5. Zhihar (ظهار )
Zhihar menurut bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti pernyataan suami kepada istrinya, “Bagiku engkau seperti punggung Ibuku,’ di mana suami memaksudkan perkataannya itu dengan mengharamkan istrinya bagi dirinya. Para “ulama sepakat untuk mengharamkan perbuatan ini dan pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan dosa. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/439-440), dan Terj. Subulus Salam (III/70-73)]
Sehingga apabila suami mengatakan, “Bagiku kamu seperti punggung Ibuku,” atau ungkapan penyerupaan istri dengan anggota tubuh Ibunya yang lain, maka istrinya menjadi haram untuknya. Suami diharamkan untuk menggauli atau mencumbu istrinya, hingga suami membayar kaffarat atas ucapannya tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
وَالَّذِيْنَ
يُظَهِـرُونَ مِنْ نِّسَآئِهِـمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْـلِ أَن يَتَمَآسَّا ۚ ذَا لِكُمْ
تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللهُ بِمَا تَعْلَمُونَ خَبِيرٌ فَمَن لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْـرَيْنِ مُتَتَا بِعَيْنِ مِن قَبْـلِ أَن يَتَمَآسَّا ۖ
فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَا لِكَ
لِتُؤْ مِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ ۗ
وَلِلْكَفِـرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka mereka (diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Maka barang siapa tidak mampu (memerdekakan hamba sahaya), (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat adzab yang pedih.” (Qs. Al-Mujaadilah: 3-4)
Diriwayatkan pula dari Salamah bin Shakhr radhiyallahu “anhu, bahwasanya dia berkata,
دَخَلَ
رَمَضَانُ، فَجِفْتُ أَنْ أَصِيْبَ امْرَأَتِى، فَـظَاهَرْتُ مِنْهَا،
فَانْكَشَفَ لِي شَيْءٌ مِنْهَا لَيْلَةً فَوَ قَعْتُ عَلَيْهَا، فَقَالَ
لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : حَرِّرْ رَقَبَةً، قُلْتُ : مَا
أَمْلِكُ إِلاَّ رَقَبَتِي، قَالَ : فَـصُمْ شَهْـرَيِنِ مُتَتَا
بِعَيْنِ، قُلْتُ : وَهَلْ أَصَبْتُ الَّذِيْ أَصَبْتُ إِلاَّ مِنَ
الصِّيَامِ؟ قَالَ : أَطْعِمْ عَرَقًا مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتِّيْنَ
مِسْكِيْنًا .
“Telah datang bulan suci Ramadhan, lalu aku cemas bila sampai berhubungan intim dengan istriku, maka aku pun menzhiharnya. Ternyata pada suatu malam, bagian (tubuh)nya tersingkap olehku, sehingga aku pun bersetubuh dengannya. Maka, Rasulullah shallallahu “alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bebaskan budak,’ Lalu kukatakan, “Aku tidak punya budak selain budakku,’ Beliau berkata lagi, “Kalau begitu, berpuasalah dua bulan berturut-turut,’ Kukatakan lagi, “Tidakkah aku melanggar hal ini melainkan karena puasa?’ Beliau berkata lagi, “Berilah makan 60 orang miskin dengan sekeranjang kurma.’” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam Shahihnya (no. 2213). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/67, no. 1015)]
Dengan demikian, pelaksanaan kaffarat zhihar dilakukan sesuai urutan yang disebutkan dalam ayat, berdasarkan kemampuan sang suami. Jadi, apabila seseorang mampu memerdekakan hamba sahaya, maka itulah kaffarat yang wajib dibayarnya. Namun jika suami tidak mampu memerdekakan hamba sahaya, maka diberlakukan baginya puasa selama dua bulan berturut-turut. Jika kaffarat ini juga tidak mampu dipenuhi suami, maka kewajibannya adalah memberi makan kepada enam puluh orang fakir miskin. [Lihat penjelasannya dalam Terj. Subulus Salam (III/75-81 dan Ensiklopedi Larangan (III/88)]
Dan jika suami menzhihar istrinya dalam waktu tertentu maka dia tidak boleh menggauli istrinya selama waktu tersebut sehingga dia membayar kaffarat seperti yang telah dijelaskan di atas. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622-625), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/440-443), Ensiklopedi Larangan (III/88) dan Terj. Subulus Salam (III/82)]
Apabila suami meniatkan talak dengan lafazh zhihar, maka talaknya tidak jatuh, tetapi hal itu menjadi zhihar. Demikianlah pendapat Imam Ahmad, Imam asy-Syafi’i dan ulama selain mereka rahimahumullah. Maka tidak boleh menjadikan zhihar sebagai kinayah (ungkapan) atas penjatuhan talak. [Lihat Terj. Subulus Salam (III/83]
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh
Sumber:http://muslimah.or.id/fikih/takal-bagian-7-sebab-talak-zhihar.html