Suami yang bijak adalah orang yang mau menerima segala kekurangan
yang ada pada istrinya. Ia menyadari bahwa tidak ada wanita yang
sempurna, yang bisa memenuhi semua harapannya. Inilah salah satu kunci
terciptanya keharmonisan rumah tangga, yang selayaknya dimiliki oleh
setiap suami.
Pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak”, tak ada manusia
yang sempurna. Kenyataannya memang demikian, siapapun dia selama dia
disebut anak manusia, entah wanita ataupun lelaki, mesti ada
kekurangannya, tidak ada yang sempurna dalam segala sisi. Memang ada
manusia yang mempunyai banyak kelebihan namun jumlah mereka pun sedikit.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta, yakni hampir-hampir
dari seratus unta tersebut engkau tidak dapatkan satu unta pun yang
bagus untuk ditunggangi.” (HR. Al-Bukhari no. 6498 dan Muslim no. 2547)
Al-Khaththabi rahimahullahu berkata: “Mereka menafsirkan hadits di atas dengan dua sisi.” Beliau lalu menyebutkan sisi pertama. Setelahnya beliau berkata: “Sisi kedua: mayoritas manusia itu memiliki kekurangan. Adapun orang yang memiliki keutamaan dan kelebihan jumlahnya sedikit sekali. Maka mereka seperti kedudukan unta yang bagus untuk ditunggangi dari sekian unta pengangkut beban.” (Fathul Bari, 11/343)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan: “Orang yang diridhai keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna sifat-sifatnya, indah dipandang mata, kuat menanggung beban (itu sedikit jumlahnya).” (Syarah Shahih Muslim, 16/101)
Ibnu Baththal rahimahullahu juga menyatakan yang serupa tentang makna hadits di atas: “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang disenangi dari mereka jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Dalam kaitannya dengan kehidupan keluarga juga tidak bisa dipisahkan dengan pembicaraan tentang kekurangan dan ketidaksempurnaan manusia ini. Kesiapan menerima pasangan hidup dengan segala kekurangan yang ada padanya menjadi satu kemestian. Karena kita adalah anak manusia yang tidak sempurna, menikah dengan manusia yang tidak sempurna pula. Namun kenyataannya, dalam perjalanan rumah tangga terkadang muncul kekecewaan yang berbuah kebencian terhadap pasangan hidupnya karena kekurangan dimilikinya, walaupun tetap menyadari “tak ada gading yang tak retak”.
Perasaan tidak suka ini bila muncul dari pihak istri maka biasanya ia
lebih bisa menekan dan “memaksakan” dirinya untuk tetap menerima
suaminya. Beda halnya bila ketidaksukaan itu dirasakan oleh pihak suami,
mungkin pada akhirnya kebencian tumbuh di hatinya dan ujungnya vonis
talak pun dijatuhkan.
Dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita pahami bahwa jarang dijumpai orang yang terkumpul padanya segala kebaikan dan kelebihan. Demikian pula pada diri wanita yang memang diciptakan dari tulang yang bengkok, lebih jarang lagi didapatkan pada mereka segala kebaikan. Terkadang ada wanita yang parasnya cantik namun jelek lisannya. Terkadang ada yang ucapan dan tutur katanya manis memikat namun tidak pandai bergaul dengan suami. Ada yang pandai bergaul dengan suami namun tidak bisa mengurus rumahnya. Adapula wanita yang jelita, bagus perangainya, pandai bergaul dengan suami, bisa mengatur rumah akan tetapi ia sangat pencemburu atau tidak giat dalam ibadah.
Keadaan-keadaan semisal ini harusnya dipahami oleh seorang suami agar ia tidak larut dalam ketidaksukaan kepada istrinya, sebaliknya ia sabarkan dirinya dengan kekurangan yang ada.
Bersabar terhadap istri
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan bergaullah kalian dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian
bila kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin
kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan pada dirinya
kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)
Dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an (5/65), Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala: (“Kemudian bila kalian tidak menyukai
mereka”), dikarenakan parasnya yang buruk atau perangainya yang jelek,
namun bukan karena si istri berbuat keji dan nusyuz, maka dianjurkan
(bagi si suami) untuk bersabar menanggung kekurangan tersebut,
mudah-mudahan hal itu mendatangkan rizki berupa anak-anak yang shalih
yang diperoleh dari istri tersebut.”
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu berkata dalam Tafsir-nya terhadap ayat di atas:
“Yakni mudah-mudahan kesabaran kalian dengan tetap
menahan mereka (para istri dalam ikatan pernikahan), sementara kalian
tidak menyukai mereka, akan menjadi kebaikan yang banyak bagi kalian di
dunia dan di akhirat sebagaimana perkataan Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhuma tentang ayat ini: “Si suami mengasihani (menaruh iba) istri
(yang tidak disukainya) hingga Allah berikan rizki padanya berupa anak
dari istri tersebut dan pada anak itu ada kebaikan yang banyak.” (Tafsir
Ibnu Katsir , 1/173)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullahu berkata:
“Sepantasnya bagi kalian – wahai para suami– untuk tetap menahan istri
(dalam ikatan pernikahan) walaupun kalian tidak suka pada mereka. Karena
di balik yang demikian itu ada kebaikan yang besar.
Di antaranya adalah berpegang dengan perintah Allah dan menerima wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan dia tidak mencintainya, ada mujahadatun nafs (perjuangan jiwa) dan berakhlak dengan akhlak yang indah. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana (disaksikan dari) kenyataan yang ada. Dan bisa jadi dia mendapat rizki berupa seorang anak yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan tidak timbul perkara yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan tidak mungkin untuk tetap seiring bersama, maka si suami tidak dapat dipaksakan untuk tetap menahan istrinya (dalam pernikahan).” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Di antaranya adalah berpegang dengan perintah Allah dan menerima wasiat-Nya yang di dalamnya terdapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kebaikan lainnya adalah dengan ia memaksa dirinya untuk tetap bersama istrinya, dalam keadaan dia tidak mencintainya, ada mujahadatun nafs (perjuangan jiwa) dan berakhlak dengan akhlak yang indah. Bisa jadi ketidaksukaan itu akan hilang dan berganti dengan kecintaan sebagaimana (disaksikan dari) kenyataan yang ada. Dan bisa jadi dia mendapat rizki berupa seorang anak yang shalih dari istri tersebut, yang memberi manfaat kepada kedua orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Tentunya semua ini dilakukan bila memungkinkan untuk tetap menahan istri dalam pernikahan tersebut dan tidak timbul perkara yang dikhawatirkan. Bila memang harus berpisah dan tidak mungkin untuk tetap seiring bersama, maka si suami tidak dapat dipaksakan untuk tetap menahan istrinya (dalam pernikahan).” (Taisir Al-Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 173)
Sehubungan dengan permasalahan ini, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika ia tidak suka
satu tabiat / perangainya maka (bisa jadi) ia ridha (senang) dengan
tabiat / perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Hadits ini menunjukkan
larangan (untuk membenci), yakni sepantasnya seorang suami tidak
membenci istrinya, karena bila ia mendapatkan pada istrinya satu
perangai yang tidak ia sukai namun di sisi lain ia bisa dapatkan
perangai yang disenanginya pada si istri. Misal, istrinya tidak baik
perilakunya akan tetapi ia seorang yang beragama atau berparas cantik
atau menjaga kehormatan diri atau bersikap lemah lembut dan halus
padanya atau yang semisalnya.” (Syarah Shahih Muslim, 10/58)
Dengan demikian tidak sepantasnya seorang suami membenci istrinya dengan penuh kebencian hingga membawa dia untuk menceraikannya. Bahkan semestinya dia memaafkan kejelekan istrinya dengan melihat kebaikannya dan menutup mata dari apa yang tidak disukainya dengan melihat apa yang disenanginya dari istrinya.
Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: Abul Qasim bin Hubaib telah mengabarkan padaku di Al-Mahdiyyah, dari Abul Qasim As-Sayuri dari Abu Bakar bin Abdirrahman, ia berkata: Adalah Asy-Syaikh Abu Muhammad bin Zaid memiliki pengetahuan yang mendalam dalam hal ilmu dan kedudukan yang tinggi dalam agama. Beliau memiliki seorang istri yang buruk pergaulannya dengan suami. Istrinya ini tidak sepenuhnya memenuhi haknya bahkan mengurang-ngurangi dan menyakiti beliau dengan ucapannya. Maka ada yang berbicara pada beliau tentang keberadaan istrinya namun beliau memilih untuk tetap bersabar hidup bersama istrinya. Beliau pernah berkata: “Aku adalah orang yang telah dianugerahkan kesempurnaan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kesehatan tubuhku, pengetahuanku dan budak yang kumiliki. Mungkin istriku ini diutus sebagai hukuman atas dosaku, maka aku khawatir bila aku menceraikannya akan turun padaku hukuman yang lebih keras daripada apa yang selama ini aku dapatkan darinya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/65)
Sulitnya meluruskan kebengkokan istri
Seorang suami tentunya tidak boleh berdiam diri membiarkan begitu saja
kekurangan yang ada pada istrinya. Bahkan dia harus berupaya
meluruskannya dengan lembut dan perlahan agar tidak mematahkannya.
Tentunya lurusnya istri tidak bisa sempurna karena akan tetap ada
kebengkokan padanya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok.[2] Dia
tidak akan lurus untukmu di atas satu jalan. Jika engkau
bersenang-senang dengannya, maka engkau bisa melakukannya namun padanya
ada kebengkokan. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya maka engkau
akan mematahkannya, dan patahnya itu adalah menceraikannya.[3]″ (HR.
Al-Bukhari no. 5184 Muslim no. 1468)
“Mintalah wasiat dari diri-diri kalian dalam masalah hak-hak para wanita[4], karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah bagian paling atasnya. Bila engkau paksakan untuk meluruskannya maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau biarkan, ia akan terus menerus bengkok. Maka mintalah wasiat dari diri-diri kalian dalam masalah hak-hak para wanita.” (HR. Al-Bukhari no. 3331, 5186)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Dalam hadits ini (ada anjuran
untuk) bersikap lembut kepada para istri, berbuat baik kepada mereka,
bersabar atas kebengkokan akhlak / perangai mereka serta bersabar dengan
kelemahan akal mereka. Hadits ini juga menunjukkan tidak disukainya
menceraikan mereka tanpa sebab dan tidak boleh terlalu bersemangat /
berlebihan untuk meluruskan mereka, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih
Muslim, 10/57)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata:
“Dipahami
dari hadits ini bahwasanya tidak boleh membiarkan istri di atas
kebengkokannya, apabila ia melampaui kekurangan yang merupakan tabiatnya
dengan melakukan maksiat atau meninggalkan kewajiban. Adapun dalam
perkara-perkara mubah, ia dibiarkan apa adanya. Dalam hadits ini
menunjukkan disenanginya penyesuaian diri untuk menarik jiwa, mengambil
dan mendekatkan hati, sebagaimana hadits ini menunjukkan pengaturan
terhadap para istri dengan memaafkan mereka dan bersabar atas
kebengkokan mereka. Siapa yang hendak meluruskan mereka, maka akan luput
darinya kemanfaatan yang diperoleh dari mereka, sementara tidak ada
seorang lelaki pun yang tidak merasa butuh terhadap wanita guna
memperoleh ketenangan (sakinah) dengannya dan untuk menolongnya dalam
kehidupannya. Sehingga seakan-akan bisa dikatakan: Bernikmat-nikmat
dengan wanita (istri) tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar
terhadap mereka.” (Fathul Bari, 9/306)
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
_______________
1 Rahilah adalah unta yang cerdik, pilihan dan bagus untuk
ditunggangi ataupun untuk keperluan lainnya karena sifat-sifatnya yang
sempurna. (Syarah Shahih Muslim, 16/101)
2 Dalam hadits ini ada dalil terhadap ucapan fuqaha atau sebagian mereka
bahwasanya Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
“Dia menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menciptakan dari
jiwa yang satu itu pasangannya.” (Syarah Shahih Muslim, 10/57)
3 Bila engkau menginginkan istrimu untuk meninggalkan kebengkokannya
maka ujung dari perkara ini adalah berpisah (cerai) dengannya. (Fathul
Bari, 6/447)
4 Atau dengan makna: Aku wasiatkan kalian agar berbuat kebaikan terhadap
para wanita maka terimalah wasiatku ini tentang perkara mereka dan
amalkanlah. (Fathul Bari, 9/306)
Sumber: http://akhwat.web.id/
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/06/jangan-terlalu-membenci-istri.html