(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّاب
خَرَجَ إِلَى الشَّامِ، حَتَّى إِذَا كَانَ بِسَرْغٍ لَقِيَهُ
أُمَرَاءُ الْأَجْنَادِ، أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ وَأَصْحَابُهُ،
فَأَخْبَرُوهْ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِأَرْضِ الشَّامِ. قَالَ
ابْنُ عَبَّاسٍ: فَقَالَ عُمَرُ: ادْعُ لِي الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ.
فَدَعَاهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ، وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ
وَقَعَ بِالشَّامِ، فَاخْتَلَفُوا، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: قَدْ خَرَجْتَ
لِأَمْرٍ، وَلَا نَرَى أَنْ تَرْجِعَ عَنْهُ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: مَعَكَ
بَقِيَّةُ النَّاسِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n، وَلَا نَرَى أَنْ
تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَباَءَ. فَقَالَ: ارْتَفِعُوا عَنِّي. ثُمَّ
قَالَ: ادْعُ لِي الْأَنْصَارَ. فَدَعَوْتُهُمْ فَاسْتَشَارَهُمْ،
فَسَلَكُوا سَبِيلَ الْمُهَاجِرِينَ وَاخْتَلَفُوا كَاخْتِلَافِهِمْ،
فَقَالَ: ارْتَفِعُوا عَنِّي. ثُمَّ قَالَ: ادْعُ لِي مَنْ كَانَ هَا هُنَا
مِنْ مَشَيْخَةِ قُرَيْشٍ مِنْ مُهَاجِرَةِ الْفَتْحِ. فَدَعَوْتُهُمْ،
فَلَمْ يَخْتَلِفْ مِنْهُمْ عَلَيْهِ رَجُلَانِ، فَقَالُوا: نَرَى أَنْ
تَرْجِعَ بِالنَّاسِ وَلَا تُقْدِمَهُمْ عَلَى هَذَا الْوَبَاءَ. فَنَادَى
عُمَرُ فِي النَّاسِ: إِنِّي مُصَبِّحٌ عَلَى ظَهْرٍ فَأَصْبِحُوا
عَلَيْهِ. قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ: أَفِرَاراً مِنْ
قَدَرِ اللهِ؟ فَقَالَ عُمَرُ: لَوْ غَيْرُكَ قَالَهَا، يَا أَبَا
عُبَيْدَةَ؟! نَعَمْ، نَفِرُّ مِنْ قَدَرِ اللهِ إِلَى قَدَرِ اللهِ،
أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ إِبِلٌ هَبَطَتْ وَادِياً لَهُ عَدوتان،
إِحْدَاهُمَا خَصْبَةٌ، وَالْأُخْرَى جَدْبَةٌ، أَلَيْسَ إِنْ رَعَيْتَ
الْخَصْبَةَ رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ، وَإِنْ رَعَيْتَ الْجَدْبَةَ
رَعَيْتَهَا بِقَدَرِ اللهِ؟ قَالَ: فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
عَوْفٍ، وَكَانَ مُتَغَيِّباً فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ، فَقَالَ: إِنَّ
عِنْدِي فِي هَذَا عِلْماً، سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ n يَقُولُ: إِذَا
سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ
بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ. قَالَ:
فَحَمِدَ اللهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ.
Abdullah bin Abbas mengisahkan kala Umar bin al-Khaththab melakukan
perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh [1], beliau ditemui oleh
para amir kota-kota wilayah Syam[2], Abu Ubaidah dan para sahabatnya[3].
Mereka mengabarkan bahwa wabah tha’un sedang melanda Syam.
Umar berkata, “Kumpulkan kepadaku sahabat muhajirin yang
pertama!”[4] Umar memberitahukan kepada mereka bahwa wabah tha’un telah
berjangkit di Syam lalu meminta pendapat mereka. Ternyata sahabat
Muhajirin berselisih pendapat. Sebagian mereka berkata, “Engkau pergi
untuk suatu urusan dan kami tidak sepakat jika engkau kembali.” Sebagian
lain berkata, “Bersama engkau masih banyak rakyat dan para sahabat.
Kami tidak sepakat jika engkau membawa mereka menuju wabah tha’un.”
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku. Tolong panggilkan sahabat-sahabat
Anshar!” Aku pun memanggil mereka. Ketika dimintai pertimbangan, mereka
juga bersikap dan berbeda pendapat seperti halnya orang-orang Muhajirin.
Umar berkata, “Tinggalkanlah aku!” Lalu ia berkata, “Panggilkan
sesepuh Quraisy yang dahulu hijrah pada waktu penaklukan (Fathu Makkah)
dan sekarang berada di sini!” Aku pun memanggil mereka. Mereka ternyata
tidak berselisih. Mereka semua berkata, “Menurut kami, sebaiknya engkau
kembali bersama orang-orang dan tidak mengajak mereka mendatangi wabah
ini.”
(Setelah mendengar berbagai pendapat –pen.) Umar berseru di
tengah-tengah manusia (berijtihad memutuskan apa yang beliau anggap
mendekati kebenaran –pen.), “Sungguh aku akan mengendarai tungganganku
untuk pulang esok pagi. Hendaknya kalian mengikuti!”
Abu Ubaidah bin Jarrah bertanya, “Apakah untuk menghindari takdir Allah?”
Umar menjawab, “Kalau saja bukan engkau yang mengatakan itu, wahai
Abu Ubaidah (tentu aku tidak akan heran –pen.). Ya, kita lari dari satu
takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Apa pendapatmu seandainya
engkau mempunyai seekor unta yang turun di sebuah lembah yang memiliki
dua lereng, salah satunya subur dan yang kedua tandus. Jika engkau
menggembalakannya di tempat yang subur, bukankah engkau
menggembalakannya dengan takdir Allah? Begitu pun sebaliknya. Kalau
engkau menggembalakannya di tempat yang tandus, bukankah engkau
menggembalakannya juga dengan takdir Allah?” (Demikian pula, apa yang
kita putuskan tidak lepas dari takdir Allah, sebagaimana yang dilakukan
penggembala yang mengarahkan kambingnya dari tanah yang tandus menuju
tanah yang subur tidak lepas dari takdir Allah –pen.)
Ibnu Abbas berkata, “Tiba-tiba datanglah Abdurrahman bin ‘Auf, yang
sebelumnya tidak hadir karena keperluannya. Ia berkata, ‘Sungguh aku
memeliki ilmu tentang masalah ini. Aku mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا
وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَاراً مِنْهُ
‘Jika engkau mendengar wabah tha’un di sebuah negeri, maka janganlah
kalian memasukinya. Dan seandainya wabah tha’un terjadi di negeri yang
engkau tinggali, janganlah engkau meninggalkan negerimu karena lari dari
tha’un’.”
Ibnu Abbas berkata, “(Begitu mendengar hadits tersebut), Umar memuji Allah lalu meninggalkan majelis.”
Takhrij Hadits
Riwayat Abdullah bin Abbas dikeluarkan al-Bukhari dalam Shahih-nya,
Kitab ath-Thib (Pengobatan), “Bab Tentang Penyakit Tha’un” (10/178 no.
5729 dengan Fathul Bari). Lihat pula no. 5730 dan 6973.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, Kitab
As-Salam (4/1740 no. 2219), Abu Dawud dalam as-Sunan, Kitab Jenazah,
“Bab Keluar dari Penyakit Tha’un” (no. 3103), al-Imam Ahmad dalam
al-Musnad (1/194), Malik dalam al-Muwaththa’, dan Ibnu Sa’d dalam
ath-Thabaqat al-Kubra.
Penjelasan Hadits
Abdullah bin Abbas mengabarkan kepada kita perjalanan Amirul
Mukminin, Umar bin al-Khaththab menuju Syam bersama rombongan sahabat di
masa kekhilafahan beliau.
Badruddin Mahmud bin Ahmad al-‘Aini (wafat 855 H) berkata,
“Perjalanan tersebut terjadi pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 18 H. Adapun
Khalifah bin Khayyath (wafat 240 H) menyebutkan bahwa keluarnya Umar
menuju Syam kali itu terjadi di tahun 17 H untuk melihat keadaan rakyat
dan para gubernur. Sebelumnya, di tahun 16 H, Umar juga pernah pergi ke
Syam, yaitu ketika Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah mengepung Baitul
Maqdis (hingga dikuasai oleh kaum muslimin).
Penduduk Baitul Maqdis menginginkan sulh (perjanjian damai)
dilakukan oleh Umar sendiri. Oleh karena itu, pergilah beliau (menuju
Syam) untuk tujuan tersebut. (Umdatul Qari, 21/283)[5]
Di tengah perjalanan, datang berita bahwa tha’un tengah melanda
Syam. Umar bin al-Khaththab zdan para sahabat bermusyawarah merumuskan
kebijakan menyikapi berita tersebut.
Terjadi perbedaan pandangan di antara sahabat. Masing-masing
memiliki ijtihad, apakah tetap melanjutkan perjalanan masuk ke Syam atau
kembali ke Madinah. Dari musyawarah yang cukup panjang dan dengan
segenap pertimbangan, Umar bin al-Khaththab berijtihad memutuskan
kembali ke Madinah bersama sahabat. Beliau merajihkan pendapat
kebanyakan sahabat yang ternyata mencocoki sabda Rasulullah yang
dibawakan oleh Abdurrahman bin Auf
Saudaraku, semoga Allah merahmati Anda. Tha’un adalah penyakit yang
mewabah secara merata, menimpa wilayah tertentu, dengan takdir Allah.
Tha’un memakan korban yang sangat banyak.
Tha’un yang terjadi di zaman Umar bin al-Khaththab, yang dikisahkan
dalam riwayat Ibnu Abbas terkenal sebagai tha’un ‘Amwas, nama sebuah
kota di wilayah Palestina yang berjarak lebih kurang enam mil dari kota
Ramallah[6]
Menurut pendapat jumhur, Tha’un ‘Amwas terjadi pada tahun 18 H.
Akibat wabah tersebut, sekitar 25 hingga 30 ribu muslimin meninggal.
Termasuk di antara mereka adalah sahabat Abu Ubaidah ‘Amir bin
al-Jarrah, salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan
jannah (masuk surga) dari Rasulullah. Tha’un ‘Amwas termasuk salah satu
tanda kiamat yang telah dikabarkan sebelumnya oleh Rasulullah dalam
sabdanya:
اعْدَدْ سِتًّا بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ: مَوْتِي، ثُمَّ فَتْحَ
بَيْتِ الْمَقْدِسِ، ثُمَّ مَوْتَانِ يَأْخُذُ فِيْكُمْ كَقُعَاصِ
الْغَنَمِ …
“Nantikan enam perkara sebelum hari kiamat: Kematianku, kemudian
ditaklukkannya Baitul Maqdis, lalu kematian besar menimpa kalian seperti
penyakit Qu’ash[7] pada kambing ….” (HR. al-Bukhari dalam ash-Shahih,
Kitab Jizyah, no. 3176 dari Auf bin Malik )[8]
Ibnu Hajar berkata, “Tanda kiamat yang disebut dalam hadits ini
terwujud pada Tha’un ‘Amwas di masa kekhilafahan Umar, sesudah
direbutnya Baitul Maqdis.” (Fathul Bari 6/278)
Iman Kepada Takdir, Pokok Keimanan
Kisah perjalanan Umar bin al-Khaththab kita fokuskan dalam
pembahasan ini untuk menunjukkan bagaimana sahabat Rasulullah beriman
kepada takdir. Mereka memahami bahwa iman kepada takdir tidak bermakna
putus asa dan lari dari usaha.
Perhatikan kisah di atas. Ketika Abu Ubaidah bertanya kepada Umar,
“Apakah engkau akan lari dari takdir Allah dengan kembali ke Madinah?”
Umar bin al-Khaththab menjawab dengan sebuah permisalan yang indah
tentang seorang penggembala yang selalu berusaha mencari tempat yang
paling banyak rumputnya untuk hewan gembalaannya. Jika ia dapatkan dua
lahan, yang satu gersang dan yang lain subur, tentu ia akan mengarahkan
unta atau kambingnya menuju lahan yang subur. Semua itu tidak luput dari
takdir Allah.
Iman kepada takdir adalah salah satu pokok keimanan yang ditunjukkan
oleh Al-Qur’an, as-Sunnah, dan kesepakatan kaum mukminin. Allah
berfirman:
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (al-Qamar: 49)
Hakikat iman kepada takdir adalah mengimani ilmu Allah yang
Mahasempurna. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu: yang belum terjadi,
yang sedang terjadi, yang telah terjadi, dan yang tidak terjadi.
Seandainya sesuatu yang tidak terjadi itu terjadi, Allah Mahatahu
bagaimana terjadinya. Dengarlah firman Allah tentang penduduk neraka
yang kekal di dalamnya ketika mengharapkan kembali ke alam dunia. Allah
Mahatahu apa yang akan mereka lakukan seandainya dikembalikan ke dunia:
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka,
lalu mereka berkata, “Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak
mendustakan ayat-ayat Rabb kami, serta menjadi orang-orang yang
beriman”, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan).
Tetapi, (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka
dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia,
tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang
mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta
belaka. (al-An’am: 27—28)
Demikianlah ilmu Allah. Tidak ada sedikit pun yang luput dari
ilmu-Nya. Berdasarkan ilmu yang sempurna itu, Allah menulis segala
sesuatu yang akan terjadi di Lauhul Mahfuzh, 50 ribu tahun sebelum Allah
menciptakan langit dan bumi. Rasulullah bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat takdir-takdir makhluk-makhluk-Nya 50.000 tahun
sebelum Dia ciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim, Kitab
al-Qadar, no. 2653 dari Abdullah bin ‘Amr )
Apa yang telah tercatat dalam Lauhul Mahfuzh terjadi dengan rinci,
satu per satu. Semua dengan penciptaan dari Allah dan di bawah
kehendak-Nya. Tidak ada satu pun yang terlepas dari ilmu, kehendak, dan
penciptaan Allah. Allahu Akbar.
Tidak Beriman, Orang yang Mengingkari Takdir
Pengingkar takdir bukanlah golongan orang yang beriman. Amalan mereka sia-sia dan tidak diterima oleh Allah.
Oleh karena itu, ketika sahabat Abdullah bin Umar mendengar berita
munculnya Qadariyah—yaitu kaum yang mengingkari takdir, yang ditokohi
oleh Ma’bad al-Juhani—di Bashrah, dengan tegas Ibnu Umar berkata:
فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ
وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ
عُمَرَ، لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا فَأَنْفَقَهُ، مَا
قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ
“Jika engkau berjumpa dengan mereka (Qadariyah), kabarkanlah
bahwasanya aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri
dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya,
seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar Gunung Uhud
lalu diinfakkan, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman
kepada takdir.”
Di atas keyakinan inilah para sahabat berpijak. Di atas akidah
inilah salafus shalih bersandar. Al-Imam Ibnu Majah meriwayatkan kisah
Ibnu Dailami t saat ia mengadukan kegelisahan hatinya mengenai takdir
kepada para sahabat hingga mendapatkan jawaban yang sangat menyejukkan.
Ibnu Dailami berkata, “Ada sesuatu yang tidak baik dalam diriku
tentang takdir. Aku sangat khawatir hal ini merusak agama dan urusanku.
Aku pun datang kepada Ubai bin Ka’b dan bertanya, ‘Wahai Abul Mundzir,
sungguh dalam diriku ada bisikan yang kurang baik tentang takdir. Aku
mengkhawatirkan agamaku dan urusanku. Nasihati aku tentang hal itu,
semoga Allah memberikan manfaat kepadaku dengannya.’
Ubai berkata, ‘(Wahai Ibnu Dailami, janganlah engkau bimbang dengan
takdir). Seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit dan bumi-Nya,
sungguh Ia tidak menzalimi hamba-Nya. Demikian pula, seandainya Allah
merahmati mereka (memasukkan mereka ke dalam jannah-Nya), sungguh
rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka.[9] Seandainya engkau memiliki
emas sejumlah Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah, amalanmu
tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir. Hingga engkau
yakin bahwa apa yang telah ditakdirkan akan menimpamu tidak akan meleset
darimu, dan apa yang ditakdirkan tidak menimpamu tidak akan menimpamu.
Sungguh, seandainya engkau mati dalam keadaan tidak beriman kepada
takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka. (Wahai Ibnu Dailami), kalau
engkau mau, pergilah kepada saudaraku,
Abdullah bin Mas’ud dan bertanyalah.’
Aku pun mendatangi Ibnu Mas’ud dan bertanya kepadanya. Ternyata, ia
menjawab seperti jawaban Ubai. Lalu Ibnu Mas’ud berkata, ‘Coba engkau
datangi Hudzaifah!’
Aku pun mendatangi beliau. Aku tanyakan masalahku. Beliau menjawab
seperti jawaban Ibnu Mas’ud. Kemudian Hudzaifah berkata, ‘Cobalah engkau
datangi Zaid bin Tsabit, tanyakan kepadanya!’
Aku pun bertanya kepada Zaid, lalu beliau berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّ اللهَ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ وَأَهْلَ أَرْضِهِ
لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ لَكَانَتْ
رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ. وَلَوْ كَانَ لَكَ مِثْلُ
أُحُدٍ ذَهَبًا أَوْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ تُنْفِقُهُ فِي سَبِيلِ اللهِ
مَا قَبِلَهُ مِنْكَ حَتَّى تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ كُلِّهِ. فَتَعَلَّمْ
أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ. وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ
يَكُنْ لِيُصِيبَكَ. وَأَنَّكَ إِنْ مُتَّ عَلَى غَيْرِ هَذَا دَخَلْتَ
النَّارَ
“Sungguh, seandainya Allah mengazab penduduk langit-langit-Nya dan
bumi-Nya sungguh Dia mengazab tanpa menzalimi hamba-Nya. Demikian pula,
seandainya Allah merahmati mereka (memasukkan mereka ke jannah-Nya),
sungguh rahmat-Nya melebihi amalan-amalan mereka. Seandainya engkau
memiliki emas sebesar Gunung Uhud yang engkau infakkan fi sabilillah,
amalanmu tidak akan diterima hingga engkau beriman kepada takdir
seluruhnya dan engkau meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan akan
menimpamu tidak akan meleset darimu, apa yang ditakdirkan tidak
menimpamu tidak akan mengenaimu. Sungguh, seandainya engkau mati tanpa
beriman kepada takdir, engkau akan masuk ke dalam neraka.” (Muqaddimah
Sunan Ibnu Majah, Bab al-Qadar, no. 77, disahihkan oleh al-Albani )
Renungilah jawaban para sahabat yang mulia saat Ibnu Dailami
bertanya tentang takdir! Semua memiliki keyakinan yang sama tentang
takdir. Sebuah keyakinan yang diajarkan oleh Rasulullah.
Di antara hadits yang menunjukkan takdir Allah adalah hadits
Abdullah bin Mas’ud. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya, setiap orang di
antara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat
puluh hari dalam bentuk nuthfah (air mani), kemudian menjadi ‘alaqah
(segumpal darah) selama waktu itu juga, kemudian menjadi mudhghah
(segumpal daging) selama itu juga. Setelah itu, diutuslah seorang
malaikat kepadanya, kemudian meniupkan ruh kepadanya. Malaikat itu
diperintahkan menulis empat kalimat: rezekinya, ajalnya, amalnya, dan
nasib celaka atau keberuntungannya. Demi Allah, Dzat yang tiada
sesembahan yang haq selain-Nya, sesungguhnya ada di antara kalian yang
melakukan amalan penduduk surga hingga antara dirinya dan surga tinggal
sejarak satu hasta. Namun, karena takdir yang telah ditetapkan atas
dirinya, dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga masuk ke
dalamnya. Dan sesungguhnya, ada seseorang di antara kalian yang
melakukan amalan penduduk neraka, dan amal itu mendekatkannya ke neraka
sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta. Namun,
karena takdir yang telah ditetapkan atas dirinya, dia melakukan amalan
penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.”
Iman kepada Takdir Tidak Bermakna Mengabaikan Ikhtiar
Takdir bukan maknanya seseorang malas menempuh usaha. Ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul menunjukkan pokok yang agung ini.
Rasulullah bersabda:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجِزْ،
فَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَذَا
وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ.
Bersemangatlah kamu menempuh apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah
pertolongan kepada Allah, dan jangan sekali-kali kamu malas. Jika
sesuatu menimpamu, janganlah kamu katakan, “Seandainya dahulu aku
lakukan ini dan itu, niscaya akan demikian dan demikian.” Namun,
katakanlah, “Ini adalah takdir Allah, apa yang Ia kehendaki pasti
terjadi.”
Rasulullah membimbing umatnya untuk bersemangat berikhtiar, menempuh
usaha yang bermanfaat dalam urusan dunia dan agama. Perintah Rasulullah
kepada umatnya untuk berusaha, beliau gabungkan dengan iman kepada
takdir. Ini menunjukkan bahwa iman kepada takdir tidak bertentangan
dengan usaha.
Benar, penduduk jannah (surga) telah ditetapkan, tidak akan meleset dari apa yang telah ditentukan oleh Allah.
Demikian pula, penduduk neraka telah Dia tentukan, dan pasti mereka
akan memasukinya. Namun, bersamaan dengan itu Allah memerintah kita
untuk beramal. Sungguh, seorang yang jujur dalam beramal akan Dia
mudahkan jalan menuju jannah-Nya. Sesungguhnya Allah l adalah Dzat Yang
Mahaadil, tidak menzalimi hamba-Nya. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ n وَهُوَ يَنْكُثُ فِي الْأَرْضِ
إِذْ رَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ثُمَّ قَالَ: مَا مِنْكُمْ مِنْ
أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ عُلِمَ -قَالَ وَكِيعٌ: إِلاَّ قَدْ كُتِبَ- مَقْعَدُهُ
مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ. قَالُوا: أَفَلَا نَتَّكِلُ
يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: لَا، اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ
لَهُ
Kami bersama Rasulullah yang sedang menggores-gores tanah, ketika
beliau mengangkat wajah ke langit lalu bersabda, “Tidak ada seorang pun
di antara kalian melainkan telah diketahui—dalam riwayat Waki’: telah
ditentukan—tempatnya di neraka dan tempatnya di Jannah.” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah berarti kita bersandar saja (dengan
takdir dan tidak beramal)?” Rasulullah bersabda, “Tidak, beramallah
kalian, karena masing-masing akan dimudahkan kepada apa yang telah
ditentukan untuknya.”[10]
Dalam riwayat lain, Rasulullah membacakan firman Allah:
“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami
kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang
yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang
terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.”
(al-Lail: 5—10)
Mengapa Manusia Membedakan Urusan Dunia dan Akhirat?
Orang-orang yang malas beribadah, saat diingatkan tentang surga dan
neraka, dengan enteng mengatakan, “Bukankah surga dan neraka sudah
ditakdirkan? Apalah artinya beramal? Toh, seandainya aku beramal saleh
tetapi neraka telah ditakdirkan untukku, akan sia-sia semua amalan.
Sebaliknya, kalau aku malas beribadah namun surga telah ditakdirkan
untukku, niscaya surga tidak akan lari dariku”
Saudaraku, ungkapan di atas sesungguhnya bisikan dan was-was setan.
Dalam urusan akhirat, manusia dibujuk untuk meninggalkan amalan dan
bersandar kepada takdir. Namun, dalam urusan dunia, setan terus
mengembuskan syahwat dunia sehingga seorang berambisi terhadapnya dan
melupakan negeri akhirat. Siang malam keringat diperas, semua kekuatan
dicurahkan untuk mengais emas dan perak.
Sungguh sangat mengherankan! Dalam urusan akhirat, mereka
meninggalkan ikhtiar. Namun, dalam urusan dunia, mereka sadar bahwa
duduk di rumah dan bersandar kepada takdir tanpa usaha adalah bentuk
kebodohan.
Dua sikap yang bertolak belakang ini sungguh mengherankan.
Seharusnya manusia tidak membedakan urusan dunia dan akhirat dalam hal
beriman terhadap takdir dan menempuh usaha.
Sebagaimana ia berusaha mendapatkan rezeki di dunia, yang semuanya
telah ditakdirkan oleh Allah, demikian pula seharusnya ia berusaha
menempuh amalan yang menyelamatkan dirinya dari neraka dan melakukan
amalan saleh demi kebahagiaannya di akhirat, yang semua itu juga telah
ditakdirkan oleh Allah.
Beberapa Faedah Riwayat Ibnu Abbas
Perjalanan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab, menyimpan banyak
faedah dalam masalah akidah, ushul fiqih, hukum-hukum, dan adab. Berikut
ini di antaranya.
1. Seorang pemimpin hendaknya keluar untuk melihat sendiri keadaan rakyatnya.
2. Perjalanan Umar adalah teladan dalam ketawadhuan. Beliau termasuk
al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapat pujian dari Rasulullah. Bahkan,
beliau telah dijamin sebagai ahlul jannah. Namun, kemuliaan itu tidak
menghalangi beliau untuk keluar melihat keadaan rakyatnya. Demikianlah
seharusnya seorang pemimpin.
3. Ketika pemimpin melihat sendiri keadaan rakyatnya, hal ini akan
membuat takut musuh Allah dan ahlul fasad (pembuat kerusakan) sehingga
mereka segera menghentikan kezaliman.
4. Berkumpul dengan ulama, sebagaimana amir-amir Syam menjumpai Umar bin al-Khaththab.
5. Pentingnya musyawarah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi,
sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Al-Qur’an dan dicontohkan oleh
Sunnah Rasulullah.
6. Mendahulukan ahlul fadhl (orang-orang yang memiliki keutamaan dalam hal ilmu dan amal) dalam bermusyawarah.
7. Menempatkan manusia sesuai kedudukan mereka. Kaum Muhajirin lebih
mulia daripada kaum Anshar, dan kaum Anshar lebih mulia daripada
sahabat yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah.
8. Disyariatkan munazharah (diskusi ilmiah), sebagaimana yang
terjadi antara Umar dan Abu Ubaidah Amir bin al-Jarrah. Melalui diskusi
yang penuh adab, akan teranglah perkara yang samar dan tampaklah
kebenaran.
9. Adanya tarjih (menguatkan satu pendapat dari beberapa pendapat
yang diperselisihkan, dengan memerhatikan faktor-faktor penguat yang
mengitarinya).
Dalam kisah ini, Umar memilih pendapat kembali ke Madinah, karena
pendapat ini disepakati sesepuh Quraisy yang tentu memiliki banyak
pengalaman sebagai orang tua, di samping pendapat ini adalah pendapat
mayoritas Muhajirin dan Anshar.
10. Hadits di atas menunjukkan kefaqihan dan keutamaan Umar dalam hal ilmu.
Hal ini dilihat dari sisi bahwa ijtihad beliau sesuai dengan hadits
Rasulullah yang dibawa oleh Abdurrahman bin Auf setelah berjalannya
musyawarah.
11. Imam (khalifah) memutuskan perselisihan di kalangan umat dalam
masalah ijtihadiah, sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab
memutuskan untuk kembali ke Madinah setelah adanya perbedaan pendapat
dan memerintahkan rakyatnya mengikuti beliau.[11]
12. Khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah ijtihadiah tidak
menyebabkan terputusnya hubungan (boikot) atau saling mencela dan
mengeluarkan pihak yang lain dari lingkaran Ahlus Sunnah, sebagaimana
fenomena menyedihkan ini terjadi di sekitar kita. Allahul musta’an.
13. Di antara sebab terjadinya khilaf di antara ulama adalah tidak sampainya dalil sehingga ulama terpaksa untuk berijtihad.
14. Bolehnya ijtihad di saat safar atau peperangan.
15. Boleh jadi suatu ilmu tidak diketahui oleh seorang yang alim.
Lihatlah Umar beserta sahabat Muhajirin dan Anshar. Mereka tidak mendengar hadits yang didengar oleh Abdurrahman ibnu Auf.
16. Tetap mengambil ilmu meskipun dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkat keilmuannya.
17. Hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan.
Dalam kisah di atas, seluruh sahabat—yang tidak diragukan adalah
ahlul halli wal ‘aqdi—bersepakat menerima berita Abdurrahman bin Auf ,
padahal beliau meriwayatkan hadits di atas seorang diri. Ini sekaligus
bantahan terhadap Mu’tazilah dan sejalan dengan mereka dari kalangan
para pengingkar hadits ahad.[12]
18. Dipakainya qiyas dalam pengambilan hukum. Tentu saja dengan syarat-syaratnya, di antaranya tidak adanya nash.
Dalam kisah ini Umar mengiaskan masalah yang sedang dihadapi dengan
seorang penggembala di hadapan dua lembah, yang satu gersang dan yang
lain subur.
19. Semangat untuk kembali kepada al-haq (kebenaran) ketika terjadi perselisihan.
Jika ada nash, tidak ada lagi ijtihad, siapa pun orangnya. Jika
telah datang dalil, yang ada hanyalah berserah diri kepada dalil
tersebut.
20. Al-Qur’an dan hadits adalah ilmu.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Auf, “Aku memiliki ilmu.” Yang beliau maksud adalah hadits Rasulullah.
21. Menyampaikan ilmu ketika safar.
22. Hadits ini juga menunjukkan sebuah masalah penting yang diyakini
oleh para sahabat dan generasi salaf, yaitu beriman kepada takdir.
23. Tidak ada sesuatu yang keluar dari takdir Allah. Masuk ke Syam atau tidak, semuanya dengan takdir.
24. Iman kepada takdir tidak meniadakan usaha, sebagaimana halnya
Umar memilih kembali ke Madinah, seperti penggembala unta berusaha
menggiring untanya menuju lembah yang subur.
25. Wali-wali Allah l tidaklah ma’shum (terbebas dari kesalahan).
Ketika berijtihad, mereka terkadang sesuai dengan al-haq, terkadang pula
menyelisihinya.
26. Wali-wali Allah l tidak mengetahui urusan gaib.
Umar bin al-Khaththab, sahabat Muhajirin, dan sahabat Anshar g,
tidak mengetahui terjadinya tha’un ‘Amwas. Demikian pula, mereka tidak
mengetahui ilmu yang diketahui oleh Abdurrahman bin ‘Auf sehingga mereka
pun harus berijtihad.
27. Wali-wali Allah selalu terikat dengan syariat: Al-Kitab dan as-Sunnah.
Lihatlah tiga orang yang dijamin masuk surga,: Umar bin
al-Khaththab, Abu Ubaidah ‘Amir bin al-Jarrah, dan Abdurrahman bin ‘Auf,
yang disebut namanya dalam hadits ini. Semuanya tunduk kepada hadits
Rasullallah, demikian pula kaum Muhajirin dan Anshar yang juga merupakan
wali-wali Allah.
28. Terjadinya Tha’un ‘Amwas di masa Umar bin al-Khaththab adalah salah satu tanda kenabian Rasulullah n.
29. Tidak memasuki negeri yang terjadi wabah tha’un di sana.
30. Orang yang berada di dalam negeri yang terjadi tha’un padanya tidak boleh keluar karena lari dari tha’un.
31. Mafhum dari sabda Rasulullah, jika seorang keluar bukan karena lari dari tha’un, hal ini diperbolehkan.
32. Menjauhkan diri dari sebab-sebab kebinasaan dan menempuh sebab-sebab keselamatan.
33. Berbahagia dengan nikmat ilmu dan memuji Allah atas nikmat tersebut.
Allah berfirman:
Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan
itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Yunus: 58)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
[1]. Sargh adalah daerah di pinggiran Syam, di wadi (lembah) Tabuk.
[2].Kota-kota Syam adalah Palestina, Jordania, Himsh, Damaskus, dan Qansirin.
[3]. Yakni Khalid bin al-Walid, Yazid bin Abi Sufyan, Syarahil bin Hasanah, dan Amr bin al-‘Ash g.
[4].Sahabat Muhajirin yang pertama adalah mereka yang shalat menghadap dua kiblat, Baitul Maqdis dan Ka’bah.
[5].Jumhur ahli sejarah menyebutkan bahwa tahun dibukanya Baitul
Maqdis dan kehadiran Umar untuk melakukan sulh adalah tahun 17 H.
[6].Lihat Mu’jam al-Buldan (4/157).
[7].Qu’ash adalah penyakit yang menimpa hewan, menyebabkan cairan
mengalir dari hidung hewan tersebut dan mengakibatkannya mati mendadak.
Lihat an-Nihayah (4/88) dan Fathul Bari (6/278).
[8]. ‘Auf berkata, “Ketika perang Tabuk, aku mendatangi Rasulullah
di tenda yang terbuat dari kulit. Beliau bersabda, ‘Nantikan enam
perkara….’ dst.”
[9].Maksudnya, janganlah engkau bimbang dengan takdir. Penduduk
neraka sudah ditakdirkan oleh Allah, demikian pula penduduk jannah.
Semua manusia telah Dia takdirkan tempatnya di surga atau neraka.
Hendaknya keimananmu kepada takdir tidak membawamu su’uzhan (berburuk
sangka) kepada Allah. Allah tidak menzalimi hamba-Nya.
[10].HR. at-Tirmidzi no. 2219 dari Ali bin Abi Thalib z. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan sahih.”
[11]. Penentuan hilal Ramadhan dan Syawal, misalnya. Hendaknya
masyarakat mengikuti keputusan waliyul amr (pemerintah), sehingga
persatuan muslimin lebih terwujud dan kokoh, tidak terjadi pertikaian
yang menyebabkan kelemahan di tubuh muslimin.
[12].Lihat kembali pembahasan “Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah n”, Majalah Asy Syariah Vol. VI/no. 63/1431 H/2010.
http://asysyariah.com/iman-kepada-takdir-tidak-meniadakan-ikhtiar/