Oleh : Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman hafidhahullah [1]
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
Dari Hushain (bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas minbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelakkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” [HR. Muslim no. 874].
An-Nawawi berkata :
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ
”Bahwasannya yang sesuai dengan sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat tangan ketika berkhutbah. Ini adalah pendapat Malik, para shahabat kami (para ulama madzhab Syafi’iyyah), dan yang lainnya”. [2]
Perkataan ’Umaarah : ”Semoga Allah menjelakkan kedua ini” ; maksudnya adalah kedua tangan Bisyr yang diangkat ketika berkhutbah, dan beliau mendoakannya dengan kejelekan. Hal itu dikarenakan mengangkat tangan ketika berkhutbah menyalahi sunnah. Dan segala sesuatu yang menyalahi sunnah tertolak dan tercela.[3]
Yang dimaksud dengan mengangkat kedua tangan adalah mengangkat tangan ketika berdoa dan berkhutbah kepada jama’ah untuk memberikan peringatan, sebagaimana kebiasaan para khathib dan pemberi nasihat, bukan mengangkat tangan sebagai bentuk penghormatan. [4]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ويكره للإمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما كان يشير بأصبعه إذا دعا
”Makruh bagi seorang khathib untuk mengangat kedua tangannya ketika berdoa dalam khutbah, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam hanya berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya ketika berdoa”. [5]
Abu Syaammah berkata, dan kemudian diikuti oleh As-Suyuthi terkait dengan para imam yang mengangkat tangan mereka ketika berkhutbah :
وأما رفع أيديهم عند الدّعاء ، فبدعة قديمة
”Adapun mengangkat tangan ketika berdoa adalah bid’ah yang telah lama ada”. [6]
Begitu juga yang dikatakan oleh Al-Majd. Lihat kitab Al-Inshaaf karya Al-Mawardi (2/398).
Az-Zarqani berkata : “Ibnu Habiib berkata : ‘Bukan termasuk sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah, kecuali karena takut terhadap musuh atau musim paceklik atau ada perkara penting lainnya. Dalam kondisi tersebut tidak masalah jika seorang imam memerintahkan para jama’ah untuk mengangkat tangan”.[7]
Sedangkan Ibnu ’Abidin menyatakan bahwa hal itu makruh, yaitu makruh yang mendekati keharaman (Al-Karaahatut-Tahriim).[8]
Al-Laknawy menyerupakan hal tersebut dengan bid’ah sesat yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan, dengan mengatakan :
وكذلك : رفع اليدين للدعاء في خطبة الجمعة ، فعله بشر بن مروان ، وأنكره عليه عمارة
”Begitu juga mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah Jum’at, sebagaimana yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan dan ditentang oleh ’Umaarah”. [9]
As-Safaariiny Al-Hanbaly berkata :
قال علماؤنا وغيرهم : يكزه للإِمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة . قال المجد : هو بدعة . وفاقاً للمالكية ، والشافعية ، وغيرهم ، ولا بأس أن يشير بأصبعه فيها
“Ulama kami (yaitu ulama madzhab Hanabilah) dan yang lainnya berkata : ‘Makruh bagi seorang imam untuk mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam khutbah. Telah berkata Al-Majd : Hal tersebut adalah bid’ah, sesuai dengan pendapat ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan yang lainnya. Dan tidak mengapa untuk berisyarat dengan jarinya ketika berkhutbah”.[10]
Oleh karena itu, mayoritas ulama dan ahli hadits menolak orang yang memerintahkan untuk mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at. Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi dalam kitabnya At-Taariikh (1/603-604 nomor 1712) dengan sanad shahih meriwayatkan kepada Habiib bin ‘Ubaid, ia berkata :
إن عبد الملك سأل غضيف بن الحارث الثمالي أن يرفع يديه على المنبر ، فقال : أما أنا فلا أُجيبك إليها
“Sesungguhnya ‘Abdul-Malik meminta Ghudlaif bin Al-Haarits Ats-Tsamaaliy untuk mengangkat kedua tangannya di atas minbar. Maka ia (Ghudlaif) berkata : “Aku tidak mematuhi perintahmu untuk mengangkat tangan”. [selesai]
Abu Zur’ah dalam kitab Taariikh-nya (nomor 1713) dan Ibnu ’Asaakir dalam Taarikh Dimasyq (5/244/a-b) meriwayatkan dari Ibnu Jaabir bahwasannya ia berkata :
أمر عبد الملك أبا إدريس الخولاني أن يرفع يديه ، فأبى
”Abdul-Malik bin Marwan memerintahkan Abu Idris Al-Khaulaniy untuk mengangkat kedua tangannya, namun ia menolaknya”. [selesai]
Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu disebutkan di sini :
Pertama : Sesungguhnya orang yang pertama kali mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at adalah ’Ubaidillah bin Ma’mar sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’jiilul-Manfa’ah (274).
Kedua : Sesungguhnya larangan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah khusus ketika khutbah Jum’at. Dalam hal ini tidaklah bermakna tidak diperbolehkan mengangkat tangan ketika berdoa secara umum, karena terdapat beberapa hadits yang mensyari’atkannya.[11]
Ketiga : Sesungguhnya hadits riwayat ’Umaarah di atas tidak berlaku mutlak, tetapi bisa dikecualikan dengan khutbah shalat Istisqaa’ (meminta hujan) pada hari Jum’at.
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (2/413 nomor 933) dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata :
أصابت النّاسَ سنةٌ على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فبينا النبيُّ صلى الله عليه وسلم يخطبُ في يوم الجمعة ، قام أعرابي فقال : يا رسول الله ! هلك المال ، وجاع العيال ، فادعُ الله لنا . فرفع يديه ـ وما نرى في السماء قَزَعةً ـ ، فوالذي نفسي بيده ما وضعها حتى ثار السّحابُ أمثال الجبال ، ثم لم ينزل عن منبره حتى رأيت المطر يتحادرُ على لحيته صلى الله عليه وسلم ، ...
”Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata : ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya” . [selesai]
Al-Baghawi berkata : ”Mengangkat kedua tangan dalam khutbah tidak disyari’atkan, sedangkan dalam khutbah Istisqaa’ disunnahkan. Ketika Istisqaa’ dilakukan pada saat khutbah Jum’at, hendaknya mengangkat kedua tangannya mengikuti apa yang dilakukan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam”.[12]
Ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ saat singgah di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (25 Juni 2008).
=============
Catatan kaki :
[1] Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 392-393 dengan sedikit perubahan.
[2] Syarhun-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim (6/162).
[3] Lihat kitab Badzlul-Majhuud fii Hill Abi Dawud (6/106).
[4] Ibid.
[5] Al-Ikhtiyaaraat Al-‘Ilmiyyah halaman 48.
[6] Al-Baa’its halaman 84 dan Al-Amru bil-Ittibaa’ halaman 247.
[7] Syarh Az-Zarqani ‘alaa Mukhtashar Sayyidi Khaliil (1/60).
[8] Haasyiyah Ibni ‘Abidin (1/769).
[9] Iqaamatul-Hujjah halaman 27.
[10] Syarh Tsulaatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (3/679).
[11] Lihat Fathul-Baari (10/143).
[12] Syarhus-Sunnah (4/257).
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/mengangkat-kedua-tangan-ketika-berdoa.html?m=1
عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ رُؤَيْبَةَ قَالَ رَأَى بِشْرَ بْنَ مَرْوَانَ عَلَى الْمِنْبَرِ رَافِعًا يَدَيْهِ فَقَالَ قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
Dari Hushain (bin ’Abdirrahman) dari ‘Umaarah bin Ruaibah ia berkata bahwasannya ia melihat Bisyr bin Marwan di atas minbar dengan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa (pada hari Jum’at). Maka ‘Umaarah pun berkata : “Semoga Allah menjelakkan kedua tangan ini. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika berada di atas minbar tidak menambahkan sesuatu lebih dari hal seperti ini”. Maka ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya” [HR. Muslim no. 874].
An-Nawawi berkata :
هَذَا فِيهِ أَنَّ السُّنَّة أَنْ لَا يَرْفَع الْيَد فِي الْخُطْبَة وَهُوَ قَوْل مَالِك وَأَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ
”Bahwasannya yang sesuai dengan sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat tangan ketika berkhutbah. Ini adalah pendapat Malik, para shahabat kami (para ulama madzhab Syafi’iyyah), dan yang lainnya”. [2]
Perkataan ’Umaarah : ”Semoga Allah menjelakkan kedua ini” ; maksudnya adalah kedua tangan Bisyr yang diangkat ketika berkhutbah, dan beliau mendoakannya dengan kejelekan. Hal itu dikarenakan mengangkat tangan ketika berkhutbah menyalahi sunnah. Dan segala sesuatu yang menyalahi sunnah tertolak dan tercela.[3]
Yang dimaksud dengan mengangkat kedua tangan adalah mengangkat tangan ketika berdoa dan berkhutbah kepada jama’ah untuk memberikan peringatan, sebagaimana kebiasaan para khathib dan pemberi nasihat, bukan mengangkat tangan sebagai bentuk penghormatan. [4]
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
ويكره للإمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم إنما كان يشير بأصبعه إذا دعا
”Makruh bagi seorang khathib untuk mengangat kedua tangannya ketika berdoa dalam khutbah, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam hanya berisyarat dengan jari (telunjuk)-nya ketika berdoa”. [5]
Abu Syaammah berkata, dan kemudian diikuti oleh As-Suyuthi terkait dengan para imam yang mengangkat tangan mereka ketika berkhutbah :
وأما رفع أيديهم عند الدّعاء ، فبدعة قديمة
”Adapun mengangkat tangan ketika berdoa adalah bid’ah yang telah lama ada”. [6]
Begitu juga yang dikatakan oleh Al-Majd. Lihat kitab Al-Inshaaf karya Al-Mawardi (2/398).
Az-Zarqani berkata : “Ibnu Habiib berkata : ‘Bukan termasuk sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah, kecuali karena takut terhadap musuh atau musim paceklik atau ada perkara penting lainnya. Dalam kondisi tersebut tidak masalah jika seorang imam memerintahkan para jama’ah untuk mengangkat tangan”.[7]
Sedangkan Ibnu ’Abidin menyatakan bahwa hal itu makruh, yaitu makruh yang mendekati keharaman (Al-Karaahatut-Tahriim).[8]
Al-Laknawy menyerupakan hal tersebut dengan bid’ah sesat yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan, dengan mengatakan :
وكذلك : رفع اليدين للدعاء في خطبة الجمعة ، فعله بشر بن مروان ، وأنكره عليه عمارة
”Begitu juga mengangkat kedua tangan ketika berdoa dalam khutbah Jum’at, sebagaimana yang dilakukan oleh Bisyr bin Marwan dan ditentang oleh ’Umaarah”. [9]
As-Safaariiny Al-Hanbaly berkata :
قال علماؤنا وغيرهم : يكزه للإِمام رفع يديه حال الدّعاء في الخطبة . قال المجد : هو بدعة . وفاقاً للمالكية ، والشافعية ، وغيرهم ، ولا بأس أن يشير بأصبعه فيها
“Ulama kami (yaitu ulama madzhab Hanabilah) dan yang lainnya berkata : ‘Makruh bagi seorang imam untuk mengangkat kedua tangannya ketika berdoa dalam khutbah. Telah berkata Al-Majd : Hal tersebut adalah bid’ah, sesuai dengan pendapat ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan yang lainnya. Dan tidak mengapa untuk berisyarat dengan jarinya ketika berkhutbah”.[10]
Oleh karena itu, mayoritas ulama dan ahli hadits menolak orang yang memerintahkan untuk mengangkat kedua tangan dalam khutbah Jum’at. Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi dalam kitabnya At-Taariikh (1/603-604 nomor 1712) dengan sanad shahih meriwayatkan kepada Habiib bin ‘Ubaid, ia berkata :
إن عبد الملك سأل غضيف بن الحارث الثمالي أن يرفع يديه على المنبر ، فقال : أما أنا فلا أُجيبك إليها
“Sesungguhnya ‘Abdul-Malik meminta Ghudlaif bin Al-Haarits Ats-Tsamaaliy untuk mengangkat kedua tangannya di atas minbar. Maka ia (Ghudlaif) berkata : “Aku tidak mematuhi perintahmu untuk mengangkat tangan”. [selesai]
Abu Zur’ah dalam kitab Taariikh-nya (nomor 1713) dan Ibnu ’Asaakir dalam Taarikh Dimasyq (5/244/a-b) meriwayatkan dari Ibnu Jaabir bahwasannya ia berkata :
أمر عبد الملك أبا إدريس الخولاني أن يرفع يديه ، فأبى
”Abdul-Malik bin Marwan memerintahkan Abu Idris Al-Khaulaniy untuk mengangkat kedua tangannya, namun ia menolaknya”. [selesai]
Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu disebutkan di sini :
Pertama : Sesungguhnya orang yang pertama kali mengangkat kedua tangannya dalam khutbah Jum’at adalah ’Ubaidillah bin Ma’mar sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’jiilul-Manfa’ah (274).
Kedua : Sesungguhnya larangan untuk mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah khusus ketika khutbah Jum’at. Dalam hal ini tidaklah bermakna tidak diperbolehkan mengangkat tangan ketika berdoa secara umum, karena terdapat beberapa hadits yang mensyari’atkannya.[11]
Ketiga : Sesungguhnya hadits riwayat ’Umaarah di atas tidak berlaku mutlak, tetapi bisa dikecualikan dengan khutbah shalat Istisqaa’ (meminta hujan) pada hari Jum’at.
Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (2/413 nomor 933) dan yang lainnya meriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata :
أصابت النّاسَ سنةٌ على عهد النبي صلى الله عليه وسلم ، فبينا النبيُّ صلى الله عليه وسلم يخطبُ في يوم الجمعة ، قام أعرابي فقال : يا رسول الله ! هلك المال ، وجاع العيال ، فادعُ الله لنا . فرفع يديه ـ وما نرى في السماء قَزَعةً ـ ، فوالذي نفسي بيده ما وضعها حتى ثار السّحابُ أمثال الجبال ، ثم لم ينزل عن منبره حتى رأيت المطر يتحادرُ على لحيته صلى الله عليه وسلم ، ...
”Pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam pernah terjadi kemarau yang panjang. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba seorang Badui berdiri seraya berkata : ‘Wahai Rasulullah, harta telah rusak dan keluarga telah kelaparan. Berdo’alah kepada Allah untuk kami (untuk menurunkan hujan) !’. Maka beliau pun mengangkat kedua tangannya – ketika itu kami tidak melihat awan di langit – dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, beliau tidak menurunkan kedua tangannya, hingga kemudian muncullah gumpalan awan tebal laksana gunung. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak turun dari mimbar hingga aku melihat hujan menetes deras di jenggotnya” . [selesai]
Al-Baghawi berkata : ”Mengangkat kedua tangan dalam khutbah tidak disyari’atkan, sedangkan dalam khutbah Istisqaa’ disunnahkan. Ketika Istisqaa’ dilakukan pada saat khutbah Jum’at, hendaknya mengangkat kedua tangannya mengikuti apa yang dilakukan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam”.[12]
Ditulis ulang oleh Abul-Jauzaa’ saat singgah di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah (25 Juni 2008).
=============
Catatan kaki :
[1] Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin halaman 392-393 dengan sedikit perubahan.
[2] Syarhun-Nawawi ‘alaa Shahih Muslim (6/162).
[3] Lihat kitab Badzlul-Majhuud fii Hill Abi Dawud (6/106).
[4] Ibid.
[5] Al-Ikhtiyaaraat Al-‘Ilmiyyah halaman 48.
[6] Al-Baa’its halaman 84 dan Al-Amru bil-Ittibaa’ halaman 247.
[7] Syarh Az-Zarqani ‘alaa Mukhtashar Sayyidi Khaliil (1/60).
[8] Haasyiyah Ibni ‘Abidin (1/769).
[9] Iqaamatul-Hujjah halaman 27.
[10] Syarh Tsulaatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (3/679).
[11] Lihat Fathul-Baari (10/143).
[12] Syarhus-Sunnah (4/257).
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/06/mengangkat-kedua-tangan-ketika-berdoa.html?m=1