Seorang manusia tidak akan selamanya merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi ini.
Allah ta’ala telah menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan.
Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi.
Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga disebabkan oleh perceraian.
Bagaimanakah Islam mengatur masalah perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?
Ketika Harus Berpisah
Perpisahan yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang lebih luas daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk itu, kita harus mengetahui beberapa masalah yang dibahas dalam ruang lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinya perpisahan.
A. Definisi dan Hukum Talak
Talak
( الطلاق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut
diambil dari lafazh لإطلاق yang maknanya adalah melepaskan dan
meninggalkan. Sedangkan talak menurut istilah hukum syara’ adalah
melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu: [Lihat uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]- Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
- Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
- Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
- Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
- Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
B. Hukum Talak tanpa Sebab
Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“Sesungguhnya iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: Saya telah melakukan godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan apa-apa. Datang yang lain melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya. Kemudian iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk diantara perbuatan yang disukai iblis.
Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air dan di atas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis, karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu, salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri.
Allah Subhana wa Ta'ala berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
Mereka belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah: 102)
bersambung insyaallah
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh