Sabtu, 12 April 2014

Talak Bagian 6 (Sebab Talak: Li’aan)

4. Li’aan (اللعان )


Istilah li’aan diambil dari kata la’n ( لعـن) yang berarti laknat atau kutukan. Sedangkan menurut syari’at, li’aan adalah kesaksian yang diperkuat dengan sumpah antara suami-istri yang disertai dengan menyebutkan laknat dan kemurkaan Allah. [Lihat Taisirul Alam Syarah 'Umdatul Ahkaam (II/211]

Hukum li’aan dibolehkan apabila suami memiliki dugaan kuat istrinya telah berselingkuh dengan lelaki lain, atau dia mengetahui istrinya berselingkuh. Namun jika suami mendapati istrinya hamil sedangkan dirinya tidak pernah menggauli istrinya atau dia yakin kehamilannya itu bukan dari hasil hubungan dengannya maka hukum li’aan menjadi wajib. [Subulus Salam (II/278)]

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ أَزْوَجَهُـمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُـمْ شُهَـدَآءُ إِلَّآ أَنْفُـسُهُـمْ فَـشَهَـدَةُ أَحَـدِهِـمْ أَرْبَعُ شَهَـدَتِ بِاللهِ إِنَّهُ ، لَمِنَ الصَّـدِقِينَ ۝ وَالْخَمِسَةُ أَنَّ لَعْـنَتَ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَذِبِينَ ۝ وَيَـدْ رَؤُا عَـنْهَا الْعَـذَابَ أَنْ تَشْهَـدَ أَرْبَعَ شَهَـدَتِ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَـذِبِينَ ۝ وَالْخَمِسَةَ أَنَّ غَـضَبَ اللهِ عَلَيهَآ إِنْ كَانَ مِنَ الصَّـدِقِينَ ۝ فَـضَلُ وَلَوْ لاَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللهَ تَوَّابٌ حَكِـيمٌ ۝

Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksikanlah masing-masing dari mereka (dengan) empat kali sumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang berdusta. Dan istri itu terhindar dari hukumam apabila ia bersumpak empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika ia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Mahabijaksana.” (Qs. An-Nuur: 6-10)


Kasus li’aan ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ هِـلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ قَـذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِـشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ ، فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : الْبَيَّنَةَ أَوْ حَدٌ فِي ظَهْـرِكَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ، إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلاً يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُّ الْبَيِّنَةَ ؟ فَجَـعَـلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدٌ فِي ظَهْـرِكَ ، فَقَالَ هِـلاَلٌ : وَالَّذِي بَعَـثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّي لَصَادِقٌ فَلَيُنْزِلَنَّ اللهُ مَا يَبَرِّئُ ظَهْـرِي مِنَ الْحَدِّ ، فَنَزَلَ جِبْرِيلُ عليه سلم وَأَنْزَلَ عَلَيهِ ، (وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ أَزْوَجَهُـمْ – فَقَرَأَ حَتَّى بَلَغَ – إِنْ كَانَ مِنَ الصَّـدِقِينَ) فَانْصَرَفَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِـلاَلٌ فَشَهِدَ وَالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ اللهَ يَعْـلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ، ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ ، فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا وَقَالُوا : إِنَّهَا مُوجَبَةٌ ، قَالَ ابْنُ عَـبَّاسِ فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَاتَرْجَعُ ثُمَّ قَالَتْ : لاَ أَفْـضَحُ قَوْمِي سَائِرَ الْيَومِ فَمَضَتْ ، فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ الأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيْكِ ابْنِ سَحْمَاءَ فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : لَوْ لاَ مَا مَضَى مِنْ كِتَابُ اللهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ

Bahwasanya Hilal bin Umayyah telah menuduh istrinya melakukan zina dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Syarik bin Sahma’, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Buktikanlah (dengan mendatangkan saksi), atau hadd (hukuman) akan menimpamu.’ Kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki di atas istrinya (berselingkuh), apakah wajib kepadanya pergi untuk mencari bukti?’ Lalu Nabi pun berkata, ‘Buktikanlah atau hadd yang akan menimpamu.’ Hilal berkata, ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan haq (kebenaran), sesungguhnya aku berkata benar, dan semoga Allah menurunkan sesuatu yang dapat membebaskanku dari hadd.’
Kemudian Jibril ‘alaihis salam turun dan menurunkan kepadanya (firman Allah Ta’ala): ‘Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)… -ia membacanya sampai- …jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang benar.’ Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi dan mengutus seseorang kepadanya (si wanita), kemudian Hilal datang dan bersaksi sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya Allah Mahatahu bahwa salah seorang diantara kalian telah berdusta, apakah diantara kalian berdua ada yang mau bertaubat?’ Lalu wanita itu berdiri dan bersaksi. Tatkala sampai pada kesaksian yang kelima kalinya, mereka semua menghentikannya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya ia yang berhak (mendapatkan siksa),’

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Lalu ia berhenti sehingga kami menyangka bahwa ia akan mengambil kembali ucapannya (mengaku).’ Akhirnya ia berkata, ‘Aku tidak akan mempermalukan kaumku selamanya.’ Akhirnya dia terus saja (mengucapkannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Perhatikanlah ia (si wanita), jika ia melahirkan seorang anak yang hitam kedua matanya, besar kedua pantatnya, dan besar kedua betisnya, maka anak itu milik Syarik bin Sahma’.’
Akhirnya ia (wanita itu) melahirkan anak yang demikian (seperti dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seandainya tidak berlalu keputusan Kitabullah kepadaku, niscaya aku akan menegakkan hadd kepadanya.’” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4747), Abu Dawud (no. 2237), Tirmidzi (no. 3229), dan Ibnu Majah (no. 2067)]

Diriwayatkan juga dari jalur Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,beliau menceritakan:


أَنَّ فُلاَنَ ابْنَ فُلاَنٍ قَالَ : يَارَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا امْرَأَتَهُ عَلَى فَا حِشَةٍ ، كَيْفَ يَصْنَعُ ؟ إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ ، وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ. قَالَ : فَسَكَتَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُجِبْهُ، فَلَمَّا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ فَقَالَ : إِنًّ الَّذِيْ سَأَلْتُكَ عَنْهُ قَدِابْتُلِيتُ بِهِ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاَءِ الْآيَاتِ فِي سُورَةِ النُّورِ : (وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ) فَتَلاَ هُنَّ عَلَيْهِ وَوَعَظَهُ وَذَكَّرَهُ وَأَخْبَرَهُ : أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ ، فَقَالَ : لاَ، وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ نَبِيًّا مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا ثُمَّ دَعَاهَا وَوَ عَظَهَا وَأَخْبَرَهَا : أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهَوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ، فَقَالَتْ : لاَ، وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّهُ لَكَاذِبٌ، فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ لَعْنَتُ اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَادِبِيْنَ ثُمَّ ثَنَّى بِالْمَرْأَةِ فَشَهِدَتْ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِيْنَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّغَضَبَ اللهِ عَلَيِهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ، ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ : اللهُ يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَاتَائِبٌ؟ – ثَلاَثًا.
وَفِي لَفْظٍ : لاَ سَبِيْلَ لَكَ عَلَيْهَا، فَقَالَ : يَارَسُولَ اللهِ، مَالِى؟ قَالَ : لاَ مَالَ لَكَ، إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتُ عَلَيْهَافَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا

Bahwa fulan bin fulan berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu jika salah seorang diantara kami mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang seharusnya ia lakukan?’ Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, maka dia berbicara untuk suatu perkara yang besar. Sedangkan jika dia diam, maka dia diam untuk perkara yang besar. Ibnu ‘Umar menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan tidak menjawabnya.
Setelah itu, orang tersebut mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi dan mengatakan, ‘Sesungguhnya permasalahan yang aku tanyakan kepadamu itu telah menimpaku.’ Oleh karena itu, Allah Ta’ala menurunkan banyak ayat dalam surat An-Nuur yang berbunyi, ‘Orang-orang yang menuduh istri-istri mereka melakukan perbuatan zina..’ Nabi membacakan ayat-ayat tersebut pada orang tadi. Beliau memberikan nasihat kepadanya, mengingatkannya dan memberitahu kepadanya bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada siksa di akhirat. Orang tadi mengatakan, ‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu sebagai seorang Nabi, aku tidaklah berdusta dalam tuduhan itu.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memanggil istri orang tersebut. Beliau memberinya nasihat, mengingatkannya, memberitahu bahwa siksa di dunia itu lebih ringan daripada siksa di akhirat. Wanita tersebut lantas berkata, ‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, sesungguhnya suamiku telah berdusta.’ Nabi memulai dari orang tersebut. Orang tersebut lantas memberikan kesaksian atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa dirinya adalah orang yang benar. Yang kelima adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya sekiranya dirinya berdusta.
Berikutnya adalah sang istri, wanita tersebut lantas bersaksi atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Yang kelima adalah bahwa dirinya akan mendapatkan kemurkaan Allah, jika ternyata suaminyalah yang benar. Setelah itu, Nabi menceraikan pasangan suami istri tersebut.’
Allah mengetahui bahwa salah satu diantara kalian telah berdusta. Apakah ada diantara kalian yang hendak bertaubat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata demikian sebanyak tiga kali.
Dalam lafazh lain disebutkan, ‘Engkau tidak boleh bersamanya untuk selamanya.’
Wahai Rasulullah, bagaimana dengan mas kawinku?’ kata orang tersebut. Nabi menjawab, ‘Mas kawin itu tidak lagi menjadi milikmu. Jika kamu memang benar, maka maskawin itu adalah sebagai ganti engkau telah menggaulinya. Namun, jika engkau berdusta, maka amat sangat tidak mungkin harta itu kembali kepadamu darinya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1493). Si fulan yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah Uwaimir Al-'Ajlani]

Dari kedua hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa praktik li’aan memiliki beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu:
  1. Seorang hakim memulai dengan mengingatkan pasangan suami istri agar bertaubat sebelum melakukan li’aan, lalu jika mereka berdua bersikeras untuk tetap melakukan li’an, selanjutnya;
  2. Seorang hakim memulai dengan memerintahkan suami untuk berdiri dan hakim berkata, “Katakanlah empat kali, ‘Aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berkata benar dalam tuduhan zina yang aku lemparkan kepada istriku.’”
  3. Kemudian suami berkata seperti apa yang diperintahkan oleh hakim di atas.
  4. Sebelum suami mengatakan kalimat la’nat (yang kelilma), hakim memerintahkan seseorang untuk meletakkan tangan di mulut suami, kemudian hakim berkata kepada suami, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ucapan tersebut menetapkan adanya siksa yang pedih.” Sehingga ia tidak terburu-buru untuk mengucapkan perkataan sumpah yang kelima kalinya sebelum mendapatkan nasihat, karena siksa dunia lebih ringan dari siksa akhirat.
  5. Jika suami bersikeras untuk li’an, maka ia mengucapkan, “Laknat Allah ditimpakan kepadaku jika aku termasuk kepada orang-orang yang berdusta.” Jika ia mengatakan hal ini maka tidak berlaku hadd qadzaf (hukuman akibat menuduh orang lain berzina). Jika ia menarik perkataannya, maka ia dihukum dengan hukumam menuduh orang lain melakukan zina (hadd qadzaf), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.
  6. Hakim berkata kepada istri, “Kamu pun harus mengucapkan perkataan seperti itu. Jika kamu tidak mau mengucapkannya maka kamu akan dihukum dengan hukuman zina (yakni dirajam).”
  7. Lalu si istri berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia (suami) termasuk orang-orang yang berdusta.” Sebanyak empat kali.
  8. Kemudian hakim memerintahkan seseorang untuk menghentikannya, agar memberikan nasihat dan memberitakan kepadanya bahwa hal itu akan menetapkan murka Allah sebelum dia bersaksi untuk yang kelima kalinya.
  9. Jika ia menarik kembali ucapannya dan mengakui perbuatannya, maka ia dihukum dengan hukuman zina, yaitu dirajam.
  10. Namun jika ia terus saja mengingkari tuduhan tersebut, maka ia diperintahkan untuk berkata, “Murka Allah kepadaku jika ia (suami) termasuk orang-orang yang benar.” Maka jika istri telah mengucapkannya, gugurlah hukuman rajam kepadanya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/432-433]
Apabila pasangan suami-istri telah melakukan li’an maka keduanya dipisahkan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan li’aan antara seorang laki-laki dan wanita dari kalangan Anshar, kemudian beliau memisahkan keduanya. Namun, para ‘ulama berselisih pendapat mengenai hukum perpisahan karena li’aan, apakah dia dihukumi sebagai talak ataukah fasakh (rusaknya akad nikah). [Lihat uraiannya dalam Terj. Subulus Salam (III/88-90)]

Catatan:
  • Bila seorang suami menuduh istrinya berselingkuh (berzina), tetapi keduanya tidak mengadukan masalah tersebut pada seorang hakim, maka wanita tersebut masih berstatus istrinya, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim An-Nakha’i dalam Mushannaf ‘Abdurrazzaq (no. 12911) dengan sanad yang shahih.
  • Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku tidak mendapati keperawanan darimu,” namun tidak bermaksud menuduhnya berzina, maka tidak berlaku hadd atau li’aan kepadanya. Karena hilangnya keperawanan seorang wanita tidak selalu diakibatkan karena senggama. Adapun jika suami berkata demikian dengan maksud menuduh istrinya telah berzina, maka hukum yang berlaku adalah wanita tersebut masih berstatus sebagai istrinya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/436]
bersambung insyaallah

***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
  • Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
  • Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
  • Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
  • Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
  • Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
  • Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
  • Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
  • Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
  • Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
  • Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
  • Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
  • Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
  • Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
  • ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh
Sumber:http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-6-sebab-talak-liaan.html