Pada pembahasan ini kami berusaha
merangkum beberapa poin yang kerap dilakukan oleh sebagian kaum muslimin
tatkala berziarah kubur. Selaras dengan judul di atas, berbagai poin
tersebut kami masukkan ke dalam satu tema, yaitu berbagai kekeliruan
yang sering dilakukan tatkala berziarah kubur. Kaum muslimin patut
memperhatikannya agar mampu membentengi diri dari berbagai kekeliruan
serta menyampaikannya kepada mereka yang keliru dilandasi dengan ilmu
dan menggunakan metode yang bijak.
Uraian dalam artikel ini kami sajikan
dengan ringkas dengan memaparkan dalil dari Al Qur-an dan sunnah, tidak
lupa kami mengutip beberapa perkataan para ulama di setiap
permasalahan. Jika terdapat pembahasan yang agak panjang, maka hal itu
semata-mata atas pertimbangan kami untuk memaparkan secara detail
permasalahan tersebut.
Artikel ini kami sajikan kepada sidang
pembaca dengan harapan dapat bermanfaat. Semoga Allah menjadikan amalan
ini ikhlas untuk menggapai ridla-Nya. Tidak lupa kami haturkan terima
kasih kepada ustadzuna Abu Umamah hafizhahullah ta’ala yang telah mengkoreksi artikel ini dan juga kepada berbagai pihak yang telah membantu. Semoga Allah membalas kebaikan mereka.
Beberapa Kekeliruan dalam Berziarah Kubur
Pertama, berdo’a kepada Penghuni Kubur
Keadaan peziarah kubur tidak terlepas dari empat kondisi,
Pertama, mendo’akan
rahmat dan ampunan bagi para penghuni kubur, mengkhususkan permintaan
do’a dan ampunan bagi penghuni kubur yang dikunjungi, mengambil
pelajaran dari kondisi yang dialami para mayit sehingga hal tersebut
menjadi peringatan dan nasehat baginya. Ziarah ini adalah ziarah syar’iyyah, ziarah yang sesuai dengan tuntunan syari’at.
Kedua, berdo’a
kepada Allah untuk kebaikan dirinya, bagi orang yang berada di
sekeliling kubur dan untuk penghuni kubur secara khusus dengan keyakinan
berdo’a di samping pekuburan atau di kuburan fulan lebih utama dan
lebih mudah untuk dikabulkan daripada berdo’a di masjid, maka ziarah
model ini merupakan bid’ah yang munkar. Pernyataan yang menegaskan bahwa
berdo’a di samping kubur akan lebih mudah untuk dikabulkan adalah
pernyataan yang patut diragukan kebenarannya, karena menentukan
keutamaan suatu tempat dari segi peribadatan di dalamnya merupakan
perkara ghaib yang memerlukan dalil. Terlebih tidak terdapat dalil yang
shahih, baik dari al Qur-an dan sunnah yang menunjukkan hal ini.
Ketiga, berdo’a kepada Allah ta’ala
dengan menjadikan penghuni kubur sebagai perantara. Seperti ucapan,
“Aku memohon kepada-Mu, wahai Rabb-ku, tunaikanlah permintaanku dengan
perantara haknya dan kedudukannya di sisi-Mu.” atau perkataan
semisalnya. Hal ini bid’ah muharramah dan perantara menuju
kesyirikan. Bahkan jika diiringi keyakinan bahwa Allah perlu perantara,
maka berstatus syirik besar dan sama dengan keyakinan kaum musyrikin di
zaman jahiliyah dulu. Allah telah mengabadikan keyakinan mereka
tesebut dalam surat Az Zumar ayat 3, Allah ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى (٣)
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. (Az Zumar: 3).
Qatadah, As Suddi dan Malik meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid rahimahumullah
tafsir terhadap ayat , إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى .
Mereka mengatakan, maksudnya kami beribadah kepada berhala sesembahan
itu agar mereka dapat memberi syafa’at kepada kami dan mendekatkan
derajat kami di sisi Allah.
Ibnu Katsir Asy Syafi’i mengatakan,
“Syubhat inilah yang dijadikan alasan oleh kaum musyrikin, baik dahulu maupun sekarang.” (Tafsirul Qur-anil ‘Azhim 7/85; dikutip dari Imam Asy Syafi’i menggugat Syirik).
Sebagian kalangan berdalil dengan firman Allah ta’ala pada surat An Nisaa ayat 64 untuk membenarkan praktik mendatangi kubur orang shalih kemudian menjadikannya sebagai wasilah (perantara) meskipun orang shalih tersebut telah wafat. Teks ayat tersebut adalah sebagai berikut,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ
إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ
الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤)
“Dan Kami tidak mengutus seseorang
rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau
mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah
mereka akan mendapati bahwa Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad hafidzhahullah ta’ala berkata,
“Ayat ini tidak tepat dijadikan dalil untuk mendukung praktik pergi ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
seorang berbuat zhalim, lalu meminta beliau memohon kepada Allah agar
mengampuninya karena konteks ayat ini berkenaan dengan kaum munafik.
Meminta nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a kepada Allah agar mengampuni dosa seorang hanya dapat terealisasi semasa beliau hidup, karena para sahabat radliallahu ‘anhum tidak pernah melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, ‘Umar radliallahu ‘anhu bertawassul dengan do’a Al ‘Abbas (dan tidak mendatangi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
bertawassul dengan do’a beliau) ketika terjadi musim kemarau. Beliau
berkata, “Ya, Allah. Dahulu jika kami mengalami musim kemarau, kami
bertawassul dengan do’a nabi-Mu, kemudian Engkau menurunkan hujan kepada
kami. Dan sekarang, kami bertawassul dengan do’a paman nabi-Mu, maka
turunkanlah hujan kepada kami”. Maka Anas radliallahu ‘anhu pun berkata, “Maka Allah pun menurunkan hujan kepada mereka” (HR. Bukhari nomor 964 & 3507).
Jika tawassul dengan do’a nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga diperbolehkan setelah beliau wafat, maka tentu ‘Umar radliallahu ‘anhu tidak
akan bertawassul dengan do’a Al ‘Abbas (karena ‘Umar akan lebih
memilih bertawassul dengan do’a nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dalil lain yang memperkuat hal yang kami
utarakan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam
Shahih-nya yang mengutarakan sebuah kejadian tatkala ‘Aisyah radliallahu ‘anha menderita sakit kepala. Ketika itu, ‘Aisyah mengucapkan, “Aduh, bisa mati aku karena sakit kepala! Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, jika hal itu terjadi dan aku masih hidup, maka aku akan memohon ampun bagimu.
Maka ‘Aisyah pun menukas, “Celaka, sungguh dengan perkataan anda tadi,
aku mengira anda menginginkan saya mati saja” (HR. Bukhari nomor
5342).
Jika meminta nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
memohon kepada Allah, diperbolehkan setelah beliau wafat, maka tentu
tidak akan ada perbedaan jika ‘Aisyah wafat sebelum nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebaliknya (Fadlul Madinah wa Adabu Suknaha wa Ziyaratiha hal. 49-50).
Keempat, peziarah
kubur tersebut tidak berdoa kepada Allah, namun malah berdo’a kepada
penghuni kubur. Seperti ucapan, “Wahai wali fulan, wahai tuanku,
tolonglah aku dan tunaikanlah permintaanku” atau ucapan semisal. Maka
ini adalah syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam karena
berdo’a kepada selain Allah. Allah ta’ala berfirman,
وَلا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا إِلَهَ إِلا هُوَ
“Janganlah kamu berdo’a (menyembah)
kepada sesembahan lain di samping (berdo’a kepada) Allah. Tidak ada
sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (Al Qashash: 88).
Allah juga memerintahkan pada nabi kita yang mulia untuk mengucapkan,
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي
نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ
الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ
أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ (١٨٨)
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. dan Sekiranya aku mengetahui yang ghaib,
tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan
ditimpa kemudharatan. aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan
pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (Al A’raaf: 188).
Jika nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja
tidak mampu mendatangkan manfaat dan mencegah bahaya dari diri beliau,
maka tentunya beliau lebih tidak mampu untuk melakukan hal itu bagi
orang lain. Begitu pula orang yang memiliki derajat ketakwaan di bawah
beliau seperti para wali, habib dan kyai, yang hidup maupun yang telah
wafat, mereka semua tidak memiliki kekuasaan untuk mendatangkan manfaat
dan mencegah bahaya dari diri mereka sendiri terlebih dari diri orang
lain, karena hal tersebut mutlak hanya bisa dilakukan oleh Allah. Allah
berfirman,
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ
دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ .إِنْ تَدْعُوهُمْ لا يَسْمَعُوا
دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Dan orang-orang yang kamu seru
selain Allah tiada memiliki sesuatupun meski setipis kulit ari. Jika
kamu berdo’a kepada mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan
kalaulah mereka mendengar, mereka tidaklah mampu memperkenankan
permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kesyirikan yang
kalian lakukan dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu
sebagaimana yang diberikan oleh yang Mahamengetahui” (Faathir: 13-14).
Ash Shan’ani rahimahullah berkata,
“Tujuan ziarah kubur adalah untuk
mendo’akan mayit, berbuat baik kepada mereka, serta dapat mengingatkan
peziarah terhadap kehidupan akhirat dan berlaku zuhud di dunia. Adapun
perbuatan yang menyelisihi syar’iat dan dilakukan sebagian besar orang
seperti berdo’a, meminta pertolongan kepada mereka atau meminta
kebutuhan kepada Allah dengan hak penghuni kubur, maka seluruh hal ini
adalah bentuk kebid’ahan dan kebodohan” (Subulus Salam 1/73).
Kedua, menyembelih di pekuburan
Dari Anas bin Malik, ia berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا عقر في الإسلام
“Tidak ada ‘aqra dalam Islam”.
Abdurrazzaq berkata, “Kaum musyrikin dahulu sering menyembelih sapi atau kambing di pekuburan.” (HR. Abu Dawud nomor 3222 dengan sanad yang shahih).
Yang dimaksud dengan aqra’ dalam hadits tersebut adalah menyembelih di pekuburan sebagaimana tradisi orang kafir jahiliyah. Al Khaththabi mengatakan, “Kaum jahiliyah dahulu sering menyembelih unta di samping kuburan seorang.” (Lihat keterangan lebih lanjut dalam Aunul Ma’bud 9/30-31).
Larangan ini berlaku secara mutlak, baik
sembelihan itu ditujukan bagi penghuni kubur atau tidak. Jika
sembelihan itu ditujukan pada penghuni kubur, maka pelakunya telah
melakukan syirik akbar karena mempersembahkan salah satu bentuk
peribadatan kepada selain Allah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لعن الله من ذبح لغير الله
“Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah” (HR. Muslim nomor 1978).
Imam an Nawawi mengatakan,
“Adapun menyembelih untuk selain
Allah, maka maksudnya adalah menyembelih dengan menyebut nama selain
Allah ta’ala. Seperti orang yang menyembelih untuk berhala, salib, Musa,
Isa alaihimassalam, atau untuk Ka’bah dan semisalnya. Seluruh
perbuatan ini haram, daging sembelihannya haram dimakan, baik si
penyembelih seorang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi. Demikian
yang ditegaskan imam Asy Syafi’i dan disetujui oleh rekan-rekan kami.
Apabila si penyembelih melakukannya dengan diiringi pengagungan
terhadap objek tujuan penyembelihan, yaitu makhluk selain Allah dan
dalam rangka beribadah kepadanya, maka hal ini merupakan kekafiran.
Apabila pelaku sebelumnya adalah seorang muslim, maka dengan perbuatan
tersebut dia telah murtad” (al Minhaj Syarh Shahih Muslim 13/141).
——————————————————————————–
Ketiga, bertabarruk dengan kubur
Allah ‘azza wa jalla dengan
kehendak-Nya telah mengkhususkan sebagian berkah-Nya kepada sebagian
makhluk-Nya. Dia menjadikan perkataan, perbuatan dan tempat mengandung
barakah. Namun yang patut diingat adalah berkah tersebut berasal dari
Allah, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
البركة من الله
“Berkah itu bersumber dari Allah” (HR. Bukhari nomor 3386, 5316).
Oleh karena itu, kita tidak boleh
mencari berkah dengan seluruh hal tersebut kecuali dengan seizin
syari’at dan disertai niat bahwa hal-hal itu hanyalah sebab yang
mendatangkan berkah, adapun yang memberikan berkah itu dan sumbernya
adalah Allah.
Selain itu, objek tabarruk
termasuk perkara yang harus dinyatakan nash. Suatu makhluk atau benda
tertentu tidak boleh dinyatakan mengandung berkah dan ditabarruki
kecuali berdasarkan dalil dari al Qur-an atau sunnah yang shahih.
Rasulullah pernah menyatakan bahwa orang yang bertabarruk dengan sesuatu yang tidak dilandasi ilmu serupa dengan menyembah selain Allah. Dari Abu Waqid Al Laitsy radliallahu ‘anhu, dia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا خَرَجَ إِلَى حُنَيْنٍ مَرَّ بِشَجَرَةٍ
لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا
أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ
أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى
اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ
لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Ketika rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bepergian ke Hunain (dengan para sahabatnya), mereka
melewati pohon milik kaum musyrikin yang dinamai pohon Dzatu Anwath. Kaum
musyrikin biasa menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon itu
(guna mendapatkan berkah darinya). Maka (sebagian sahabat nabi yang baru
masuk Islam)[1]
berkata, “Wahai rasulullah, buatkan bagi kami pohon Dzatu Anwath
sebagaimana kaum musyrikin memiliki pohon Dzatu Anwath! Serta merta
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali, “Subhanallah!
(ucapan kalian) ini persis seperti ucapan kaum Musa, “(Wahai Musa),
buatkan bagi kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan.
Demi Allah, Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya sungguh niscaya kalian
akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian” (HR. Tirmidzi nomor 2180 dengan sanad yang shahih).
Lihatlah bagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganalogikan orang yang bertabarruk kepada pohon dengan orang yang menyembah kepada selain Allah.
Sebagian besar kaum muslimin, kecuali
mereka yang dirahmati oleh Allah, memiliki keyakinan bahwa kuburan
memiliki berkah dan mampu memberikan manfaat bagi mereka. Oleh sebab
itu, kita dapat menyaksikan berbagai kejadian aneh seperti mengelus-elus
kuburan dengan tangan lalu mengusapkannya ke badan,menggosok-gosokkan
badan atau bahkan mencium kuburan tersebut.
Keyakinan dan perbuatan ini
termasuk kesyirikan yang membinasakan.
Berikut kami sertakan perkataan para ulama mengenai tabarruk terhadap kuburan Silahkan menyimak.
Imam An Nawawi memaparkan
Al Imam Abul Hasan Muhammad bin
Marzuq Az Za’farani, beliau salah satu diantara fuqaha peneliti,
mengatakan dalam kitabnya yang membahas permasalahan jenazah, “Tidak
diperbolehkan mengusap-usap kuburan dengan tangan atau menciumnya (untuk
mencari berkah).” Beliau menyatakan, “Demikianlah yang sejalan dengan
sunnah.” Abul Hasan mengatakan, “Mengusap-usap dan mencium kuburan yang
dilakukan oleh orang awam di saat ini merupakan bid’ah munkar dalam
pandangan syari’at, wajib menjauhinya dan melarang pelakunya.” (Al Majmu’ 5/311).
Di tempat yang sama, beliau (Abul Hasan) juga membawakan perkataan para ahli fikih Khurasan,
“Tidak boleh mengusap kuburan dan menciumnya karena hal tersebut merupakan kebiasaan kaum Nasrani.” Beliau (Abul Hasan) mengomentari pernyataan mereka,
“Apa yang mereka sebutkan benar adanya, karena terdapat larangan untuk
mengagungkan kubur. Selain itu, jika mengusap dua rukun Syam pada
Ka’bah tidak dianjurkan oleh syari’at padahal rukun yang lain
disunnahkan untuk diusap, maka tentu mengusap kuburan lebih utama untuk
tidak diusap (karena tidak ada anjuran dari syari’at untuk mengusap
kubur sebagaimana tidak terdapat anjuran dari syari’at untuk mengusap
rukun Syam, peny)” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 5/311).
An Nawawi menyatakan dalam al Majmu’ (8/275),
“Tidak diperbolehkan berthawaf
mengelilingi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk
perbuatan yang dibenci menempelkan punggung dan perut pada tembok
kuburan beliau (untuk mencari berkah). Hal ini dinyatakan oleh Abu
‘Ubaidillah Al Halimi dan ulama selainnya. Mereka mengatakan, “Dibenci
untuk mengusap kuburan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tangan atau menciumnya (dengan tujuan bertabarruk). Yang sesuai dengan
adab adalah menjauh dari kubur sebagaimana tidak terlalu mendekati diri
beliau andai beliau hidup di tengah-tengah kita” An Nawawi melanjutkan,
“Inilah pendapat yang benar seperti yang dikatakan dan disepakati oleh
para ulama. Dan janganlah terpedaya dengan pelanggaran yang dilakukan
oleh orang awam. Karena keteladanan dan amal seorang muslim harus
selaras dengan hadits-hadits yang shahih dan perkataan ulama, jangan
hiraukan segala perbuatan yang direkayasa oleh orang awam dan sikap
bodoh mereka.”
Kemudian an Nawawi rahimahullah menegaskan,
“Barangsiapa yang terbersit di benaknya bahwa mengusapkan tangan (di kuburan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [2]
atau semisalnya) lebih mampu untuk mendatangkan berkah, maka hal
tersebut berasal dari kebodohan dan kelalaiannya karena berkah hanya
dapat diperoleh apabila mencocoki syari’at. Bagaimana bisa keutamaan
dapat diperoleh dalam perkara yang menyelisihi kebenaran.” (Al Majmu’ 8/275).
Abu Hamid al-Ghazali rahimahullah pun menyatakan bahwa tabarruk terhadap kuburan merupakan ciri kaum Yahudi dan Nasrani
“Sesungguhnya mengusap dan mencium kubur (untuk mendapatkan berkah) merupakan kebiasaan kaum Nasrani dan Yahudi.” (Ihya’ ‘Ulumuddin 1/254).
Berdasarkan hal ini, kita juga dapat mengetahui kekeliruan sebagian orang awam yang bertabarruk
dengan jasad atau benda-benda milik seorang ulama atau seorang yang
mereka anggap shalih dan memiliki karomah dengan beberapa alasan
berikut:
Pertama, menentukan suatu
makhluk atau benda memiliki berkah dan dapat menularkannya pada orang
lain merupakan perkara ghaib dan membutuhkan dalil dari al Qur-an dan
sunnah yang shahih. Sedangkan para pengikut yang bertabarruk kepada kyai, habib dan yang mereka anggap wali tidak mampu mendatangkan dalil yang menyatakan seluruh “wali” tersebut pantas ditabarruki.
Kedua, sesungguhnya para sahabat dan umat Islam telah bersepakat bahwa Abu Bakr merupakan sebaik-baik manusia setelah para nabi ‘alaihimussalam. Namun kita tidak menemukan satupun riwayat bahwa para sahabat bertabarruk dengan jasad atau benda-benda peninggalan beliau radliallahu ‘anhu. Adapun keyakinan yang dianut sebagian besar pengikut wali, kyai atau habib tersebut berseberangan dengan apa yang diyakini dan dipraktekkan para sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Jika demikian realitanya, metode beragama apakah yang mereka anut?! As Subki rahimahullah seorang ulama yang dijadikan panutan oleh kalangan yang ghuluw, pun pernah menegaskan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau sebenarnya adalah indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan, bahkan hal tersebut adalah bid’ah (Fatawa As Subki 2/549, dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 79).
Ketiga, sesungguhnya tindakan bertabarruk dengan jasad atau benda-benda milik orang shalih dapat menimbulkan fitnah bagi dirinya, bisa saja hal tersebut menimbulkan ‘ujub dalam dirinya dan menghantarkan dirinya pada kebinasaan (Lihat Taudlihul Ahkam 3/170).
Kedua, sesungguhnya para sahabat dan umat Islam telah bersepakat bahwa Abu Bakr merupakan sebaik-baik manusia setelah para nabi ‘alaihimussalam. Namun kita tidak menemukan satupun riwayat bahwa para sahabat bertabarruk dengan jasad atau benda-benda peninggalan beliau radliallahu ‘anhu. Adapun keyakinan yang dianut sebagian besar pengikut wali, kyai atau habib tersebut berseberangan dengan apa yang diyakini dan dipraktekkan para sahabat ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Jika demikian realitanya, metode beragama apakah yang mereka anut?! As Subki rahimahullah seorang ulama yang dijadikan panutan oleh kalangan yang ghuluw, pun pernah menegaskan bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau sebenarnya adalah indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan, bahkan hal tersebut adalah bid’ah (Fatawa As Subki 2/549, dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 79).
Ketiga, sesungguhnya tindakan bertabarruk dengan jasad atau benda-benda milik orang shalih dapat menimbulkan fitnah bagi dirinya, bisa saja hal tersebut menimbulkan ‘ujub dalam dirinya dan menghantarkan dirinya pada kebinasaan (Lihat Taudlihul Ahkam 3/170).
Keempat, mengunjungi kuburan pada momen atau musim tertentu
Secara etimologi, yang dimaksud dengan al ‘ied adalah musim (Mishbahul Munir 2/436) atau bisa juga bermakna hari tertentu yang dijadikan ajang berkumpul (Kitabul ‘Ain karya Abu ‘Abdirrahman Al Farahidi 2/219).
Mengunjungi kuburan pada momen atau
musim tertentu dengan tujuan beribadah di sampingnya atau tujuan selain
itu termasuk perbuatan menjadikan kubur sebagai tempat perayaan (al ‘ied) dan hal tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
لا تتخذوا قبري عيدا ولا تجعلوا بيوتكم قبورا وحيثما كنتم فصلوا علي فإن صلاتكم تبلغني
“Janganlah kalian menjadikan kuburku
sebagai ‘ied (tempat perayaan) dan janganlah kalian jadikan rumah
kalian laksana kuburan. Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat
kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada” (HR. Ahmad nomor 8790 dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Syaikul Islam Abul ‘Abbas Al Harrani rahimahullah mengatakan,
“Sisi pendalilan dari hadits nabi
di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang
umatnya agar tidak manjadikan kubur beliau sendiri sebagai tempat
perayaan, padahal kubur beliau merupakan kubur yang paling utama di
permukaan bumi. Oleh karena itu, larangan tersebut lebih layak diberlakukan terhadap kuburan selain beliau, siapapun orangnya” (Al Iqtidla 1/323).
Al Manawi rahimahullah mengatakan, “Sabda
nabi ‘Janganlah kalian menjadikan kuburku tempat perayaan’ mengandung
makna larangan berkumpul untuk melakukan ziarah ke kubur beliau
sebagaimana orang-orang berkumpul ketika ‘ied. Dan jika ‘al ‘ied
diartikan sebagai suatu tempat yang senantiasa dikunjungi, maka makna
sabda beliau di atas menjadi ‘Janganlah kalian menjadikan kuburku
sebagai tempat yang senantiasa kalian kunjungi jika kalian hendak
mengucapkan shalawat kepadaku.’” (Faidlul Qadir 4/199).
Larangan dalam hadits di atas mencakup
perbuatan yang gemar dilakukan sebagian kaum muslimin, yaitu
mengunjungi kuburan kyai fulan pada bulan-bulan tertentu, atau
mengunjungi kuburan para tokoh tertentu di bulan kematiannya yang
disebut sebagai haul. Tradisi ini adalah tradisi yang mungkar,
terlebih hal itu dilakukan karena adanya keyakinan yang rusak dan
terpatri dalam dada pelakunya, yaitu ingin memperoleh keberkahan yang
lebih jika mengunjungi kuburan fulan pada waktu-waktu tertentu seperti
pada bulan kematiannya.
Kelima, menjadikan kuburan sebagai tempat peribadatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashara karena mereka menjadikan makam para nabi mereka sebagai masjid (tempat peribadatan)” (HR. Bukhari nomor 1324).
Ummul mukminin, ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengatakan,
لولا ذلك أبرز قبره غير أنه خشي أو خشي أن يتخذ مسجدا
“Kalaulah bukan disebakan hal
tersebut, niscaya makam beliau akan ditampakkan. (Namun hal tersebut
diurungkan) karena dikhawatirkan makam beliau akan dijadikan masjid”.
Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Maksud perkataan “قوله لأبرز قبره” adalah makam nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ditampakkan dan tidak akan ditutupi dengan dinding. Maksudnya,
beliau dimakamkan di luar rumahnya. ‘Aisyah mengucapkan perkataan ini
sebelum masjid nabi diperluas. Oleh karena itu, setelah masjid nabi
diperluas, kamar ‘Aisyah dibentuk segitiga sehingga tidak mungkin bagi
seorangpun untuk menghadap ke makam beliau ketika melaksanakan shalat
dengan menghadap ke arah kiblat” (Fathul Baari 3/200).
Dalam riwayat lain, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك
“Ketahuilah, sesungguhnya umat-umat
sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan orang shalih
mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kubur
sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian berbuat hal tersebut” (HR. Muslim nomor 532 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 7546).
Diantara kekeliruan yang sering
dilakukan peziarah kubur adalah melakukan berbagai bentuk peribadatan
disana. Padahal sebagaimana dimaklumi, kubur bukanlah tempat tempat
untuk melaksanakan peribadatan. Anehnya, sebagian kaum muslimin merasa
lebih khusyuk ketika beribadah di kuburan, namun tidak merasakan hal
yang serupa ketika mereka beribadah di masjid, tempat yang paling Allah
cintai. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أحب البقاع إلى الله المساجد
“Tempat yang paling dicintai Allah adalah masjid” (Musnad Asy Syihab nomor 1301 dan Shahihut Targhib nomor 322).
Menurut mereka, kekhusyukan yang
dirasakan akan semakin terasa jika kubur yang dikunjungi adalah kubur
para wali. Hal ini berdasarkan pengakuan dan selebaran promosi yang kami
peroleh. Padahal imam Asy Syafi’i rahimahullah yang dijadikan panutan oleh sebagian besar kaum muslimin di negeri ini mengatakan,
“Aku benci makhluk
dikultuskan/diagung-agungkan, sehingga kuburnya dijadikan sebagai masjid
(tempat peribadatan) karena hal itu akan menjadi sumber dosa bagi
dirinya beserta orang lain yang hidup setelahnya” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim 7/38). Fa hal min muddakir?!
[1] Hal ini dapat diketahui di beberapa hadits yang semakna dan diriwayatkan oleh An Nasaai dalam Al Kubra nomor 11185, Ahmad 5/218, Ibnu Hibban 6702, Abu Ya’la nomor 1441 dan selain mereka.
[2] Kuburan yang dimaksud adalah kuburan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau tengah membahas permasalahan ziarah kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
—————————————————————————————-
Keenam, shalat menghadap kuburan
Kekeliruan ini berkaitan erat dengan
poin sebelumnya, karena shalat merupakan salah satu bentuk peribadatan
dan tidak sepatutnya dilakukan di kuburan apalagi menghadap kuburan.
Sebagian kaum muslimin berkeyakinan shalat menghadap kuburan para wali
akan menambah kekhusyukan atau dapat mendatangkan keberkahan. Padahal
terdapat dalil yang menunjukkan secara tegas bahwa hal tersebut dilarang
dalam syari’at kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تصلوا إلى القبور ولا تجلسوا عليها
“Janganlah kalian shalat menghadap kubur dan duduk di atasnya” (HR. Muslim nomor 972).
An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Dalam hadits ini terdapat larangan tegas untuk melaksanakan shalat sambil menghadap kuburan” (Al Minhaj 7/38).
Al Manawi dalam Faidlul Qadir 6/390 mengatakan,
“Maksud sabda nabi ‘ولا تصلوا إليها’
adalah shalat dengan menghadap ke kubur, karena hal tersebut merupakan
bentuk pengagungan yang berlebihan dan dapat dikategorikan sebagai
sesuatu yang disembah. Hadits ini menggabungkan antara larangan untuk
menghina kuburan (dengan duduk di atasnya) dan larangan mengagungkan
kubur secara berlebihan (yaitu dengan shalat menghadapnya). Ibnu Hajar
mengatakan, “(Larangan dalam hadits di atas) mencakup shalat di atas
kubur, menghadap kuburan atau melaksanakan shalat di sela-sela kubur”
Di tempat yang sama 6/407 beliau (Al Manawi) mengatakan,
“Perbuatan seperti itu
dibenci. Apabila seorang bermaksud mencari berkah dengan melaksanakan
shalat di tempat itu, maka ia telah melakukan bid’ah dalam agama yang
tidak Allah izinkan. Makruh yang dimaksud adalah makruh tanzih. (Namun)
An Nawawi mengatakan, ‘Demikianlah menurut rekan-rekan kami (maksudnya
hukum shalat menghadap kuburan adalah makruh tanzih), namun jika ada
pendapat yang menyatakan hal tersebut haram berdasarkan teks hadits,
maka hal itu juga tidaklah salah. Hadits ini juga mengandung larangan untuk melaksanakan shalat di pekuburan dan hukumnya adalah haram”.
Imam Asy Syafi’i dan beberapa rekan beliau menyatakan,
“Shalat menghadap kuburan merupakan perbuatan yang dibenci, baik penghuni kubur tersebut seorang yang shalih atau bukan” (Al Majmu’ 5/316).
An Nawawi menyatakan,
“Al Hafizh Abu Musa berkata, ‘Al
Imam Abul Hasan Az Za’farani rahimahullah mengatakan, ‘Tidak boleh
shalat sambil menghadap kuburan, tidak pula di sampingnya (walau tidak
menghadap kubur) dengan tujuan tabarruk dengan kubur tersebut atau
sebagai bentuk pengagungan terhadapnya sebagaimana larangan ini tertera
dalam berbagai hadits. Wallahu a’lam” (Al Majmu’ 5/316-317).
Ketujuh, membaca Al Qur-an di kuburan
Tidak terdapat riwayat valid yang
menerangkan bahwa membaca al qur-an ketika berziarah kubur merupakan
sesuatu yang disyari’’atkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya
mengajarkan kepada kita untuk mengucapkan salam kepada para penghuni
kubur ketika berziarah sebagaimana hal tersebut beliau ajarkan kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah radliallahu ‘anha.
Jika pembacaan al qur-an adalah sesuatu yang disyari’atkan ketika
berziarah kubur, niscaya akan terdapat riwayat valid yang menjelaskan
kepada kita akan hal tersebut. Diantara dalil yang memperkuat pernyataan
ini adalah hadits Abu Hurairah, nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تجعلوا بيوتكم مقابر إن الشيطان ينفر من البيت الذي تقرأ فيه سورة البقرة
“Janganlah kalian jadikan
rumah-rumah kalian laksana kuburan. Sesungguhnya syaithan akan lari
dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah” (HR. Muslim nomor 280).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat untuk membaca Al Qur-an.
Oleh karena itu, beliau menganjurkan untuk membaca Al Qur-an di rumah
dan melarang umatnya agar tidak menjadikan rumah mereka laksana kuburan
yang tidak pernah dijadikan sebagai tempat untuk membaca Al Qur-an (Ahkaamul Janaaiz hal. 242).
Terdapat riwayat yang menyatakan bahwa
sebagian para sahabat berwasiat agar dibacakan surat tertentu ketika
prosesi pemakaman mereka. Untuk menjawab hal ini kita perlu menyimak
perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala, “Adapun
membaca Al Qur-an secara terus-menerus di kuburan, maka hal ini tidak
pernah dikenal di kalangan salaf. Para ulama telah berselisih pendapat
mengenai hukum membaca Al Qur-an di pekuburan. Abu Hanifah, Malik dan
Ahmad dalam beberapa riwayatnya membenci perbuatan itu, meski dalam satu
riwayat terakhir Ahmad memberikan keringanan akan hal tersebut karena
beliau mendengar riwayat dari Abdullah bin ‘Umar yang berwasiat agar
bagian awal dan akhir surat Al Baqarah hendaknya dibacakan ketika proses
penguburan beliau. (Begitupula) telah dinukil beberapa riwayat yang
menunjukkan bahwa sebagian sahabat Anshar berwasiat hal yang serupa. (Namun),
hal itu (yaitu, pembacaan Al Qur-an di kuburan) hanya dilakukan ketika
proses pemakaman dan tidak ada riwayat dari para sahabat yang
menyatakan hal itu dilakukan setelah proses pemakaman. Oleh karenanya,
pendapat ketiga dalam permasalahan ini membedakan antara membaca Al
Qur-an ketika proses pemakaman dengan membaca Al Qur-an secara rutin
setelah pemakaman. Sesungguhnya (hal yang terakhir disebutkan) ini
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak berdasar sama sekali.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa
mayit dapat mengambil manfaat dengan mendengarkan Al Qur-an yang tengah
dibacakan dan memperoleh pahala atas hal itu, maka pendapat ini keliru
karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan, “Apabila
anak Adam wafat, maka seluruh amalannya terputus kecuali tiga perkara:
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang
mendo’akannya”. Maka seorang setelah wafat tidak dapat memperoleh
pahala dengan mendengar Al Qur-an atau yang lain meski mayit dapat
mendengar langkah sandal para kerabatnya, salam yang disampaikan
kepadanya (ketika peziarah mengunjunginya) dan yang selainnya, namun ia
tidak memiliki amalan (yang dapat mendatangkan pahala baginya)
melainkan amalan yang telah dikecualikan (dalam hadits yang lalu)” (Al Fatawa Al Kubra 3/32; Majmu’ul Fatawa 24/317).
Adapun berbagai riwayat yang
memerintahkan untuk membaca surat tertentu ketika melewati pekuburan
tidak dapat dijadikan hujjah. Diantaranya adalah riwayat yang populer
di tengah masyarakat,
من مر بالمقابر فقرأ *( قل هو الله أحد )* إحدى عشرة مرة ، ثم وهب أجره للأموات ، أعطي من الأجر بعدد الأموات “
“Barangsiapa yang melewati pekuburan
lalu membaca surat Qul Huwallahu Ahad sebanyak sebelas kali dan
menghadiahkan pahalanya pada mayat di pekuburan tersebut, maka ia akan
mendapatkan pahala sejumlah mayat yang berada di pekuburan tersebut”.
Riwayat ini adalah riwayat yang batil dan maudlu’, diriwayatkan Ad Dailami dari nuskhah (catatan) Abdullah bin Ahmad bin ‘Amir dari ayahnya dari ‘Ali Ar Ridla dari leluhurnya. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Lisanul Mizan
3/252, menyatakan bahwa nuskhah tersebut merupakan nuskhah palsu lagi
batil yang dipalsukan oleh Abdullah bin Ahmad atau ayahnya. Lihat
keterangan serupa dalam Al Kasyful Hatsits 1/46&149 karya Abul Wafa Ath Tharabilisi, Adl Dlu’afa wal Matruukin 2/115 karya Ibnul Jauzi.
Kedelapan, Mengupah seorang untuk membacakan Al Qur-an
Di beberapa pekuburan Islam sering kita
temui orang-orang yang menawarkan jasa membaca Al-Quran dan do’a kepada
para peziarah kubur. Para peziarah pun menggunakan jasa mereka dan
memberikan imbal balik kepada jasa mereka dengan imbalan uang.
Sehingga, tidak jarang jadilah membaca Al Quran dan do’a yang
diperuntukkan bagi penghuni kubur sebagai profesi.
Praktek seperti ini, yaitu membacakan Al
Quran kemudian memperoleh upah dari usahanya tersebut sangat
bertentangan dengan dalil-dalil syari’at yang menegaskan bahwa ibadah
itu hanyalah diperuntukkan kepada Allah, harus ikhlas, bukan untuk
memperoleh duit!
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا
الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ (٥)
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
lurus.” (Al Bayyinah: 5).
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى
اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ قُلْ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ (٩٠)
“Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka.
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan
(Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh
ummat.” (Al An’am: 90).
Syaikhul Islam Abul ‘Abbas rahimahullah mengatakan,
Mengupah orang-orang untuk membaca
Al Qur-an lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayit merupakan perkara
yang tidak disyari’atkan, tidak pula dianjurkan oleh salah seorang
ulama pun. Sesungguhnya (pahala) Al Qur-an yang sampai (dan
dapat bermanfaat bagi mayit adalah yang dikerjakan dan diniatkan) untuk
Allah (bukan untuk meraih duit, peny).
Apabila hal itu dilakukan, maka
sesungguhnya (mereka itu) diupah agar membaca (Al Qur-an) untuk Allah,
sedangkan si pengupah tidak bersedekah atas nama mayit, bahkan ia
mengupah seorang yang membaca Al Qur-an dalam rangka ibadah kepada
Allah ‘aza wa jalla, maka hal itu tidaklah sampai kepada mayit .
Akan tetapi jika upah itu
disedekahkan atas nama mayit kepada orang yang membaca Al Qur-an atau
selain mereka, maka hal tersebut dapat bermanfaat baginya berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Demikian pula, seorang yang membaca Al
Qur-an dengan mengharap pahala dari Allah ta’ala lalu menghadiahkannya
kepada mayit, maka hal ini bermanfaat bagi si mayit. Wallahu a’lam. (Majmu’ul Fatawa 24/300)
Kesembilan, berdoa menghadap kuburan
Peziarah kubur dianjurkan untuk berdo’a
bagi penghuni kubur yang diziarahi. Mereka juga diperbolehkan untuk
mengangkat tangan ketika berdo’a berdasarkan hadits ‘Aisyah radliallahu ‘anha, beliau mengatakan,
خرج رسول الله صلى الله عليه
وسلم ذات ليلة فأرسلت بريرة في أثره لتنظر أين ذهب قالت فسلك نحو بقيع
الغرقد فوقف في أدنى البقيع ثم رفع يديه ثم انصرف فرجعت إلي بريرة
فأخبرتني فلما أصبحت سألته فقلت يا رسول الله أين خرجت الليلة قال بعثت
إلى أهل البقيع لأصلى عليهم
Pada suatu malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah. Maka
aku mengutus Barirah agar membuntuti beliau untuk mengetahui kemana
gerangan beliau pergi. Ia mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menuju ke arah pekuburan Baqi’ul Gharqad, beliau berdiri di
pinggir pekuburan sembari mengangkat tangannya kemudian pergi. Barirah
pun kembali dan menceritakan hal tersebut kepadaku. Tatkala subuh telah
tiba, aku pun bertanya kepada beliau, “Wahai rasulullah, semalam engkau
pergi kemana?” Beliau pun menjawab, “Aku diperintahkan agar pergi ke
pekuburan Baqi’ untuk mendo’akan para penghuninya” (HR. Ahmad 6/92 dengan sanad hasan dan terdapat riwayat lain dari Muslim nomor 974 yang menetapkan bolehnya mengangkat tangan ketika berdo’a bagi penghuni kubur).
Patut diperhatikan tatkala berdo’a,
peziarah menghadap ke arah kiblat bukan ke arah kubur, karena hal
tersebut dianalogikan dengan larangan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
shalat menghadap kubur. Sebagaimana yang telah dimaklumi, bahwa do’a
adalah inti shalat, bahkan inti seluruh peribadatan adalah do’a
sebagaimana tercantum dalam hadits, sehingga larangan tersebut lebih
layak diterapkan dalam permasalahan ini.
Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan,
“Apabila do’a merupakan salah satu
bentuk peribadatan yang teragung, maka bagaimana bisa seorang berdo’a
dengan menghadap ke arah selain kiblat, padahal seorang diperintahkan
menghadap ke arah kiblat tatkala shalat. Oleh karena itu, telah menjadi
ketentuan baku diantara para ulama peneliti bahwa seorang yang berdo’a
harus menghadap kiblat sebagaimana yang ia lakukan ketika shalat” (Ahkaamul Janaaiz hal. 247).
Hal ini merupakan pendapat madzhab imam yang empat, yaitu imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau mengatakan,
“Madzhab imam yang empat, Malik, Abu
Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad dan para imam selain mereka menyatakan
bahwa apabila seorang (yang berziarah ke kubur beliau) mengucapkan
salam kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkeinginan
untuk berdo’a bagi dirinya sendiri, maka hendaklah ia menghadap kiblat.
Namun mereka berselisih, ke arah manakah orang tersebut menghadap ketika mengucapkan salam kepada beliau” (Al Qaidatul Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal. 125, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 248).
Perkataan Ibnu Taimiyah di atas tidaklah
mengada-ada, bahkan pendapat yang menyatakan berdo’a harus menghadap
kiblat dan bukan menghadap kuburan merupakan pendapat para ulama Syafi’iyyah sebagaimana hal ini diisyaratkan An Nawawi ketika membawakan perkataan imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuq Az Za’farani rahimahumallah,
“Barangsiapa yang ingin mengucapkan salam kepada mayit, hendaklah ia mengucapkan salam dengan menghadap ke arah wajahnya. Apabila ia hendak berdo’a, maka hendaklah ia berpindah posisi dan menghadap ke arah kiblat” (Al Majmu’ 5/311).
Kesepuluh, melakukan safar atau perjalanan jauh untuk menziarahi kubur tertentu
Imam Malik, imam Al Juwaini Asy Syafi’i, al Qadli ‘Iyadl Asy Syafi’i
dan ulama lainnya yang mengharamkan bersafar untuk menziarahi kubur
atau tempat-tempat lain yang diyakini mengandung keutamaan. Hal ini
ditopang oleh sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
لا تشد الرحال إلا ثلاثة مساجد مسجد الحرام ومسجد الأقصى ومسجدي
“Janganlah suatu perjalanan (rihal)
diadakan, kecuali ke salah satu dari tiga masjid berikut: Masjidil
Haram, masjid Al Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)” (HR. Bukhari nomor 1139).
Hadits yang menegaskan pelarangan untuk
bersafar ke tempat-tempat yang diduga memiliki keutamaan adalah hadits
Abu Basrah Al Ghifari yang mengingkari tindakan Abu Hurairah radliallahu ‘anhu yang mendatangi bukit Thursina dan melaksanakan shalat disana. Abu Basrah mengatakan kepadanya, ““Jika aku berjumpa denganmu sebelum dirimu berangkat, tentulah engkau tidak akan pergi kesana”. Kemudian beliau berdalil dengan hadits syaddur rihal di atas dan Abu Hurairah menyetujuinya (HR. Ahmad nomor 23901 dengan sanad yang shahih).
Kesebelas, memintakan ampun bagi mayit kafir
Seorang muslim tidak boleh memintakan ampunan dan mendo’akan seorang kafir meski ia adalah kerabat terdekatnya. Allah ta’ala
telah menegaskan bahwa balasan mereka adalah siksa yang teramat pedih,
dan tidak ada yang bisa membebaskannya meski mereka menyerahkan emas
sepenuh bumi.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ
الأرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (٩١)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir
dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan
diterima dari seorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun ia
menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong” (Ali Imran: 91).
Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah ta’ala,
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا
أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ
الْجَحِيمِ (١١٣)
“Tidak sepatutnya bagi nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang
musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam” (At Taubah: 113).
Allah ta’ala berfirman,
وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ
مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ (٨٤)
“Dan janganlah kamu sekali-kali
menshalatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan
janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik.” (At Taubah: 84).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
“Allah ta’ala memerintahkan
rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berlepas diri dari
kaum munafik, tidak menshalati salah seorang dari mereka apabila mati
serta tidak berdiri di samping kuburnya untuk memintakan ampun atau
berdo’a baginya. Demikian itu dikarenakan mereka kafir terhadap Allah
dan rasul-Nya serta mengakhiri hidupnya di atas kekafiran”(Tafsirul Qur-anil ‘Azhim 4/192-193).
An Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ (5/144) mengatakan,
“Adapun menshalati jenazah orang kafir dan memohon ampunan baginya, hukumnya haram berdasarkan nash Al Quran dan ijma’.
Namun diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengunjungi kuburan kerabatnya, meski ia adalah seorang yang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
استأذنت ربي عز وجل في أن أستغفر لها فلم يؤذن لي واستأذنت في أن أزور قبرها فأذن لي
“Aku meminta kepada Rabb-ku ‘azza wa
jalla agar aku boleh berdo’a memohon ampun bagi ibuku, namun hal itu
tidak diperkenankan bagiku. Kemudian aku memohon agar aku diperbolehkan
mengunjungi kuburnya, maka hal ini diperbolehkan bagiku” (HR. An Nasaai nomor 2007; Ibnu Abi Syaibah 3/223; Al Baihaqi dalam Al Kubra 4/70,76; Hakim nomor 1339 dengan sanad yang shahih).
———————————————————————————
Kedua belas, meratap dan menangis meraung-raung
Dari Ummu ‘Athiyyah radliallahu ‘anha, ia berkata,
أخذ علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم مع البيعة ألا ننوح
“Ketika bai’at, rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kami agar tidak meratapi mayit.” (HR. Muslim nomor 936).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara kekufuran yang dipraktekkan banyak orang, yaitu mencela keturunan dan meratapi mayit.” (HR. Muslim nomor 67).
Terdapat hadits yang patut direnungkan
bagi mereka yang sering meratapi keluarga yang telah wafat. Hadits yang
menyatakan bahwa mayit akan merasa tersiksa apabila diratapi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من نيح عليه فإنه يعذب بما نيح عليه يوم القيام
“Barangsiapa yang ditangisi diiringi dengan ratapan, maka ia akan tersiksa pada hari kiamat kelak disebabkan ratapan tersebut.” (HR. Muslim nomor 933).
Ketiga belas, duduk di Atas Kuburan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لأن يجلس أحدكم على جمرة فتحرق ثيابه فتخلص إلى جلده خير له من أن يجلس على قبر
“Lebih baik salah seorang diantara
kamu duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan sekujur
tubuhnya daripada duduk di atas kubur.” (HR. Muslim nomor 971).
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وأكره وطء القبر والجلوس والاتكاء عليه
“Aku membenci apabila seorang menginjak kubur, duduk dan bersandar di atasnya (Al Umm 1/463).
An Nawawi juga menyatakan duduk di atas
kuburan merupakan perbuatan yang dibenci dan beliau menandaskan bahwa
hal serupa dinyatakan oleh rekan-rekan beliau dan jumhur ulama (Al Majmu’ 5/312).
Sebagian ulama diantaranya imam Abu Hanifah, Abu Yusuf begitupula imam Malik dalam Al Muwaththa’ 1/223,
berpendapat bahwa duduk yang terlarang dalam hadits tersebut adalah
duduk untuk buang hajat, diantara dalil mereka adalah hadits Abu
Hurairah, beliau mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من جلس على قبر يبول عليه أو يتغوط فكأنما جلس على جمرة
“Barangsiapa yang duduk di atas kubur kemudian kencing atau buang hajat di atasnya, seakan-akan dirinya duduk di atas bara api” (Syarhul Ma’ani Atsar nomor 2717, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini mungkar dalam Adl Dla’ifah 2/387 hadits nomor 966).
Imam Ibnu Hazm membantah pendapat tersebut dengan beberapa alasan dalam kitab beliau Al Muhalla 5/136,
“Sebagian ulama membawakan larangan tersebut bagi orang yang duduk untuk buang hajat. Pendapat ini batil dari beberapa sisi,
Pertama,
pendapat ini tidak didukung oleh dalil dan termasuk perbuatan
memalingkan sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari makna
sebenarnya, dan hal ini perbuatan yang buruk sekali.
Kedua,
lafadz hadits sama sekali tidak mendukung pendapat tersebut. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lebih baik salah seorang
diantara kalian duduk di atas bara api hingga membakar pakaiannya dan
sekujur tubuhnya daripada duduk di atas kubur”. Seorang yang memiliki
naluri yang sehat tentu akan mengetahui bahwa seorang yang duduk untuk
buang hajat sama sekali tidak demikian bentuknya (maksudnya sambil
memakai pakaian sebagaimana yang tertera dalam hadits, simak perkataan
beliau selanjutnya, peny). Oleh karena itu, kami tidak pernah mengetahui
seorang pun duduk untuk buang hajat dengan berpakaian kecuali orang
tersebut kurang beres otaknya.
Ketiga,
para perawi hadits hanya menyebutkan bentuk duduk yang sudah dikenal
karena kami tidak mengetahui, secara bahasa kalimat “jalasa fulanun” (si
fulan duduk) bermakna taghawwat (si fulan buang hajat). Jadi jelaslah kerusakan pendapat ini. Walillahil hamd”.
Keempat belas, tradisi tabur bunga
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para
peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang
menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.
Berdasarkan keterangan para ulama,
perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir,
khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk
penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian
diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki
hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan
mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah
wafat.
Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan,
“Perbuatan ini digalakkan oleh
kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam
agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap
mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir
merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar
bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka.
Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka
sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat” Beliau melanjutkan,
“Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian
negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para
tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama
kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga
imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum
terdahulu” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan,
“Semua ini adalah perbuatan bid’ah
dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula
memiliki sandaran dari Al Qur-an dan sunnah nabi. Dan kewajiban para
ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai
kemampuan mereka” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi 1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 254).
Oleh karena itu tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
ومن تشبه بقوم فهو منهم
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).
Ibnu ‘Abdil Barr al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya
orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di
hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan
yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).
Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma (HR.
Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 111). Mereka beranggapan bahwa
pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan
meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut
akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.
Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan do’a dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين
“Saya melewati dua buah kubur yang
penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat
diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut
masih basah” (HR. Muslim nomor 3012).
Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah do’a dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.
Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah
kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan
basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan
dengan firman Allah ta’ala,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ
السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ
بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا
غَفُورًا (٤٤)
“Langit yang tujuh, bumi dan semua
yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun
melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak
mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun” (Al Israa: 44).
Makhluk hidup senantiasa bertasbih
kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang
menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika
dalam keadaan kering.
Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain)
dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau
ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada
kubur-kubur yang lain. Begitupula para sahabat tidak pernah
melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma
diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan
beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut
seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut
berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya
dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata,
“Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut
hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al
Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan
perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan
dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang
diletakkan di kuburnya)” (Fathul Baari 3/223).
Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.
Alasan keempat, alasan lain yang
membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan nabi tersebut
merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala
dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu
mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya.
Allah berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا
يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ
فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)
“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya” (Al Jinn: 26-27).
Kalangan yang menganalogikan tradisi
tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka
mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni
kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga.
Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk
menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.
Alasan kelima, hal ini mengandung
sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka
demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan)
kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang
tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas
perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).
Berdasarkan keterangan di atas, kita
dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak
perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa
tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan
generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini
menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at
kita.
Oleh karena itu, kita patut merenungkan
pernyataan As Subki yang telah lewat, bahwa segala perbuatan yang tidak
pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak
disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar
dalam pensyari’atan sebuah amalan.
Ikhtitam
Sebagai penutup, patut kami ingatkan
bahwa tujuan pensyari’atan ziarah kubur adalah memberikan manfaat
kepada mayit dengan mengucapkan salam dan mendo’akan ampunan baginya.
Peziarah pun mengambil manfaat dari ziarah yang dilakukannya, yaitu
dengan mengingat akhirat dan merenungkan kondisi saudara mereka yang
telah wafat.
Berbagai tujuan tersebut dapat kita ketahui ketika merenungkan hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
membicarakan pensyari’atan ziarah kubur. Silahkan melihat kembali
artikel “Ziarah Kubur”. Jika ziarah kubur tersebut dilakukan dengan
tujuan selain ini, maka hal tersebut tidak sesuai dengan hikmah
pensyari’atan ziarah kubur.
Ash Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (2/162) mengatakan, “Seluruh hadits ini menunjukkan pensyari’atan ziarah kubur
serta memuat penjelasan hikmah di balik hal tersebut, yaitu agar mereka
dapat mengambil pelajaran tatkala berziarah kubur. Dalam lafadz hadits
Ibnu Mas’ud disebutkan hikmah tersebut, yaitu untuk pelajaran,
mengingatkan pada akhirat dan agar peziarah senantiasa berlaku zuhud di
dunia. Apabila ziarah kubur dilakukan dengan tujuan selain
ini, maka ziarah yang dilakukan tergolong sebagai perbuatan yang tidak
sesuai dengan syari’at.”Wallahu a’lam.
Oleh karena itu, seorang yang menziarahi
suatu kubur dengan tujuan semisal mengharap berkah dari kubur tersebut
atau bertujuan melakukan peribadatan di sebuah kubur karena meyakini
beribadah disana lebih afdlal ketimbang di masjid, tempat yang
paling Allah cintai, maka tujuan tersebut tidaklah selaras dan sejalan
dengan hikmah dan tujuan yang telah ditetapkan oleh agama ini.
Demikianlah berbagai kekeliruan seputar
ziarah kubur yang dapat kami sampaikan kepada para pembaca. Besar
harapan kami artikel ini dapat bermanfaat bagi diri kami dan sidang
pembaca seluruhnya.
أسأل الله أن يوفقنا على صراطه
المستقيم و يجعلنا من المستحقين لدخول جنته النعيم. و صلى الله على محمد و
على آله و صحبه و آخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Diselesaikan tanggal 20 Shafar 1429 H.
Sumber: http://ikhwanmuslim.com/
http://aljaami.wordpress.com/2011/03/24/kekeliruan-kekeliruan-dalam-ziarah-kubur/