ، فقال الأنصاري : يا للأنصار ، وقال المهاجري : يا للمهاجرين ،
فسمع ذاك رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : (ما بال دعوى جاهلية ) .
قالوا : يا رسول الله ، كسع رجل من المهاجرين رجلا من الأنصار ، فقال :
(دعوها فإنها منتنة)
“Suatu ketika di Gaza, (sebuah pasukan) ada seorang dari suku
Muhajirin mendorong seorang lelaki dari suku Anshar. Orang Anshar tadi
pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (ayo berpihak padaku).’ Orang
muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (ayo berpihak
padaku)’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mendengar kejadian tersebut, beliau bersabda: ‘Pada diri kalian masih
terdapat seruan-seruan Jahiliyyah.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah,
seorang muhajirin telah mendorong seorang dari suku Anshar.’ Beliau
bersabda: ‘Tinggalkan sikap yang demikian karena yang demikian adalah
perbuatan busuk.’” (HR. Al Bukhari no.4905)
Perhatikan dengan baik hadits yang mulia ini. Muhajirin dan Anshar
adalah dua kaum yang mulia yang dipuji oleh Allah Ta’ala. Namun tatkala
mereka menyerukan fanatisme kesukuan, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa sikap tersebut adalah perangai Jahiliyah. Bagaimana lagi dengan kita?
Jangan Berpecah Belah
Perpecahan umat Islam adalah sesuatu yang tercela dalam Islam. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا
جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Qs. Al Imran: 104)
Dan sebaliknya, Islam memerintahkan ummat-Nya untuk bersatu padu.
Perintah untuk bersatu ini ditujukan kepada setiap Muslim di seluruh
dunia, tidak hanya antar ummat Muslim di satu negara saja. Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا
تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ
جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Qs. Al Imran: 102-103)
Dalam ayat di atas, jelas sekali bahwa perintah untuk bersatu ditujukan untuk setiap Muslim.
Bahkan, perpecahan diantara umat Islam adalah sumber malapetaka dan bencana. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لا تختلفوا ، فإن من كان قبلكم اختلفوا فهلكوا
“Janganlah kalian berselisih! Sesungguhnya kaum sebelum kalian telah berselisih lalu mereka binasa.” (HR. Bukhari no. 2410)
Oleh karena itu, perselisihan antar umat Islam baik yang satu negara
ataupun berbeda negara adalah sumber kebinasaan. Maka, bersatulah wahai
kaum muslimin di negara manapun engkau berada!
Muslim Itu Bersaudara
Seorang muslim mempersembahkan cintanya yang paling besar dan yang
paling tulus kepada Allah Ta’ala. Cinta ini tidak boleh pupus oleh cinta
lain. Cinta kepada Allah tidak boleh ditenggelamkan oleh cinta
seseorang kepada keluarganya, bahkan kepada kedua orang tuanya.
Konsekuensinya, siapapun yang mencintai Allah Ta’ala, berhak untuk kita
cintai. Sebaliknya, siapapun yang mendurhakai Allah Ta’ala, layak untuk
kita benci. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من أحب لله ، وأبغض لله ، وأعطى لله ، ومنع لله ، فقد استكمل الإيمان
“Orang yang mencintai sesuatu karena Allah, membenci sesuatu
karena Allah, memberi sesuatu karena Allah, melarang sesuatu karena
Allah, telah sempurna imannya.” (HR. Abu Daud no. 4681, di-shahih-kan Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud)
Rasa cinta kepada Allah inilah yang mengikat setiap muslim dalam lingkar persaudaraan yang mulia. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu!” (Qs. Al Hujurat: 10)
Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, berbuat baiklah kepada sesama muslim layaknya saudara!
Apakah seseorang akan membenci saudaranya? Apakah ia akan menjauhi
saudaranya? Apakah ia akan menghina saudaranya? Apakah ia akan
menzhalimi saudaranya? Sama sekali tidak. Maka demikianlah sepatutnya
seorang muslim.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تحاسدوا . ولا تناجشوا ، ولا تباغضوا ، ولا تدابروا ، ولا يبع بعضكم
على بيع بعض . وكونوا ، عباد الله ! إخوانا . المسلم أخو المسلم . لا يظلمه
، ولا يخذله ، ولا يحقره
“Jangan kalian saling hasad! Jangan saling mencurangi! Jangan
saling membenci! Jangan saling menjauhi! jangan kalian menawar barang
yang sedang ditawar orang lain! Jadilah kalian hamba Allah yang saling
bersaudara! Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak
boleh menzhaliminya, tidak boleh membohonginya dan tidak boleh
menghinanya.” (HR. Muslim no.2564)
Berlombalah Dalam Kebaikan, Bukan Dalam Maksiat
Miris rasanya melihat umat muslim berselisih, bertengkar dan
berseteru disebabkan rasa iri dan dengki dalam kemaksiatan. Mereka
membangga-banggakan diri atas perkara maksiat dan saling dengki satu
sama lain.
Contohnya, mereka berseteru karena musik. Padahal Allah Ta’ala tidak ridha terhadap hal tersebut. Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan lahwal hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah.” (Qs. Luqman: 6)
Sebagian ahli tafsir, juga sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu menjelaskan bahwa yang dimaksud lahwal hadits di dalam ayat ini adalah nyanyian.
Rasul kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
ليكونن من أمتي أقوام ، يستحلون الحر والحرير ، والخمر والمعازف
“Akan ada beberapa kaum dari ummatku yang menghalalkan zina dan sutra, serta khamr dan alat musik.” (HR. Bukhari no.5590)
Hadits ini jelas menunjukkan keharaman musik. Dan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak ridha terhadapnya. Jika Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak ridha,
mengapa kita malah mencintainya? Dan malah berbangga-bangga dengannya?
Wanita yang memamerkan aurat mereka, kemudian berlenggak-lenggok
gemulai di depan orang banyak, sungguh mereka telah bermaksiat kepada
Allah Ta’ala. Namun hal ini malah dijadikan kebanggaan dan menjadi sebab
pertikaian?
Relakah anda jika wanita-wanita tersebut adalah saudara anda, istri
anda, atau anak anda? Relakah anda jika mereka kelak akan menjadi
wanita-wanita yang mendapat siksaan yang sangat pedih di neraka?
Sebagaimana sabda Rasul kita
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
صنفان من أهل النار لم أرهما . قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها
الناس . ونساء كاسيات عاريات مميلات مائلات . رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة .
لا يدخلن الجنة ولا يجدن ريحها . وإن ريحها لتوجد من مسيرة كذا وكذا
“Ada dua jenis manusia penghuni neraka yang aku belum pernah
melihat sebelumnya. Yang pertama yaitu orang yang memiliki cambuk
seperti ekor sapi, mereka mencambuki orang lain. Yang kedua yaitu wanita
yang berpakaian namun sebenarnya telanjang, mereka berjalan
berlenggak-lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang bergoyang.
Mereka tidak masuk surga, bahkan tidak mencium wanginya surga. Padahal
wanginya surga dapat tercium dari jarah yang sangat jauh.” (HR. Muslim no. 2128)
Wahai kaum muslimin, buktikan cintamu kepada Allah! Berhentilah
berbangga dan berlomba dalam hal yang tidak diridhai Allah Ta’ala!
Berlombalah dalam kebaikan dan ketaqwaan! Bukankah anda pernah mendengar
firman Allah Ta’ala:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sungguh, yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.” (Qs. Al Hujurat: 13)
Maka irilah kepada saudaramu yang hafal Al Qur’an, irilah kepada
saudaramu yang paham ilmu agama, irilah pada saudaramu yang giat
beribadah, irilah pada saudaramu yang zuhud dan qanaah. Berusahalah
menandingi mereka dalam hal tersebut. Irilah jika ada negeri lain yang
masyarakatnya lebih shalih, dan berusahalah menjadikan negeri kita ini
lebih shalih dari negeri tersebut.
Benarkah Nasionalisme Bagian Dari Iman?
Pada sebuah kesempatan, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Uqail
rahimahullah, seorang ulama besar dari Unaizah (salah satu daerah di
negeri Saudi Arabia-ed), ditanya:
Bagaimana dengan ungkapan yang banyak tersebar di masyarakat, yaitu:
حب الوطن من الإيمان “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” Apakah
ungkapan ini adalah sebuah hadits yang shahih?
Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Uqail
rahimahullah, menjawab:
Al Ajluni dalam kitab
Kasyful Khafa berkata:
“Hadits ini dikatakan oleh As Shaghani sebagai hadits maudhu (palsu).” Al Ajluni juga berkata dalam kitab
Al Maqashid:
“Aku tidak ragu bahwa hadits ini palsu, namun maknanya benar.” Pernyataan Al Ajluni yang menyatakan bahwa makna hadits ini benar disanggah oleh Al Qaari, ia berkata:
“Pernyataan ini sungguh aneh. Karena antara cinta tanah air dengan keimanan sama sekali tidak ada kaitannya.” Kemudian Al Qaari berdalil dengan ayat:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ
اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ ۖ
“Seandainya Allah memerintahkan mereka untuk membunuh diri mereka
atau memerintahkan mereka untuk keluar dari negerinya, maka mereka
tidak akan patuh, kecuali sedikit orang saja.” (Qs. An Nisa: 66)
Ayat ini dalil bahwa mereka mencintai negeri mereka padahal mereka
tidak memiliki iman karena yang dimaksud ‘mereka’ dalam ayat ini adalah
orang-orang munafik (orang yang mengaku iman di lisan namun tidak
dihatinya, pent).
Akan tetapi, sebagian ulama menyanggah Al Qaari dengan menyatakan
bahwa yang dimaksud hadits ini bukanlah orang yang cinta tanah air itu
pasti beriman. Melainkan maksudnya adalah bahwa ‘cinta kepada tanah air
tidak menafikan iman’.
Menurutku, andaikan hadits ini shahih, bisa dibenarkan jika
wathon kita artikan sebagai:
- Surga, karena surga adalah negeri pertama bagi keturunan Adam ‘ alaihissalam.
- Mekkah, karena Mekkah adalah Ummul Quraa (Ibu kota dari semua kota) dan kiblatnya orang alim.
- Negeri yang baik, namun dengan syarat cinta kepada negeri
dikarenakan adanya itikad untuk menyambung silaturahim, atau berbuat
baik kepada penduduk negeri tersebut, misalnya kepada orang fakir dan
anak yatim (bukan karena semangat nasionalisme, pent).
Sehingga pemaknaan yang benar adalah tidak menghubungkan adanya cinta
tanah air dengan keimanan, juga tidak memutlakkan, namun dimaknai
secara umum saja. Perhatikanlah hadits:
حسن العهد من الإيمان، وحب العرب من الإيمان
“Menepati janji adalah bagian dari iman dan mencintai bangsa Arab adalah bagian dari iman.”
Padahal orang kafir pun ada yang menepati janji dan mencintai bangsa Arab.
[Demikian penjelasan Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al 'Uqail, dikutip dari
Fatawa Mawqiul Islam, fatwa no. 15]
Ulama pakar hadits abad ini, Muhammad Nashiruddin Al Albani
rahimahullah berkata dalam
Silsilah Ahadits Adh Dhaifah:
“Hadits ini adalah hadits palsu. As Shaghani dan ulama yang lain
berkata: ‘Makna hadits ini tidak benar. Karena kecintaan kepada tanah
air seperti mencintai diri sendiri, mencintai harta, dan semacamnya. Ini
semua merupakan sifat-sifat manusiawi sehingga seseorang yang mencintai
hal-hal tersebut tidak serta-merta dipuji. Oleh karena itu, mencintai
tanah air bukan bagian dari iman. Bukankah anda melihat bahwa semua
manusia memiliki sifat ini? Baik yang mu’min maupun yang kafir tanpa
terkecuali.’ (
Silsilah Ahadits Adh Dhaifah, 36)
Nasionalisme yang Dibenarkan Islam
Dari penjelasan-penjelasan di atas, semoga pembaca dapat memahami
bahwa semangat nasionalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam karena
semangat nasionalisme mendahulukan dan mengutamakan persaudaraan antara
orang-orang sebangsa daripada persaudaraan Islam. Semangat
nasionalisme
juga menempatkan kecintaan terhadap tanah air melebihi cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya, sehingga ia rela melakukan hal yang bermanfaat bagi
negerinya meskipun itu mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Namun cinta
tanah air tidak selamanya keliru.
Berbicara tentang cinta tanah air, memang benar bahwa mencintai tanah
kelahiran adalah hal yang manusiawi. Sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencintai tempat kelahiran beliau, Makkah. Sampai-sampai beliau bersabda:
ما أطيبكِ من بلد، وأحبَّكِ إليَّ، ولولا أن قومي أخرجوني منكِ ما سكنتُ غيركِ
“Wahai Makkah, tidak ada negeri yang lebih baik dan lebih
kucintai dari pada engkau. Andai kaumku tidak mengusirku darimu, aku
tidak akan pernah tinggal di negeri lain.” (HR. At Tirmidzi no.3926, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Beliau mencintai Makkah bukan karena semata-mata tempat kelahiran,
namun karena Makkah adalah negeri kaum muslimin, negeri tauhid yang
diwariskan Ibrahim ‘Alahissalam. Oleh karena itu, beliau pun mencintai
Madinah, yang juga negeri kaum muslimin, walaupun bukan tempat kelahiran
beliau. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika peristiwa hijrah ke Madinah:
اللهم حبب إلينا المدينة كحبنا مكة أو أشد
“Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta terhadap Madinah
sebagaimana kami mencintai Makkah, atau bahkan cinta yang lebih besar
dari itu.” (HR. Bukhari no.6372)
Maka nasionalisme yang benar adalah nasionalisme yang didasari rasa
cinta kepada Allah Ta’ala. Yaitu mencintai negeri tempat kelahiran kita
yang merupakan negeri kaum muslimin, karena Islam ditegakkan di
dalamnya. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Tanah air dicintai
jika ia merupakan negeri kaum muslimin. Setiap orang wajib bersemangat
untuk berbuat kebaikan di negerinya, juga di negeri lain yang merupakan
negeri kaum muslimin. Setiap orang juga wajib mengusahakan keluarga dan
kerabatnya tinggal di negeri kaum muslimin.” (
Fatawa Wal Maqalat Mutanawwi’ah, Juz 9, http://www.binbaz.org.sa/mat/2078 )
Selain itu, sebagaimana dijelaskan Syaikh Al Uqail, semangat cinta
tanah air dapat dibenarkan jika diniatkan dalam rangka ingin berbuat
baik kepada masyarakatnya. Dengan kata lain, ia mencintai negerinya
karena orang-orang yang ia sayangi berada di negeri tersebut, dan ia
ingin berbuat baik kepada mereka. Karena memang Islam mengajarkan untuk
mendahulukan orang-orang terdekat dalam berbuat kebaikan. Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs. At Tahrim: 5)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيئًاۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat…” (Qs. An Nisa: 36)
Oleh karena itu, kami mengajak kaum muslimin sekalian untuk
meninggalkan semangat nasionalisme jahiliyyah dan beralih kepada
semangat nasionalisme di dasari rasa cinta kepada Allah Ta’ala. Mari
kita bersama membangun negeri kita ini dalam setiap aspek kehidupan,
sehingga kaum muslimin kuat dan kokoh. Mari kita dukung program-program
pemerintah yang sejalan dengan nilai-nilai Islami, dan mari unggulkan
negeri kita ini dalam hal kebaikan dan ketaqwaan. Kemudian, ikatlah
persaudaraan yang erat antara kaum muslimin dimana pun berada, selama ia
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Sungguh persaudaraan karena Allah itu
sangat indah.
Mudah-mudahan Allah menjadikan negeri kita ini sebagai negeri yang
diridhai-Nya. Semoga pada negeri ini diturunkan rahmah serta keberkahan
Allah di dalamnya. Semoga Allah menjadikan penduduknya menjadi
orang-orang yang bertaqwa kepada Allah serta bersatu-padu menjalin
persaudaraan yang kuat dan kokoh karena-Nya.
Wallahul musta’an.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/manhaj/ketika-dua-negeri-berseteru.html