Hukum Talak
Semua
yang terjadi dalam perjalanan hidup seorang manusia merupakan
kehendak Rabbnya Yang Maha Agung. Seorang manusia tidak akan selamanya
merasa bahagia dan juga tidak akan selamanya menanggung nestapa. Dari
semua perputaran kejadian yang kita temui pada setiap episode
kehidupan membawa pelajaran dan hikmahnya masing-masing agar kita
semakin mengerti hakikat penciptaan kita selaku hamba di muka bumi
ini.
Allah ta’ala telah
menciptakan segala sesuatunya berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada
perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan.
Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki
akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk
kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya
ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan
yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan
sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri.
Kali ini, kita akan berbicara
tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang
suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua
hal umum yaitu, kematian dan perceraian.
Ikatan pernikahan yang
dipisahkan karena kematian, adalah suatu hal lumrah yang dapat kita
fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dengan istri dapat juga
disebabkan oleh perceraian. Bagaimanakah Islam mengatur masalah
perceraian ini? Kemudian, apa yang sajakah yang harus dilakukan oleh
seorang wanita ketika perpisahan itu terjadi?
Ketika Harus Berpisah
Perpisahan
yang diakibatkan oleh perceraian memiliki ruang lingkup bahasan yang
lebih luas daripada perpisahan yang diakibatkan oleh kematian. Untuk
itu, kita harus mengetahui beberapa masalah yang dibahas dalam ruang
lingkup perceraian terlebih dulu, sebelum kita membahas hal-hal apa
saja yang harus dilakukan oleh seorang wanita setelah terjadinya
perpisahan.
A. Definisi dan Hukum Talak
Talak ( الطلاق) menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Kata tersebut diambil dari lafazh لإطلاق
yang maknanya adalah melepaskan dan meninggalkan. Sedangkan talak
menurut istilah hukum syara’ adalah melepaskan atau memutuskan ikatan
pernikahan. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 627), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383), dan Terj. Subulus Salam (III/12)]
Pada talak berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu: [Lihat uraiannya dalam Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/383-385)]
- Talak hukumnya menjadi wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya. Dan keadaan ini hampir sama seperti seorang suami yang menjatuhkan iilaa’ ketika dia tidak ingin rujuk dengan istrinya setelah masa ‘iddah istrinya habis. Demikian menurut pendapat kebanyakan ulama.
- Talak hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang istri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, shaum, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Talak seperti ini juga dapat dilakukan manakala istri tidak bisa menjaga kehormatannya.
- Talak hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami, dan masalah ini akan dijelaskan pada tempatnya tersendiri, insyaallah.
- Talak hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan talak karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau mentalak seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.” [Sunan Sa'id bin Manshur (no. 1099) dengan sanad yang shahih]
- Talak hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya. Dan ini dinamakan talak bid’ah/talak bid’i, sebagaimana akan datang penjelasannya.
B. Hukum Talak tanpa Sebab
Dari Jabir, Nabi ‘alaihis shalatu was salam bersabda:
“Sesungguhnya
iblis singgasananya berada di atas laut. Dia mengutus para
pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling
besar godaannya. Diantara mereka ada yang lapor: Saya telah melakukan
godaan ini. Iblis berkomentar: Kamu belum melakukan apa-apa. Datang
yang lain melaporkan: Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya
meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya. Kemudian
iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata: Sebaik-baik
setan adalah kamu.” (HR. Muslim 2813)
Dalam hadis ini, iblis memuji
dan berterima kasih atas jasa tentaranya yang telah berhasil menggoda
manusia, sehingga keduanya bercerai tanpa sebab yang dianggap dalam
syariat. Ini menunjukkan bahwa perceraian suami istri termasuk
diantara perbuatan yang disukai iblis.
Iblis menjadikan singgasananya di atas laut untuk menandingi Arsy Allah ta’ala, yang berada di atas air dan di atas langit ketujuh.
Pada dasarnya talak adalah
perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis,
karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan
manusia. Terutama terkait dengan anak dan keturunan. Oleh karena itu,
salah satu diantara dampak negatif sihir yang Allah sebutkan dalam
al-Qur’an adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
Mereka
belajar dari keduanya (harut dan marut) ilmu sihir yang bisa
digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya. (QS. Al-Baqarah:
102)
Pembagian Talak
C. Pembagian Talak
1. Dilihat dari ketegasan kalimatnya
Dari segi kalimatnya, talak dibagi menjadi dua, yaitu talak shariih (tegas) dan talak kinaayah (kiasan).
a. Talak shariih adalah talak yang kalimatnya dapat langsung difahami ketika diucapkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.
Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal dengan kata-kata talak atau cerai.
Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan talak. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَـزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ، وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ .
“Tiga
hal yang apabila dikatakan dengan sungguh-sungguh maka dia menjadi
serius dan bila dikatakan dengan main-main, akan jadi serius pula,
yaitu nikah, talak, dan rujuk.” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud
(VI/262 no. 2180), Tirmidzi (II/328 no. 1195), Ibnu Majah (I/658 no.
2039), Ibnul Jarud (no. 712), Al-Hakim (II/198) dan Al-Baghawi (no.
2356), dari Abu Hurairah radhiyallahu "anhu]
Maka talak yang lafazhnya jelas
diucapkan oleh suami meski dalam keadaan bercanda, talaknya jatuh dan
dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah (IX/220), Zaadul Ma"ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]
b. Talak kinaayah adalah talak yang redaksinya mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
Jika seorang suami mengatakan
kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh kecuali perkataan
tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami mengatakannya dengan niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya. Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak jatuh.
Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat dari “Aisyah radhiyallahu “anha, dia berkata, “Tatkala
putri Al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia (putri Al-Jaun)
mengatakan, “A'uudzu billahi minka” (Aku berlindung kepada Allah
darimu). Maka beliau shallallahu “alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيْـمٍ، إِلْحَقِي بِأَهْلِكِ .
“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah engkau kepada keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-Nasa"i (VI/150)]
Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada keluargamu,”
yang diucapkan seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan talak.
Sehingga apabila ucapan tersebut diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah
talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana
disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-Kubra (VII/342).
Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ka”ab bin Malik radhiyallahu 'anhu, tatkala ia bersama dengan dua orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi' Al-'Amri dan Hilal bin Umayaah Al-Waqifi) yang dihajr (diboikot) oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk bersama dengan beliau. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar kepadanya,
إِنْ رَسُولَ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَـأمُرُكَ أَنْ تَعْـتَـزِلَ امْـرَأَتَـكَ ، قَالَ :
فَـقُـلْتُ : أُطَلَّقُـهَا أَمْ مَاذَا أَفْـعَـلُ ؟ قَالَ: لاَ ، بَلِ
اعْـتَـزِلْهَا فَـلاَ تَـقْـرَ بَنَّهَا ، قَالَ : فَأَرْ سَلَ إِلَى صَا
حِبَيَّ بِمِثْلِ ذَلِكَ ، قَالَ : فَـقُـلْتُ لإِمْرَأَتِي : اَلْحِقِي
بِأَهْـلِـكِ فَكُونِى عِـنْدَهُـمْ حَتَّى يَقْـضِيَ اللهُ فِي هَـذَا
الْأَمْرِ .
“Bahwasanya beliau
menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka'ab) bertanya, “Aku
ceraikan atau apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab,
“Sekedar menjauhinya saja dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya.”
Maka kemudian aku (Ka'ab) berkata kepada istriku, “Kembalilah engkau
kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah menetapkan
putusan dalam masalah ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4418), Muslim (no. 2769), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/285 no. 2187) dan An-Nasa"i (VI/152)]
Dalam riwayat ini, Ka'ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada keluarganya karena perintah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
dan bukan karena niat Ka'ab untuk menceraikan istrinya. Sehingga
dengan demikian, perkataan Ka'ab tersebut hanyalah dihukumi sebagai
kiasan saja dan tidak mengakibatkan jatuhnya talak.
2. Dilihat dari waktu jatuhnya talak
Ditinjau dari waktu jatuh temponya, talak dibagi tiga : munjazah (langsung), mu'allaq (menggantung), dan mudhaf (dikaitkan waktu tertentu).
a. talak munjazah
adalah pernyataan talak yang oleh pengucapnya diniatkan agar talaknya
jatuh saat itu juga. Misalkan seorang suami yang berkata kepada
istrinya, “Anti thaaliq” (engkau tertalak) dan perkataan yang semisalnya, maka talaknya jatuh pada saat itu juga. Hukum talak munjazah terjadi sejak saat suami mengucapkan kalimat talak tersebut kepada istrinya.
b. talak mu”allaq
adalah pernyataan talak yang diucapkan suami kepada istrinya yang
diiringi dengan syarat. Misalkan, suami berkata kepada istrinya, “Jika engkau pergi ke rumah A, maka engkau telah tertalak,” dan perkataan yang semisalnya.
Ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:
- Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
- Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu” Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).
c. talak Mudhaf adalah talak yang dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi
semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang.
Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan
dalam kalimat talak. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah, XXIX/37)
3. Dilihat dari sifatnya
Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak sunni dan talak bid”i.
Talak sunni adalah
talak yang terjadi manakala seorang suami mentalak istri yang telah
dicampurinya dengan sekali talak, yang dia jatuhkan ketika istrinya
dalam keadaan suci dari haidh dan pada masa itu dia belum
mencampurinya. Jadi, suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam
keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh
terakhir istrinya berakhir.
Allah Ta”ala berfirman,
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ …
“Wahai
Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang
wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu “Umar radhiyallahu 'anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,
أَمَرَنِي أَنْ
أُرَا جِعَهَا، ثُمَّ أُمْسِكَهَا حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةٌ أُخْرَى،
ثُمَّ أُمْهِلَهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ أَطَلِّقّهَا قَبْلَ أَنْ
أَمَسَّهَا، وَأَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَهَا ثَلاَثًا، فَقَـدْ عَصَيْتَ
رَبَّـكَ فِيْمَـا أَمَرَكَ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ .
“Perintahkan
agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa
suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki
ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia menghendaki ia
boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa
'iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam "Aunul Ma"bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa"i (VI/138)]
Sedangkan talak bid'i
adalah talak yang menyelisihi ketentuan syari'at, sehingga hukum talak
ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Keadaan ini
berlaku manakala seorang suami mentalak istrinya dalam keadaan haidh
atau dalam masa suci setelah ia mencampuri istrinya, atau seorang
suami yang melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau
dalam satu majelis.
Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I"laamul Muwaqqi"iin (IV/377-426), Al-Jaami" fii Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]
4. Dilihat dari boleh dan tidaknya rujuk
Dari segi ini, talak dibagi menjadi dua, yaitu: talak raj'i dan talak ba-’in. Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu: talak ba-’in shughra dan talak ba-’in kubra.
a. Talak raj'i
adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa
menerima pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului
dengan talak sama sekali atau baru didahulu dengan talak satu kali.
Allah Ta'ala berfirman,
الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
Seorang wanita yang mendapat talak raj'i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa 'iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa 'iddahnya, dan tidak disyaratkan adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.
Allah Ta'ala berfirman,
وَالْمُـطَلًّـقَـتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِهِـنَّ ثَلَـثَةَ قُـرُوءٍ ۚوَلاَ يَحِلُّ
لَهُنَّ أَنْ يَكْتُـمْنَ مَا خَلَـقَ اللهُ فِى أَرْحَا مِهِنَّ إِنْ
كُنَّ يُؤمِنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْأَخِرِ ۚ وَبُعُو لَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِى ذَا لِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَـحًا ۚ…
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak
boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujuknya dalam masa menanti, jika mereka (para suami)
menghendaki perbaikan…” (Qs. Al-Baqarah: 228)
b. Talak ba-’in adalah talak yang terjadi setelah masa 'iddah istri karena talak raj'i telah selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.
Talak ba-’in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak ba-’in shughra,
yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk
kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang
baru, serta dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi
pada 3 keadaan berikut:
- Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj'i hingga masa 'iddah selesai;
- Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
- Istri minta cerai (khulu') pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba-’in, sehingga apabila suami ingin merujuknya maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai hal ini dalam Shahiih Fiqhis Sunnah (III/274-278)]
b. Talak ba-’in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta'ala berfirman,
الطَّلَقُ
مَرَّتَانِۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَنٍۗ وَلاَ
يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّآ
أَنْ يَخَافَآ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ
بِهِۗ تِلْكَ حُدُودَاللهِ فِلَا تَعْتَدُوهَاۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ
حُدُودَاللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا
تَحِلُّ لَهُ، مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۗ فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَأ جَعَآ إِنْ ظَنَّآ
أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَاللهِۗ وَتِلْكَ حُدُودَاللهِ يَبَيِّنُهَا
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuk)
itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau
melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami
dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka
keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh
istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka
itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum
dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan
mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah
yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)
Setelah talak ba-’in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, baik ketika dalam masa 'iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:
- Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak.
- Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
[Lihat Shahiih Fiqhis Sunnah (III/278-279)]
Adapun perbedaan antara talak ba-’in sughra dan talak ba-’in kubra adalah ketentuan dalam proses rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak ba-’in kubra,
mantan istri bisa kembali kepada mantan suami, jika dia telah
dinikahi laki-laki lain dan sudah terjadi hubungan badan. Sementara
talak ba-’in sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali mantan
suami yang telah menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu
dengan laki-laki lain.
Catatan:
Hendaknya talak itu disaksikan oleh dua orang saksi, berdasarkan firman Allah Ta'ala,
وَّاَشْهِدُوْا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَاَقِيْمُواالشَّهَـادَةَ لِلهِۗ…
“…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah…” (Qs. Ath-Thalaq: 2)
Sebab Talak: Nusyuz
D. Sebab-Sebab Terjadinya Perpisahan
Hampir
tidak kita dapati sebuah kehidupan rumah tangga yang terbebas dari
masalah dan konflik. Namun bukan berarti, ketika terjadi masalah boleh
dibiarkan, tanpa ada upaya perbaikan. Islam sangat menganjurkan
kepada suami dan istri untuk mengatasi berbagai macam masalah yang
muncul dalam kehidupan rumah tangga. Disamping itu, islam juga
mengajarkan berbagai solusi yang terbaik di saat benih-benih perpecahan
mulai muncul. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 607)]
Ada banyak hal yang dapat memicu
terjadinya perceraian, meskipun pada akhirnya perceraian tidak sampai
terjadi, akan tetapi hal-hal tersebut patut untuk diketahui agar
kelak kita dapat mengantisipasi. Di antara sebab yang bisa memicu
perceraian antara lain:
1. Nusyuz (النشوز )
Nuzyuz menurut bahasa adalah tempat yang tinggi. Sedangkan nusyuz
menurut istilah adalah pembangkangan (kedurhakaan) yang dilakukan
seorang istri kepada suami, terkait dengan kewajiban istri kepada
suaminya. Seakan-akan si istri merasa lebih tinggi dan menyombongkan
diri kepada suaminya. [Lihat Al-Misbaahul Muniir (II/605), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-Mughni (VII/46), Shahiih Fiqh Sunnah (III/223), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/368), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 291)]
Seorang wanita diharamkan melakukan nusyuz kepada suaminya. Allah Ta’ala telah menetapkan beberapa hukuman bagi seorang wanita yang berbuat nusyuz kepada suaminya: Allah Ta’ala berfirman,
… وَالَّتِى
تَخَافُونَ نُشُوزَ هُنَّ فَعِظُوهُنَّ واهْجُرُوهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْنَّ
سَبِيْلًاۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“… Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi
Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)
Diantara bentuk-bentuk sikap nusyuz seorang istri kepada suami adalah tidak berhijab di depan laki-laki yang bukan mahramnya, melalaikan hak Allah Ta’ala, bermuka masam ketika bertemu dengan suami, berkata-kata kasar kepada suami, menolak ajakan suami untuk berjima’ (bersetubuh) tanpa alasan yang syar’i, dan sikap-sikap lain yang bertentangan dengan akhlakul karimah.
Hendaklah para istri yang beriman kepada Allah Ta’ala
betul-betul menaruh perhatian yang besar terhadap hak-hak suaminya,
karena suaminya merupakan pintu surga dan nerakanya. Hendaknya sang
istri berusaha mencari keridhaan sang suami. Sebagaimana pesan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada bibinya Hushain bin Mihshan ketika beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah bersuami?” Ia menjawab, “Sudah.” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana sikapmu kepada suamimu?” Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi (hak)nya kecuali yang aku tidak mampu mengerjakannya.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
فَانْطُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَجَنَّتُكِ و نَارُكِ .
“Perhatikanlah, kedudukanmu di sisinya, karena sesungguhnya dia (suamimu itu) adalah Surgamu dan Nerakamu.“ [Hadits shahih. Riwayat Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), An-Nasa'i dalam 'Isyratin Nisaa' (no. 76-83), Ibnu Abi Syaibah (VI/233 no. 17293), dan Al-Baihaqi (VII/291)]
Namun, apabila suami melihat tanda-tanda nuzyuz dari istrinya, maka hendaklah dia mengobatinya dengan cara berikut:
1.Menasehati istrinya
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan dengan perkataan yang lemah lembut, mengingatkan istrinya bahwa Allah Ta’ala
mewajibkan dirinya untuk mentaati suami dalam hal kebaikan dan tidak
menyelisihinya, memotivasi istrinya untuk meraih pahala dengan mentaati
suami, dan menakuti-nakutinya dengan siksa dan adzab Allah Ta’ala yang akan menimpa dirinya apabila dia bersikap durhaka kepada suami.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
وَاسْتَو صُوْا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا ، فَإِنَّـهُـنَّ خُلِقْـنَ مِنْ ضِلَعٍ ، وَإِنَّ
أَعْـوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعٍ أَعْلاَهُ ، فَإِنْ ذَهَـبْتَ تُـقِيْمُهُ
كَـسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَـمْ يَـزَلْ أَعْـوَجَ ،
فَاسْتَـوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْـرًا .
“Berwasiatlah
dengan baik terhadap wanita. Sebab wanita diciptakan dari tulang
rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Jika engkau (memaksa untuk) meluruskannya, maka engkau akan
mematahkannya. Dan jika engkau membiarkannya (tetap dalam keadaan
bengkok), maka ia akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berwasiatlah
dengan baik terhadap wanita.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5186) dan Muslim (no. 1468 (60)), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Dalam riwayat lain juga disebutkan,
إِنَّ الْمَـرْأَةَ
خُلِـقَـتْ مِنْ ضِلَعٍ ، لَنْ تَـسْتَـقِيـمَ لَـكَ عَـلَى طَرِيْـقَـةٍ ،
فَإِنِ اسْـتَمْـتَعْـتَ بِهَا اِسْـتَمْـتَعْـتَ بِهَا وَ بِهَا عَـوَجٌ
، وَإِنْ ذَهَـبْتَ تُـقِيْـمُهَا كَـسَرْ تَهَا وَكَـسْرُهَا طَلاَقُهَا
.
“Sesungguhnya
wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dia tidak akan
pernah berlaku lurus terhadapmu di atas satu jalan. Jika engkau
bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya,
tetapi padanya terdapat kebengkokan. Jika engkau berusaha untuk
meluruskannya, berarti engkau mematahkannya, dan mematahkannya itu
berarti (engkau) menceraikannya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5184) dan Muslim (no. 1468 (61)), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitabnya Syarah Riyaadhush Shaalihiin
(III/117), “Seseorang dapat bersenang-senang dengan seorang wanita
(yakni istrinya), meski padanya terdapat kebengkokan. Dan manakala
suami hendak meluruskannya, maka dikhawatirkan ia akan mematahkannya,
dan mematahkannya berarti ia menceraikan istrinya. Karena suami tidak
dapat mengusahakan istrinya untuk berlaku lurus dalam menuruti semua
nasihatnya. Maka ketika itulah suami akan merasa bosan dalam menasihati
istrinya sehingga dia akan menceraikan istrinya. Padahal, seorang
suami tidak mungkin akan mendapatkan wanita yang seratus persen selamat
dari kekurangan, bagaimana pun juga keadaannya.”
Apabila dengan cara ini, istri
dapat langsung memahami dan kembali mentaati suami, maka janganlah
suami mengacuhkannya dan memukulnya. Namun, apabila istri masih tetap
berlaku nusyuz, maka suami dianjurkan untuk mencoba cara kedua, yaitu:
2.Pisah ranjang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْتَوْصُوْا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ
تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ، إِلَّا أَنْ يَأْتِيْنَ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعْ، وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَمُبَرِّحٍ .
“Berilah
wasiat kepada istri dengan cara yang baik, sebab mereka itu (ibarat)
tahanan di sisi kalian. Kalian tidak berkuasa atas mereka sedikit pun
selain itu (wasiat di atas kebaikan), kecuali jika mereka melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan. Jika mereka melakukannya, maka
tinggalkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka dengan
pukulan yang tidak menyakiti.” [Hadits hasan li ghairihi. Riwayat Tirmidzi (no. 1163) dan Ibnu Majah (no. 1851) dengan syahid (penguat) dari riwayat Ahmad (V/72), dari 'Amr bin Al-Ahwash radhiyallahu 'anhu]
Hendaklah suami memperingatkan istrinya yang tetap berlaku nusyuz bahwa dia akan mengacuhkannya (hajr),
tidak menggaulinya, dan tidak akan bersanding di dekatnya. Sehingga
apabila wanita tersebut termasuk istri yang tidak tahan apabila
ditinggal oleh suaminya, maka dia akan cepat merubah sikapnya, dan
itulah yang diharapkan. Namun, apabila istri mengabaikan peringatan
suaminya ini, maka hendaklah suaminya benar-benar menjauhi istrinya
dengan cara apa saja yang disukainya dan disesuaikan dengan keadaan
istri yang dapat membuat istrinya jera dari kedurhakaannya. Misalkan,
dengan tidak mencampuri istri, tidak mengajaknya bicara, tidak tidur
disampingnya, dan hal-hal lain yang semisal dengannya. [Lihat Al-Badaa'i (II/334), Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/259), Al-Mughni (VII/46), Ahkaamul Mu'aasyarah Al-Jauziyah (hal. 292), Shahiih Fiqh Sunnah (III/225), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/370), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 293)]
Seorang suami dapat mengacuhkan
istrinya tersebut selama yang dia inginkan sampai istrinya menyadari
kesalahannya dan mau bertaubat. Namun, janganlah seorang suami
memboikot istrinya kecuali di dalam rumahnya. Supaya hukuman yang
diberikan kepada istri tidak diketahui orang lain. Karena hal ini
dapat menimbulkan penghinaan bagi istri dengan merasa direndahkan
harga dirinya. Bahkan bisa jadi membuat sang istri semakin durhaka.
Jangan pula menunjukkannya di hadapan anak-anaknya, karena hal
tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada jiwa mereka. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 610), Shahiih Fiqh Sunnah (III/225) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/371)]
Apabila cara kedua ini tidak
juga efektif untuk menyadarkan istri yang durhaka, maka suami dapat
melakukan cara yang ketiga, yaitu:
3. Memukul istrinya
Ini
adalah langkah ‘pamungkas’ yang dapat dilakukan oleh suami demi
mengobati kedurhakaan istrinya, jika nasihat dan pemboikotan tidak
membuahkan hasil. Akan tetapi perlu diperhatikan, islam menetapkan
beberapa persyaratan bagi suami yang hendak menerapkan cara ini kepada
istrinya, agar tidak disalahgunakan. Diantara persyaratannya adalah
sebagai berikut::
a. Pukulan tersebut bukanlah
pukulan yang menyakitkan, seperti pukulan yang dapat mematahkan
tulang, membuat cacat, atau meninggalkan bekas. Karena tujuan utama
pukulan ini adalah untuk mendidik, bukan untuk menyakiti dan melukai. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
… وَاضْـرِبُـوهُـنَّ ۖ…
“… dan (kalau perlu) pukullah mereka…” (Qs. An-Nisaa’: 34)
Pukulan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah pukulan yang tidak melukai fisik.
Karena tujuan utama dilakukannya pukulan ini adalah memberikan
hukuman yang diharapkan dapat ‘mematahkan jiwa’ sehingga membuatnya
menyadari kesalahannya.
Catatan penting:
Sebagian
suami yang masih awam akan ilmu agama tentang adab bergaul antara
suami istri, menjadikan metode perbaikan ini (pukulan) sebagai
kebiasaan. Mereka tidak menjadikan metode ini sebagai sarana perbaikan,
melainkan mereka merubah tujuan hakikinya menjadi suatu kezhaliman.
Bukan pukulan mendidik yang mereka berikan, melainkan siksaan yang
membabi buta, yang dimaksudkan sebagai ajang balas dendam atau
pelampiasan emosi. Selayaknya bagi para suami untuk menghindari pukulan
sebagai metode pendidikan dalam keluarganya, terlebih metode yang
diterapkan tersebut sudah jauh menyimpang dari apa yang dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
b. Tidak memukulnya lebih dari sepuluh kali. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَايُجْلَدُ أَحَدٌفَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللهِ .
“Tidaklah seseorang dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali ketika menegakkan hadd (hukuman) yang ditentukan Allah.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 6848) dan Muslim (no. 1708), dari Abu Burdah Al-Anshari radhiyallahu 'anhu]
c. Tidak memukul wajah istri
(menampar dan sejenisnya) dan bagian-bagian yang dapat mematikan,
karena itu merupakan hak istri atas suaminya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya,
أَنْ تُطْعِمَهَا
إِذَا طَعَمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبُ الْوَجْهَ
وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ .
“Diantara
kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau
memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian
ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan
jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya
kecuali di dalam rumah.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180
no. 2128), Ibnu Majah (I/593 no. 1850), dan Ahmad (IV/447), dari
Mu'awiyah bin Hairah radhiyallahu 'anhu]
Melanggar larangan dalam hadits
di atas merupakan tindakan kedzliman dan pelecehan terhadap seorang
wanita. Selain itu, hal tersebut dapat menyakiti dan merusak badan dan
jiwanya. Jika seorang suami melakukannya, maka dia telah melakukan
suatu tindakan kriminal, yang karenanya si istri boleh meminta talak dan qishash (hukuman setimpal). [Lihat Shahiih Fiqh Sunnah (III/227) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374)]
d. Suami harus memiliki
keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat
istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana
untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini
tidaklah disyari’atkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk
memperbaiki akhlak istri tidak akan tercapai dengan cara ini. Dalam
kondisi semacam ini, dimana pukulan justru dikhawatirkan akan
berpengaruh buruk terhadap kehidupan rumah tangganya, maka janganlah suami tersebut memukul istrinya. [Lihat Manhul Jaliil (II/176), Mughni Al-Muhtaaj (III/260), Shahiih Fiqh Sunnah (III/227), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/374), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 294)]
e. Suami harus menghentikan pukulan ketika si istri telah mentaatinya. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
… وَاضْرِبُوهُنَّۖۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًاۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“…dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Mahatinggi lagi Mahabesar.” (Qs. An-Nisaa’: 34)
Nusyuz juga terkadang terjadi pada pihak suami, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
وَإِنِ امْرَاَةٌ
خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوْزًا اَوْإِعْرَاضًا فَلَاجُنَاحَ
عَلَيْهِمَآ اَنْ يُّصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًاۗ وَالصُّلْحُ خَيْرٌۗ …
“Dan
jika seorang wanita khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak
acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)..” (Qs. An-Nisaa’: 128)
Sesungguhnya hati dan perasaan manusia ibarat perkiraan cuaca yang selalu berubah-ubah. Sementara islam merupakan manhajul hayah (pedoman hidup) yang dapat diaplikasikan dalam seluruh aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam masalah hati dan cinta.
Ketika seorang istri merasa
khawatir akan kehilangan perhatian dan kasih sayang dari suaminya yang
dapat membawanya kepada perceraian. Atau dia merasa ditinggalkan oleh
suaminya begitu saja tanpa ada kepastian, sehingga posisinya
terkatung-katung, apakah masih menjadi istrinya atau sudah diceraikan,
maka hendaklah seorang istri memberi toleransi kepada suami
dengan merelakan sebagian hak-haknya atas suami. Seperti kesediaannya
jika nafkahnya dikurangi atau kesediaannya mengurangi giliran bermalam
suami, jika suami beristri lebih dari satu. Apabila seorang istri
melihat hal ini dengan hati nuraninya, maka dia akan mengetahui dengan
pengetahuan yang yakin bahwa inilah jalan yang lebih baik dan lebih
mulia baginya daripada harus diceraikan oleh suaminya.
Namun, apabila sikap nusyuz suami adalah berupa kemaksiatan kepada Allah, seperti tidak melaksanakan shalat, meminum khamr
(minuman keras), menjadi pecandu narkoba, berjudi, dan semisalnya.
Sementara istri sudah tidak mampu lagi untuk bersamanya dan dia
mengkhawatirkan akan kehormatan dan kesucian dirinya, maka dia boleh
meminta cerai pada suaminya dengan jalur khulu‘.
Sebab Talak: Khulu’
2. Khulu’ (الخلوع )
Khulu’ diambil dari ungkapan خلع الثوب yang artinya, melepas baju. Karena secara kiasan, istri adalah pakaian suami. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
… هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ …
“Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (Qs. Al-Baqarah: 187)
Sedangkan definisinya menurut
syari’at adalah: berpisahnya suami dengan istrinya dengan tebusan
harta yang diberikan oleh istri kepada suaminya. [Lihat Fiqhus Sunnah (II/253), Manaarus Sabiil (II/226), Fat-hul Baari (IX/395), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297), Terj. Al-Wajiz (hal. 637), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/422)]
Masalah ini sering sekali
terlontar dari bibir kaum wanita. Tidak sedikit dari mereka yang
protes kepada suaminya karena berbagai masalah yang menimpa rumah
tangganya, sehingga muncullah benih-benih kedurhakaan yang jika
dibiarkan maka dia akan tumbuh dan berkembang menjadi penyakit
mematikan yang dapat mengancam keutuhan rumah tangga keduanya.
Kita juga sering melihat
fenomena di mana para wanita dituntut untuk balik menuntut suami agar
mau mengikuti segala kemauannya, sehingga kita mengenal istilah
’suami-suami takut istri’. Bahkan tidak jarang dari fenomena ini
berakibat kepada banyaknya kisah cinta yang dirajut selama
bertahun-tahun harus berakhir di pengadilan agama.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ .
“Para istri yang minta cerai (pada suaminya) adalah wanita-wanita munafik.” [Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih Jaami'ush Shaghiir (no. 6681)]
Dan dalam riwayat lain disebutkan juga,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .
“Wanita
mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang
dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi Surga.”
[Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (no. 2226), Tirmidzi (no. 1187),
Ibnu Majah (no. 2055), Ad-Daarimi (II/162), Ibnul Jarud (no. 748),
Ibnu Hibban (no. 4172 - At-Ta'liiqaatul Hisaan), Al-Hakim (II/200), Al-Baihaqi (VII/136), dari Tsauban radhiyallahu 'anhu. Lihat Irwa' Al-Ghaliil (VII/100)]
Makna kata: ‘alasan‘
yang tercantum dalam hadits di atas adalah alasan yang dibenarkan
oleh syar’i, yaitu segala yang dapat mengakibatkan keduanya sudah
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Apabila seorang istri sudah
tidak sanggup lagi hidup berdampingan dengan suaminya, karena suaminya
sering melakukan dosa dan maksiat, meskipun sudah diingatkan berulang
kali, maka seorang istri boleh menuntut cerai terhadap suaminya
tersebut dengan mengeluarkan pengganti berupa harta (disebut juga fidyah dan iftida) sebagai tebusan untuk dirinya dari kekuasaan suami. [Lihat 'Aunul Ma'bud (VI/306), Syarah Al-Arba'un Al-Uswah (no. 27), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 297) dan Terj. Al-Wajiz (hal. 637)]
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
… وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْ خُذُوا مِمَّآ ءَاتَيْتُمُو هُنَّ شَيْئًا إِلَّآ أَنْ يَخَافَآ ألَّا يُقِيْمَا حُدُودَ اللهِۖ …
“…
dan tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir
tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah,” (Qs. Al-Baqarah: 229)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang dan menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
يَـا رَسُولُ الله،
مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِيى دِيْنٍ وَ لَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّيْ
أَخَافُ الكُفْرَ، فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عليه و سلم :
تَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَـتَهُ ؟ ، فَقَالَتْ : نَعَمْ . فَرَدَّتْ
عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا .
“Wahai
Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya,
akan tetapi aku takut akan (menjadi) kufur.” Maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau mau
mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab, “Ya.” Maka kemudian kebun
itu dikembalikan kepada Tsabit bin Qais dan (beliau) menyuruhnya untuk
menceraikan istrinya. [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5276)]
Sedangkan
alasan yang banyak dikemukakan oleh para wanita yang menuntut cerai
dari suaminya pada zaman sekarang ini, datang dari hawa nafsunya
sendiri. Karena kurangnya pemahaman terhadap agama dan tidak adanya
rasa qana’ah (merasa puas) terhadap suami, sehingga
mengakibatkan timbulnya konflik di dalam rumah tangga. Dan seorang istri
yang bertakwa kepada Allah Ta’ala, sekali-kali tidak akan
meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan oleh
syari’at, meskipun orang tuanya memerintahkan hal itu kepadanya.
Karena suami memiliki hak yang lebih besar atas dirinya melebihi orang tuanya sendiri.
Dengan demikian, apabila wanita tersebut lebih memilih untuk
mengabulkan keinginan kedua orang tuanya dan merelakan kehancuran
rumah tangganya, maka dia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/423-424) dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 101-102)]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لاَ طَاعَةَ لِبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ .
“Tidak
ada ketaatan kepada seseorang dalam hal kemaksiatan terhadap Allah.
Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf (baik).”
[Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4340, 7257), Muslim (no. 1840),
An-Nasa'i (VII/159-160 no. 4205), Abu Dawud (no. 2625) dan Ahmad (I/94
no. 623), dari 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu]
Adapun dalam Islam, pemberlakuan khulu’ dinilai sebagai fasakh (pembatalan nikah). Artinya, perceraian karena khulu’ bukan termasuk talak. Demikianlah yang difahami oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ketika mentafsirkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُـدُودَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَـدَتْ بِهِ ۗ …
“…
Jika kamu (wali) merasa khawatir bahwa keduanya tidak mampu
menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas
bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya…” (Qs. Al-Baqarah: 229)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat di atas, bahwa adanya kata “ ” menunjukkan bahwa khulu’ bukanlah talak. [Diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaq dalam Mushannafnya (no. 11765) dengan sanad yang shahih, dari Thawus radhiyallahu 'anhu].
Meskipun khulu’ menggunakan lafazh talak, akan tetapi berlaku sebagai khulu’,
selama dilakukan dengan cara ada penebusan dari seorang istri agar
dirinya bisa lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Oleh karena
itu, apabila istri mengajukan khulu’ dalam masa ‘iddahnya, setelah suami menjatuhkan talak kedua , kemudian suami menerima pengajuan khulu’ tersebut, maka status talak yang ketiga ini adalah talak ba-’in shugra dan bukan talak ba-’in kubro. Karena talak yang terakhir tidak dihitung sebagai talak, tetapi fasakh.
Dengan demikian, jika dua mantan
suami-istri ini hendak menikah lagi maka tidak disyaratkan sang istri
harus dinikahi laki-laki lain terlebih dahulu. Karena talaknya baru
dua kali dan bukan tiga kali. Hanya saja, proses pernikahannya harus
dilakukan dengan akad nikah yang baru, mahar yang baru pula, dan
tentunya setelah istri ridha untuk menikah lagi dengannya.
[lihat Zaadul Ma'ad (V/197 dan 199), Al-Mughni (VII/52-56), Al-Inshaaf (VIII/392), Raudhah Ath-Thaalibiin (VII/375), Al-Muhallaa (X/238), Majmuu' Al-Fataawaa (XXXII/289 dan 309), Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/160), Shahiih Fiqh Sunnah (III/340-348), Terj. Al-Wajiz (hal. 640-641), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/425-428), Panduan Keluarga Sakinah (hal. 317-319), Ensiklopedi Larangan (III/72-73)]
bersambung insyaallah
Sebab Talak: Ilaa’
3. Iilaa’ (إلاء )
Iilaa’
menurut bahasa adalah bersumpah melarang diri dari sesuatu hal.
Sedangkan menurut istilah syar’i adalah seorang suami yang bersumpah
untuk tidak menggauli istrinya dalam jangka waktu tertentu. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 620), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/437), dan Terj. Subulus Salam (III/55)]
Dalil pokok tentang iilaa’ adalah firman Allah:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Orang-orang
yang meng-ilaa para istrinya, mereka diberi kesempatan untuk berpisah
maksimal selama empat bulan. Jika dia kembali (kepada istrinya) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 226)
Berdasarkan ayat di atas, Iilaa’ ada dua macam, yaitu:
- Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu kurang dari empat bulan. Dalam keadaan seperti ini, maka seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kaffarat atas sumpahnya tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat,
- Suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan. Dalam kondisi semacam ini, seorang suami lebih diutamakan untuk menggauli istrinya dan membayar kafarat atas sumpahnya tersebut, sebagaimana halnya keadaan pertama di atas. Namun, apabila suami tidak juga menggauli istrinya yang telah bersabar menunggunya sehingga berlalu waktu empat bulan, maka istri boleh menuntut kepastian dari si suami dengan jima’ (persetubuhan) sebagai tanda kembali bersatunya (fai’ah) suami dan istri, atau dengan talak sebagai tanda berpisahnya suami dengan istri.
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ فَـرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَـلْيَأتِهَا وَلْيُكَـفِّـرْ عَـنْ يَمِيْنِهِ .
“Barang
siapa bersumpah terhadap suatu hal kemudian dia melihat hal lain yang
lebih baik darinya, maka lakukanlah sesuatu yang lebih baik (dari hal
yang dia bersumpah atasnya), lalu bayarlah kaffarat sumpahnya itu.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1650), Ibnu Majah (no. 2108), dan an-Nasa'i (VII/11), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu] Jika ia tidak membayar kaffaratnya dan tetap pada sumpahnya, maka istrinya harus bersabar sampai habis waktu iilaa’
yang dinyatakan oleh suaminya, dan istri tidak berhak untuk menuntut
cerai. Hal tersebut juga pernah dialami oleh sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersumpah untuk tidak mencampuri sebagian istrinya dan beliau menetap
di sebuah kamar selama satu bulan (dalam riwayat disebutkan bahwa
sebulan yang dimaksudkan itu adalah selama 29 hari). [Hadits shahih.
Riwayat Bukhari (no. 5289), an-Nasa'i (VI/166), dan Tirmidzi (no. 685),
dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Dengan demikian, seorang suami yang meng-iilaa’
istrinya sangat dianjurkan bahkan diutamakan untuk kembali kepada
istrinya dan membayar kaffarat atas sumpah yang telah diucapkannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
لَأَنْ يَلَجَّ
أَحَـدُكُـمْ فِي يَمِيْـنِهِ فِي أَهْـلِهِ آثَـمُ لَهُ عِـنْـدَ اللهِ
تَـعَـالَى مِنْ أَنْ يُعْـطِـيَ كَـفَّـارَتَـهُ الَّتِي فَـرَضَ اللهُ
عَـلَيْهِ .
“Sungguh
dosa seseorang yang bersikukuh mempertahankan sumpahnya (untuk tidak
mencampuri) keluarganya itu lebih besar disisi Allah daripada ia
membayar kaffarat atas sumpahnya yang Allah wajibkan kepadanya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1655), dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullah
berkata, “Membatalkan sumpah nilainya lebih utama dari pada
mempertahankan sumpah jika dalam pembatalannya tersebut mengandung
kemaslahatan yang kuat (besar).” [Lihat Terj. Syarah Riyadhush Shalihin (V/351) dan lihat juga penjelasan Syaikh Salim dalam Ensiklopedi Larangan (III/83-85)]
Namun, jika masa iilaa’
tersebut telah habis, maka si suami diberikan pilihan untuk kembali
pada istrinya atau menceraikannya. Sebagaimana disebutkan oleh
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Fat-hul Baari (IX/428), bahwa diriwayatkan dari Abu Shalih, ia berkata,
“Aku bertanya pada dua belas
Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki
yang melakukan iilaa’. Mereka menjawab, “Tidak apa-apa baginya sampai
berlalunya waktu empat bulan, setelah itu dia boleh memilih untuk
kembali pada istrinya atau menceraikannya.” [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/438)]
Sebab Talak: Li’aan
4. Li’aan (اللعان )
Istilah li’aan diambil dari kata la’n ( لعـن) yang berarti laknat atau kutukan. Sedangkan menurut syari’at, li’aan
adalah kesaksian yang diperkuat dengan sumpah antara suami-istri yang
disertai dengan menyebutkan laknat dan kemurkaan Allah. [Lihat Taisirul Alam Syarah 'Umdatul Ahkaam (II/211]
Hukum li’aan dibolehkan
apabila suami memiliki dugaan kuat istrinya telah berselingkuh dengan
lelaki lain, atau dia mengetahui istrinya berselingkuh. Namun jika
suami mendapati istrinya hamil sedangkan dirinya tidak pernah
menggauli istrinya atau dia yakin kehamilannya itu bukan dari hasil
hubungan dengannya maka hukum li’aan menjadi wajib. [Subulus Salam (II/278)]
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِيْنَ
يَرْمُونَ أَزْوَجَهُـمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُـمْ شُهَـدَآءُ إِلَّآ
أَنْفُـسُهُـمْ فَـشَهَـدَةُ أَحَـدِهِـمْ أَرْبَعُ شَهَـدَتِ بِاللهِ
إِنَّهُ ، لَمِنَ الصَّـدِقِينَ وَالْخَمِسَةُ أَنَّ لَعْـنَتَ اللهِ
عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَذِبِينَ وَيَـدْ رَؤُا عَـنْهَا
الْعَـذَابَ أَنْ تَشْهَـدَ أَرْبَعَ شَهَـدَتِ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الْكَـذِبِينَ وَالْخَمِسَةَ أَنَّ غَـضَبَ اللهِ عَلَيهَآ إِنْ كَانَ
مِنَ الصَّـدِقِينَ فَـضَلُ وَلَوْ لاَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
وَأَنَّ اللهَ تَوَّابٌ حَكِـيمٌ
“Dan orang-orang yang
menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksikanlah masing-masing dari
mereka (dengan) empat kali sumpah dengan (nama) Allah, bahwa
sesungguhnya ia termasuk orang yang berkata benar. Dan (sumpah) yang
kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika ia termasuk orang yang
berdusta. Dan istri itu terhindar dari hukumam apabila ia bersumpah
empat kali atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk
orang-orang yang berdusta. Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan
Allah akan menimpanya (istri), jika ia (suaminya) itu termasuk orang
yang berkata benar. Dan sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan menemui kesulitan). Dan
sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Mahabijaksana.” (Qs. An-Nuur: 6-10)
Kasus li’aan ini pernah terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ هِـلاَلَ بْنَ
أُمَيَّةَ قَـذَفَ امْرَأَتَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
بِـشَرِيكِ ابْنِ سَحْمَاءَ ، فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم :
الْبَيَّنَةَ أَوْ حَدٌ فِي ظَهْـرِكَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللهِ ،
إِذَا رَأَى أَحَدُنَا عَلَى امْرَأَتِهِ رَجُلاً يَنْطَلِقُ يَلْتَمِسُّ
الْبَيِّنَةَ ؟ فَجَـعَـلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ
الْبَيِّنَةَ أَوْ حَدٌ فِي ظَهْـرِكَ ، فَقَالَ هِـلاَلٌ : وَالَّذِي
بَعَـثَكَ بِالْحَقِّ إِنَّي لَصَادِقٌ فَلَيُنْزِلَنَّ اللهُ مَا
يَبَرِّئُ ظَهْـرِي مِنَ الْحَدِّ ، فَنَزَلَ جِبْرِيلُ عليه سلم
وَأَنْزَلَ عَلَيهِ ، (وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ أَزْوَجَهُـمْ – فَقَرَأَ
حَتَّى بَلَغَ – إِنْ كَانَ مِنَ الصَّـدِقِينَ) فَانْصَرَفَ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فَجَاءَ هِـلاَلٌ فَشَهِدَ
وَالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إِنَّ اللهَ يَعْـلَمُ أَنَّ
أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ فَهَلْ مِنْكُمَا تَائِبٌ ، ثُمَّ قَامَتْ فَشَهِدَتْ
، فَلَمَّا كَانَتْ عِنْدَ الْخَامِسَةِ وَقَّفُوهَا وَقَالُوا :
إِنَّهَا مُوجَبَةٌ ، قَالَ ابْنُ عَـبَّاسِ فَتَلَكَّأَتْ وَنَكَصَتْ
حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهَاتَرْجَعُ ثُمَّ قَالَتْ : لاَ أَفْـضَحُ قَوْمِي
سَائِرَ الْيَومِ فَمَضَتْ ، فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم :
أَبْصِرُوهَا فَإِنْ جَاءَتْ بِهِ أَكْحَلَ الْعَيْنَيْنِ سَابِغَ
الأَلْيَتَيْنِ خَدَلَّجَ السَّاقَيْنِ فَهُوَ لِشَرِيْكِ ابْنِ سَحْمَاءَ
فَجَاءَتْ بِهِ كَذَلِكَ فَقَالَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : لَوْ
لاَ مَا مَضَى مِنْ كِتَابُ اللهِ لَكَانَ لِي وَلَهَا شَأْنٌ .
“Bahwasanya Hilal bin
Umayyah telah menuduh istrinya melakukan zina dihadapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Syarik bin Sahma’, lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Buktikanlah (dengan
mendatangkan saksi), atau hadd (hukuman) akan menimpamu.’ Kemudian ia
berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat
seorang laki-laki di atas istrinya (berselingkuh), apakah wajib
kepadanya pergi untuk mencari bukti?’ Lalu Nabi pun berkata,
‘Buktikanlah atau hadd yang akan menimpamu.’ Hilal berkata, ‘Demi Dzat
yang telah mengutusmu dengan haq (kebenaran), sesungguhnya aku berkata
benar, dan semoga Allah menurunkan sesuatu yang dapat membebaskanku
dari hadd.’
Kemudian
Jibril ‘alaihis salam turun dan menurunkan kepadanya (firman Allah
Ta’ala): ‘Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)… -ia
membacanya sampai- …jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang
benar.’ Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pergi dan
mengutus seseorang kepadanya (si wanita), kemudian Hilal datang dan
bersaksi sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Sesungguhnya Allah Mahatahu bahwa salah seorang diantara kalian telah
berdusta, apakah diantara kalian berdua ada yang mau bertaubat?’ Lalu
wanita itu berdiri dan bersaksi. Tatkala sampai pada kesaksian yang
kelima kalinya, mereka semua menghentikannya. Mereka berkata,
‘Sesungguhnya ia yang berhak (mendapatkan siksa),’
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata, ‘Lalu ia berhenti sehingga kami menyangka bahwa ia
akan mengambil kembali ucapannya (mengaku).’ Akhirnya ia berkata, ‘Aku
tidak akan mempermalukan kaumku selamanya.’ Akhirnya dia terus saja
(mengucapkannya). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Perhatikanlah ia (si wanita), jika ia melahirkan seorang anak yang
hitam kedua matanya, besar kedua pantatnya, dan besar kedua betisnya,
maka anak itu milik Syarik bin Sahma’.’
Akhirnya ia (wanita itu)
melahirkan anak yang demikian (seperti dikatakan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam), kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Seandainya tidak berlalu keputusan Kitabullah kepadaku,
niscaya aku akan menegakkan hadd kepadanya.’” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4747), Abu Dawud (no. 2237), Tirmidzi (no. 3229), dan Ibnu Majah (no. 2067)]
Diriwayatkan juga dari jalur Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,beliau menceritakan:
أَنَّ فُلاَنَ ابْنَ
فُلاَنٍ قَالَ : يَارَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ لَوْ وَجَدَ أَحَدُنَا
امْرَأَتَهُ عَلَى فَا حِشَةٍ ، كَيْفَ يَصْنَعُ ؟ إِنْ تَكَلَّمَ
تَكَلَّمَ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ ، وَإِنْ سَكَتَ سَكَتَ عَلَى مِثْلِ ذَلِكَ.
قَالَ : فَسَكَتَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُجِبْهُ، فَلَمَّا
كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ أَتَاهُ فَقَالَ : إِنًّ الَّذِيْ سَأَلْتُكَ عَنْهُ
قَدِابْتُلِيتُ بِهِ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاَءِ الْآيَاتِ
فِي سُورَةِ النُّورِ : (وَالَّذِيْنَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ) فَتَلاَ
هُنَّ عَلَيْهِ وَوَعَظَهُ وَذَكَّرَهُ وَأَخْبَرَهُ : أَنَّ عَذَابَ
الدُّنْيَا أَهْوَنُ مِنْ عَذَابِ الْآخِرَةِ ، فَقَالَ : لاَ، وَالَّذِيْ
بَعَثَكَ بِالْحَقِّ نَبِيًّا مَا كَذَبْتُ عَلَيْهَا ثُمَّ دَعَاهَا
وَوَ عَظَهَا وَأَخْبَرَهَا : أَنَّ عَذَابَ الدُّنْيَا أَهَوَنُ مِنْ
عَذَابِ الْآخِرَةِ، فَقَالَتْ : لاَ، وَالَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ
إِنَّهُ لَكَاذِبٌ، فَبَدَأَ بِالرَّجُلِ فَشَهِدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ
بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ لَعْنَتُ
اللهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَادِبِيْنَ ثُمَّ ثَنَّى
بِالْمَرْأَةِ فَشَهِدَتْ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الْكَاذِبِيْنَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّغَضَبَ اللهِ عَلَيِهَا إِنْ كَانَ
مِنَ الصَّادِقِيْنَ، ثُمَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا، ثُمَّ قَالَ : اللهُ
يَعْلَمُ أَنَّ أَحَدَكُمَا كَاذِبٌ، فَهَلْ مِنْكُمَاتَائِبٌ؟ –
ثَلاَثًا.
وَفِي لَفْظٍ : لاَ سَبِيْلَ لَكَ عَلَيْهَا، فَقَالَ : يَارَسُولَ اللهِ، مَالِى؟ قَالَ : لاَ مَالَ لَكَ، إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتُ عَلَيْهَافَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا
وَفِي لَفْظٍ : لاَ سَبِيْلَ لَكَ عَلَيْهَا، فَقَالَ : يَارَسُولَ اللهِ، مَالِى؟ قَالَ : لاَ مَالَ لَكَ، إِنْ كُنْتَ صَدَقْتَ عَلَيْهَا فَهُوَ بِمَا اسْتَحْلَلْتَ مِنْ فَرْجِهَا، وَإِنْ كُنْتَ كَذَبْتُ عَلَيْهَافَهُوَ أَبْعَدُ لَكَ مِنْهَا
“Bahwa fulan bin fulan
berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut pendapatmu jika salah
seorang diantara kami mendapati istrinya berbuat zina, apakah yang
seharusnya ia lakukan?’ Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbicara, maka dia berbicara untuk suatu perkara yang besar.
Sedangkan jika dia diam, maka dia diam untuk perkara yang besar. Ibnu
‘Umar menuturkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam dan
tidak menjawabnya.
Setelah itu, orang tersebut
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi dan mengatakan,
‘Sesungguhnya permasalahan yang aku tanyakan kepadamu itu telah
menimpaku.’ Oleh karena itu, Allah Ta’ala menurunkan banyak ayat dalam
surat An-Nuur yang berbunyi, ‘Orang-orang yang menuduh istri-istri
mereka melakukan perbuatan zina..’ Nabi membacakan ayat-ayat tersebut
pada orang tadi. Beliau memberikan nasihat kepadanya, mengingatkannya
dan memberitahu kepadanya bahwa siksa di dunia itu lebih ringan
daripada siksa di akhirat. Orang tadi mengatakan, ‘Tidak, demi Dzat
yang telah mengutusmu sebagai seorang Nabi, aku tidaklah berdusta dalam
tuduhan itu.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lantas memanggil istri orang tersebut. Beliau memberinya
nasihat, mengingatkannya, memberitahu bahwa siksa di dunia itu lebih
ringan daripada siksa di akhirat. Wanita tersebut lantas berkata,
‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran,
sesungguhnya suamiku telah berdusta.’ Nabi memulai dari orang
tersebut. Orang tersebut lantas memberikan kesaksian atas nama Allah
sebanyak empat kali bahwa dirinya adalah orang yang benar. Yang kelima
adalah bahwa laknat Allah akan menimpanya sekiranya dirinya berdusta.
Berikutnya
adalah sang istri, wanita tersebut lantas bersaksi atas nama Allah
sebanyak empat kali bahwa suaminya telah berdusta. Yang kelima adalah
bahwa dirinya akan mendapatkan kemurkaan Allah, jika ternyata
suaminyalah yang benar. Setelah itu, Nabi menceraikan pasangan suami
istri tersebut.’
‘Allah mengetahui bahwa
salah satu diantara kalian telah berdusta. Apakah ada diantara kalian
yang hendak bertaubat?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
demikian sebanyak tiga kali.
Dalam lafazh lain disebutkan, ‘Engkau tidak boleh bersamanya untuk selamanya.’
‘Wahai
Rasulullah, bagaimana dengan mas kawinku?’ kata orang tersebut. Nabi
menjawab, ‘Mas kawin itu tidak lagi menjadi milikmu. Jika kamu memang
benar, maka mas kawin itu adalah sebagai ganti engkau telah
menggaulinya. Namun, jika engkau berdusta, maka amat sangat tidak
mungkin harta itu kembali kepadamu darinya.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1493). Si fulan yang disebutkan dalam riwayat di atas adalah Uwaimir Al-'Ajlani]
Dari kedua hadits di atas, maka dapat diketahui bahwa praktik li’aan memiliki beberapa langkah yang harus ditempuh, yaitu:
- Seorang hakim memulai dengan mengingatkan pasangan suami istri agar bertaubat sebelum melakukan li’aan, lalu jika mereka berdua bersikeras untuk tetap melakukan li’an, selanjutnya;
- Seorang hakim memulai dengan memerintahkan suami untuk berdiri dan hakim berkata, “Katakanlah empat kali, ‘Aku bersaksi kepada Allah bahwa sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berkata benar dalam tuduhan zina yang aku lemparkan kepada istriku.’”
- Kemudian suami berkata seperti apa yang diperintahkan oleh hakim di atas.
- Sebelum suami mengatakan kalimat la’nat (yang kelima), hakim memerintahkan seseorang untuk meletakkan tangan di mulut suami, kemudian hakim berkata kepada suami, “Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ucapan tersebut menetapkan adanya siksa yang pedih.” Sehingga ia tidak terburu-buru untuk mengucapkan perkataan sumpah yang kelima kalinya sebelum mendapatkan nasihat, karena siksa dunia lebih ringan dari siksa akhirat.
- Jika suami bersikeras untuk li’an, maka ia mengucapkan, “Laknat Allah ditimpakan kepadaku jika aku termasuk kepada orang-orang yang berdusta.” Jika ia mengatakan hal ini maka tidak berlaku hadd qadzaf (hukuman akibat menuduh orang lain berzina). Jika ia menarik perkataannya, maka ia dihukum dengan hukumam menuduh orang lain melakukan zina (hadd qadzaf), yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.
- Hakim berkata kepada istri, “Kamu pun harus mengucapkan perkataan seperti itu. Jika kamu tidak mau mengucapkannya maka kamu akan dihukum dengan hukuman zina (yakni dirajam).”
- Lalu si istri berkata, “Demi Allah, sesungguhnya dia (suami) termasuk orang-orang yang berdusta.” Sebanyak empat kali.
- Kemudian hakim memerintahkan seseorang untuk menghentikannya, agar memberikan nasihat dan memberitakan kepadanya bahwa hal itu akan menetapkan murka Allah sebelum dia bersaksi untuk yang kelima kalinya.
- Jika ia menarik kembali ucapannya dan mengakui perbuatannya, maka ia dihukum dengan hukuman zina, yaitu dirajam.
- Namun jika ia terus saja mengingkari tuduhan tersebut, maka ia diperintahkan untuk berkata, “Murka Allah kepadaku jika ia (suami) termasuk orang-orang yang benar.” Maka jika istri telah mengucapkannya, gugurlah hukuman rajam kepadanya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/432-433]
Apabila pasangan suami-istri telah melakukan li’an maka keduanya dipisahkan. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan li’aan
antara seorang laki-laki dan wanita dari kalangan Anshar, kemudian
beliau memisahkan keduanya. Namun, para ‘ulama berselisih pendapat
mengenai hukum perpisahan karena li’aan, apakah dia dihukumi sebagai talak ataukah fasakh (rusaknya akad nikah). [Lihat uraiannya dalam Terj. Subulus Salam (III/88-90)]
Catatan:
- Bila seorang suami menuduh istrinya berselingkuh (berzina), tetapi keduanya tidak mengadukan masalah tersebut pada seorang hakim, maka wanita tersebut masih berstatus istrinya, sebagaimana disebutkan oleh Ibrahim An-Nakha’i dalam Mushannaf ‘Abdurrazzaq (no. 12911) dengan sanad yang shahih.
- Jika seorang suami berkata kepada istrinya, “Aku tidak mendapati keperawanan darimu,” namun tidak bermaksud menuduhnya berzina, maka tidak berlaku hadd atau li’aan kepadanya. Karena hilangnya keperawanan seorang wanita tidak selalu diakibatkan karena senggama. Adapun jika suami berkata demikian dengan maksud menuduh istrinya telah berzina, maka hukum yang berlaku adalah wanita tersebut masih berstatus sebagai istrinya. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/436]
Sebab Talak: Zhihar
5. Zhihar (ظهار )
Zhihar menurut bahasa berarti punggung. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata zhihar berarti pernyataan suami kepada istrinya, “Bagiku engkau seperti punggung Ibuku,’
di mana suami memaksudkan perkataannya itu dengan mengharamkan
istrinya bagi dirinya. Para 'ulama sepakat untuk mengharamkan perbuatan
ini dan pelakunya dianggap telah melakukan perbuatan dosa. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/439-440), dan Terj. Subulus Salam (III/70-73)]
Sehingga apabila suami
mengatakan, “Bagiku kamu seperti punggung Ibuku,” atau ungkapan
penyerupaan istri dengan anggota tubuh Ibunya yang lain, maka istrinya
menjadi haram untuknya. Suami diharamkan untuk menggauli atau
mencumbu istrinya, hingga suami membayar kaffarat atas ucapannya
tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala berikut,
وَالَّذِيْنَ
يُظَهِـرُونَ مِنْ نِّسَآئِهِـمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْـلِ أَن يَتَمَآسَّا ۚ ذَا لِكُمْ
تُوعَظُونَ بِهِ ۚ وَاللهُ بِمَا تَعْلَمُونَ خَبِيرٌ فَمَن لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْـرَيْنِ مُتَتَا بِعَيْنِ مِن قَبْـلِ أَن يَتَمَآسَّا ۖ
فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ۚ ذَا لِكَ
لِتُؤْ مِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ ۗ
وَلِلْكَفِـرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan mereka yang menzhihar
istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka
mereka (diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah diajarkan kepadamu, dan Allah Maha
Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Maka barang siapa tidak mampu
(memerdekakan hamba sahaya), (dia wajib) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barang siapa tidak
mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum
Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat adzab
yang pedih.” (Qs. Al-Mujaadilah: 3-4)
Diriwayatkan pula dari Salamah bin Shakhr radhiyallahu “anhu, bahwasanya dia berkata,
دَخَلَ رَمَضَانُ،
فَجِفْتُ أَنْ أَصِيْبَ امْرَأَتِى، فَـظَاهَرْتُ مِنْهَا، فَانْكَشَفَ
لِي شَيْءٌ مِنْهَا لَيْلَةً فَوَ قَعْتُ عَلَيْهَا، فَقَالَ لِي رَسُولُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم : حَرِّرْ رَقَبَةً، قُلْتُ : مَا أَمْلِكُ
إِلاَّ رَقَبَتِي، قَالَ : فَـصُمْ شَهْـرَيِنِ مُتَتَا بِعَيْنِ، قُلْتُ :
وَهَلْ أَصَبْتُ الَّذِيْ أَصَبْتُ إِلاَّ مِنَ الصِّيَامِ؟ قَالَ :
أَطْعِمْ عَرَقًا مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتِّيْنَ مِسْكِيْنًا .
“Telah datang bulan suci
Ramadhan, lalu aku cemas bila sampai berhubungan intim dengan istriku,
maka aku pun menzhiharnya. Ternyata pada suatu malam, bagian
(tubuh)nya tersingkap olehku, sehingga aku pun bersetubuh dengannya.
Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadaku,
“Bebaskan budak,’ Lalu kukatakan, “Aku tidak punya budak selain
budakku,’ Beliau berkata lagi, “Kalau begitu, berpuasalah dua bulan
berturut-turut,’ Kukatakan lagi, “Tidakkah aku melanggar hal ini
melainkan karena puasa?’ Beliau berkata lagi, “Berilah makan 60 orang
miskin dengan sekeranjang kurma.’” [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud dalam Shahihnya (no. 2213). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/67, no. 1015)]
Dengan demikian, pelaksanaan kaffarat zhihar
dilakukan sesuai urutan yang disebutkan dalam ayat, berdasarkan
kemampuan sang suami. Jadi, apabila seseorang mampu memerdekakan hamba
sahaya, maka itulah kaffarat yang wajib dibayarnya. Namun jika suami
tidak mampu memerdekakan hamba sahaya, maka diberlakukan baginya puasa
selama dua bulan berturut-turut. Jika kaffarat ini juga tidak mampu
dipenuhi suami, maka kewajibannya adalah memberi makan kepada enam
puluh orang fakir miskin. [Lihat penjelasannya dalam Terj. Subulus Salam (III/75-81 dan Ensiklopedi Larangan (III/88)]
Dan jika suami menzhihar
istrinya dalam waktu tertentu maka dia tidak boleh menggauli istrinya
selama waktu tersebut sehingga dia membayar kaffarat seperti yang
telah dijelaskan di atas. [Lihat Terj. Al-Wajiz (hal. 622-625), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/440-443), Ensiklopedi Larangan (III/88) dan Terj. Subulus Salam (III/82)]
Apabila suami meniatkan talak dengan lafazh zhihar, maka talaknya tidak jatuh, tetapi hal itu menjadi zhihar. Demikianlah pendapat Imam Ahmad, Imam asy-Syafi’i dan ulama selain mereka rahimahumullah. Maka tidak boleh menjadikan zhihar sebagai kinayah (ungkapan) atas penjatuhan talak. [Lihat Terj. Subulus Salam (III/83]
’Iddah
Setelah Suami dan Istri Berpisah
Seorang
wanita yang telah berpisah dengan suaminya, baik karena suaminya
telah meninggal dunia atau karena suaminya telah menceraikannya, maka
dia akan menjadi seorang janda. Wanita yang baru saja berpisah dengan
suaminya harus melewati masa ‘iddah, yaitu masa di mana seorang wanita menunggu untuk dibolehkan menikah lagi setelah habis waktunya, baik dengan hitungan quru’ (masa haidh) atau dengan hitungan bulan. [Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (VII/265), Terj. Al-Wajiz (hal. 642), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/418), dan Panduan Keluarga Sakinah (hal. 321)]
Adapun hikmah disyari’atkannya ‘iddah adalah sebagai berikut:
- Mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga tidak bersatu air mani dari dua laki-laki atau lebih yang telah menggauli wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang mungkin dilahirkan tidak menjadi kacau.
- Menunjukkan keagungan, kemulian masalah pernikahan dan hubungan badan.
- Memberi kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali. Karena bisa jadi ada suami yang menyesal setelah mentalak istrinya.
- Memuliakan kedudukan sang suami di mata sang istri. Sehingga dengan adanya masa iddah akan semakin menampakkan pengaruh perpisahan antara pasangan suami-istri. Karena itu, di masa iddah karena ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan mempercantik diri, sebagai bentuk berkabung atas meninggalkan sang kekasih.
- Berhati-hati dalam menjaga hak suami, kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta melaksanakan hak Allah yang telah mewajibkannya. [Lihat I'laamul Muwaqqi'iin (II/85)]
Masa ‘iddah setiap wanita dapat berbeda-beda, berdasarkan keadaannya dan sebab perpisahannya. Berikut beberapa rinciannya:
- Wanita yang ditinggal mati suaminya, baik dia sudah dicampuri ataupun belum, maka masa ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّـوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ ازْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ارْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًاۚ…“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama) empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234)
- Wanita yang ditalak dan sudah dicampuri suami, serta masih dalam usia haid maka masa ‘iddahnya adalah selama tiga kali haid. Setelah masuk masa suci yang ketiga maka masa ‘iddahnya telah habis. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, والْمُطَـلَّقَـتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَـلَـثَـةَ قُرُوْءٍۗ …“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (Qs. Al-Baqarah: 228)
Dan lafazh quru’ (قروء ) pada ayat di atas maknanya adalah haidh. [Lihat penjelasan mengenai hal ini dalam Terj. Subulus Salam (III/126-132) dan kitab lainnya] - Wanita yang ditalak dan tidak mengalami haid, misalnya karena masih kecil atau sudah tua (menopause), maka masa ‘iddahnya adalah 3 bulan. Allah berfirman : وَالَئِيْ يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيْضِ مِنْ نِسَآئٍكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِـدَّتُهُنَّ ثَلَـثَةُ اَشْهُـرٍ وَّالَّئِيْ لَمْ يَحِضْنَۗ …“Wanita-wanita yang tidak haidh lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh.” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
- Wanita yang ditalak oleh suaminya dan belum dicampuri, maka tidak ada ‘iddah baginya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala, يَـاَيُّـهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْآ اِذَا نَكُحْتُمُ الْمُؤْمِنَتِ ثُـمَّ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْ هُنَّ فَمَالَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَـدُّوْ نَهَاۚ …“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita mukmin, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa ‘iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan..” (Qs. Al-Ahzaab: 49)
- Wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, وَاُلَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّۗ …“Dan wanita-wanita yang hamil, (waktu ‘iddah mereka itu) adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Qs. Ath-Thalaq: 4)
Catatan:
- Wanita hamil yang berpisah dengan suaminya, diperbolehkan untuk menikah lagi, setelah dia melahirkan, meskipun masa nifasnya belum selesai. Namun suami yang barunya tidak boleh mencampurinya hingga wanita tersebut suci dari darah nifasnya. [Lihat Umdatul Ahkaam Kitab Ath-Thalaq bab 'Iddah (no. 325) dan Terj. Subulus Salam (III/108-109)]
- Wanita hamil yang mengalami keguguran sehingga mengakibatkan luruhnya janin dari rahimnya maka masa ‘iddahnya selesai bersamaan dengan gugurnya janin. [Lihat penjelasan Syaikh 'Abdurrahman As-Sa'di dalam Al-Majmu' Al-Kamilah Limu'allafatisy Syaikh 'Abdurrahman As-Sa'di (VII/384-385) dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (II/224-225). Lihat juga Terj. Subulus Salam (III/109)]
- Wanita al-Murtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak teratur. Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan:
- Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang masih ada harapan untuk sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk bersabar sampai siklus haidnya kembali normal, meskipun waktunya panjang. Setelah siklus haid kembali normal maka dia menjalani masa iddahnya dengan hitungan quru’ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhum.
- Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya berubah namun sebabnya tidak diketahui. Dalam kondisi ini, wanita wajib menunggu selama 9 bulan, sehingga diketahui dengan pasti bahwa rahimnya bersih, kemudian melakukan ‘iddahnya selama 3 bulan. Dengan demikian, ‘iddahnya menjadi 1 tahun. [Lihat Ad-Dasuqi (II/470), Al-Mughni (VII/466), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/420-421), Mausu'ah Fiqhiyah Kuwaitiyah (XXIX/329)] Hal ini berdasarkan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, tentang wanita murtabah namun sebabnya tidak diketahui, “Hendaklah ia menunggu selama sembilan bulan, kemudian jika tidak nampak pada dirinya (tanda-tanda) kehamilan, maka hendaklah ia melakukan ‘iddah selama tiga bulan, maka semuanya menjadi satu tahun penuh.” [Riwayat Imam Asy-Syafi'i dalam Musnadnya (II/107 Syifaa-ul 'Ayy)]
- Wanita al-mustahadhah. Dalam kondisi istihadhah, wanita ada dua keadaan:
- Dia dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah, maka ‘iddahnya adalah tiga kali siklus haid.
- Dia tidak dapat membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Wanita yang mengalami kondisi semacam ini disebut al-mutahayyirah (wanita yang ragu), dan masa ‘iddahnya adalah selama 3 bulan. [Lihat Fat-hul Baari (IV/312), Ad-Dasuqi (II/470), Mughni Muhtaaj (III/385), Al-Mughni (III/468), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/ 421)] Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala, … إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِـدَّتُهُنَّ ثَلَـثَةُ اَشْهُـرٍ …“…jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddahnya adalah tiga bulan…” (Qs. Ath-Thalaaq: 4)
- Wanita menuntut cerai kepada suaminya (melakukan khulu’), maka tidak ada ‘iddah baginya, karena khulu’ adalah fasakh
(pembatalan akad nikah) dan bukan talak. Namun wanita tersebut
menunggu selama satu kali haidh, setelah itu halal baginya untuk
menikah lagi. [Lihat Zaadul Ma'ad (V/199), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/428)]Sebagaimana diriwayatkan dari Rubayi’ binti Mu’awwidz, أَنَّهَا اِخْتَـلَعْـتَ مِنْ زَوْجِهَا فَـأَتَتْ عُـثْمَانَ بْنَ عَـفَّانَ فَـسَأَلْـتَهُ : مَاذَا عَـلَيَّ مِنَ الْعِـدَّةِ ؟ فَـقَالَ : لاَعِـدَّةَ عَلَيْـكِ إِلاَّ أَنْ تَـكُوْ نِيْ حَدِيْـثَـةَ عَـهْـدٍ بِهِ فَـتَمْكُثِي حَتَّى تَحِيضِي حَيْضَةً ، قَالَ : وَأَنَا مُتَّبِـعٌ فِي ذَلِـكَ قَضَاءَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي مَرْيَمَ الْمُغَالِيَّةِ ، كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسْ فَاخْتَـلَعَتْ مِنْهُ .“Bahwasanya dia mengajukan khulu’ dari suaminya, lalu dia mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan dan bertanya kepadanya, ‘Apakah ada kewajiban ‘iddah kepadaku?’ Utsman menjawab, ‘Tidak ada ‘iddah kepadamu, kecuali kamu baru saja bersenggama dengannya sehingga datang kepadamu haidh satu kali.’ ‘Utsman melanjutkan perkataannya, ‘Dan aku mengikuti apa yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam masalah ini kepada Maryam al-Mughaliyah.’ Dia (Maryam) adalah istri Tsabit bin Qais bin Syammas yang mengajukan khulu’ darinya.” [Hadits shahih li ghairih. Riwayat An-Nasa'i (VI/186) dan Ibnu Majah (no. 2058)]
Setelah mengetahui batasan waktu yang ditetapkan oleh Islam untuk wanita yang menjalani masa ‘iddah, maka kita pun perlu mengetahui apa saja yang ditetapkan oleh syari’at untuk wanita yang sedang dalam masa ‘iddah.
- Wanita tersebut wajib untuk tetap tinggal di rumah suaminya atau di rumah mahramnya. Dan dia tidak keluar rumah kecuali untuk suatu kebutuhan yang mendesak dan bergegas kembali apabila kebutuhannya telah terpenuhi.
- Wajib bagi wanita tersebut untuk menjauhi segala bentuk perhiasan, wewangian, dan aktivitas berhias, seperti bercelak, mengenakan inai (pacar) dan sebagainya yang dapat membangkitkan hasrat lawan jenis untuk meminangnya. [Lihat Al-'Adad wal Ihdaad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa' (II/599), Terj. Subulus Salam (III/117-123), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/408-411)]
Ketika Maut Memisahkan
Ketika Maut Memisahkan
Setiap yang hidup pasti merasakan mati. Tidak terkecuali bagi pasangan kita, suami tercinta. Ketika Allah Al-Hayyu mengambil jiwa kekasih tercinta, apakah yang harus kita lakukan?
- Ikhlas dan sabar Tidak seorang pun terlepas dari nyeri yang berdenyut dalam jiwa, penyakit yang menginap dalam badan, hilangnya kekasih hati dan lenyapnya harta benda. Semua kalangan tidak akan terluput darinya, baik dia seorang yang baik atau pun jahat, demikian pula orang mukmin dan orang kafir. Akan tetapi, bedanya adalah orang mukmin senantiasa menghadapi musibah dengan ridha dan ketenangan yang memenuhi hatinya, kemudian membawanya kepada Allah Ta’ala, Yang mengatur hati juga pandangan, karena dia memahami bahwa apa yang menimpanya tidak akan pernah meleset, dan apa yang Allah Ta’ala jauhkan darinya tidak akan pernah menimpanya. [Lihat Meniru Sabarnya Nabi (hal. 53)] Ketika ajal sang kekasih hati -yang telah sekian lama menemani ayun langkah kita dalam mengarungi bahtera rumah tangga- telah sampai pada waktunya, maka ketika itu pulalah kita selaku istri diharuskan untuk menggenggam kesabaran atas takdir-Nya. Salah satu wujud ikhlas dan sabar ketika menghadapi musibah adalah dengan ber-istirja’ (mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
- Tidak meratapi kematiannya Bersedih dan menangis atas sebuah musibah adalah sesuatu hal yang wajar, tetapi janganlah sampai berlebihan. An-Niyahah maksudnya adalah teriakan keras yang disertai dengan tangisan secara berlebihan. Tindakan ini biasa dilakukan oleh kaum wanita Jahiliyyah, di mana mereka berdiri berhadapan sambil berteriak-teriak dan menabur-naburkan tanah di atas kepala mereka sambil memukuli wajah mereka. [Lihat Syarh Shahih Muslim (II/598)] Banyak kita temui para wanita yang menangisi kematian orang yang dicintainya dengan berlebihan, sambil menjerit-jerit, merobek-robek pakaiannya, menampar-nampar pipinya, menjambak rambutnya, dan sebagainya. Ketahuilah saudariku, perbuatan semacam ini adalah perilaku wanita-wanita jahiliyah, yang kita dilarang untuk mengikuti dan menyerupai perilaku mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
- Berkabung atas kematian suami (ihdaad) Kata al-ihdaad dan al-hidaad diambil dari lafazh al-haddu, yang artinya menahan atau melarang. Secara istilah, ihdad berarti keadaan dimana seorang wanita dilarang untuk berhias dan melakukan semua hal yang dapat menarik hasrat lelaki lain untuk melamarnya, dalam rangka berkabung atas meninggalnya suaminya. [Lihat Al-'Idad wal Hidad (hal. 18), Al-Mughni (VII/518), Al-Muwaththa' (II/599), Ahkaamul Janaaiz (hal. 23-24), dan Zaadul Ma'aad (V/705)] Lamanya masa berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
- Istri boleh menziarahi makam suami Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagi yang hidup, dapat melembutkan hati dan meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan kehidupan akhirat, dengan syarat wanita tersebut tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)] Seorang wanita yang ingin menziarahi makam suaminya, hendaknya dilakukan setelah masa ‘iddahnya selesai dan ditemani oleh mahramnya. Ketika dia memasuki area pemakaman, maka hendaklah dia mengucapkan salam (dengan syarat pemakaman tersebut khusus kaum muslimin). Lafazhnya adalah,
وَلَنَبْـلُوَنَّـكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَ نَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ
وَالْاَنْفُـسِ وَالثَّمَـرَاتِ ۗ وَبَـشِّـرِ الصَّبِرِيْنَ الَّذِيْنَ
اِذَآ اَصَابِتْهُـمْ مُّصِيْبَـةٌ ۗ قَالُوْآ اِنَّا لِلهِ وَاِنَّا
اِلَيْهِ رَاجِعُـوْنَ ۗ اُولَئِـكَ عَلَيْهِـمْ صَلَوَتٌ مِّنْ
رَّبِّهِـمْ وَرَحْمَـةٌ ۗ وَاُلَـئِـكَ هُـمُ الْمُهْـتَـدُوْنَ
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Inna lillahi wa inna
ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami milik Allah dan sesungguhnya kami
akan kembali kepada-Nya).’ Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan
yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Qs. Al-Baqarah: 155-157)
Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, bahwa sesungguhnya kesabaran
yang terpuji adalah kesabaran yang engkau hunus ketika musibah itu
datang secara tiba-tiba. Sedangkan kesabaran yang hadir sesudah musibah
itu terjadi akan berbeda nilainya dengan kesabaran yang dilakukan
pada saat musibah itu terjadi. Karena kesabaran yang terjadi ketika
musibah sedang berada di puncaknya lebih besar dan lebih bermanfaat
ketimbang kesabaran yang terjadi setelah musibah itu berlalu. [Lihat Fat-hul Baari (III/149) dan Meniru Sabarnya Nabi (hal. 47)] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْ مَةِ الْأُوْلَى .
“Sesungguhnya kesabaran itu terjadi pada saat awal benturan (musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 1283) dan Muslim (no. 926), dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu]
Disunnahkan pula berdo’a untuk mendapatkan kebaikan dari musibah yang
menimpanya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
عَنْ
أُم سَلَمَة رضي الله عنها قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُول الله صلى الله عليه
وسلم يَقُـول: مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُولَ مَا
أَمَرَهُ اللهُ (إِنَّا لِلهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ)
اَلـلَّهُمَّ أْجِرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
إِلاَ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا. قَالَتْ: فَلَمَّا مَاتَ
أَبُو سَلَمَةَ قُلْتُ: أَيُّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرٌمِنْ أَبِي سَلَمَةَ,
أَوَّلَ بَيْتٍ هَاجَرَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ؟ ثُمَّ
إِنِّي قُلْتُهَا فَأَخْلَفَ اللهُ لِي رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم .
“Aku
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‘Setiap Muslim yang tertimpa musibah, lalu mengucapkan sebagaimana
yang diperintahkan Allah “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Allahumma aajirni fii mushiibatii wa akhliflii khairan minhaa”
(Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya hanya
kepada-Nyalah kami akan kembali, Yaa Allah, limpahkanlah kepadaku
pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti yang lebih baik darinya),
melainkan pasti Allah memberi pahala kepadanya dalam musibahnya
tersebut dan memberi ganti yang lebih baik darinya.’ Kemudian
tatkala Abu Salamah meninggal dunia, aku berkata: ‘Siapakah di antara
orang-orang Muslim yang lebih baik daripada Abu Salamah, ia beserta
keluarganya yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam?’ Kemudian aku mengucapkan istirja’ ini, lalu Allah
memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (III/37 no. 918), Ahmad (VI/309), Al-Baihaqi (IV/65) dan Abu Dawud (no. 926). Lihat juga Silsilah Ash-Shahiihah (no. 734)]
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ, وَدَعَى بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ .
“Bukanlah
termasuk golongan kami, orang yang memukuli pipi, merobek-robek
pakaian, dan berteriak dengan teriakan Jahiliyah (ketika ditimpa
musibah).” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari dalam Fat-hul Baari
(III/127-128 no.1294), Muslim (I/70 no. 103), Tirmidzi (no. 1004),
An-Nasa'i (IV/19), Ibnul Jarud (hal. 257), dan Al-Baihaqi (IV/63-64)
dari 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu] Perbuatan semacam
ini diharamkan oleh syari’at karena dapat membangkitkan kesedihan dan
menghilangkan kesabaran, juga bertentangan dengan sikap tawakkal (berserah diri) terhadap takdir Allah dan tunduk atas ketetapan-Nya. [Lihat Syarh Shahih Muslim
(II/598)] Ketahuilah pula olehmu wahai saudariku, seorang wanita yang
meratapi mayat jika dia tidak bertaubat sebelum datang kematiannya,
maka kelak dia akan dibangkitkan pada hari Kiamat dengan mengenakan
pakaian yang terbuat dari cairan tembaga dan baju dari besi karatan.
النَّائِحَةُ
إِذّا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا ، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَـطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرْبٍ .
“Wanita
yang meratap jika tidak bertaubat sebelum kematiannya, maka dia akan
dibangkitkan kelak pada hari Kiamat dengan mengenakan pakaian yang
terbuat dari cairan tembaga dan memakai baju besi karatan.” [Hadits
shahih. Riwayat Muslim (III/45 no. 934), Ahmad (V/432), Al-Hakim
(I/383) dan Al-Baihaqi (IV/63), dari Abu Malik Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu] Catatan: Di kalangan masyarakat terdapat sebuah amalan yang biasa dilakukan pasca kematian seseorang, yaitu tahlilan. Ketahuilah olehmu wahai saudariku muslimah, bahwa dalam masalah ini, tidak ada satu pun dalil shahih yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyari’atkan tahlilan
atau berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit di mana pihak keluarga
membuat makanan untuk mereka agar mereka mendo’akan mayit tersebut.
Kebiasaan ini tidak ada manfaatnya sama sekali, baik bagi mayit maupun
bagi keluarga mayit. Ini adalah salah satu dari sekian banyak amalan bid’ah yang sering di anggap hasan (baik) oleh sebagian besar masyarakat yang belum benar-benar memahami makna ittiba’us sunnah (mengikuti
sunnah). Dan para ‘ulama menganggap amalan ini sebagai salah satu
bentuk ratapan untuk mayit yang kita telah dilarang untuk melakukannya.
Allahul musta’an.
وَالَّذِيْنَ يَتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ أَزْوَجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُـسِـهِـنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah selama)
empat bulan sepuluh hari.” (Qs. Al-Baqarah: 234) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda tentang hal serupa, beliau berkata,
لاَيَحِلُّ
لاِمْرَأَةٍ تَؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الْآخِرِ (أَنْ) تَحِدَّ عَلَى
مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُـرٍ
وَعَـشْرًا .
“Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang
lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama)
empat bulan sepuluh hari.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (III/114 dan IX/400-401), dari Zainab binti Abi Salamah radhiyallahu 'anhuma] Catatan: Masa berkabung (ihdaad) seorang wanita bisa lebih panjang dari masa ‘iddahnya. Seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya
hanya sampai dia melahirkan kandungannya, meskipun suaminya baru
meninggal dalam hitungan menit. Namun, dibolehkan baginya untuk
berkabung atas kematian suaminya hingga empat bulan sepuluh hari.
اَلسَّلاَمُ
عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيِنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
وَيَرْحَـمُ اللهُ الْمُـسْـتَـقْـدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُـسْـتَأْخِرِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَ حِقُونَ .
“Assalaamu
‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiin, wa yarhamullahul
mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriin, wa inna in-syaa Allahu bikum
lalaahiquun.” Artinya, “Keselamatan bagimu wahai penghuni kubur
dari kalangan mukminin dan muslimin, semoga Allah menyayangi orang
yang terdahulu dan terakhir di antara kita, dan sesungguhnya kami insya
Allah akan menyusul kalian.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim
(III/114 no. 974), Ahmad (VI/221), 'Abdurrazzaq (III/570-571 no.
6712), Al-Baihaqi (IV/79), dan An-Nasa'i (I/286, II/160 dan 160-161),
dari jalur 'Aisyah radhiyallahu 'anha] Catatan: a. Ketika
berziarah kubur, tidak disyari’atkan untuk melakukan berbagai macam
bentuk peribadatan, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, berkurban, dan
lain sebagainya, karena kuburan bukanlah tempat yang disyari’atkan
untuk beribadah. [Lihat Ahkaamul Janaaiz mengenai masalah bid'ah
ketika ziarah kubur (hal. 203)] b. Hendaknya seorang wanita tidak
terlalu sering melakukan ziarah kubur karena dikhawatirkan akan jatuh
dalam kemaksiatan seperti, tabarruj, ikhtilath, dan lain sebagainya.
Beberapa Masalah Seputar Perceraian
- Hak Asuh Anak (Hadhanah) Jika seorang wanita ditalak, dia lebih berhak untuk mengurusi anaknya dari pada suaminya selama wanita tersebut belum menikah lagi. Jika dia menikah, maka suaminya yang lebih berhak untuk mengurusinya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
- Nafkah dan Tempat Tinggal untuk Wanita yang Ditalak Ada empat keadaan wanita yang ditalak, terkait dengan hak nafkah dan tempat tinggal: Pertama, wanita yang ditalak dengan talak raj-’i (talak yang masih memungkinkan untuk rujuk) Pada keadaan ini, wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dari suaminya selama menjalani masa ‘iddahnya. Allah berfirman :
- Mut’ah untuk Wanita yang Ditalak Al-Mut’ah adalah harta yang diserahkan kepada wanita yang ditalak. Harta tersebut dapat berupa pakaian, uang, perhiasan, pembantu, atau yang lainnya. Besarnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi suami. Al-Mut’ah merupakan hak untuk setiap wanita yang ditalak, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِـحِي .
“Kamu lebih berhak untuk (mengurus) anak itu selama kamu belum menikah.” [Hadits
hasan. Riwayat Abu Dawud (no. 2276) dan Ahmad (II/182)] Adapun seorang
anak yang tidak lagi membutuhkan asuhan, maka anak tersebut diberi
pilihan untuk mengikuti bapaknya atau ibunya. Sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang wanita yang datang kepadanya untuk mengadu masalah rebutan anak dengan suaminya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anaknya,
يَاغُلاَمُ، هَـذَا أَبُوكَ وَهَـذِهِ أُمُّكَ، فَخُـذْ بِيَدِ أَيِّهِـمَا شِئْتَ، فَأَخَذَ بِيَدِ أُمَّهِ، فَانْـطَلَقَـتْ بِهِ .
“Wahai
anak laki-laki, ini adalah bapakmu dan ini adalah ibumu, maka
ambillah tangan salah satu dari keduanya yang kamu inginkan.” Lalu dia (anak itu) mengambil tangan ibunya, kemudian ibunya membawanya pergi.
[Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud (no. 2277), Tirmidzi (no. 1357),
An-Nasa'i (VI/185), dan Ibnu Majah (no. 2351)] Sedangkan anak yang
lahir dari seorang wanita yang melakukan li’aan, maka anaknya dinisbatkan kepada ibunya (yakni nasabnya). Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ
رَجُلاَ رَمَى امْرَأَتَهُ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فِي زَمَانِ
رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَلاَعَنَا، كَمَا قَالَ اللهُ
تَعَالَى، ثُمَّ قَضَى بِالْوَلَدِ لِلْمَرْأَةِ وَفَرَّقَ بَيْنَ
الْمُتَلاَ عِنَيْنِ .
“Bahwasanya pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang laki-laki yang menuduh
istrinya berzina. Dia tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintahkan keduanya
untuk melakukan li’aan sebagaimana firman Allah Ta’ala. Setelah itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak tersebut
dinisbatkan kepada ibunya dan beliau memisahkan pasangan suami istri
tersebut.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4748) dan Muslim
(no. 1494)] Anak yang dilahirkan di luar nikah dinisbahkan kepada
ibunya. Karena anak tersebut bukan keturunan bapaknya. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
الْوَلَدُ لِلْفِرَاش وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَر
“Anak itu milik suami. Sementara orang yang berzina mendapatkan penyesalan” (Muttafaq ‘alaihi)
يَأَيُّهَا
النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّ
تِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُم ۖ لاَ
تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَنْ يَأتِيْنَ
بِفَـحِـشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ …
“Wahai Nabi, apabila kamu
menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada
waktu mereka (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu
‘iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar
kecuali jika mereka melakukan perbuatan yang keji dengan jelas..” (Qs. Ath-Thalaaq: 1) Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda,
إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَاكَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ .
“Nafkah dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk kepadanya.” [Hadits shahih. Riwayat An-Nasa'i (VI/144)] Kedua, wanita yang telah ditalak dengan talak ba-’in
(setelah tiga kali talak) Dalam keadaan ini, wanita tidak lagi berhak
untuk mendapatkah nafkah juga tempat tinggal atas suaminya. Dalilnya,
kejadian yang dialami Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha yang telah ditalak dengan talak ba-’in kubra oleh suaminya, Abu ‘Amr bin Hafsh. Kemudian ia (Fathimah) berkata,
فَخَاصَمْتُهُ
إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي السُّـكْنَى وَالنَّفَقَةِ،
فَلَمْ يَجْعَلْ لِيْ سُـكْنَى وَلاَ نَفَقَةً وَأَمَرَنِيْ أَنْ
أَعْتَدَّ فِيْ بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ .
“Lalu aku mengadu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tempat
tinggal dan nafkah, beliau tidak menjadikan bagiku hak untuk
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah, dan memerintahkanku agar
melakukan ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1480)] [Lihat Ensiklopedi Larangan (III/95-96)] Ketiga, wanita yang ditalak dalam kondisi hamil Mereka berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan, Allah Ta’ala berfirman:
… وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ فَأَنْـفِـقُـوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَـعْـنَ حَمْلَهُـنَّۚ …
“…dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan
kandungannya..” (Qs. Ath-Thalaaq: 6) Keempat, wanita yang dipisahkan dengan suami karena li’aan Mereka tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/435)]
وَلِلْمُـطَلَّقَـتِ مَتَعٌ بِالْمَعْـرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّـقِـيْنَ
“Dan
bagi wanita-wanita yang diceraikan, hendaklah diberi mut’ah menurut
cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertaqwa.” (Qs. Al-Baqarah: 241) Allah juga berfirman :
…
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَـدَرُهُ، وَعَلَى الْمُـقْـتَرِ
قَـدَرُهُ، مَتَعًا بِالْمَعْـرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ
“..Dan
hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu
pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. Al-Baqarah: 236) Ketentuan
ini berlaku bagi wanita yang sudah dicampuri maupun bagi wanita yang
belum dicampuri ketika ditalak. Khusus bagi wanita yang ditalak
sebelum dicampuri maka ada dua rincian hukum: a. Maharnya telah
ditentukan dalam akad nikah. Wanita berhak mendapatkan setengah dari
mahar yang diucapkan dalam akad nikah. b. Maharnya belum ditentukan
ketika akad nikah, maka dia mendapatkan mut’ah dengan kadar yang tidak ditentukan. [Lihat Al-Mughni (X/139 - Al-Kitaabul 'Arabi), Al-Haawi (XIII/101), dan Ibnu 'Abidin (III/111)]
Sebuah Renungan Untuk Suami dan Istri
Pernikahan
adalah sebuah ikatan kuat antara seorang laki-laki dan wanita yang
tidak dapat dianggap remeh. Oleh karena itu, Islam telah membahas
masalah pernikahan secara panjang lebar, lengkap dan menyeluruh. Dan
melalui pintu pernikahan, diharapkan setiap keluarga dapat membina
suatu hubungan yang sakinah, mawaddah warahmah.
Di dalam perjalanannya
seringkali pasangan suami istri menemui berbagai ujian dan cobaan yang
fungsinya adalah sebagai proses pendewasaan bagi keduanya. Namun,
tidak jarang kita temui juga beberapa biduk rumah tangga yang terpaksa
terhenti di tengah jalan karena dua sebab umum, yaitu kematian dan
perceraian.
Perpisahan yang disebabkan oleh
kematian adalah suatu kejadian yang sifatnya pasti akan dialami oleh
setiap makhluk yang bernyawa dan tidak ada yang dapat menghindarinya.
Adapun perpisahan yang disebabkan oleh perceraian merupakan suatu
permasalahan yang harus mendapatkan perhatian khusus, agar setiap
pasangan suami istri memahami betul bahwa sekalipun Islam
mensyari’atkan terjadinya perceraian, namun sesungguhnya Islam sangat
menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan
kebahagiaan.
Meski demikian, tidak jarang
terjadi perselisihan antara pasangan suami istri di dalam mengarungi
kehidupan rumah tangga. Dan apabila segala upaya telah dikerahkan demi
langgengnya ikatan pernikahan, namun bara perselisihan di antara
keduanya tidak dapat padam juga, maka dalam keadaan seperti ini
seseorang dituntut untuk mengambil tindakan lain yang lebih kuat,
yaitu talak (cerai).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang kedudukan hadits yang populer di telinga kita yang berbunyi,
أَبْغَضُ الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ .
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak,” maka beliau berkata, “Hadits tersebut dha’if
(lemah) dan makna hadits tidak dapat diterima oleh akal, sebab tidak
mungkin ada perbuatan atau sesuatu yang halal akan tetapi dibenci oleh
Allah Ta’ala. Namun, secara umum Allah Ta’ala tidak
menyukai seseorang yang mentalak istrinya, oleh sebab itu hukum asal
talak adalah makruh. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai talak adalah dalam firman-Nya mengenai orang yang meng-ilaa’ istrinya,
لِلَّذِيْنَ يُؤْ
لُونَ مِنْ نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُـرٍ ۖ فَإِنْ فَآءُو
فَإِنَّ اللهَ غَـفُـورٌرَّحِيْمٌ وَإِنْ عَـزَمُوا الطَّلَـقَ فَإِنَّ
اللهَ سَمِيْعٌ عَلِيمٌ
“Kepada orang-orang yang
meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika
mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazzam (bertetap hati
untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 226-227)
Allah Ta’ala berfiman tentang seseorang yang kembali kepada istrinya setelah melakukan ilaa’,
‘Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Dan pada waktu mereka
berniat untuk tetap memilih jalan talak, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan jika mereka berazzam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’ Dan ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang memilih jalan talak daripada kembali menyambung tali pernikahan.” [Lihat Duruus wa Fataawaa Al-Haram Al-Makki Syaikh 'Utsaimin (III/260) dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (II/189-190)]
Sesungguhnya bagi seseorang yang
memperhatikan hukum-hukum mengenai masalah perceraian, maka ia akan
memahami bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya
keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih sayang antara suami
dan istri. Sebagai bukti akan hal itu, Islam tidak menjadikan talak
terjadi hanya dalam satu kali, di mana ketika perceraian telah
dilakukan, maka tidak ada lagi ikatan pernikahan dan keduanya tidak
boleh untuk menyambungnya kembali. Demikianlah Allah menetapkan
syari’at-Nya atas setiap hamba-Nya. [Lihat Panduan Keluarga Sakinah (hal. 299-300) dan Terj. Al-Wajiz (hal. 627-628)]
Demikianlah pembahasan ringkas
mengenai perpisahan yang terjadi di antara suami dan istri. Semoga
menjadi suatu pembelajaran dan bahan renungan tersendiri bagi setiap
pasangan suami istri yang sedang dilanda prahara dalam rumah tangganya
dan berniat untuk berpisah.
Wallahu a’lam wal musta’an.
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz (Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa, Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet. Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam (Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet. Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits Al-Waaridah fii An-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam, Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh