Pertanyaan:
Saya ingin bertanya beberapa hal tentang rumah tangga. Semoga Ustadz
berkenan memberikan jawaban secara ilmiah/syar’i. Saya harap, hal ini
akan bermanfaat bagi saya dan siapa saja yang mungkin suatu saat akan
mengalaminya.
Bagaimana perceraian yang dilakukan tanpa ada saksi? Hukumnya sah atau tidak? Bagaimana pula ketika akan rujuk? Apakah perlu adanya saksi agar sah atau tidak? Kemudian, ketika talak satu sudah habis masa iddah-nya
dan tidak ada rujuk, bagaimana status perkawinannya? Demikian Ustadz
pertanyaan saya, semoga Ustadz berkenan untuk menjawabnya.
Jawaban:
Tidak ada seorang muslim pun yang ingin kehidupan rumah tangganya
pecah. Segala cara dan kiat dicari untuk mempertahankan bahtera rumah
tangga. Apabila tidak mungkin berbaikan kecuali dengan berpisah, maka
apa boleh buat, langkah yang sulit dan getir itu pun harus diambil.
Islam memberikan aturan yang indah dalam kasus ini dengan mensyariatkan talak (perceraian), rujuk (damai kembali bersatu), dan masa iddah menjadi tiga: dua dengan rujuk, yaitu talak satu dan dua serta satu tanpa rujuk, yaitu talak tiga atau talak ba’in, sebagaimana firman Allah,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) itu sebanyak dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-Baqarah:229)
Para ulama sepakat bahwa keberadaan saksi tidak disyariatkannya dalam perceraian, sebagaimana dijelaskan Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nail Al-Authar, 6:267. Namun, para ulama masih berselisih tentang kewajiban adanya saksi dalam rujuk. Pendapat yang rajih dalam hal ini adalah yang berpendapat bahwa saksi tidak wajib ada, namun bila ada saksi maka itu yang lebih baik.
Para ulama, yang tidak mewajibkan saksi dalam rujuk, berselisih pendapat dalam cara rujuk yang diakui syariat. Ada yang menyatakan bahwa cukup dengan berhubungan suami-istri, ada yang menyatakan bahwa harus dengan niat rujuk, dan ada yang menyatakan bahwa harus dengan ucapan.
Pendapat yang rajih adalah bahwa rujuk dikatakan sah dengan adanya perbuatan atau perkataan yang menunjukan rujuknya kedua pasutri tersebut, baik dengan hubungan suami-istri atau perkataan. Hal tersebut menyelishi opini sebagian kaum muslimin bahwa rujuk memerlukan prosedur yang berbelit-belit, sehingga orang yang berkeinginan rujuk malah tidak jadi melakukan rujuk hanya karena prosedur tersebut.
Islam mensyariatkan iddah (masa menunggu) agar sang suami dapat meralat kembali talaknya, setelah hilang rasa marah dan tidak sukanya lalu muncul perasaan ingin memperbaiki bahteranya. Oleh karena itu, sang suami dilarang mengusir istrinya dari rumah, dan istri yang dicerai dengan talak satu atau dua tersebut juga tidak boleh pergi untuk tinggal di luar rumahnya. Hal ini jelas ditegaskan Allah dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاء فَطَلِّقُوهُنَّ
لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا
تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ
بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ
يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah batasan-batasan dari Allah. Barang siapa yang melanggar batasan-batasan Allah, sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui bahwa barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalaq:1)
Apabila Allah berikan rasa ingin rujuk pada hati sang suami dalam masa iddah tersebut maka sang istri wajib menerimanya walaupun ia tidak suka. Namun, bila tidak ada rujuk sampai habis masa iddah-nya maka sang wanita menjadi bebas dan tidak ada keterikatan dengan suaminya terdahulu itu.
Jika keduanya sepakat untuk kembali bersatu setelah itu maka pernikahan yang baru wajib untuk dilakukan.
Hal ini merupakan kesepakatan para ulama, sebagaimana pernyataan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Para ulama telah bersepakat bahwa bila lelaki yang merdeka mencerai wanita yang merdeka setelah berhubungan suami istri, baik talak satu atau dua, maka suami tersebut lebih berhak untuk rujuk kepadanya walaupun sang wanita tidak suka. Apabila tidak rujuk sampai selesai masa iddahnya maka sang wanita menjadi orang asing (ajnabiyah), sehingga tidak halal baginya, kecuali melalui pernikahan baru.”
Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan bermanfaat.
Sumber: Majalah Nikah, Vol. 3, No. 12, Maret, 2005.
Dengan penyuntingan oleh redaksi www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
http://faisalchoir.blogspot.sg/2012/01/apakah-cerai-dan-rujuk-harus-ada-saksi.html