Konsekuensi
dari kaidah ini adalah seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang
memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله
وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل
الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على
ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق
الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا
كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا
“Hal
ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq
Al-Isfirayiiniy serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka
mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah.
Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas
namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang
yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya
untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas
dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini
merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani
mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa
‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah
mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk
mengkafirkan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah, 5/244 – Muassasah Qurthubah, Cet. 1 Th. 1406].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Qashidah Nuniyyah-nya :
الكفر حق الله ثم رسوله*** بالنص يثبت لا بقول فلان
من كان رب العالمين وعبده*** قد كفراه فذاك ذو الكفران
“Kekafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya --- dengan nash yang tetap bukan dengan perkataan si Fulan
Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya ---- telah mengkafirkannya maka diaah orang kafir”
[Qashidah Nuniyyah, hal. 277; Maktabah Ibni Taimiyyah, Cet. 2/1417, Kairo].
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
الحكم
بالتكفير والتفسيق ليس إلينا بل هو إلى الله تعالى ورسوله صلى الله عليه
وسلم، فهو من الأحكام الشرعية التي مردها إلى الكتاب والسنة، فيجب التثبت
فيه غاية التثبت، فلا يكفر ولا يفسق إلا من دل الكتاب والسنة على كفره أو
فسقه.
“Menghukumi kafir atau fasiq bukanlah hak kita, namun ia merupakan hak Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ia merupakan hukum-hukum syari’ah yang harus dikembalikan pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, wajib untuk menelitinya dengan
seksama. Tidak boleh mengkafirkan atau memfasikkan kecuali orang-orang
yang memang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang
kekafirannya atau kefasikannya” [Al-Qawaaidul-Mutslaa, hal. 87; Universitas Islam Madinah, Cet. 3/1421].
Kedua : Asal dari seorang muslim secara dhahir
adalah ‘adil dan tetap di atas ke-Islaman serta keadilannya sampai
benar-benar diketahui lenyapnya dua hal tersebut darinya berdasarkan
dalil syar’i.
Tidak boleh menggampangkan dalam mengkafirkan atau memfasikkannya karena dalam hal ini terdapat dua larang besar :
a. Membuat-buat kedustaan terhadap Allah ta’ala dalam menghukumi dan terhadap orang yang dihukumi.
b. Terjatuh dalam hal menuduh saudaranya, jika dia selamat dari tuduhan itu.
عن ابن عمر؛ أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : "إذا كفر الرجل أخاه فقد باء بها أحدهما".
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seseorang mengkafirkan saudaranya, maka hal itu akan kembali pada salah satu dari keduanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6104 dan Muslim no. 60].
Oleh
sebab itu, merupakan kewajiban sebelum menghukumi seorang muslim dengan
kekafiran atau kefasikan untuk memperhatikan dua perkara ini :
a) Bahwasannya
Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa suatu perkara atau perbuatan
itu mengharuskan kekafiran dan kefasikan (pelakunya).
b) Kesesuaian hukum tersebut, untuk diterapkan terhadap pembicara dan pelaku tertentu, dimana telah terpenuhi syarat-syarat[1] pengkafiran dan pemfasikan pada dirinya serta tidak ada penghalang/pencegah[2] yang menghalangi penjatuhan hukum tersebut.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya tentang syarat-syarat pengkafiran terhadap seorang muslim dan
hukum terhadap orang yang melakukan perbuatan kafir dengan bercanda,
lalu beliau menjawab :
للحكم
بتكفير المسلم شرطان : أحدهما : أن يقوم الدليل على أن هذا الشيء مما
يكفر. الثاني : انطباق الحكم على من فعل ذلك بحيث يكون عالماً بذلك قاصداً
له، فإن كان جاهلاً لم يكفر. لقوله –تعالى- : ومن يشاقق الرسول من بعد ما
تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت
مصيراً. وقوله : وما كان الله ليضل قوماً بعد إذ هداهم حتى يبين لهم ما
يتقون. وقوله : وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً. لكن إن فرط بترك التعلم
والتبين ، لم يعذر ، مثل أن يبلغه أن عمله هذا كفر فلا يتثبت ، ولا يبحث
فإنه لا يكون معذوراً حينئذ.
وإن
كان غير قاصد لعمل ما يكفر لم يكفر بذلك ، مثل أن يكره على الكفر وقلبه
مطمئن بالإيمان ، ومثل أن ينغلق فكره فلا يدري ما يقول لشدة فرح ونحوه ،
كقول صاحب البعير الذي أضلها ، ثم اضطجع تحت شجرة ينتظر الموت فإذا بخطامها
متعلقاً بالشجرة فأخذه ، وقال: "اللهم أنت عبدي وأنا ربك" أخطأ من شدة
الفرح. لكن من عمل شيئاً مكفراً مازحاً فإنه يكفر لأنه قصد ذلك ، كما نص
عليه أهل العلم.
“Ada
dua syarat yang harus dipenuhi dalam mengkafirkan seorang muslim : (1)
Terdapat dalil tentang perbuatan yang ia lakukan termasuk perkara
kekafiran, (2) Adanya kesesuaian hukum dari satu perbuatan kufur dengan
keadaan pelakunya dimana ia dalam keadaan mengetahui dan berniat
(menyengaja) melakukannya. Jika ia tidak mengetahui (jaahil), maka tidak dikafirkan, berdasarkan firman Allah ta’ala : ‘Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115). ‘Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus mereka jauhi’ (QS. At-Taubah : 115). ‘Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasu’ (QS. Al-Israa’ : 15). Namun jika ia meremehkan dengan meninggalkan belajar dan mencari penjelasan, maka ia tidak diberikan ‘udzur.
Misalnya : Telah sampai kepadanya bahwa perbuatan yang ia lakukan itu
termasuk kekufuran, namun (setelah itu) ia tidak mencari kejelasan dan
menyelidikinya. Pada saat itulah ia tidak dianggap sebagai orang yang
diberikan ‘udzur.
Jika
ia tidak berniat/menyengaja melakukan perbuatan kekufuran, maka ia
tidak dikafirkan. Misalnya : orang yang dipaksa berbuat kekufuran namun
hatinya tetap tenang dalam keimanan, orang yang tertutup pikirannya
sehingga ia tidak tahu (tidak sadar) apa yang dikatakannya (merupakan
kekufuran) karena saking gembiranya, atau yang semisalnya. Hal itu
seperti perkataan pemilik onta yang kehilangan ontanya, kemudian ia
berbaring istirahat di bawah sebuah pohon menantikan maut (karena
seluruh perbekalannya dibawa oleh ontanya yang hilang tadi). (Setelah
terbangun), tiba-tiba tali kekang onta tertambat di pohon (yang ia
sandari), kemudian ia mengambilnya. Ia pun berkata : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Rabb-Mu’.
Ia keliru dalam perkataannya karena terlalu gembiranya. Namun,
barangsiapa yang melakukan satu perbuatan kekufuran dengan bercanda,
maka ia dikafirkan karena ia telah menyengaja berbuat demikian,
sebagaimana dikatakan oleh para ulama[3]” [Majmu’’ Fataawaa wa Rasaail, 2/no. 220].
Salah satu dalil atas kaidah ini adalah :
عن أسامة بن زيد قال : بعثنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم في سرية. فصبحنا الحرقات من جهينة. فأدركت
رجلا. فقال: لا إله إلا الله. فطعنته فوقع في نفسي من ذلك. فذكرته للنبي
صلى الله عليه وسلم. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم" أقال: لا إله إلا
الله وقتلته؟" قال قلت: يا رسول الله! إنما قالها خوفا من السلاح. قال"
أفلا شققت عن قلبه حتى تعلم أقالها أم لا". فما زال يكررها علي حتى تمنيت
أني أسلمت يومئذ.
Dari Usamah bin Zaid ia berkata : Kami pernah dikirim Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam
satu pasukan perang. Lalu kami sampai di Al-Huruqaat, daerah Juhainah
pada waktu shubuh. Maka aku temukan seorang laki-laki. Ia mengucapkan Laa ilaha illallaah, lalu aku pun menikamnya.Kemudian aku sampaikan hal itu kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apakah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallaah lantas engkau tetap membunuhnya ?”.
Aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanya mengucapkannya
karena takut terhadap hunusan pedang”. Beliau bersabda : “Tidakkah engkau belah hati orang tersebut sehingga engkau tahu apakah hatinya mengucapkan Laa ilaha illallaah atau tidak ?”.
Beliau terus-menerus mengucapkannya kepadaku hingga berangan-angan aku
baru masuk Islam pada hari itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 4269
dan Muslim no. 96].
An-Nawawiy rahimahullah berkata saat menjelaskan hadits di atas :
ومعناه
أنك إنما كلفت بالعمل بالظاهر وما ينطق به اللسان، وأما القلب فليس لك
طريق إلى معرفة ما فيه، فأنكر عليه امتناعه من العمل بما ظهر باللسان…… وقوله
صلى الله عليه وسلم: "أفلا شققت عن قلبه" فيه دليل للقاعدة المعروفة في
الفقه والأصول أن الأحكام يعمل فيها بالظواهر والله يتولى السرائر.
“Maknanya
adalah : Sesungguhnya engkau hanya dibebani dengan untuk beramal
sebagaimana dhahirnya saja dan apa-apa yang diucapkan oleh lisan. Adapun
masalah hati, tidak ada jalan bagimu untuk mengetahui apa yang ada di
dalamnya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya (Usaamah) karena tidak beramal dengan apa yang nampak pada lisan (dari orang tersebut)….. Dan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidakkah engkau belah hati orang tersebut’ ; padanya terdapat dalil atas kaidah yang ma’ruf dalam ilmu fiqh dan ushul
: Bahwasannya hukum-hukum diamalkan sesuai dengan dhahirnya, dan Allah
yang akan menghukumi apa-apa yang tersembunyi (dalam hati)” [Syarh Shahih Muslim, 2/104, 107; Cet. 1/1347].
Ketiga : Seorang
muslim tidaklah menjadi kafir hanya dengan perkataan, perbuatan, dan
keyakinan; kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan
darinya syubhat (kesamaran).
Allah ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah
memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa
yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].
كُلّمَا
أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
* قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا
نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ
Setiap
kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir),
penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum
pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?".
Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami
seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan:
"Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam
kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس
لأحد أن يكفر أحدًا من المسلمين ـ وإن أخطأ وغلط ـ حتي تقام عليه الحجة،
وتبين له المحَجَّة، ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك، بل لا
يزول إلا بعد إقامة الحجة، وإزالة الشبهة.
“Dan
tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum
muslimin – walau ia bersalah dan keliru – sampai ditegakkan padanya
hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan. Barangsiapa yang telah
tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya
hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah
ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
Di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أربعة يوم القيامة يدلون بحجة : رجل أصم لا يسمع و رجل أحمق و رجل هرم و من مات في الفترة ، فأما الأصم فيقول : يا رب جاء الإسلام و ما أسمع شيئا و أما الأحمق فيقول : جاء الإسلام و الصبيان يقذفونني بالبعر و أما الهرم فيقول : لقد
جاء الإسلام و ما أعقل و أما الذى مات على الفترة فيقول : يا رب ما أتاني رسولك فيأخذ مواثيقهم ليطعنه ، فيرسل إليهم رسولا أن ادخلوا النار ، قال : فوالذي نفسي بيده لو دخلوها لكانت عليهم بردا و سلاما "
جاء الإسلام و ما أعقل و أما الذى مات على الفترة فيقول : يا رب ما أتاني رسولك فيأخذ مواثيقهم ليطعنه ، فيرسل إليهم رسولا أن ادخلوا النار ، قال : فوالذي نفسي بيده لو دخلوها لكانت عليهم بردا و سلاما "
“Ada
empat golongan pada hari kiamat yang akan mengajukan hujjah : (1) Orang
tuli yang tidak dapat mendengar, (2) orang idiot, (3) orang yang tua
renta lagi pikun, dan (4) orang yang meninggal pada jaman fatrah. Orang
yang tuli akan berkata : ‘Wahai Rabbku, Islam datang namun aku tidak
mendengar sesuatupun tentangnya’. Orang idiot berkata : ‘Islam datang,
namun anak-anak melempariku dengan kotoran hewan’. Orang yang tua lagi
pikun berkata : ‘Sungguh Islam telah datang, namun aku tidak
mengerti/paham’. Dan orang yang mati di jaman fatrah berkata : ‘Wahai
Rabbku, Rasul-Mu tidak mendatangiku’. Lalu diambillah perjanjian
terhadap mereka untuk diuji. Kemudian akan diutus seorang utusan (Rasul)
kepada mereka untuk memasuki api. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, seandainya mereka ke dalam api itu niscaya mereka akan
merasakan dingin dan selamat (dari adzab)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 2/79, Adl-Dliyaa’ no. 1454, dan yang lainnya; shahih. Lihat Ash-Shahiihah no. 1434].
Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa Allah ta’ala tidak akan mengadzab hamba-hamba-Nya setelah disampaikan kepada mereka risalah dan/atau ditegakkan pada mereka hujjah.
Perlu
menjadi catatan penting adalah bahwa tegaknya hujjah itu tidak hanya
sekedar hujjah tersebut sampai kepadanya. Tapi hal itu mensyaratkan
kepahaman dari orang tersebut (atas hujjah yang disampaikan) tanpa ada
syubhat yang menghalanginya.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وهكذا
الأقوال التي يكفر قائلها قد يكون الرجل لم تبلغه النصوص الموجبة لمعرفة
الحق، وقد تكون عنـده ولم تثبت عنده،أو لم يتمكن من فهمها،وقد يكون قد عرضت
له شبهات يعذره الله بها، فمن كان من المؤمنين مجتهداً في طلب الحق وأخطأ،
فإن الله يغفر له خطأه ـ كائنا ما كان ـ سواء كان في المسائل النظرية، أو
العملية. هذا الذي عليه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، وجماهير أئمة
الإسلام
“Demikian
juga perkataan-perkataan yang dapat mengkafirkan pengucapnya.
Kadang-kadang seseorang tidak sampai kepadanya nash-nash yang
mengantarkannya kepada kebenaran. Kadang sampai kepadanya nash, namun
menurutnya tidak shahih, atau ia tidak memahaminya, atau ada syubhat
yang Allah memberikan ‘udzur padanya. Barangsiapa yang termasuk
orang-orang beriman yang bersungguh-sungguh mencari kebenaran namun
kemudian tersalah, maka Allah akan mengampuni kesalahannya itu, apapun
masalahnya, baik yang menyangkut pemahaman ataupun pengamalan. Inilah
yang menjadi pegangan para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan jumhur para imam kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 23/346].
Keempat : Tidak ada perbedaan dalam masalah pengkafiran antara masalah ushul dan masalah furu’, i’tiqad/keyakinan dan fatwa.
Membedakan antara ushul dan furu’ atau antara hukum-hukum far’iyyah/cabang dan ushul i’tiqad dalam hal memberi ‘udzur karena kejahilan tidak ada landasannya sama sekali.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai perkataan yang sangat bagus dalam hal ini :
أن
المتأول الذي قصده متابعة الرسول لا يكفر بل ولا يفسق إذا اجتهد فأخطأ
وهذا مشهور عند الناس في المسائل العملية وأما مسائل العقائد فكثير من
الناس كفر المخطئين فيها وهذا القول لا يعرف عن أحد من الصحابة والتابعين
لهم بإحسان ولا عن أحد من أئمة المسلمين وإنما هو في الأصل من أقوال أهل
البدع الذين يبتدعون بدعة ويكفرون من خالفهم كالخوارج والمعتزلة والجهمية
ووقع ذلك في كثير من أتباع الأئمة كبعض أصحاب مالك والشافعي وأحمد وغيرهم
وقد يسلكون في التكفير ذلك فمنهم من يكفر أهل البدع مطلقا ثم يجعل كل من
خرج عما هو عليه من أهل البدع وهذا بعينه قول الخوارج والمعتزلة الجهمية
وهذا القول أيضا يوجد في طائفة من أصحاب الأئمة الأربعة وليس هو قول الأئمة
الأربعة ولا غيرهم وليس فيهم من كفر كل مبتدع بل المنقولات الصريحة عنهم
تناقض ذلك ولكن قد ينقل عن أحدهم أنه كفر من قال بعض الأقوال ويكون مقصوده
أن هذا القول كفر ليحذر ولا يلزم إذا كان القول كفرا أن يكفر كل من قاله مع
الجهل والتأويل فإن ثبوت الكفر في حق الشخص المعين كثبوت الوعيد في الآخرة
في حقه وذلك له شروط وموانع
“Sesungguhnya orang yang men-ta’wil yang niatnya mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah kafir dan bahkan tidaklah fasiq apabila dia berijtihad dan kemudian salah. Dan inilah yang masyhur di kalangan ulama dalam masalah amal. Adapun dalam masalah ‘aqaaid
(keyakinan), kebanyakan manusia mengkafirkan orang yang salah di
dalamnya. Perkataan seperti ini tidak pernah diketahui dari kalangan
shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan
tabi’in, serta tidak pula dari kalangan imam kaum muslimin. Padahal,
perkataan itu berasal dari ahli bid’ah yang mengada-adakan hal yang baru
dalam agama. Mereka mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka
seperti kaum Khawarij, Mu’tazillah, dan Jahmiyyah. Dan telah terjatuh
pula kebanyakan dari pengikut para imam (dalam kesalahan yang sama)
seperti sebagian pengikut Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya.
Mereka mengikuti para ahli bid’ah tersebut dalam hal takfir, dimana sebagian diantara mereka mengkafirkan ahlul-bida’ secara mutlak yang kemudian mereka menjadikan setiap orang yang tergabung dengan ahlul-bida’
(sebagai kafir). Ini sebenarnya adalah (asal dari) perkataan Khawarij,
Mu’tazillah, dan Jahmiyyah (yang mengkafirkan orang-orang yang
menyelisihi mereka). Dan ini pulalah yang kemudian ditemukan dari
sebagian perkataan pengikut imam empat. Padahal ini bukanlah merupakan
perkataan imam empat atau imam-imam yang lain. Tidaklah seorang pun dari
mereka yang mengkafirkan setiap mubtadi’. Bahkan nukilan-nukilan yang sharih
dari mereka bertolak belakang dengan hal itu. Akan tetapi,
kadang-kadang dinukil dari salah seorang di antara mereka bahwa ia
mengkafirkan orang yang mengatakan sebagian perkataan (kufur). Padahal,
maksudnya adalah perkataan tersebut adalah perkataan kufur dan harus
dijauhi. Tidaklah setiap perkataan kufur itu mengharuskan untuk
mengkafirkan setiap orang yang mengucapkannya jika ucapan tersebut
diucapkan karena kejahilan/kebodohan[4] atau penakwilan. Sebab,
menetapkan kekafiran pada individu tertentu seperti menetapkan baginya
ancaman di akhirat. Dan hal ini memiliki syarat-syarat dan
pencegah-pencegah" [Minhajus-Sunnah, 5/239-240].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membantah perkataan sebagian orang bahwa pemberian ‘udzur itu hanya pada masalah furu’, sedangkan pada masalah i’tiqad tidak diberikan ‘udzur (sehingga jika ia tersalah, jatuhlah vonis kafir bagi dirinya). Telah tetap dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
قال
رجل لم يعمل حسنة قط لأهله إذا مات فحرقوه ثم أذروا نصفه في البر ونصفه في
البحر فوالله لئن قدر الله عليه ليعذبنه عذابا لا يعذبه أحدا من العالمين
فلما مات الرجل فعلوا ما أمرهم فأمر الله البر فجمع ما فيه وأمر البحر فجمع
ما فيه ثم قال لم فعلت هذا قال من خشيتك يا رب وأنت أعلم فغفر الله له
"Ada
seseorang yang tidak berbuat kebaikan sama sekali berpesan kepada
keluarganya : ‘Apabila aku mati, maka buanglah sebagian anggota tubuhku
di darat dan sebagian di lautan. Demi Allah, jika Allah mentaqdirkan,
pasti Dia akan menyiksaku dengan siksaan yang tidak pernah Dia siksakan
kepada orang lain di alam ini’. Setelah orang tersebut mati, keluarganya
melaksanakan pesannya. Kemudian
Allah memerintahkan daratan agar menyatukan jasad orang tersebut, dan
memerintahkan lautan agar juga menyatukan jasadnya. Lalu Allah bertanya
kepada orang tersebut (di hari kiamat) : ‘Mengapa kamu melakukan yang
demikian itu ?’. Dia menjawab : ‘Karena aku takut siksa-Mu ya Rabbku,
sedangkan Engkau Maha Mengetahui’. Maka Allah mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7506 dan Muslim no. 2756].
Orang
tersebut adalah orang yang masih ragu terhadap kekuasaan Allah dan
kemampuan-Nya untuk mengembalikan jasadnya seperti sediakala. Dia
mempunyai keyakinan (i’tiqad) bahwa dengan jasadnya
dipotong-potong, maka dia tidak akan dibangkitkan di hari kiamat dan
tidak dimintai pertanggungjawaban atas segala amal yang telah ia
lakukan. Keyakinan ini adalah keyakinan kufur menurut kesepakatan kaum
muslimin. Termasuk kufur syakk (ragu-ragu). Akan tetapi orang
tersebut adalah bodoh. Ia melakukannya karena takut akan siksa Allah dan
ia adalah seorang yang beriman kepada-Nya. Disebabkan iman dan rasa
takutnya tersebut, maka ia diampuni.
Di sini menunjukkan bahwa tidak setiap perkataan dan keyakinan kufur otomatis menyebabkan pelakunya kafir.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وليس
كل من خالف في شيء من هذا الاعتقاد يجب أن يكون هالكًا، فإن المنازع قد
يكون مجتهدًا مخطئًا يغفر الله خطأه، وقد لا يكون بلغه في ذلك من العلم ما
تقوم به عليه الحجة، وقد يكون له من الحسنات ما يمحو الله به سيئاته…….
“Dan tidaklah setiap orang yang menyelisihi perkara i’tiqad ini
harus binasa. Karena orang yang menyelisihi tersebut bisa jadi seorang
mujtahid yang keliru dimana Allah akan mengampuni kekeliruannya itu,
atau bisa jadi tidak sampai kepadanya ilmu sehingga dapat tegak padanya
hujjah, atau bisa jadi ia mempunyai kebaikan-kebaikan yang dengannya
Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya…” [Mamuu’ Al-Fataawaa, 3/179].
Kelima : Memberi ‘udzur dalam permasalahan-permasalahan rumit dan tersembunyi lebih utama dan lebih ditekankan daripada memberi ‘udzur dari perkara selainnya (yang lebih gamblang).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ولا ريب أن الخطأ في دقيق العلم مغفور للأمة وإن كان ذلك في المسائل العلمية ولولا ذلك لهلك أكثر فضلاء الأمة. وإذا
كان الله يغفر لمن جهل تحريم الخمر لكونه نشأ بأرض جهل، مع كونه لم يطلب
العلم فالفاضل المجتهد في طلب العلم بحسب ما أدركه في زمانه ومكانه إذا كان
مقصوده متابعة الرسول بحسب إمكانه هو أحق بأن يتقبل الله حسناته ويثيبه
على اجتهاداته ولا يؤاخذه بما أخطأ تحقيقا لقوله {رَبّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا
إِن نّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا}
“Tidak
diragukan lagi bahwa kesalahan dalam permasalahan yang rumit akan
diampuni bagi umat ini, walaupun itu termasuk masalah yang bersifat
ilmiah. Seandainya tidak begitu maka akan binasalah kebanyakan
orang-orang mulia (ulama) dari kalangan umat ini. Apabila Allah
mengampuni orang bodoh tentang keharaman khamr, karena dia hidup
di lingkungan kebodohan dan dia tidak mencari ilmu, maka seorang yang
mulia yang bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu sesuai dengan apa yang
ia dapati jamannya dan di tempatnya – jika ia bermaksud mengikuti
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan
kemampuannya – maka ia lebih berhak untuk diterima di sisi Allah dan
diberi pahala ijtihad serta tidak diberi sanksi atas kesalahannya.
Sebagaimana firman-Nya : ‘Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau bersalah’ (QS. Al-Baqarah : 286)” [Majmu’ Al-Fataawaa, 20/165-166].
Keenam : Memberikan ‘udzur
pada satu jaman dan tempat yang telah didominasi oleh kebodohan dan
sedikitnya ilmu lebih utama dan lebih ditekankan dibandingkan memberikan
‘udzur di jaman dan tempat dimana banyak ulama dan ilmu sudah menyebar.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وكثير
من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم
النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا
يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا
لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم
والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة
المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،
“Banyak
diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak
terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang
menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa
Al-Qur’an dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sehingga banyak yang tidak
mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya (berupa
Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut.
Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para
imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang
jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia
mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 11/407].
وهؤلاء
الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان،
وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار
الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك.
وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات: يثاب الرجل على ما معه من الإيمان
القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت
الحجة عليه، كما في الحديث المعروف: ( يأتي على الناس زمان لا يعرفون
فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز
الكبيرة. ويقولون: أدركنا آباءنا وهم يقولون: لا إله إلا الله فقيل
لحذيفة بن اليمان: ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه؟ فقال: تنجيهم من
النار) .
“Orang-orang yang seperti ini telah menjadi mayoritas pada jaman sekarang. Pada saat itu terdapat sedikit da’i
yang menyeru kepada ilmu dan iman, tenggelamnya peninggalan risalah
kenabian di kebanyakan negeri, dimana kebanyakan dari mereka tidak
memiliki warisan kenabian yang yang bisa mengenalkan mereka kepada
petunjuk, serta mayoritas dari mereka tidak sampai kepadanya hal ini.
Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah),
seseorang diberi pahala atas keimanannya yang sedikit dan Allah
mengampuni bagi yang belum tegak kepadanya hujah yang tentu berbeda
keadaannya dengan orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Hal adalah
sesuai dengan hadits : "Akan
datang kepada manusia satu jaman yang mana mereka tidak mengenal apa itu
shalat, apa itu puasa, apa itu haji, dan apa itu ‘umrah. Kecuali orang
yang telah sangat tua diantara mereka mengatakan : ‘Kami mendapatkan
bapak-bapak kami mengatakan Laa ilaaha illallaah’. Maka dikatakan kepada
Hudzaifah : Apa manfaat Laa ilaaha illallaah ?. Hudzaifah berkata :
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :) "Kalimat tersebut
akan menyelamatkan mereka dari api neraka" [Majmu’ Al-Fatawa, 35/165].
Ketujuh : Memberikan ‘udzur
kepada orang yang tidak mampu mendapatkan ilmu, lebih utama dan lebih
ditekankan daripada orang yang mampu untuk mendapatkannya.
Allah ta’ala berfirman :
إِنّ
الّذِينَ تَوَفّاهُمُ الْمَلآئِكَةُ ظَالِمِيَ أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ
فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالْوَاْ
أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا
فَأُوْلَـَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنّمُ وَسَآءَتْ مَصِيراً * إِلاّ
الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرّجَالِ وَالنّسَآءِ وَالْوِلْدَانِ لاَ
يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلاَ يَهْتَدُونَ سَبِيلاً * فَأُوْلَـَئِكَ
عَسَى اللّهُ أَن يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللّهُ عَفُوّاً غَفُوراً
"Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana
kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para
malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas
baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya
upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun” [QS. An-Nisaa’ : 97-99].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وإذا
تبين هذا، فمن ترك بعض الإيمان الواجب لعجزه عنه، إما لعدم تمكنه من
العلم، مثل ألا تبلغه الرسالة، أو لعدم تمكنه من العمل ـ لم يكن مأمورًا
بما يعجز عنه، ولم يكن ذلك من الإيمان والدين الواجب في حقه، وإن كان من
الدين والإيمان الواجب في الأصل، بمنزلة صلاة المريض، والخائف، والمستحاضة،
وسائر أهل الأعذار، الذين يعجزون عن إتمام الصلاة، فإن صلاتهم صحيحة بحسب
ما قدروا عليه، وبه أمروا إذ ذاك، وإن كانت صلاة القادر على الإتمام أكمل
وأفضل
"Apabila
hal ini telah jelas, maka barangsiapa yang meninggalkan sebagian
keimanan yang wajib karena ketidakmampuannya, apakah karena tidak mampu
untuk mendapatkan pengetahuan seperti tidak sampainya risalah kenabian,
atau tidak mampu untuk mengamalkannya ; maka ia tidak diperintahkan
dengan apa-apa yang dia tidak mampu. Dan hal ini tidak termasuk keimanan
dan dien yang wajib pada dirinya, walaupun pada asalnya hal itu termasuk dien dan keimanan yang wajib seperti shalatnya orang yang sakit, shalatnya orang yang takut, shalatnya mustahadlah
(wanita yang terus menerus mengeluarkan darah selain hari-hari haidlnya
– akibat penyakit/sakit), dan selain mereka dari orang-orang yang
mendapatkan ‘udzur yang tidak mampu untuk menyempurnakan shalat.
Shalatnya tetap sah sesuai dengan kemampuannya. Dan dengan itulah mereka
diperintahkan pada waktu itu, walaupun shalatnya orang yang mampu untuk
menyempurnakan lebih sempurna dan afdlal" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/478-479].
Kedelapan : Memberi ‘udzur kepada
orang yang berniat dan berusaha mencari kebenaran yang kemudian
tersalah, lebih diutamakan daripada orang yang telah mengetahui
kebenaran namun sengaja melanggarnya.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
المؤمن
بالله ورسوله باطنا وظاهرا الذي قصد اتباع الحق وما جاء به الرسول إذا
أخطأ ولم يعرف الحق كان أولى أن يعذره الله في الآخرة من المتعمد العالم
بالذنب فإن هذا عاص مستحق للعذاب بلا ريب وأما ذلك فليس متعمدا للذنب بل هو
مخطىء والله قد تجاوز لهذه الأمة عن الخطأ والنسيان
"Seorang
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya secara dhahir dan batin serta
berniat untuk mengikuti kebenaran dan apa-apa yang diturunkan kepada
Rasul; maka apabila ia bersalah dan belum mengerti kebenaran, maka dia
lebih utama untuk Allah berikan ‘udzur di akhirat daripada orang
yang telah mengetahui (kebenaran) namun sengaja melakukan dosa. Orang
kedua ini adalah orang yang telah bermaksiat yang berhak diadzab tanpa
ada keraguan. Adapun orang pertama, maka ia bukan orang yang sengaja
melakukan dosa, namun ia hanyalah seorang yang tersalah. Dan Allah telah
memaafkan umat ini dari kesalahan dan lupa yang mereka lakukan” [Minhajus-Sunnah, 5/250].
وقد
اتفق أهل السنة والجماعة على أن علماء المسلمين لا يجوز تكفيرهم بمجرد
الخطأ المحض، بل كل أحد يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله صلى الله عليه
وسلم، وليس كل من يترك بعض كلامه لخطأ أخطأه يكفر ولا يفسق، بل ولا يأثم،
فإن الله تعالي قال في دعاء المؤمنين رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن
نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا وفي الصحيح عن النبي صلى الله عليه
وسلم:(أن الله تعالي قال: قد فعلت).
“Dan
Ahlus-Sunnah telah bersepakat bahwa ulama kaum muslimin tidak boleh
dikafirkan atas sebab kesalahan murni. Bahkan setiap orang boleh diambil
ataupun ditinggalkan perkataannya kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Dan tidaklah setiap orang yang ditinggalkan sebagian perkataannya
karena kesalahannya dapat dikafirkan atau difasiqkan. Bahkan, (mungkin
saja) ia tidak berdosa; karena Allah ta’ala telah berfirman tentang doanya orang mukminin : “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau siksa kami jika kami lupa atau salah” (QS. Al-Baqarah : 286). Dan dari kitab Ash-Shahiih, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya Allah ta’ala telah berfirman (tentang doa tersebut) : Telah Aku lakukan (yaitu mengampunimu)” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/100].
إن
استفرغ وسعه في طلب الحق فإن الله يغفر له خطأه وإن حصل منه نوع تقصير فهو
ذنب لا يجب ان يبلغ الكفر وإن كان يطلق القول بأن هذا الكلام كفر كما أطلق
السلف الكفر على من قال ببعض مقالات الجهمية مثل القول بخلق القرآن أو
إنكار الرؤية أو نحو ذلك مما هو دون إنكار علو الله على الخلق وأنه فوق
العرش فإن تكفير صاحب هذه المقالة كان عندهم من أظهر الأمور فإن التكفير
المطلق مثل الوعيد المطلق لا يستلزم تكفير الشخص المعين حتى تقوم عليه
الحجة التي تكفر تاركها
“Apabila
ia telah mengerahkan segala daya upayanya dalam mencari kebenaran,
niscaya Allah akan mengampuni kesalahannya. Dan jika terdapat kekurangan
(dalam hal kesungguhannya), maka ini merupakan suatu dosa yang tidak
mengharuskan sampai pada tingkat kekafiran, meskipun perkataan tersebut
secara mutlak adalah perkataan kufur. Sebagaimana kaum salaf memutlakkan
kekafiran kepada siapa saja yang berkata dengan sebagian perkataan
Jahmiyyah; seperti perkataan Khalqul-Qur’aan (Al-Qur’an adalah makhluk), atau mengingkari ru’yah
(melihat kepada Allah kelak di akhirat), atau yang lainnya selain dari
pengingkaran terhadap ketinggian Allah di atas para makhluk-Nya, dan
bahwasannya Ia di atas ‘Arsy - karena sesungguhnya pengkafiran terhadap
orang yang mengatakan perkataan-perkataan ini menurut mereka (salaf)
termasuk dari hal-hal yang paling jelas. Dan sesungguhnya pengkafiran
secara muthlak seperti halnya ancaman secara mutlak yang tidak
melazimkan pengkafiran secara mu’ayyan (individu), hingga tegak padanya hujjah yang mana bisa mengkafirkan orang yang meninggalkannya” [Al-Istiqaamah oleh Ibnu Taimiyyah, 1/164, tahqiq Dr. Muhammad Rasyaad Saalim; Universitas Muhammad bin Su’uud, Cet. 1/1403]
Kesembilan : Pengkafiran berbeda-beda berdasarkan keadaan individu pelaku.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فالتكفير يختلف بحسب اختلاف حال الشخص، فليس كل مخطئ ولا مبتدع، ولا جاهل ولا ضال، يكون كافرًا، بل ولا فاسقًا، بل ولا عاصيا
"Pengkafiran itu berbeda sesuai dengan keadaan individunya. Maka, tidak setiap orang yang bersalah, mubtadi’, jaahil, ataupun sesat otomatis menjadi kafir. Bahkan bisa jadi bukan seorang yang fasik dan bukan pula seorang yang durhaka" [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/180]
وقد
يتعذر أو يتعسر على السالك سلوك الطريق المشروعة المحضة، إلا بنوع من
المحدث لعدم القائم بالطريق المشروعة علمًا وعملًا. فإذا لم يحصل النور
الصافي، بأن لم يوجد إلا النور الذي ليس بصاف. وإلا بقى الإنسان في
الظلمة، فلا ينبغي أن يعيب الرجل وينهى عن نور فيه ظلمة. إلا إذا حصل نور
لا ظلمة فيه، وإلا فكم ممن عدل عن ذلك يخرج عن النور بالكلية، إذا خرج
غيره عن ذلك؛ لما رآه في طرق الناس من الظلمة.
..........
وكل واحد من العاجز عن كمال الحسنات، والمضطر إلى بعض السيئات معذور، فإن اللّه يقول : فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ [التغابن:
16]، وقال: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
[البقرة: 286] ـ في البقرة والطلاق ـ وقال: وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [الأعراف:
42]
……..
فهذا طريق الموازنة والمعادلة، ومن سلكه كان قائمًا بالقسط الذي أنزل اللّه له الكتاب والميزان.
“Kadang-kadang sulit bagi orang yang berjalan itu menelusuri jalan syari’at yang murni, kecuali ada sedikit perkara muhdats (bid’ah) karena ketidakadaan orang yang tegak di jalan syari’at itu secara ilmu dan amal (yang membimbingnya). Maka jika dia mendapatkan cahaya yang murni (an-nuurush-shaafi)
- karena ia tidak mendapatkan cahaya tersebut kecuali cahaya yang tidak
murni – maka itu boleh baginya untuk mengambilnya. Jika tidak, maka
manusia tetap berada dalam kegelapan. Oleh sebab itu, tidak selayaknya
orang dicela dan dilarang dari mendapatkan cahaya yang bercampur dengan
kegelapan, kecual jika ia (mampu) untuk mendapatkan cahaya murni yang
tidak bercampur dengan kegelapan. Jika tidak, maka berapa banyak orang
yang akan keluar dari cahaya secara keseluruhan bila yang lainnya keluar
darinya dengan sebab ia melihat kegelapan (yang mencampuri cahaya) di
jalannya manusia.
............
Dan
setiap orang yang lemah dalam menjalankan kesempurnaan dari amal-amal
kebaikan, dan juga orang yang terpaksa menjalankan sebagian kejelekan;
maka ia dimaafkan. Karena Allah berfirman : "Bertaqwalah kepada Allah sesuai dengan kemamuanmu" (QS. At-Taghaabun : 16). “Allah tidak membebani suatu kaum melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah : 286 dan Ath-Thalaq : 65). “Dan
orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal shalih, Kami tidak
membebaninya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Merekalah penghuni
surga, mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-A’raf : 42).
…………
Inilah
jalan yang seimbang lagi adil. Barangsiapa yang menempuhnya, maka dia
tegak dengan keadilan yang karenanya Allah menurunkan Al-Qur’an dan al-miizaan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/364-366].
Kesepuluh : Wajib dibedakan antara pengkafiran (takfir) yang bersifat mutlak (umum) dengan takfir yang bersifat mu’ayyan (individu).
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فإن
نصوص الوعيد، التي في الكتاب والسنة، ونصوص الأئمة بالتكفير، والتفسيق
ونحو ذلك لا يستلزم ثبوت موجبها في حق المعين، إلا إذا وجدت الشروط وانتفت
الموانع، لا فرق في ذلك بين الأصول، والفروع.
“Maka nash-nash ancaman yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta perkataan para imam tentang permasalahan pengkafiran (takfir), pemfasikan (tafsiq),
dan yang lainnya tidaklah melazimkan tetapnya hal itu secara individu;
kecuali jika terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang
penghalang-penghalangnya. Tidak ada bedanya tentang hal itu antara
masalah ushul dan furu’” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 10/372].
فإذا
رأيت إمامًا قد غلظ على قائل مقالته، أو كَفَّره فيها، فلا يعتبر هذا
حكمًا عامًا في كل من قالها، إلا إذا حصل فيه الشرط الذي يستحق به التغليظ
عليه، والتكفير له…...
“Apabila
engkau melihat seorang imam bersikap keras terhadap seseorang karena
perkataannya (yang keliru) atau bahkan mengkafirkannya, maka itu
tidaklah bisa dianggap hukum secara umum terhadap setiap orang yang
mengatakannya. Kecuali bila terpenuhi syaratnya sehingga berhak untuk
bersikap keras kepadanya dan mengkafirkannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 6/61].
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy rahimahullah berkata :
أن
الأقوال الباطلة المبتدعة المحرمة المتضمنة نفي ما أثبته الرسول ، أو
إثبات ما نفاه ، أو الأمر بما نهى عنه ، أو النهي عما أمر به - : يقال فيها
الحق ، ويثبت لها الوعيد الذي دلت عليه النصوص ، ويبين أنها كفر ، ويقال :
من قالها فهو كافر ، ونحو ذلك ، كما يذكر من الوعيد في الظلم في النفس
والأموال ، وكما قد قال كثير من أهل السنة المشاهير بتكفير من قال بخلق
القرآن [ وأن الله لا يرى في الآخرة ولا يعلم الأشياء قبل وقوعها . وعن أبي
يوسف رحمه الله ، أنه قال : ناظرت أبا حنيفة رحمه الله مدة ، حتى اتفق
رأيي ورأيه : أن من قال بخلق القرآن فهو كافر ] . وأما الشخص المعين ، إذا
قيل : هل تشهدون أنه من أهل الوعيد وأنه كافر ؟ فهذا لا نشهد عليه إلا بأمر
تجوز معه الشهادة ، فإنه من أعظم البغي أن يشهد على معين أن الله لا يغفر
له ولا يرحمه بل يخلده في النار ، فإن هذا حكم الكافر بعد الموت . ولهذا
ذكر أبو داود في سننه في كتاب الأدب : باب النهي عن البغي ، وذكر فيه عن
أبي هريرة رضي الله عنه ، قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول :
كان رجلان في بني إسرائيل متواخيين ، فكان أحدهما يذنب ، والآخر مجتهد في
العبادة ، فكان لا يزال المجتهد يرى الآخر على الذنب ، فيقول : أقصر ،
فوجده يوماً على ذنب ، فقال له : أقصر . فقال : خلني وربي ، أبعثت علي
رقيباً ؟ فقال : والله لا يغفر الله لك ، أو لا يدخلك [الله] الجنة فقبض
أرواحهما ، فاجتمعا عند رب العالمين ، فقال لهذا المجتهد : أكنت بي عالماً ؟
أو كنت على ما في يدي قادراً ؟ وقال للمذنب : اذهب فادخل الجنة برحمتي ،
وقال للآخر : اذهبوا به إلى النار . قال أبو هريرة : والذي نفسي بيده ،
لتكلم بكلمة أوبقت دنياه وآخرته . وهو حديث حسن . ولأن الشخص المعين يمكن
أن يكون مجتهداً مخطئاً مغفوراً له ، [ ويمكن أن يكون ممن لم يبلغه ما وراء
ذلك من النصوص ] ، ويمكن أن يكون له إيمان عظيم وحسنات أوجبت له رحمة الله
، كما غفر للذي قال : إذا مت فاسحقوني ثم اذروني ، ثم غفر الله له لخشيته
وكان يظن أن الله لا يقدر على جمعه وإعادته ، أو شك في ذلك . لكن هذا
التوقف في أمر الآخرة لا يمنعنا أن عاقبته في الدنيا ، لمنع بدعته ، وأن
نستتيبه ، فإن تاب وإلا قتلناه . ثم إذا كان القول في نفسه كفراً قيل : إنه
كفر والقائل له يكفر بشروط وانتفاء موانع ، ولا يكون ذلك إلا [ إذا ] صار
منافقاً زنديقاً . فلا يتصور أن يكفر أحد من أهل القبلة المظهرين الإسلام
إلا من يكون مناففاً زنديقاً . وكتاب الله يبين ذلك ، فإن الله صنف الخلق
فيه ثلاثة أصناف : صنف : كفار من المشركين ومن أهل الكتاب ، وهم الذين لا
يقرون بالشهادتين . وصنف : المؤمنون باطناً وظاهراً . وصنف أقروا به ظاهراً
لا باطناً . وهذه الأقسام الثلاثة مذكورة في أول سورة البقرة . وكل من ثبت
أنه كافر في نفس الأمر وكان مقراً بالشهادتين . فإنه لا يكون إلا زنديقاً ،
والزنديق هو المنافق .
“Bahwasanya perkataan-perkataan batil, bid’ah, lagi diharamkan yang menganung peniadaan sesuatu yang ditetapkan oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
atau menetapkan sesuatu yang beliau tiadakan, atau perintah terhadap
sesuatu yang beliau larang, atau larangan dari sesuatu yang beliau
perintahkan; maka harus dikatakan kepadanya kebenaran, menetapkan
padanya ancaman yang telah ditunjukkan oleh nash-nash, menerangkan
bahwasannya hal itu merupakan kekufuran, dan sekaligus dikatakan
(padanya) : ‘Barangsiapa yang mengatakannya, maka ia kafir’. Atau yang
sejenisnya – sebagaimana disebutkannya ancaman atas kedhaliman yang
terjadi pada jiwa dan harta. Dan sebagaimana pula telah dikatakan oleh
kebanyakan ulama Ahlus-Sunnah yang masyhur tentang kafirnya orang yang
mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat di
akhirat, dan Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Dari Abu
Yuusuf rahimahullah, ia berkata : ‘Satu kali aku pernah berdebat dengan Abu Haniifah rahimahullah
hingga kemudian terjadi kesepakatan antara pendapatku dan pendapatnya
bahwa siapa saja yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia
kafir. Adapun penghukuman pada individu tertentu apabila dikatakan :
‘Apakah engkau dapat memberi kesaksian ia termasuk golongan orang-orang
yang diancam dan termasuk kafir ?’. Maka dengan ini kami nyatakan bahwa
kami tidak memberi kesaksian atasnya kecuali dengan perkara yang
diperbolehkan ada kesaksian bersamanya. Karena hal itu termasuk
kejahatan yang sangat besar, yaitu memberi kesaksian terhadap individu
bahwa Allah tidak akan mengampuni dan merahmatinya, bahkan kekal ada di
neraka. Sesungguhnya ini semua merupakan hukuman bagi orang kafir
setelah kematiannya. Oleh karena itu, Abu Dawud menyebutkan dalam Sunan-nya pada Kitaabul-Adab, Baab An-Nahyi ‘anil-Baghyi. Ia menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dahulu
ada dua orang laki-laki bersaudara dari kalangan Bani Israail. Salah
seorang di antara mereka sering berbuat dosa dan yang lain rajin
beribadah. Senantiasa orang yang rajin beribadah melihat saudaranya
melakukan dosa, dan ia pun berkata : ‘Berhentilah (berbuat dosa)’. Pada
satu hari, ia kembali mendapatkannya sedang berbuat dosa, maka ia
berkata : ‘Berhentilah’. Orang yang berbuat dosa itu berkata :
‘Tinggalkanlah aku bersama Rabbku. Apakah engkau diutus sebagai orang
yang selalu mengawasiku ?’. Ia pun berkata : ‘Demi Allah, Allah tidak
akan mengampunimu’ – atau ia berkata : ‘Allah tidak akan memasukkanmu ke
dalam surga. Lalu Allah mewafatkan mereka berdua dan kemudian berkumpul
di sisi Rabbul-‘Aaalamiin (Allah). Allah berfirman kepada orang yang
rajin beribadah : ‘Apakah engkau mengetahui tentang Aku ?. Ataukah
engkau mempunyai kemampuan atas apa-apa yang ada di tangan-Ku ?’. Allah
berfirman kepada orang yang berbuat dosa : ‘Pergi dan masuklah kamu ke
dalam surga dengan rahmat-Ku’. Dan kemudian berfirman kepada yang lain
(rajin beribadah) : ‘Giringlah ia ke dalam neraka’. Abu Hurairah
berkata : ‘Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang itu
telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya’.
Hadits ini hasan. Karena individu tadi mungkin saja orang yang
berijtihad yang kemudian salah, lalu Allah mengampuninya. Mungkin saja
ia termasuk orang yang belum sampai padanya nash-nash. Mungkin saja ia
termasuk orang yang mempunyai keimanan yang besar dan kebaikan-kebaikan
yang mengharuskannya mendapatkan rahmat Allah, sebagaimana diampuninya
orang yang mengatakan : ‘Apabila aku mati, maka leburkanlah aku lalu taburkanlah ke laut’
– yang kemudian Allah mengampuninya karena rasa takutnya, padahal ia
menyangka Allah tidak mampu mengumpulkan dan mengembalikannya (setelah
jasadnya ditaburkan ke lautan), atau dia ragu akan hal itu. Namun diam
dalam perkara akhirat tidaklah menghalangi kita untuk memberikan sanksi
kepadanya di dunia dengan tujuan mencegah kebid’ahannya dan memintanya
untuk bertaubat – jika ia bertaubat (maka kita terima taubatnya), dan
jika tidak, maka dibunuh. Kemudian jika ada satu perkataan kufur, maka
harus dikatakan itu kufur. Adapun orang yang mengucapkannya, ia
dikafirkan apabila terpenuhi syaratnya dan hilang
penghalang-penghalangnya. Hal itu tidaklah terjadi kecuali ia seorang
yang munafik lagi zindiq. Tidak tergambarkan/terbayangkan untuk
mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat kecuali ia seorang munafiq lagi
zindiq. Kitabullah telah menjelaskannya. Allah ta’ala membagi
manusia menjadi tiga golongan : (1) Orang kafir dari kalangan
orang-orang musyrik dan ahli kitab – merekalah orang yang tidak
mengikrarkan dua kalimat syahadat, (2) Mukmin yang dhahir dan batin, dan
(3) Orang yang mengikrarkan dua kalimat syahadat secara dhahir, namun
tidak secara batin. Inilah tiga golongan yang disebutkan di awal surat
Al-Baqarah. Setiap orang yang ditetapkan padanya kekafiran namun ia
mengikrarkan dua kalimat syahadat, maka ia adalah seorang zindiq; dan
seorang zindiq, maka ia seorang munafik” [Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah oleh
Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy, 2/435-438, tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin
‘Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth; Muassasah
Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Kesebelas : Kekafiran dan keimanan terdiri dari pokok dan cabang.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
ولما
كان الإيمان أصلا له شعب متعددة وكل شعبة منها تسمى إيمانا فالصلاة من
الإيمان وكذلك الزكاة والحج والصيام والأعمال الباطنة كالحياء والتوكل
والخشية من الله والإنابة إليه حتى تنتهي هذه الشعب إلى إماطة الأذى عن
الطريق فإنه شعبة من شعب الإيمان, وهذه الشعب منها ما يزول الإيمان بزوالها
كشعبة الشهادة, ومنها ما لا يزول بزوالها كترك إماطة الأذى عن الطريق,
وبينهما شعب متفاوتة تفاوتا عظيما منها ما يلحق بشعبة الشهادة ويكون إليها
أقرب, ومنها ما يلحق بشعبة إماطة الأذى ويكون إليها أقرب.
وكذلك
الكفر ذو أصل وشعب. فكما أن شعب الإيمان إيمان فشعب الكفر كفر, والحياء
شعبة من الإيمان, وقلة الحياء شعبة من شعب الكفر, والصدق شعبة من شعب
الإيمان والكذب شعبة من شعب الكفر, والصلاة والزكاة والحج والصيام من شعب
الإيمان, وتركها من شعب الكفر, والحكم بما أنزل الله من شعب الإيمان والحكم
بغير ما أنزل الله من شعب الكفر, والمعاصي كلها من شعب الكفر كما أن
الطاعات كلها من شعب الإيمان. وشعب الإيمان قسمان: قولية وفعلية. وكذلك شعب
الكفر نوعان: قولية وفعلية. ومن شعب الإيمان القولية شعبة يوجب زوالها
زوال الإيمان, فكذلك من شعبه الفعلية ما يوجب زوالها زوال الإيمان وكذلك
شعب الكفر القولية والفعلية. فكما يكفر بالإتيان بكلمة الكفر اختيارا وهي
شعبة من شعب الكفر فكذلك يكفر بفعل شعبة من شعبه كالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف
“Dan
ketika disebutkan iman merupakan pokok, maka ia mempunyai cabang-cabang
yang berjumlah banyak. Setiap cabang tersebut juga dinamakan iman,
seperti halnya shalat adalah iman; begitu pula zakat, haji, puasa,
amal-amal batin seperti rasa malu, tawakkal, takut kepada Allah taubat
kembali kepada-Nya – hingga cabang keimanan tersebut berakhir pada
menyingkirkan ganguan dari jalan, karena ia merupakan cabang dari
cabang-cabang iman. Di antara cabang keimanan ada yang menyebabkan
hilangnya iman dengan hilangnya cabangnya seperti cabang syahadat, dan
di antaranya ada juga yang tidak menyebabkan hilangnya iman seperti
meninggalkan menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara keduanya ada
cabang-cabang yang bertingkat-tingkat dimana sebagiannya ada yang
digolongkan dalam cabang syahadat dan ia lebih dekat kepadanya, serta
yang lain ada yang digolongkan dalam cabang menyingkirkan gangguan dari
jalan dan ia lebih dekat kepadanya.
Begitu
pula kekafiran mempunyai pokok dan cabang. Sebagaimana cabang keimanan
merupakan iman, maka cabang kekafiran pun merupakan kekafiran. Malu
adalah cabang dari keimanan, sedangkan sedikitnya malu adalah cabang
dari cabang-cabang kekufuran. Kejujuran adalah cabang dari cabang-cabang
keimanan, sedangkan dusta adalah cabang dari cabang-cabang kekafiran.
Shalat, zakat, haji, dan puasa adalah cabang-cabang iman, sedangkan
meninggalkannya adalah cabang-cabang kekufuran. Berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah adalah cabang keimanan, sedangkan berhukum dengan
selain yang diturunkan Allah adalah cabang kekafiran. Setiap kemaksiatan
adalah cabang kekafiran sebagaimana berbagai macam ketaatan adalah
cabang keimanan.
Cabang
keimanan ada dua bagian : perkataan dan perbuatan. Begitu pula dengan
kekafiran yang terdiri dari dua bagian : perkataan dan perbuatan. Di
antara cabang keimanan yang berupa perkataan, ada yang dapat menyebabkan
hilangnya keimanan jika ia tidak ada. Hal yang sama dengan keimanan
yang berupa perkataan. Dan begitu pula dengan cabang kekafiran yang
berupa perkataan dan perbuatan. Ada
yang menjadikannya kafir seperti mengikuti (mengucapkan) kalimat
kekafiran tanpa adanya paksaan, karena ia adalah cabang dari
cabang-cabang kekafiran. Dapat dikafirkan pula orang yang mengerjakan
cabang kekafiran seperti sujud pada berhala, dan menghina mushhaf
Al-Qur’an” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa oleh Ibnul-Qayyim, hal. 55-56; Maktabah Ats-Tsaqaafah, Madinah].
Keduabelas : Tidaklah melazimkan orang yang mengerjakan satu perbuatan kekafiran dari cabang kekafiran dinamakan kafir.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وهو
أنه لا يلزم من قيام شعبة من شعب الإيمان بالعبد أن يسمى مؤمنا وإن كان ما
قام به إيمانا ولا من قيام شعبة من شعب الكفر به أن يسمى كافرا وإن كان ما
قام به كفرا, كما أنه لا يلزم من قيام جزء من أجزاء العلم به أن يسمى
عالما ولا من معرفة بعض مسائل الفقه والطب أن يسمى فقهيا ولا طبيبا, ولا
يمنع ذلك أن تسمى شعبة الايمان إيمانا وشعبة النفاق نفاقا وشعبة الكفر
كفرا. وقد يطلق عليه الفعل كقوله: "فمن تركها فقد كفر". "ومن حلف بغير الله
فقد كفر", وقوله: "من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر ومن حلف بغير الله
فقد كفر". رواه الحاكم في صحيحه بهذااللفظ.
فمن صدر منه خلة من خلال الكفر فلا يستحق اسم كافر على الإطلاق, وكذا يقال لمن ارتكب محرما إنه فعل فسوقا وإنه فسق بذلك المحرم ولا يلزمه اسم فاسق إلا بغلبة ذلك عليه.
وهكذا الزاني والسارق والشارب والمنتهب لا يسمى مؤمنا وإن كان معه إيمان كما أنه لا يسمى كافرا وإن كان ما أتى به من خصال الكفر وشعبه إذ المعاصي كلها من شعب الكفر كما أن الطاعات كلها من شعب الإيمان
فمن صدر منه خلة من خلال الكفر فلا يستحق اسم كافر على الإطلاق, وكذا يقال لمن ارتكب محرما إنه فعل فسوقا وإنه فسق بذلك المحرم ولا يلزمه اسم فاسق إلا بغلبة ذلك عليه.
وهكذا الزاني والسارق والشارب والمنتهب لا يسمى مؤمنا وإن كان معه إيمان كما أنه لا يسمى كافرا وإن كان ما أتى به من خصال الكفر وشعبه إذ المعاصي كلها من شعب الكفر كما أن الطاعات كلها من شعب الإيمان
“Tidak
selalu mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan salah satu
cabang dari cabang-cabang keimanan disebut sebagai mukmin, meskipun yang
ia kerjakan adalah satu perbuatan keimanan. Begitu pula tidaklah selalu
mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan salah satu cabang
dari cabang-cabang kekafiran disebut sebagai kafir, meskipun yang ia
kerjakan adalah satu perbuatan kekafiran. Sebagaimana halnya tidak
mengkonsekuensikan bagi seseorang yang mengerjakan sebagian dari
bagian-bagian ilmu disebut sebagai seorang ‘alim (ulama), serta orang
yang mengetahui sebagian permasalahan fiqh dan pengobatan disebut
sebagai faqiih dan dokter (thabiib). Akan tetapi, itu
semua tidaklah menghalangi kita untuk menyebut cabang keimanan sebagai
iman, cabang kemunafikan sebagai kemunafikan, dan cabang kekafiran
sebagai kekafiran. Dimutlakkan (penyebutan/penamaan) atas perbuatannya,
seperti sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Barangsiapa yang meninggalkannya (yaitu shalat), maka ia kafir’; ‘Barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia kafir’. Dan juga sabda beliau : ‘Barangsiapa
yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yang dikatakannya, maka ia
kafir. Dan barangsiapa yang bersumpah dengan selain nama Allah, maka ia
kafir’. Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Shahih-nya dengan lafadh ini.
Barangsiapa
pada dirinya ada satu perangai dari perangai-perangai kekafiran, maka
tidak dibenarkan untuk memutlakkan nama kafir padanya. Begitu pula
dikatakan bagi orang yang mengerjakan satu keharaman, maka telah
mengerjakan satu kefasikan dan ia fasik dengan keharaman (yang ia
kerjakan), namun tidak boleh menamakannya faasiq/fasik (secara mutlak) kecuali dengan kefasikan tersebut tampak mendominasi pada dirinya.
Begitu
pula dengan orang yang berzina, pencuri, peminum khamr, dan perampok
tidak boleh disebut mukmin (secara mutlak) meskipun ada keimanan
padanya, sebagaimana pula ia tidak dinamakan kafir (secara mutlak)
meskipun yang ia kerjakan termasuk tabiat dan cabang kekafiran. Karena
setiap kemaksiatan termasuk cabang kekafiran, sebagaimana setiap
ketaatan termasuk cabang keimanan” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 62].
Ketigabelas : Kadangkala berkumpul atas diri seseorang beberapa sifat, seperti keimanan, kekafiran, ketaatan, ataupun kemaksiatan.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
أن
الرجل قد يجتمع فيه كفر وإيمان وشرك وتوحيد وتقوى وفجور ونفاق وإيمان, هذا
من أعظم أصول أهل السنة, وخالفهم فيه غيرهم من أهل البدع كالخوارج
والمعتزلة والقدرية. ومسألة خروج أهل الكبائر من النار وتخليدهم فيها مبنية
على هذا الأصل, وقد دل عليه القرآن والسنة والفطرة وإجماع الصحابة. قال
تعالى: {وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ
مُشْرِكُونَ}. فأثبت لهم إيمانا به سبحانه مع الشرك. وقال تعالى: {قَالَتِ
الْأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا
وَلَمَّا يَدْخُلِ الْأِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ لا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئاً إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ}. فأثبت لهم إسلاما وطاعة لله ورسوله مع نفي الإيمان عنهم
وهو الإيمان المطلق الذي يستحق اسمه بمطلقه. الذين ءامنوا بالله ورسوله ثم
لم يرتابوا وجهدوا بأموالهم وأنفسهم في سبيل الله, وهؤلاء ليسوا منافقين في
أصح القولين بل هم مسلمون بما معهم من طاعة الله ورسوله وليسوا مؤمنين وإن
كان معهم جزء من الإيمان أخرجهم من الكفر.
“Kadangkala
berkumpul pada diri seseorang kekafiran dam keimanan, kesyirikan dan
ketaudidan, ketaqwaan dan kejahatan, serta kemunafikan dan keimanan. Ini
merupakan prinsip yang sangat besar bagi Ahlus-Sunnah. Dan telah
menyelisihi mereka segolongan ahlul-bid’ah seperti Khawaarij,
Mu’tazilah, dan Qadariyyah. Permasalahan keluarnya para pelaku dosa
besar dari neraka dan selamatnya mereka dari kekekalan neraka terbangun
dari prinsip ini. Hal itu ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, fitrah,
dan ijma’ para shahabat. Allah ta’ala telah berfirman : ‘Orang-orang
Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah (kepada
mereka): "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: "Kami telah tunduk",
karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala)
amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’
(QS. Al-Hujuraat : 14). Allah telah menetapkan bagi mereka Islam dan
ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya, bersamaan dengan penafikan iman
dari mereka. Iman dimaksud adalah iman mutlak yang ia berhak dinamakan
dengan kemutlakannya (yaitu : mukmin). Orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itu bukan termasuk
orang-orang munafik menurut pendapat yang paling benar di antara dua
pendapat yang ada. Bahkan mereka adalah muslim dengan ketaatan mereka
kepada Allah dan Rasul-Nya, namun mereka bukanlah golongan orang-orang
yang beriman meskipun ada pada mereka sebagian dari keimanan yang
mengeluarkan mereka dari kekafiran.
Keempatbelas : Kekafiran ada beberapa macam.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
أن
الكفر نوعان: كفر عمل وكفر جحود وعناد, فكفر الجحود أن يكفر بما علم أن
الرسول جاء به من عند الله جحودا وعنادا من أسماء الرب وصفاته وأفعاله
وأحكامه, وهذا الكفر يضاد الإيمان من كل وجه. أما كفر العمل فينقسم إلى ما
يضاد الإيمان وإلى ما لا يضاده. فالسجود للصنم والاستهانة بالمصحف وقتل
النبي وسبه يضاد الإيمان, وأما الحكم بغير ما أنزل الله وترك الصلاة فهو من
الكفر العملي قطعا ولا يمكن أن ينفي عنه اسم الكفر بعد أن اطلقه الله
ورسوله عليه فالحاكم بغير ما أنزل الله كافر وتارك الصلاة كافر بنص رسول
الله صلى الله عليه وسلم, ولكن هو كفر عمل لا كفر اعتقاد, ومن الممتنع أن
يسمي الله سبحانه الحاكم بغير ما أنزل الله كافرا ويسمى رسول الله صلى الله
عليه وسلم تارك الصلاة كافرا ولا يطلق عليهما اسم كافر. وقد نفى رسول الله
صلى الله عليه وسلم الإيمان عن الزاني والسارق وشارب الخمر وعمن لا يأمن
جاره بوائقه, وإذا نفي عنه اسم الإيمان فهو كافر من جهة العمل وانتفى عنه
كفر الجحود والاعتقاد وكذلك قوله: "لا ترجعوا بعدي كفارا يضرب بعضكم رقاب
بعض". فهذا كفر عمل. وكذلك قوله: "من أتى كاهنا فصدقه أو امرأة في دبرها
فقد كفر بما أنزل على محمد". وقوله: "إذا قال الرجل لأخيه يا كافر فقد باء
بها أحدهما". وقد سمى الله سبحانه وتعالى من عمل ببعض كتابه وترك العمل
ببعضه مؤمنا بما عمل به وكافرا بما ترك العمل بت....... فالإيمان العملي
يضاده الكفر العملي والإيمان الاعتقادي يضاده الكفر الاعتقادي.
وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان, وهذا التفصيل هو قول الصحابة الذين هم أعلم الأمة بكتاب الله وبالإسلام والكفر ولوازمهما فلا تتلقى هذه المسائل إلا عنهم فإن المتأخرين لم يفهموا مرادهم فانقسموا فريقين فريقا أخرجوا من الملة بالكبائر, وقضوا على أصحابها بالخلود في النار, وفريقا جعلوهم مؤمنين كاملي الإيمان فهؤلاء غلوا وهؤلاء جفوا وهدى الله أهل السنة للطريقة المثلى والقول الوسط الذي هو في إذنه كالإسلام في الملل فها هنا كفر دون كفر ونفاق دون نفاق وشرك دون شرك وفسوق دون فسوق وظلم دون ظلم.
وقد أعلن النبي صلى الله عليه وسلم بما قلناه في قوله في الحديث الصحيح: "سباب المسلم فسوق وقتاله كفر". ففرق بين قتاله وسبابه وجعل أحدهما فسوقا لا يكفر به والآخر كفر, ومعلوم أنه إنما أراد الكفر العلمي لا الاعتقادي, وهذا الكفر لا يخرجه من الدائرة الإسلامية والملة بالكلية كما لا يخرج الزاني والسارق والشارب من الملة وإن زال عنه اسم الإيمان, وهذا التفصيل هو قول الصحابة الذين هم أعلم الأمة بكتاب الله وبالإسلام والكفر ولوازمهما فلا تتلقى هذه المسائل إلا عنهم فإن المتأخرين لم يفهموا مرادهم فانقسموا فريقين فريقا أخرجوا من الملة بالكبائر, وقضوا على أصحابها بالخلود في النار, وفريقا جعلوهم مؤمنين كاملي الإيمان فهؤلاء غلوا وهؤلاء جفوا وهدى الله أهل السنة للطريقة المثلى والقول الوسط الذي هو في إذنه كالإسلام في الملل فها هنا كفر دون كفر ونفاق دون نفاق وشرك دون شرك وفسوق دون فسوق وظلم دون ظلم.
“Bahwasannya kekufuran itu ada dua : (1) kufur amal, serta (2) kufur pengingkaran (juhuud) dan penentangan (‘inaad).
Kufur pengingkaran adalah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Rasul
dari sisi Allah dengan pengingkaran dan penentangan terhadap nama-nama
Allah, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, dan hukum-hukum-Nya.
Kekufuran ini bertolak belakang dengan keimanan dari segala sisi.
Sedangkan kufur amal dibagi menjadi dua, yaitu yang bertolak belakang
dengan iman dan yang tidak bertolak belakang. Sujud kepada berhala,
menghina mushhaf Al-Qur’an, membunuh Nabi dan mencelanya adalah kufur
amal yang bertoalk-belakang dengan iman. Berhukum dengan selain hukum
Allah dan meninggalkan shalat merupakan kufur ‘amaliy, tidak
mungkin untuk menafikkan darinya nama kekufuran setelah Allah dan
Rasul-Nya memutlakkannya. Hakim yang tidak berhukum dengan hukum yang
diturunkan Allah adalah kafir dan orang yang meninggalkan shalat pun
kafir berdasarkan nash Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ia adalah kufur amal, bukan kufur i’tiqad. Termasuk hal yang menghalangi (adanya kufur i’tiqad) adalah bahwa Allah subhaanahu wa ta’ala telah menamakan seorang hakim yang tidak berhukum adalah kafir dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
menamakan orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, namun tidak
memutlakkan terhadap keduanya dengan nama kafir. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
menafikkan keimanan bagi pelaku zina, pencuri, peminum khamr, dan orang
yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya. Apabila
dinafikkan darinya nama keimanan, maka ia kafir dari segi amal dan
dinafikkan dari kufur juhuud dan i’tiqaad. Seperti halnya sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Janganlah kalian kembali pada kekafiran setelahku, dimana sebagian di antara kalian membunuh sebagian yang lain’. Ini adalah kufur ‘amal. Begitu pula sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa salaam : ‘Barangsiapa
yang mendatangi dukun dan membenarkan apa yag diucapkannya atau seorang
yang mendatangi istrinya melalui duburnya (liwath), sungguh ia telah
kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad’. Dan juga sabda beliau : ‘Apabila seseorang berkata : wahai kafir, maka akan kembali pada salah seorang di antara mereka’. Allah subhaanahu wa ta’ala telah
menamakan amal pada sebagian kitab-Nya dan meninggalkan ‘amal sebagai
orang beriman (mukmin) dengan apa yang ia kerjakan dan kafir dengan apa
yang ia tinggalkan dengannya…….. Maka iman ‘amaliy lawannya adalah kufur ‘amaliy dan iman i’tiqadiy lawannya adalah kufur i’tiqadiy.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan dengan apa yang disabdakannya dalam sebuah hadits shahih : ‘Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran’.
Beliau membedakan antara memerangi dan mencela, serta menjadikan salah
satu di antara keduanya kefasikan – bukan kekafiran – sedangkan yang
lain kekafiran. Dan telah diketahui bahwasannya yang beliau maksudkan
dengannya hanyalah kufur ‘amaliy, bukan i’tiqadiy.
Kekufuran jenis ini tidaklah mengeluarkan pelakunya dari wilayah Islam
dan agama secara keseluruhan; sebagaimana seorang pezina, pencuri, dan
peminum khamr tidaklah dikeluarkan dari agama meskipun hilang darinya
nama iman. Perincian ini merupakan perkataan shahabat yang mereka itu
merupakan umat paling tahu terhadap Kitabullah, Islam, kekufuran dan
konsekuensi-konsekuensinya. Permasalahan seperti ini tidaklah diambil
kecuali dari mereka. Orang-orang belakangan (muta-akhkhiriin)
tidak memahami maksud mereka (para shahabat) sehingga membagi
orang-orang menjadi dua golongan : (1) golongan yang mengeluarkan dari
agama/millah dikarenakan dosa besar dan menghukumi pelakunya
kekal di dalam neraka, (2) golongan yang menjadikan seseorang sebagai
mukmin yang sempurna imannya (walaupun melakukan dosa besar). Mereka ini
adalah orang-orang yang melampaui batas (yaitu golongan pertama) dan
meremehkan (yaitu golongan kedua). Allah memberikan petunjuk kepada
Ahlus-Sunnah jalan yang lurus dan perkataan yang tengah, dimana hal ini
diibaratkan seperti Islam berada di tengah-tengah antara agama-agama
lainnya. Dan di sinilah keberadaan kekufuran di bawah kekufuran (kufrun duuna kufrin),
kemunafikan di bawah kemunafikan, kesyirikan di bawah kesyirikan,
kefasikan di bawah kefasikan, dan kedhaliman di bawah kedhaliman” [Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 56-58].
Kelimabelas : Mengingkari
hukum yang telah disepakati dapat menjadi kafir jika hal itu merupakan
sesuatu hal dari agama yang telah dimaklumi secara gamblang, namun jika
tidak maka tidak kafir.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال
بن دقيق العيد ....... فان المسائل الإجماعية تارة يصحبها التواتر بالنقل
عن صاحب الشرع كوجوب الصلاة مثلا وتارة لا يصحبها التواتر فالأول يكفر
جاحدا لمخالفة التواتر لا لمخالفة الإجماع والثاني لا يكفر به قال شيخنا في
شرح الترمذي الصحيح في تكفير منكر الإجماع تقييده بانكار ما يعلم وجوبه من
الدين بالضرورة كالصلوات الخمس
“Dan telah berkata Ibnu Daqiiqil-‘Ied : ‘…Sesungguhnya permasalahan ijma’iyyah kadangkala diiringi banyaknya nukilan dari shaahibusy-syar’i (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
seperti wajibnya shalat; dan kadangkala tidak diiringi banyaknya
nukilan. Bagian pertama dikafirkan bagi orang yang mengingkarinya karena
penyelisihihannya terhadap banyaknya penukilan, bukan terhadap ijma’;
sedangkan yang kedua tidak dikafirkan. Telah berkata syaikh kami dalam Syarh At-Tirmidziy : ‘Yang benar dalam permasalahan takfir
bagi orang yang mengingkari ijma’ tergantung pada pengingkarannya
terhadap apa-apa yang diketahui atas kewajibannya dari agama secara
gamblang, seperti shalat wajib yang lima” [Fathul-Baariy, 12/202].
Keenambelas : Sesuatu yang sudah dimaklumi secara gamblang dalam agama merupakan sesuatu hal yang relatif tergantung dari kondisi orangnya. Seorang
yang baru masuk Islam dan yang hidup di daerah terpencil kadang-kadang
tidak mengetahui sama sekali semua hal ini, apalagi mengetahui secara
gamblang. Dan banyak di kalangan ulama yang mengetahui secara gamblang
bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sujud sahwi, memutuskan diyat kepada ‘aqilah,
anak itu milik suami, dan yang lain sebagainya dari hal-hal yang sudah
diketahui oleh orang-orang tertentu secara gamblang, namun kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya sama sekali.
Ketujuhbelas : Tidak
ada pengkafiran dengan kelaziman madzhab atau perkataan-perkataan, dan
tidak dijadikan ukuran sesuatu yang merupakan takwil dari
pemikiran-pemikiran.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
فالصواب:
أن مذهب الإنسان ليس بمذهب له إذا لم يلتزمه، فإنه إذا كان قد أنكره ونفاه
كانت إضافته إليه كذبا عليه بل ذلك يدل على فساد قوله وتناقضه في المقال
“Yang
benar, madzhab manusia secara umum bukan menjadi madzhab baginya jika
ia tidak memeganginya. Karena jika ia mengingkarinya dan menafikkannya,
maka menyandarkan kekafiran kepadanya merupakan kedustaan kepadanya.
Bahkan ini menunjukkan kerusakan perkataan dan pertentangan dalam
perkataannya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/217].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
والذي
يظهر أن نحكم بالكفر على من كان الكفر صريح قوله وكذا من كان لازم قوله
وعرض عليه فالتزمه أمامن لم يلتزمه وناضل عنه فإنه لا يكون كافرا ولو كان
اللازم كفرا.
“Dan
yang jelas bahwa kami menghukumi kafir pada orang yang telah jelas
kekufuran pada perkataannya. Begitu pula pada orang yang kelaziman
perkataannya itu kufur kemudian dipaparkan kepadanya lalu ia
memegangnya. Adapun bagi orang yang tidak memegangnya dan ia
membantahnya, maka ia tidak termasuk kafir walaupun kelaziman
perkataannya itu kufur” [Taudliihul-Afkaar oleh Ash-Shan’aaniy,
2/147, tahqiq : Abu ‘Abdirrahman Shalaah bin Muhammad bin ‘Uwaidlah;
Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].
Maksud
pembahasan point ini terutama dalam masalah-masalah yang
diperselisihkan tentang kekafirannya – sehingga terbagi dalam beberapa
madzhab/pendapat.
Kedelapanbelas : Tidaklah
dikafirkan kecuali yang telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah akan
kekafirannya atau telah tegak dalil yang tidak ada penentang dalam
pengkafirannya itu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
ومن ثبت إسلامه بيقين لم يزل ذلك عنه بالشك،
“Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan” [Majmuu’ Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah, 12/466].
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah berkata :
ولا نكفر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم.....
“Kami tidak mengkafirkan (seorang muslim) kecuali apa yang telah disepakati oleh semua ulama….” [Durarus-Saniyyah, 1/70].
‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumullah berkata :
وأخبرتهم
ببراءة الشيخ، من هذا المعتقد والمذهب وانه لا يكفر إلا بما أجمع المسلمون
على تكفير فاعله، من الشرك الأكبر والكفر بآيات الله ورسله أو بشيء منها
بعد قيام الحجة وبلوغها المعتبر ......
“Dan aku kabarkan kepada mereka tentang berlepas-dirinya Syaikh (yaitu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah)
dari ‘aqidah dan madzhab ini. Beliau tidak mengkafirkan kecuali
berdasarkan ijma’ kaum muslimin atas kekafiran pelakunya yang melakukan
syirik akbar serta mengingkari ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya, atau
dengan sesuatu yang merupakan bagian darinya setelah ditegakkannya
hujjah dan disampaikan sebagaimana mestinya….” [Ad-Durarus-Saniyyah fii Ajwibatin-Najdiyyah, dikumpulkan oleh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Al-Qaasim, 1/467; Cet. 6/1417].
***********
Oleh karena itu, kita tidak boleh sembrono dan terburu-buru memvonis kafir terhadap orang lain (secara mu’ayyan/individu).
Asy-Syaikh ‘Abdul-Lathiif bin ‘Abdirrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumullah berkata :
وقد
بلغنا : عنكم نحو من هذا وخضتم في مسائل من هذا الباب كالكلام في
الموالاة، والمعادة والمصالحة والمكاتبات وبذل الأموال والهدايا ونحو ذلك
من مقالة أهل الشرك بالله، والضلالات والحكم بغير ما انزل الله عند
البوادى، ونحوهم من الجفاة، لا يتكلم فيها إلا العلماء من ذوي الألباب ومن
رزق الفهم عن الله وأوتي الحكمة وفصل الخطاب .
والكلام
في هذا : يتوقف على معرفة ما قدمناه، ومعرفة أصول عامة، كلية، لا يجوز
الكلام في هذا الباب وفى غيره لمن جهلها و أعرض عنها وعن تفاصيلها فإن
الإجمال ،والإطلاق ،وعدم العلم،بمعرفة مواقع الخطاب، وتفاصيله، يحصل به من
اللبس، والخطأ، وعدم الفقه عن الله، ما يفسد الأديان، ويشتت الأذهان، ويحول
بينها، وبين فهم السنة والقرآن ؛ قال : ابن القيم، في كافيته، رحمه الله
تعالى :
فعــليك بالتفصيــل والتبيين فالــ إطلاق والإجمال دون بيان
قد أفسدا هذا الوجود وخبطا الــ أذهان والآراء كل زمان
قد أفسدا هذا الوجود وخبطا الــ أذهان والآراء كل زمان
“Dan
telah sampai pada kami pendapat-pendapat Anda tentang
permasalahan-permasalahan dalam hal ini; seperti pembicaraan tentang
masalah loyalitas, permusuhan, perdamaian, perjanjian, menyumbangkan
harta benda dan hadiah, dan yang semisal dengan itu dari
perkataan-perkataan orang-orang musyrik dan sesat, serta berhukum dengan
selain hukum Allah pada penduduk pelosok dan semisalnya dari kalangan
orang-orang berperangai kasar. Tidak boleh seorang pun membicarakan ini
kecuali para ulama yang mempunyai ilmu serta diberikan pemahaman
(lurus), hikmah, dan kemampuan merinci masalah oleh Allah ta’ala.
Pembicaraan
dalam hal ini bergantung pada pengetahuan yang telah kami sebutkan
tadi, dan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum yang bersifat umum dan
global. Tidak layak berbicara dalam bab ini atau bab lainnya bagi mereka
yang jahil dan enggan mempelajarinya dan mempelajari hukumnya. Sebab,
pembicaraan yang bersifat umum, mutlak, serta ketiadaan ilmu tentang
pemahaman sasaran-sasaran objek hukum dan perinciannya akan menghasilkan
kerancuan, kekeliruan, dan hilangnya pemahaman terhadap (hukum) Allah
sehingga merusak agama, mengacaukan pikiran, dan terhalangnya memahami
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ibnul-Qayyim berkata :
Wajib bagimu menghukumi dengan perincian dan penjelasan
karena menghukumi secara umum tanpa penjelasan
Dapat merusak kehidupan ini
dan juga merusak pikiran dan pendapat di setiap masa”
[Ad-Durarus-Saniyyah fii Ajwibatin-Najdiyyah, 1/468/469].
Sampai di sini artikel ini dituliskan. Semoga ada manfaatnya. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[1] Syarat-syarat pengkafiran adalah :
a) Mengetahui (dengan jelas).
b) Sengaja melakukannya.
c) Tidak ada paksaan.
[2] Penghalang-penghalang kekafiran :
a) Tidak mengetahui.
b) Tidak sengaja melakukannya.
c) Dipaksa.
[3] Misalnya :
Telah berkata ‘Aliy bin Muhammad Al-Bazdawiy rahimahullah (w. 504) :
فإنَّ
الهَزْل بالرِّدَّة كفرٌ لا بما هَزَل به لكن بعَيْنِ الهَزْل ؛ لأَنَّ
الهازلَ جادٌّ في نفس الهَزْل مختارٌ راضٍ والهَزْل بكلمة الكفرِ استخفاف
بالدِّين الحقِّ فصار مُرتدَّاً بعينه لا بما هَزَل به إلاَّ أَنَّ أثرهما
سـواءٌ بخلاف المُكْرَه ; لأَنَّه غير معتقـدٍ لِعَيْن ما أُكْرِه عليه
“Sesungguhnya
bermain-main dengan kemurtadan adalah kekufuran, bukan dengan apa yang
dibuat secara main-main, namun dengan sebab main-mainnya itu sendiri.
Karena orang yang main-main pada kemurtadan pada hakekatnya
bersungguh-sungguh dan ridla dengan perbuatannya; sedangkan bermain-main
dengan kalimat kekufuran adalah pelecehan pada agama yang benar,
sehingga pelakunya menjadi murtad dengan sendirinya, bukan dengan apa
yang dibuat main-main. Hanya saja, pengaruh keduanya sama saja. Lain
halnya dengan orang yang melakukannya dengan terpaksa (maka ia tidak
dikafirkan), karena ia tidak terikat dengan apa yang dipaksakan
kepadanya” [Kasyful-Asraar Syarh Ushuulil-Bazdawiy, 4/600; Daarul-Kutub Al-‘Arabiy, Cet. 1/1411].
Telah berkata Abu Bakr bin Al-‘Arabiy rahimahullah saat menafsirkan QS. At-Taubah ayat 65-66 :
لا
يخلو أَنْ يكونَ ما قالوه من ذلك جدَّاً أو هَزْلاً ، وهو كيفما كان كفرٌ ،
فإِنَّ الهزلَ بالكفرِ كفرٌ ، لا خلاف فيه بين الأمَّة . فإِنَّ التَّحقيق
أخو الحقَّ والعلم ، والهزلَ أخو الباطل والجهل . قال علماؤنا : انظر إلى
قوله : { أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَال أَعُوذُ بِاللهِ أَنْ أَكُونَ مِنْ
الْجَاهِلِينَ }
“Apa
yang mereka ucapkan tidaklah keluar dari satu di antara dua hal, yaitu :
bersungguh-sungguh atau bermain-main/bercanda. Bagaimanapun juga, itu
adalah kekufuran, karena bermain-main/bercanda dengan kekufuran adalah
kafir. Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini di kalangan umat.
Sesungguhnya bersungguh-sungguh adalah saudaranya kebenaran dan ilmu,
sedangkan bermain-main saudaranya kebathilan dan kejahilan. Telah
berkata ulama kami : ‘Lihatlah kepada firman-Nya : Mereka berkata:
"Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa menjawab: "Aku
berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari
orang-orang yang jahil" (QS. Al-Baqarah : 67)” [Ahkaamul-Qur’aan, 2/976].
Apa yang dikatakan Ibnul-Arabiy ini disepakati oleh Al-Qurthubiy rahimahumallah dalam Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan 8/197.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقد
دلَّ على ذلك قولُه تعالى : { يَحْذَرُ الْمُنَافِقُونَ أَنْ تُنَزَّل
عَليْهِمْ سُورَةٌ تُنَبِّئُهُمْ بِمَا فِي قُلُوبِهِمْ قُلْ اسْتَهْزِئُوا
إِنَّ اللهَ مُخْرِجٌ مَا تَحْذَرُونَ . وَلئِنْ سَأَلْتَهُمْ ليَقُولُنَّ
إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ
وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ
بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ
طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ } فقد أخبر أَنَّهم كفروا بعد
إيمانهم مع قولهم : إنَّا تكلَّمْنا بالكفر من غير اعتقادٍ له ، بل كنا
نخوض ونلعب ، وبيَّن أَنَّ الاستهزاء بآيات الله كفرٌ ، ولا يكون هذا إلاَّ
ممَّن شرح صدره بهذا الكلام ، ولو كان الإيمانُ في قلبه منعَه أنْ
يتكلَّمَ بهذا الكلام
“Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala : ‘Orang-orang
yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat
yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah
kepada mereka: "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan
Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti
itu. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami
memaafkan segolongan daripada kamu (lantaran mereka tobat), niscaya Kami
akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang
yang selalu berbuat dosa’ (QS. At-Taubah : 64-66). Allah ta’ala telah mengkhabarkan bahwasannya mereka kafir setelah beriman bersamaan dengan perkataan mereka : ‘Sesungguhnya kami mengucapkan kalimat kekafiran dengan tanpa meyakininya, kami hanya bermain-main dan bersendau-gurau’. Allah ta’ala telah
menjelaskan bahwa memperolok-olok ayat-ayat Allah adalah kekufuran dan
hal ini tidak akan mungkin dilakukan kecuali oleh orang yang berlapang
dada dalam melakukannya. Sebab kalau masih ada iman dalam hatinya, tentu
iman tersebut akan menghalanginya untuk mengucapkan kalimat kekufuran
itu” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/220].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
وقد
تقدَّم أَنَّ الذي قال لمَّا وجد راحلته اللهمَّ أنت عبدي وأنا ربُّك أخطأ
من شدَّة الفرح لم يكفر بذلك وإِنْ أتى بصريح الكفر لكونه لم يُرِدْه
والمُكْرَه على كلمةِ الكفر أتى بصريح كلمته ولم يكفر لعدم إرادته بخلاف
المستهزئ والهازل فإنَّه يلزمه الطلاق والكفر وإِنْ كان هازلاً لأَنَّه
قاصد للتكلُّم باللفظ وهزله لا يكونُ عذراً له بخلاف المُكْره والمخطئ
والنَّاسي فإِنَّه معذور مأمور بما يقولَه أو مأذونٌ له فيه والهازل غير
مأذونٍ له في الهزل بكلمة الكفر والعقود فهو متكلِّم باللفظ مُريدٌ له ولم
يصرفه عن معناه إكراهٌ ولا خطأٌ ولا نسيانٌ ولا جهلٌ والهزل لم يجعله الله
ورسولَه عذراً صارفاً بل صاحبه أحقُّ بالعقوبة ألا ترى أنَّ الله تعالى عذر
المكره في تكلُّمه بكلمةِ الكفر إذا كان قلبه مطمئنّاً بالإيمان ولم يعذَر
الهازلُ بل قال : { وَلئِنْ سَأَلْتَهُمْ ليَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا
نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ
تَسْتَهْزِئُونَ لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ }
“Telah berlalu penjelasan tentang orang yang yang mengatakan ketika menemukan kendaraannya yang hilang : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah Rabb-Mu’,
dia keliru dalam berucap karena saking gembiranya; namun demikian ia
tidak dikafirkan dengan ucapan tersebut walaupun telahmengucapkan
kalimat yang jelas-jelas kufur karena ia tidak memaksudkannya demikian
(tidak sengaja). Demikian juga dengan orang yang dipaksa untuk
mengucapkan kalimat kekufuran, ia mengucapkan kalimat yang jelas-jelas
merupakan kekufuran, namun ia tidak dikafirkan karena ia tidak ada
keinginan pada dirinya (pada ucapan itu). Lain halnya dengan orang yang
berolok-olok dan bersendau-gurau, karena hal itu mengharuskan terjadinya
perceraian dan kekufuran walaupun ia bersendau-gurau, karena ia berniat
mengucapkan kalimat tersebut sedangkan gurauannya tidak bisa dijadikan
alasan baginya. Lain halnya dengan orang yang dipaksa, tidak sengaja,
dan lupa; karena mereka mendapatkan alasan dan ijin terhadap apa yang
mereka ucapkan. Sedangkan orang yang bersendau-gurau tidak mendapatkan
ijin dalam gurauannya yang menggunakan kalimat kekufuran. Ia mengucapkan
kalimat yang ia niatkan untuk mengucapkannyadan tidak ada sesuatu pun
paksaan, ketidaksengajaan, lupa, atau ketidaktahuan yang memalingkan
maknanya. Gurauan tidak dijadikan Allah ta’ala dan Rasul-Nya sebagai satu ‘udzur/alasan
yang dapat memalingkan dari hukum. Bahkan pelakunya lebih berhak untuk
mendapatkan hukuman. Tidakkah engkau lihat bahwa Allah ta’ala memberikan ‘udzur pada orang yang dipaksa ketika mengucapkan kalimat kekufuran selama hatinya tenteram dengan keimanan, dan Allah ta’ala tidak memberikan ‘udzur bagi orang-orang yang bersendau-gurau. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu
minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman” [I’lamul-Muwaqqi’iin, 3/63, tahqiq : Thaha bin ‘Abdirrauf bin Sa’d; Maktabah Al-Kulliyaat Al-Azhariyyah, Cet. Thn. 1388].
[4] Al-Lajnah Ad-Daaimah pernah menjelaskan tentang ‘udzur ketidaktahuan/kejahilan :
يختلف
الحكم على الإنسان بأنه يعذر بالجهل في المسائل الدينية أو لا يعذر
باختلاف البلاغ وعدمه، وباختلاف المسألة نفسها وضوحا وخفاء وتفاوت مدارك
الناس قوة وضعفا.
“Hukum
bagi orang yang tidak tahu/jahil tentang masalah agama berbeda-beda,
apakah ia bisa dimaafkan ataukah tidak; tergantung pada sampai tidaknya
masalah tersebut padanya, juga pada jelas atau tidaknya masalah itu
sendiri baginya, serta pada kuat tidaknya daya jangkau
pemahamannya/pemikirannya” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/147 no. 11043].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/03/kaidah-kaidah-dalam-pengkafiran.html