Oleh:Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka
ragam kenikmatan, diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi.
Bentuknya beragam, ada hasil pertanian dan buah-buahan, madu, harta
terpendam dan barang tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang harus
ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat yang benar agar
jangan sampai mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah
menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atasnya.
Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat
memberikan pencerahan kepada masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh
dari syariat Islam yang benar.
KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’. Diantara dasar tersebut :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ
وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا
الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ
تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian
dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan ketahuilah, bahwa Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
[al-Baqarah/2:267]
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ
وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ
وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ
إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama
(rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
[al-An’am/6:141]
3. Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan
penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami
dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
4. Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ اْلعُشُرِ
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan
yang diairi dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh
[HR Muslim]
5. Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
بَعَثَنِيّ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آخُذَ
مِمَّا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرَ، وَفِيْمَا سُقِيَ باِلدَّوَالِيْ:
نِصْفَ الْعُشُرِ
Rasûlullâh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk
mengambil dari yang disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan
pengairan khusus maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan dishahihkan
al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]
Sedangkan Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur
kering dan kurma sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah
dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu Qudâmah rahimahullah.[1]
SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ...
Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq) [HR Muslim]
Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah
kurma, selainnya tidak dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu
Qudamah 2/131]
b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar,
seperti dalam hadits diatas. Syarat ini masih diperselisihkan para
ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyanggah persyaratan
dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “dapat
ditakar” itu hanya ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud
kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku dalam masalah
zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat
wajib zakat pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan
(al-Iddikhâr), karena adanya pengertian yang sesuai dengan kewajiban
zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran semata
dan timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât
al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu
a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab
zakat hasil pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh
Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –hafizhahullâh- menyatakan,
“Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering dan
sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr).
[al-Mulakhash al-Fiqh 1/233].
c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai
kewajiban zakat berupa komoditi yang bisa disimpan. Oleh karena itu
diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang dapat
ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan
lain-lainnya. (lihat al-Kâfi, 2/132).
d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada
zakatnya, karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini
diungkapkan dengan istilah:
وَيُعْتَبَرُ أَنْ يَكُوْنَ النِّصَابُ مَمْلُوْكاً لَهُ وَقْتَ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ
Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat [lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].
e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ...
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq) [HR Muslim].
Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama
dengan 4 mud. Satu mudnya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang
yang sedang. Lima wasaq yang dijadikan standar adalah setelah
pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]
Dalam masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua pendapat:
a. Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5
wasaq. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu
Umar Radhiyallahu anhuma , Jâbir Radhiyallahu anhu, Abu Umâmah bin Sahl
Radhiyallahu anhu, Umar bin Abdulaziz, Jâbir bin Zaid, al-Hasan
al-Bashri, ‘Atha’, Makhûl, al-Hakam, an-Nakhâ’i, Mâlik, ats-tsauri,
al-‘Auza’i, Ibnu Abi Laila, asy-Syâfi’i, Abu Yûsuf , Muhammad bin
al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan,
“Kami belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka kecuali Mujâhid dan
Abu Hanîfah serta pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]
b. Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya
berpendapat bahwa zakat diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena
keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرُ
Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.
Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul
(genap setahun) maka tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.
Sementara itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan
pilihannya pada pendapat pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq). [Muttafaqun ‘Alahi]
Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits
ini mentakhsish (mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan
tersebut.” [al-Mughni, 4/161].
Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam masalah nishab. Wallahu a’lam.
MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB
Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada
sukkari, barkhi dan khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan,
maka spesies-spesies itu dicampur dan disatukan. Demikian juga misalnya
beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area persawahan
yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang
berbeda-beda, maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan
spesiesnya.. Apabila sudah mencapai nishab, maka diwajibkan membayar
zakat. Demikian juga bila panennya lebih dari sekali, maka dicampurkan
panen selama setahun lalu zakatnya ditunaikan.
Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur
kering/kismis), maka itu tidak dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat
diantara para Ulama pada selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak)
untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang lainnya dalam
penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan
kambing. Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan
lainnya dan buah-buahan tidak dicampur dengan buah lainnya. Sehingga
kurma tidak dicampur dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz)
tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini
dicampur kepada lainnya. Atsmân (emas dan perak) tidak dicampur dengan
hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan buah-buahan. Tidak
ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis
tersebut dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui
perbedan diantara mereka juga dalam barang dagangan dicampur dengan
atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan, kecuali imam
asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis
yang dijadikan barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni,
4/203-204]
Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum
yang beragam digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele,
sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk menyempurnakan
nishab. Demikian juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat
yang berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk
menyempurnakan nishab.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam
menggabungkan biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan
emas dan perak kepada yang lainnya. Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga
riwayat yaitu :
a. Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan
lainnya dan nishabnya dengan standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini
adalah pendapat ‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, ats-Tsauri,
al-Hasan bin Shalih, Syuraik, asy-Syâfi’i, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan
ashâb ar-ra’i; karena biji-bijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya
diperhitungkan dalam setiap jenisnya seperti buah-buahan dan hewan
ternak.
b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam
menyempurnakan nishab. Ini adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir
menceritakannya dari Thawûs.
c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat
juga. al-Quthniyat adalah jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh,
beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi
dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.
Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan,
“Riwayat pertama lebih rajih –insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut
beda jenisnya sehingga mungkin dibedakan, tidak digabungkan seperti
buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’
6/77)]
KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?
Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah
kuat dan tahan bila di tekan. Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah
layak konsumsi seperti sudah memerah atau menguning pada buah korma.
Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam beberapa hadits
diantaranya :
a. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Haditsnya berbunyi :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ
حَتَّى تُزْهَي. قِيْلَ: وَمَا زَهْوَهَا؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وتُصْفَارُّ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga
matang. Ada yang bertanya, ‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan menguning.’ [Muttafaqun ‘Alaih]
b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ
الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ، وَعَنْ بَيْعِ اْلحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang)
dari jual beli biji-bijian hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan
Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud 2/344]
c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ
الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى اْلبَائِعَ وَاْلمُبْتَاعَ.
وَفِيْ لَفْظٍ لِلْبُخَارِيْ: كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ صَلاَحِهَا قَالَ:
حَتَّى تَذْهَبَ عَاهَتُهَا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan
hingga nampak layak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang
jual dan yang membeli. (Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) : Apabila Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya, Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Hingga hamanya hilang’
[Mmuttafaqun ‘Alaihi].
Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah
matang, maka diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih
dalam hal ini. Sebagian Ulama ada yang berpegang kepada keumuman firman
Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan
zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama memandang
waktu wajibnya zakat pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil
perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat al-Mughni 4/169 dan Hasyiyah
ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].
Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya
adalah pemilik seandainya beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian
tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka dia tidak berdosa.
Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya
sebelum genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman
apapun. Dia tidak berdosa dengan syarat tidak ada maksud atau niatan
untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan sesuatu
dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat
tetap berlaku dan tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk masa wajib
zakat hingga hasil bumi tersebut masuk kelumbung atau tempat
penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang
sebelum waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat
padanya (bila tidak sampai sisanya nishab) walaupun sudah ditebas atau
belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan, menurut Ibnu
Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk
dalam tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni,
4/169-171]
Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum
biji-bijian menjadi masak dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka
pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur kesengajaan atau
keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari
kewajiban zakat.
b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai
disimpan dalam lumbung atau tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci,
bila karena kesengajaan atau keteledoran pemilik maka ia wajib mengganti
zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan keteledoran maka tidak
ada kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah
rahimahullah menyatakan wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan,
baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah masuk masa wajibnya
dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh
Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini
adalah tidak wajib zakat selama tidak ada unsur kesengajaan atau
keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah disimpan ditempat
penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau keteledoran
seperti menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut dicuri
atau yang sejenisnya, maka ia bertanggung jawab (menggantinya). Apabila
tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah berusaha semampunya
untuk segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang
benar dalam memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban
menggantinya.[asy-Syarhu al-Mumti’ 6/82].
UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa
pembiayaan (tadah hujan dan sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan,
pertanian menggunakan sungai dan mata air
2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan
pembiayaan, berdasarkan hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ السّماءُ وَاْلعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan
penyerapan akar (atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami
dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 %
dan tadah hujannya 50 %. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para
Ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah dalam al-Mughni 4/165. Lihat
juga ar-Raudh al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.
4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian.
Contohnya sawah yang diairi dengan irigasi yang bayar dan juga terkena
hujan, maka dilihat mana yang paling berpengaruh pada pertumbuhan
tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih dominan maka
diwajiban mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 %
saja.
5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan
mengeluarkan 10 %, karena pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga
diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan pembiayaan. (al-Mughni
4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XV/1433H/2011.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. lihat al-Mughni 4/154
http://almanhaj.or.id/content/3687/slash/0/zakat-hasil-pertanian-dan-perkebunan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar