Bulan Ramadhan hampir tiba, kaum musliminpun menyambutnya dengan penuh
harap dan kebahagian. Bagaimana tidak?! Bulan yang penuh barokah dan
keutamaan. Bulan diturunkannya Al Qur’an yang menunjuki manusia kepada
kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akherat. Maka tak heran kaum
muslimin menyambutnya dengan penuh suka cita.
Demikianlah Allah memberikan keutamaan pada bulan ini yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya.
1. Keutamaan Bulan Ramadhan
(Diringkas dari Sifat Saum An Nabi karya Syeikh Saalim bin ‘Ied Al
Hilaliy dan Syeikh Ali Hasan Ali Abdil Hamid, cetakan keenam tahun 1417
H -1997 M, penerbit Al Maktabah Al Islamiyah, Amaan, Yordania hal
18-20)
Sangat jelas dan gamlang keutamaan Ramadhan dibanding bulan lainnya,
namun kiranya masih perlu dipaparkan secara ringkas keutamaannya sebagai
motivator semangat kaum muslimin beramal sholeh padanya. Diantara
keutamaan tersebut adalah:
a. Bulan Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut sebagaimana firman Allah:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ
فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah dia
berpuasa.” (Surat Al Baqarah ayat 185)
Dalam ayat di atas, bulan Ramadhan dinyatakan sebagai bulan turunnya
Al-Qur’an, lalu pernyataan tersebut diikuti dengan perintah yang dimulai
dengan huruf ف -yang berfungsi menunjukkan makna ‘alasan dan sebab’-
dalam firmanNya: فََمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ. Hal itu
menunjukkan bahwa sebab pemilihan bulan Ramadhan sebagai bulan puasa
adalah karena Al-Qur’an diturunkan pada bulan tersebut.
b. Dalam bulan ini, para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, dan pintu surga dibuka sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا جَاءَ رَمَضانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النِيْرَانِ، وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ
“Jika datang bulan Ramadhan dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka serta dibelenggu para setan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, kita dapati dalam bulan ini sedikit terjadi kejahatan
dan kerusakan di bumi karena sibuknya kaum muslimin dengan berpuasa dan
membaca Al-Qur’an serta ibadah-ibadah yang lainnya; dan juga
dibelenggunya para setan pada bulan tersebut.
c. Di dalamnya terdapat satu malam yang dinamakan Lailatul Qadar, satu
malam yang lebih baik daripada seribu bulan sebagaimana yang dijelaskan
dalam surat al-Qadr.
إِ نَّآ أَنْزَلْنَهُ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَمَآ أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌمِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
تَنَزَّلُ الْمَلَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِّنْ
كُلِّ أَمْرٍ سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam
kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan
itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Rabbnya untuk
mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (Surat Al Qadr ayat: 1-5)
Melihat keutamaan-keutamaan ini tentunya membuat seorang muslim lebih
bersemangat dalam menyambutnya dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin
menjelang datangnya bulan tersebut.
2. Persiapan Menghadapi Ramadhan
Diantara yang harus dipersiapkan seorang muslim dalam menyambut kedatangan bulan yang mulia ini adalah:
a. Menghitung Bulan Sya’ban
Salah satu bentuk persiapan dalam menghadapi Ramadhan yang seharusnya
dilakukan oleh kaum muslimin adalah menghitung bulan Sya’ban, karena
satu bulan dalam hitungan Islam adalah 29 hari atau 30 hari sebagaimana
yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar, beliau bersabda:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى
تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian
melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30
hari.” (Riwayat al-Bukhari)
Maka tidaklah kita berpuasa sampai kita melihat hilal (tanda masuknya
bulan). Oleh karena itu, untuk menentukan kapan masuk Ramadhan
diperlukan pengetahuan hitungan bulan Sya’ban.
b. Melihat hilal Ramadhan (Ru’yah)
Untuk menentukan permulaan bulan Ramadhan diperintahkan untuk melihat
hilal, dan itulah satu-satunya cara yang disyariatkan dalam Islam
sebagaimana yang dijelaskan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ (6/289-290) dan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughniy (3/27). Dan ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah yang berkata, “Kita
sudah mengetahui dengan pasti bahwa termasuk dalam agama Islam beramal
dengan melihat hilal puasa, haji, atau iddah (masa menunggu), atau
yang lainnya dari hukum-hukum yang berhubungan dengan hilal. Adapun
pengambilannya dengan cara mengambil berita orang yang menghitungnya
dengan hisab, baik dia melihatnya atau tidak, maka tidak boleh.” (Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/132)
Kemudian perkataan beliau ini merupakan kesepakatan kaum muslimin.
Sedang munculnya masalah bersandar dengan hisab dalam hal ini baru
terjadi pada sebagian ulama setelah tahun 300-an. Mereka mengatakan
bahwa jikalau terjadi mendung (sehingga hilal tertutup) boleh bagi orang
yang mampu menghitung hisab untuk beramal dengan hisabnya itu hanya
untuk dirinya sendiri. Jika hisab itu menunjukkan ru’yah, maka dia
berpuasa, dan jika tidak, maka tidak boleh. (Lihat: Majmu’ al-Fatawa 25/133). Lalu, bagaimana keadaan kita sekarang ?
Adapun dalil tentang kewajiban menentukan permulaan bulan Ramadhan dengan melihat hilal sangat banyak, di antaranya adalah:
1. Hadits Ibnu Umar terdahulu.
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، فَلا َتَصُوْمُوْا حَتَّى
تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Satu bulan itu 29 malam. Maka jangan berpuasa sampai kalian
melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya), maka genapkanlah 30
hari.” (Riwayat al-Bukhari)
2. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu. Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian (untuk
idul fithri) karena melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung,
maka sempurnakanlah Sya’ban 30 hari.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits ‘Adi bin Hatim radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَصُوْمُوْا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا الْهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ
“Jika datang Ramadhan maka berpuasalah 30 hari kecuali kalian telah melihat hilal sebelumnya.” (Riwayat ath-Thahawy dan ath-Thabrany dalam al-Kabir 17/171, dan dihasankan Syaikh al-Albany dalam Irwa’ al-Ghalil nomor hadits 901)
Penentuan bulan Ramadhan dengan cara melihat hilal dapat ditetapkan
dengan persaksian seorang Muslim yang adil sebagaimana yang dikatakan
Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
تراءى الناس الهلال فأخبرت النبي صلى الله عليه و سلم أني رأ يته فصام وأمر الناس بصيامه
“Manusia sedang mencari hilal, lalu aku khabarkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa aku telah melihatnya maka beliau berpuasa dan
memerintahkan manuasia untuk berpuasa.” (Riwayat Abu Dawud, ad-Darimy, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqy)
c. Puasa pada Hari yang Diragukan
Berpuasa pada hari yang diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan
atau belum, adalah terlarang sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abu
Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقَدِّمُوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلاً يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahului puasa Ramadhan dengan puasa satu hari atau dua
hari (sebelumnya), kecuali orang yang (sudah biasa) berpuasa satu
puasa (yang tertentu), maka hendaklah dia berpuasa.” (Riwayat Muslim)
***
Penulis: Ustadz Kholid bin Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Qiyam Ramadhan
1. Keutamaannya
Qiyam Ramadhan adalah menegakkan malam-malam Ramadhan dengan ibadah
sholat. Amalan ini memiliki keutamaan-keutamaan bagi pelakunya, yaitu:
a. Mendapat pengampunan dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa yang menegakkan (malam-malam) bulan Ramadhan dengan
keimanan dan mencari keridhaan Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Lalu Rasulullah meninggal sedang perintah tersebut (meninggalkan jamaah
taraweh) masih berlaku, demikian juga pada masa kekhalifahan Abu Bakar
dan pertengahan kekhalifahan Umar sebagaimana riwayat Muslim.
b. Mendapat keutamaan shiddiqin dan syuhada sebagaimana hadits Amr bin Murroh:
جاء رسولَ الله رجلٌ من قضاعة فقال: يا رسول الله أريت إن شهدت أن لا إله
إلا الله وأنك رسول الله وصليت صلوات الخمس وصمت الشهر وقمت رمضان وآتيت
الزكاة؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم: من مات على هذا كان من الصديقين
والشهداء
“Datang kepada Rasulullah seorang laki-laki Bani Qudhaah, lalu
berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku telah
bersyahadat tiada sesembahan yang hak, kecuali Allah, dan bersyahadat
bahwa engkau adalah utusan-Nya, aku sholat lima waktu, puasa satu bulan
(Ramadhan), dan aku telah menegakkan (malam-malam) Ramadhan serta aku
tunaikan zakat?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Barangsiapa yang mati atas hal ini, dia termasuk dalam (kelompok)
shiddiqin dan orang-orang yang syahid.’” (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih keduanya dan oleh selainnya dengan sanad yang sahih)
2. Persyariatan Qiyam Ramadhan dengan Berjamaah
Disyariatkan berjamaah dalam melaksanakan Qiyam Ramadhan, bahkan
berjamaah itu lebih utama dibandingkan mengerjakannya sendirian, karena
Rasulullah telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya
sebagaimana dalam hadits Abu Dzar:
صمنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم رمضان فلم يقم بنا شيئا من الشهر
حتى بقي سبع فقام بنا حتى ذهب ثلث الليل، فلما كانت السادسة لم يقم بنا
فلما كانت الخامسة قام بنا حتى ذهب شطر الليل فقلت: يا رسول الله لو نفلتنا
قيام هذه الليلة، فقال: إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له
قيام ليلة ، فلما كانت الرابعة لم يقم، فلما كانت الثالثة جمع أهله ونساءه
والناس، فقام بنا حتى خشينا أن يفوتنا الفلاح. قال: قلت: ما الفلاح؟ قال:
السحور، ثم لم يقم بقية الشهر
“Kami berpuasa bersama Rasulullah Ramadhan. Beliau tidak
melaksanakan qiyam (solat taraweh) bersama kami selama bulan itu kecuali
sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, beliau tegak (solat taraweh)
bersama kami sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tanggal
24) beliau tidak solat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima
(tanggal 25) beliau solat lagi (solat taraweh) bersama kami sampai
berlalu 1/2 malam. Saat itu aku berkata kepada beliau, ‘Wahai
Rasulullah, seandainya engkau menambah solat pada malam ini.’ Beliau
menjawab, ‘Sesungguhnya jika seseorang solat bersama imamnya sampai
selesai, niscaya ditulis baginya amalan Qiyamul Lail.’ Lalu pada malam
keempat (tanggal 26) kembali beliau tidak solat bersama kami. Dan pada
malam ketiga (tanggal 27), beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya
serta manusia, lalu menegakkan (malam tersebut) bersama kami sampai
kami takut kehilangan kemenangan.” Berkata (rawi dari Abu Dzar), “Aku
bertanya, ‘Apa kemenangan itu?’ Beliau (Abu Dzar) menjawab, ‘Sahur.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menegakkannya
setelah itu.” (Riwayat Ashhabus Sunan)
Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus menerus disebabkan
beliau takut hal itu diwajibkan atas kaum muslimin lalu mereka tidak
mampu untuk mengerjakannya sebagaimana dalam hadits Aisyah (dalam Shahihain):
أن رسول الله خرج ليلة في جوف الليلف قصلّى في المسجد و صلّى رجال
بصلاته فأصبح الناس فتحدثوا فاجتمع أكثر منهم فصلّى فصلوا معه فأصبح الناس
فتحدثوا فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج رسول الله فصلى
بصلاته،فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله حتى خرج لصلاة
الصبح،فلما قضىالفجر أقبل على الناس فتشهد ثم قال :”أما فإنه لم يخف عليّ
مكانكم و لكني خشيت أن تفرض عليكم فتعجزوا عنها”.فتوفي رسول الله و الأمر
على ذلك.
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada
suatu malam lalu sholat di masjid, dan sholat bersamanya beberapa orang
dengan sholatnya, lalu pada pagi harinya manusia membicarakan hal itu,
maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka, lalu (Rasulullah)
sholat dan sholat bersamanya orang-orang tersebut. Lalu keesokan harinya
manusia membicarakan hal itu, maka banyaklah ahli masjid pada malam ke
tiga, lalu Rasulullah keluar dan sholat bersama mereka. Ketika malam
keempat masjid tidak dapat menampung ahlinya sehingga beliau keluar
untuk sholat shubuh, ketika selesai shubuh, beliau menghadap manusia,
lalu bertasyahud dan berkata: “Adapun kemudian, tidaklah
mengkhawatirkanku kedudukan kalian, akan tetapi aku takut diwajibkan hal
ini atas kalian lalu kalian tidak mampu melaksanakannya.” Lalu
Rasulullah meninggal dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak
berjamaah. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sebab tidak diperintahkan berjamaah dalam Qiyam Ramadhan ini hilang
dengan wafatnya beliau setelah disempurnakannya agama ini dengan
demikian tinggallah hukum disyariatkannya berjamaah dalam Qiyam Ramadhan
yang hal itu dihidupkan oleh Umar bin al-Khaththab pada
kekhalifaannya. Kemudian disyariatkan juga hal itu untuk wanita, bahkan
boleh menjadikan imam khusus untuk mereka, sebagaimana yang dilakukan
Umar dengan menjadikan Ubai bin Kaab sebagai Imam untuk laki-laki dan
Sulaiman bin Abu Hatsmah untuk perempuan dan demikian juga Ali bin Abu
Thalib telah memerintahkan manusia untuk Qiyam Ramadhan dan menjadikan
bagi laki-laki seorang imam dan bagi wanita Urfuzah Ats-Tsaqafi sebagai
imam (diriwayatkan oleh al-Baihaqiy)
3. Jumlah Rakaatnya
Adapun jumlah rakaatnya adalah 11 rakaat menurut yang rajih insyallah
dan boleh kurang darinya dan Rasulullah tidak menentukan banyaknya dan
panjang bacaannya.
4. Waktunya
Waktunya dimulai dari setelah sholat ‘Isya’ sampai munculnya fajar shubuh, dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن الله زاد كم صلاة ،وهي الوتر فصلوها بين صلاة العشاء إلى صلاة الفجر
“Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu sholat dan dia
adalah witir maka sholatlah kalian antara sholat ‘Isya sampai shlat
Fajar.” (HR. Ahmad dari Abi Bashroh, dan dishahihkan Al Albany dalam Qiyamur Ramadhan 26)
Dan sholat malam di akhir malam lebih utama bagi yang mampu untuk bangun diakhir malam, dengan dalil sabda Rasulullah:
من خاف أن لا يقوم من أخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل ،فأن صلاة آخر اليل مشهودة،وذلك أفضلز
“Barang siapa yang takut tidak bangun di akhir malam, maka
berwitirlah di awalnya, dan barang siapa yang tamak untuk biasa bangun
di akhirnya, maka hendaklan berwitir di akhir malam, karena sholat di
akhir malam itu dipersaksikan, dan itu lebih utama.” (HR. Muslim)
Tetapi kalau terdapat sholat taraweh berjamaah di awal malam maka itu lebih utama dari sholat taraweh di akhir malam sendirian.
5. Rincian Rakaat Sholat Taraweh
Adapun sholat taraweh yang dilakukan Rasulullah adalah dengan perincian sebagai berikut:
- 13 Rakaat dengan perincian: 2 rakaat-2 rakaat dan dengan satu witir.
- 13 Rakaat dengan perincian: 8 rakaat ditutup dengan salam pada setiap dua rakaat, ditambah 5 rakaat witir dengan tidak duduk dan salam kecuali di rakaat yang kelima.
- 11 rakaat dengan perincian: dua-dua rakaat dan ditutup dengan satu witir.
- 11 Rakaat dengan perincian: empat-empat dan ditutup dengan 3 rakaat witir.
- 11 Rakaat dengan perincian: 8 rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat yang kedelapan, lalu bertasyahud dan sholawat serta berdiri tanpa salam, lalu berwitir serakaat dan salam dan ditambah 2 rakaat dilakukan dalam posisi duduk.
- 9 Rakaat dengan perinciaan: 6 rakaat dilakukan tanpa duduk kecuali di rakaat keenam,lalu bertasyahut dan bersholawat tanpa salam, kemudian berdiri untuk witir serakaat lalu salam, kemudian sholat 2 rakaat dengan duduk.
6. Qunut
Setelah selesai dari membaca surat dan sebelum ruku’ kadang-kadang beliau berqunut, dan boleh dilakukan setelah ruku’.
7. Bacaan Setelah Witir
Apabila telah selesai dari witir maka hendaklah membaca:
سبحان الملك القدوس سبحان الملك القدوس سبحان الملك القدوس
Dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.
8. Penutup
Demikian makalah ini dibuat, mudah-mudahan bermanfaat.
Rujukan:
- Qiyamur Ramadhan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany
- Sifat Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Salim Al Hilaly dan Ali Hasan
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Berpuasa
Setelah melakukan sholat taraweh di malam hari, seorang muslim bersiap melakukan amalan puasa di bulan ramadhan.
Definisi Puasa
1.1. Definisi Secara Bahasa
Ash-Shiyam (puasa) dalam bahasa Arab bermakna ‘menahan diri’, seperti firman Allah:
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
“Aku telah bernazar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)” (QS. Maryam, 19: 26)
1.2. Definisi Secara Istilah Syari
Adapun secara istilah syari adalah ‘menahan diri dengan niat ibadah
dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam
matahari dengan niat’. (Lihat Taisirul Fiqh karya Dr. Sholih bin Ghanim As Sadlaan, cetakan kedua tahun 1417 H-1997M. tanpa penerbit. Hal 79)
Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan
Puasa Ramadhan adalah puasa yang diwajibkan oleh Allah atas orang-orang
mukmin dan merupakan salah satu dari Rukun Islam yang Lima,
sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah serta
ijmak kaum muslimin.
a. Dalil dari Al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,” (QS. Al-Baqarah, 2:183)
b. Dalil dari as-Sunnah:
1. Hadits Thalhah bin Ubaidullah radhiallahu’anhu. Beliau berkata,
“Seorang arab pedalaman datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan kusut rambutnya – dan terdapat – laki-laki itu,
‘Beritahulah aku apa yang diwajibkan atasku dari puasa.’ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Ramadhan, kecuali kalau engkau
ingin tambahan.’” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu. Beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu: syhadatain, menegakkan
solat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa bulan Ramadhan.” (Riwayat al-Bukhari)
c. Dalil dari Ijmak kaum muslimin:
Kaum muslimin telah menyepakati kewajiban puasa Ramadhan sejak dahulu sampai sekarang.
Keutamaan Puasa
(Diringkas dari Sifat Saum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hal 11-17)
Telah ada perintah yang menunjukkan bahwa puasa merupakan satu ibadah
yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah. Di samping itu,
telah dijelaskan keutamaan-keutamaannya, di antaranya adalah yang
terkandung dalam firman Allah:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّآئِمِينَ وَالصَّآئِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللهَ
كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أّعَدَّ اللهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan
yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan
perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan
untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33:35)
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah 2:184)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan keutamaan puasa dalam hadits-haditsnya yang sahih, antara lain adalah:
a. Puasa merupakan benteng atau perisai sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ،
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ لَهُ وِجَاءً
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang telah memiliki
kemampuan untuk menikah, maka hendaknya dia menikah karena nikah itu
lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedang
barangsiapa yang tidak mampu, maka seharusnya dia berpuasa karena puasa
itu adalah benteng atau perisai baginya.” (Riwayat al-Bukhari 3/106 dan Muslim no. 1400 dari hadits Ibnu Masud)
Hadits ini menjelaskan bahwa puasa dapat mengekang syahwat dan
memperlemahnya, sehingga dia bisa menjadi perisai seorang muslim dari
syahwat dan hawa nafsu – dua hal yang selalu menggiring manusia ke
neraka Jahannam. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang lain,
ما من عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذلك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Tidaklah ada seorang hamba yang berpuasa satu hari di jalan Allah,
melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan puasanya itu dari api
neraka (sepanjang perjalanan) tujuh puluh tahun.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Sa’id al-Khudriy)
b. Puasa dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga, sebagaimana hadits Abu Umamah radhiallahu’anhu bahwa beliau pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku satu amalan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga.” Beliau menjawab,
عليك بالصوم، لا مثل له
“Berpuasalah, tidak ada yang seperti puasa.” (Riwayat an-Nasaiy, Ibnu Hibban, dan al-Hakim dengan sanad yang sahih)
c. Orang yang berpuasa itu mendapat dua kebahagiaan, sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال الله: كل عمل بني آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به، والصيام
جنة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث و لا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله
فليقل: إني امرؤٌ صائم، والذي نفس محمدٍ بيده لخُلوف فم الصائم أطيبُ عند
اللّه من ريح المسك، للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح وإذا لقي ربَّه
فرح بصومه
“Allah berfirman, ‘Semua amalan Bani Adam untuknya, kecuali puasa,
maka itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya.’ Puasa itu perisai.
Jika salah seorang dari kalian berpuasa pada satu hari, maka janganlah
berkata-kata kotor dan keji. Jika ada orang yang mencelanya dan
menyakitinya, hendaklah dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’ Demi Zat
Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa
itu lebih wangi di sisi Allah daripada wangi misik. Orang yang berpuasa
itu memiliki dua kebahagiaan yang membahagiakannya, yaitu jika
berbuka, dia berbahagia, dan jika berjumpa dengan Rabnya dia berbahagia
dengan puasanya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits inipun terdapat dua keutamaan yang lain, yaitu:
d. Pahala orang yang berpuasa dilipatgandakan, dan
e. Bau mulut orang yang berpuasa itu lebih baik di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada wangi misik.
f. Orang-orang yang berpuasa diberikan pintu khusus di surga yang
diberi nama ar-Rayyan, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن في الجنة بابا يقال له: الرّيّان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا
يدخل منه أحد غيرهم، فإذا دخلوا أغلق فلم يدخل أحد منه،] فاذا دخل اّخرهم
أغلق، ومن دخل شرب، ومن شرب لم يظمأ أبدا]
“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang dinamakan
ar-Rayyan. Masuk dari pintu itu orang-orang yang berpuasa pada hari
kiamat; tidak masuk dari pintu itu seorangpun selain mereka. Kalau
mereka semua telah masuk (ke dalam surga), maka pintu itu ditutup
sehingga tidak dapat lagi seorangpun masuk melaluinya. Maka jika telah
masuk orang yang terakhir dari mereka, pintu itupun ditutup. Barangsiapa
yang masuk, akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan haus
selamanya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al Khudriy)
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Amalan-Amalan yang Berhubungan Dengan Puasa
1. Niat
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib atas setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan al-Baihaqy dari Hafshah binti Umar)
Niat tempatnya di hati sedang melafalkannya itu termasuk kebid’ahan. Kewajiban berniat puasa pada malam hari khusus untuk puasa wajib saja.
2. Waktu Puasa
Adapun waktu puasa dimulai dari terbit fajar subuh sampai terbenam matahari dengan dalil firman Allah,
“Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
Dan perlu diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa fajar ada dua:
a. Fajar Kazib (fajar awal). Dalam waktu ini belum boleh dilakukan
solat subuh dan dibolehkan untuk makan dan minum bagi yang berpuasa.
b. Fazar Shodiq (fajar yang kedua/subuh) sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الفجر فجران: فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة وأما الثاني فإنه يحرم الطعام و يحل الصلاة
“Fajar itu ada dua. Adapun yang pertama, maka dibolehkan makan dan
tidak boleh melakukan sholat, sedang yang kedua, maka diharamkam makan
dan dibolehkan sholat.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah, al-Hakim, ad-Daruqutny, dan al-Baihaqy dengan sanad yang sahih)
Untuk mengenal keduanya dapat dilihat dari bentuknya. Fajar yang
pertama, bentuknya putih memanjang vertikal seperti ekor serigala.
Sedangkan fajar yang kedua, berwarna merah menyebar horisontal
(melintang) di atas lembah-lembah dan gunung-gunung dan merata di
jalanan dan rumah-rumah, dan jenis ini yang ada hubungannya dengan
puasa.
Jika tanda-tanda tersebut telah tampak, maka hentikanlah makan dan
minum serta bersetubuh. Sedangkan adat yang ada dan berkembang saat ini –
yang dikenal dengan nama imsak – merupakan satu kebidahan yang
seharusnya ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Hafizh Ibnu Hajar – seorang
ulama besar dan ahli hadits yang bermazhab Syafi’i yang meninggal tahun
852 H – berkata dalam kitabnya yang terkenal Fath al-Bary Syarh al-Jami’ ash-Shohih (4/199), “Termasuk
kebidahan yang mungkar adalah apa yang terjadi pada masa ini, yaitu
mengadakan azan yang kedua kira-kira sepertiga jam sebelum fajar dalam
bulan Ramadhan dan mematikan lentera-lentera sebagai alamat untuk
menghentikan makan dan minum bagi yang ingin berpuasa, dengan
persangkaan bahwa apa yang mereka perbuat itu demi kehati-hatian dalam
beribadah. Hal seperti itu tidak diketahui, kecuali dari segelintir
orang saja. Hal tersebut membawa mereka untuk tidak azan, kecuali
setelah terbenam beberapa waktu (lamanya) untuk memastikan (masuknya)
waktu-menurut persangkaan mereka- lalu mengakhirkan buka puasa dan
mempercepat sahur. Maka mereka telah menyelisihi sunnah Rasulullah. Oleh
karena itu, sedikit sekali kebaikan mereka dan lebih banyak kejelekan
pada diri mereka. الله المستعان .”
Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai
terbenam matahari lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar
radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذا أقبل الليل من ههنا و أدبر النهار من ههنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang
dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa
telah berbuka.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan
dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung.
Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang tidak memerlukan alat
teropong untuk mengetahuinya.
3. Sahur
3.1. Hikmahnya
Setelah mewajibkan berpuasa dengan waktu dan hukum yang sama dengan
yang berlaku bagi orang-orang sebelum mereka, maka Allah mensyariatkan
sahur atas kaum muslimin dalam rangka membedakan puasa mereka dengan
puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa’id al-Khudriy:
فصل ما بين صيامنا وصيام أهل الكتاب أكلة السحور
“Yang membedakan antara puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (Riwayat Muslim)
3.2. Keutamaannya
Keutamaan sahur antara lain:
1. Sahur adalah berkah sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إنها بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه
“Sesungguhnya dia adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka jangan kalian meninggalkannya.” (Riwayat an-Nasai dan Ahmad dengan sanad yang sahih)
Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas karena sahur itu
mengikuti sunnah dan menguatkan orang yang berpuasa serta menambah
semangat untuk menambah puasa dan juga mengandung nilai menyelisihi ahli
kitab.
2. Shalawat dari Allah dan malaikat bagi orang yang bersahur, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السحور أكلة البركة، فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله وملائكته يصلون على المتسحرين
“Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun
salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan
para malaikat bersalawat atas orang-orang yang bersahur.” (Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad)
3.3. Sunnah Mengakhirkannya
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati subuh (fajar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,
“Kami bersahur bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian beliau pergi untuk solat.” Aku (Ibnu Abbas) bertanya, “Berapa
lama antara azan dan sahur?” Beliau menjawab, “Sekitar 50 ayat.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
3.4. Hukumnya
Sahur merupakan sunnah yang muakkad dengan dalil:
a. Perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk itu sebagaimana hadits yang terdahulu dan juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
تسحروا فإن في السحور بركة
“Bersahurlah karena dalam sahur terdapat berkah.” (Riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
b. Larangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari meninggalkannya sebagaimana hadits Abu Sa’id yang terdahulu. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary (3/139) menukilkan ijmak atas kesunnahannya.
4. Perkara-Perkara yang Membatalkan Puasa
Di dalam puasa ada perkara-perkara yang merusaknya, yang harus dijauhi
oleh seorang yang berpuasa pada siang harinya. Perkara-perkara tersebut
adalah:
a. Makan dan minum dengan sengaja sebagaimana yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan makanlah dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian benang putih siang dari benang hitam malam dari fajar.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
b. Sengaja untuk muntah (muntah dengan sengaja).
c. Haid dan nifas.
d. Injeksi yang berisi makanan (infus).
e. Bersetubuh.
Kemudian ada perkara-perkara lain yang harus ditinggalkan oleh seorang yang berpuasa, yaitu:
1. Berkata bohong sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan berkata bohong dan beramal
dengannya, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan
minum.” (Riwayat al-Bukhari)
2. Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan) sebagaimana disebutkan dalam hadits
Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّراَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ
اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ
فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ
“Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum. Puasa itu
hanyalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau
seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah,
‘Saya sedang puasa. Saya sedang puasa.’” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim)
5. Perkara-Perkara yang Dibolehkan
Ada beberapa perkara yang dianggap tidak boleh padahal dibolehkan, di antaranya:
- a. Orang yang junub sampai datang waktu fajar sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan fajar (subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya kemudian mandi dan berpuasa.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
- Bersiwak.
- Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika bersuci.
- Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda.
- Injeksi yang bukan berupa makanan.
- Berbekam.
- Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
- Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
- Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.
6. Orang-Orang yang Dibolehkan Tidak Berpuasa
Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mudah. Oleh karena itu, ia
memberikan kemudahan dalam puasa ini kepada orang-orang tertentu yang
tidak mampu atau sangat sulit untuk berpuasa. Mereka itu adalah sebagai
berikut:
- Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/bepergian ke luar kota).
- Orang yang sakit.
- Wanita yang sedang haid atau nifas.
- Orang yang sudah tua dan wanita yang sudah tua dan lemah.
- Wanita yang hamil atau menyusui.
7. Berbuka Puasa
7.1. Waktu berbuka
Berbuka puasa dilakukan pada waktu terbenam matahari dan telah lalu penjelasannya pada pembahasan waktu puasa.
7.2. Mempercepat Buka Puasa
Termasuk dalam sunnah puasa adalah mempercepat waktu berbuka dalam rangka mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebagaimana yang dikatakan oleh Amr bin Maimun al-Audy bahwa sahabat-sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya. (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam al-Musannaf no 7591 dengan sanad yang disahihkan Ibnu Hajar dalam Fath al-Bary 4/199)
Adapun manfaatnya adalah:
1. Mendapatkan kebaikan sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Saàd radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ النَّاسَ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
2. Merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
3. Dalam rangka menyelisihi ahli kitab sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ الدَّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum muslimin)
mempercepat buka puasanya karena orang-orang Yahudi dan Kristen
(Nashrani) mengakhirkannya.” (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan)
Buka puasa dilakukan sebelum sholat maghrib karena itu merupakan akhlak para nabi. Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memotivasi kita untuk berbuka dengan kurma dan kalau tidak ada kurma,
maka memakai air. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya.
8. Adab Orang yang Berpuasa
Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk beradab dengan adab-adab yang syar’i, di antaranya:
- Memperlambat sahur.
- Mempercepat berbuka puasa.
- Berdoa ketika berpuasadan ketika berbuka.
- Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
- Bersiwak.
- Berderma dan tadarus Al-Qur’an.
- Bersungguh-sungguh dalam beribadah khususnya pada sepuluh hari terakhir.
***
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/08/serba-serbi-ramadhan.html
Diarsipkan: www.faisalchoir.blogspot.com
http://faisalchoir.blogspot.com/2011/08/serba-serbi-ramadhan.html