Kamis, 23 Januari 2014

Zakat Harta Karun dan Barang Tambang

Saat ini kita akan kembali melanjutkan pembahasan zakat. Tema zakat kali ini adalah zakat rikaz (harta karun) dan zakat ma’dan (pada barang tambang). Berapa besaran zakatnya, besar nishob dan berlakukah haul dalam zakat ini, nanti akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Juga akan disinggung mengenai zakat pada hasil undian. Karena sebagian orang mewajibkannya dan menganalogikan dengan zakat harta karun.
Rikaz secara bahasa berarti sesuatu yang terpendam di dalam bumi berupa barang tambang atau harta.

Secara syar’i, rikaz berarti harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya.
Sedangkan ma’dan berarti menetap atau diam.

Sedangkan secara syar’i yang dimaksud ma’dan adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam bumi dan mempunyai nilai berharga. Ma’dan atau barang tambang di sini bisa jadi berupa padatan seperti emas, perak, besi, tembaga, timbal atau berupa zat cair seperti minyak bumi dan aspal.[1]

Demikian jumhur (mayoritas) ulama membedakan antara rikaz dan ma’dan, berbeda dengan ulama Hanafiyah. Sebagaimana dalam hadits dibedakan antara rikaz dan ma’dan,
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).[2]

Dalil wajibnya zakat rikaz dan ma’dan
Firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Barang tambang (ma’dan) adalah harta yang terbuang-buang dan harta karun (rikaz) dizakati sebesar 1/5 (20%).[3]

Membedakan harta yang ditemukan di dalam bumi[4]
Harta yang ditemukan dalam bumi dapat dibagi menjadi menjadi tiga:
1. Harta yang memiliki tanda-tanda kaum kafir (non muslim) dan harta tersebut terbukti berasal masa jahiliyah (sebelum Islam) disebut rikaz.
2. Harta yang tidak memiliki tanda-tanda yang kembali ke masa jahiliyah, maka dapat dibagi dua:
a. Jika ditemukan di tanah bertuan atau jalan bertuan disebut luqothoh (barang temuan).
b. Jika ditemukan di tanah tidak bertuan atau jalan tidak bertuan disebut kanzun (harta terpendam).
3. Harta yang berasal dari dalam bumi disebut ma’dan (barang tambang).
Macam-macam harta di atas memiliki hukum masing-masing.

Apa yang dilakukan terhadap barang temuan yang terpendam?[5]
Harta terpendam tidak terlepas dari lima keadaan, yaitu:

1. Ditemukan di tanah tak bertuan
Seperti ini menjadi milik orang yang menemukan. Nantinya ia akan mengeluarkan zakat sebesar 20% dan sisa 80% jadi miliknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai seseorang yang menemukan harta terpendam,

إن كنت وجدته في قرية مسكونة ، أو في سبيل ميتاء ، فعرفه ، وإن كنت وجدته في خربة جاهلية ، أو في قرية غير مسكونة ، أو غير سبيل ميتاء ، ففيه وفي الركاز الخمس

Jika engkau menemukan harta terpendam tadi di negeri berpenduduk atau di jalan bertuan, maka umumkanlah (layaknya luqothoh atau barang temuan, pen). Sedankan jika engkau menemukannya di tanah yang menunjukkan harta tersebut berasal dari masa jahiliyah (sebelum Islam) atau ditemukan di tempat yang tidak ditinggali manusia (tanah tak bertuan) atau di jalan tak bertuan, maka ada kewajiban zakat rikaz sebesar 20%.[6]

2. Ditemukan di jalan atau negeri yang berpenduduk
Seperti ini diperintahkan untuk mengumumkannya sebagaimana barang temuan (luqothoh). Jika datang pemiliknya, maka itu jadi miliknya. Jika tidak, maka menjadi milik orang yang menemukan sebagaimana disebutkan dalam hadits sebelumnya.

3. Ditemukan di tanah milik orang lain
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

a. Tetap jadi milik si pemilik tanah. Demikian pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Al Hasan, qiyas dari perkataan Imam Malik, dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.

b. Menjadi milik orang yang menemukan. Inilah pendapat yang lain dari Imam Ahmad dan Abu Yusuf. Mereka berkata bahwa yang namanya harta terpendam bukanlah jadi milik si empunya tanah, namun menjadi milik siapa saja yang menemukan.

c. Dibedakan, yaitu jika pemilik tanah mengenai harta tersebut, maka itu jadi miliknya. Jika si pemilik tanah di mengenalnya, harta tersebut menjadi milik si pemilik tanah pertama kali. Demikian dalam madzhab Syafi’i.

4. Ditemukan di tanah yang telah berpindah kepemilikan dengan jalan jual beli atau semacamnya
Ada dua pendapat dalam masalah ini:

a. Harta seperti ini menjadi milik yang menemukan di tanah miliknya saat ini. Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad selama pemilik pertama tanah tersebut tidak mengklaimnya.

b. Harta tersebut menjadi milik pemilik tanah sebelumnya jika ia mengenal harta tersebut. Jika tidak dikenal, maka menjadi pemilik tanah sebelumnya lagi, dan begitu seterusnya. Jika tidak di antara pemilik tanah sebelumnya yang mengenalnya, maka perlakuannya seperti luqothoh (barang temuan).

5. Jika ditemukan di negeri kafir harbi (orang kafir yang boleh diperangi)
Jika ditemukan dengan cara orang kafir dikalahkan (dalam perang), maka status harta yang terpendam tadi menjadi ghonimah (harta rampasan perang).
Jika harta tersebut mampu dikuasai dengan sendirinya tanpa pertolongan seorang pun, maka ada dua pendapat:

a. Harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan. Demikian pendapat dalam madzhab Ahmad, mereka qiyaskan dengan harta yang ditemukan di tanah tak bertuan.

b. Jika harta tersebut dikenal oleh orang yang memiliki tanah tersebut yaitu orang kafir harbi dan ia ngotot mempertahankannya, maka status harta tersebut adalah ghonimah. Jika tidak dikenal dan tidak ngotot dipertahankan, maka statusnya seperti rikaz (harta karun). Demikian pendapat Malik, Abu Hanifah dan Syafi’i, masing-masing mereka memiliki rincian dalam masalah ini.

Nishob dan haul dalam zakat rikaz
Tidak dipersyaratkan nishob dan haul dalam zakat rikaz. Sudah ada kewajiban zakat ketika harta tersebut ditemukan. Besar zakatnya adalah 20% atau 1/5. Demikian makna tekstual dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Zakat rikaz sebesar 20%”.[7] Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).[8]

Di mana disalurkan zakat rikaz?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa rikaz disalurkan pada orang yang berhak menerima zakat. Demikian pendapat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad berkata, “Jika hanya diberikan rikaz tersebut kepada orang miskin, maka sah.”

Pendapat kedua menyatakan bahwa rikaz disalurkan untuk orang yang berhak menerima fai’ (harta milik kaum muslimin yang diperoleh dari orang kafir tanpa melakukan peperangan).
Kedua pendapat ini berasal dari dalil yang lemah. Oleh karena itu yang tepat dalam masalah ini adalah dikembalikan kepada keputusan penguasa. Demikian pendapat Abu ‘Ubaid dalam Al Amwal.[9]

Zakat Barang Tambang
Apakah barang tambang termasuk dalam zakat rikaz? Masalah ini terdapat dua pendapat:
Pertama: Barang tambang yang terkena kewajiban adalah seluruh barang tambang baik emas, perak, tembaga, besi, timbal, minyak bumi. Barang tambang ini termasuk rikaz yang terkena kewajiban untuk dikeluarkan sebagian darinya dan masih diperselisihkan berapa persen yang dikeluarkan. Intinya, ada kewajiban untuk dikeluarkan dari barang tambang berdasarkan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah: 267). Demikian pendapat jumhur ulama yang mewajibkan zakat pada seluruh barang tambang.

Kedua: Barang tambang yang terkena kewajiban hanyalah emas dan perak. Demikian salah satu pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i dalam pendapatnya yang kedua. Alasan ulama Syafi’iyah sebagaimana dikemukakan oleh An Nawawi, “Dalil kami adalah karena tidak adanya dalil yang menunjukkan wajibnya. Sedangkan untuk barang tambang emas dan perak ada kewajiban zakat sebagaimana ada ijma’ (kata sepakat ulama) dalam hal ini. Oleh karena itu tidak ada kewajiban zakat pada barang tambang lainnya.”[10]

Pendapat terakhir ini lebih dicenderungi. Jika pendapat ini yang dipilih, maka barang tambang baru dikenai zakat setelah mencapai nishob emas dan perak.

Waktu dan Kadar wajib zakat barang tambang
Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat barang tambang adalah 1/40 atau 2,5%. Hal ini diqiyaskan dengan emas dan perak. Untuk emas, sebesar 20 dinar atau 85 gram emas murni. Untuk perak, sebesar 20 dirham atau 595 gram perak murni. Dan zakat tersebut dikeluarkan ketika ditemukan (saat itu juga) dan tidak ada hitungan haul.[11]

Adakah zakat hasil undian?
Sebagian orang menetapkan bahwa zakat undian atau “rezeki nomplok” sama dengan zakat rikaz yaitu dikeluarkan 20%. Ini jelas keliru karena mewajibkan sesuatu yang tidak wajib.
Zakat rikaz sebagaimana diterangkan di atas adalah bagi harta zaman jahiliyah (non muslim) yang terpendam dan ditemukan. Hasil undian tentu tidak demikian. Adapun harta temuan yang itu menjadi milik masyarakat muslim atau sejarahnya kembali ke zaman Islam, maka tidak disebut rikaz, akan tetapi masuk luqothoh (barang temuan). Dan dalam kitab-kitab fiqih di setiap mazhab telah dibedakan antara rikaz dari luqothoh. Status luqothoh adalah tetap milik pemilik yang sebenarnya dan asalnya bukan milik penemunya. Barang temuan semacam  ini diumumkan selama satu tahun. Jika ada pemiliknya maka diserahkan, sedangkan jika tidak maka boleh diambil oleh orang yang memungutnya.
Semoga bermanfaat, semoga Allah senantiasa memberikan kita keistiqomahan dalam menuntut ilmu, beramal sholih dan berdakwah.

@ Ummul Hamam, selepas shalat Shubuh di hari Jum’at penuh barokah, 4 Rajab 1433 H

www.rumaysho.com




[1] Lihat bahasan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 58.
[2] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[3] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[4] Lihat Al Wajiz Al Muqorin, hal. 71.
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 58-60.
[6] HR. Abu Daud no. 1710, Syafi’i dalam musnadnya 673, Ahmad 2: 207, Al Baihaqi 4: 155. Syaikh Abu Malik mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[7] HR. Bukhari no. 1499 dan Muslim no. 1710.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 60 dan Al Wajiz Al Muqorin, hal. 72.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 60-61.
[10] Al Majmu’, 6: 77.
[11] Lihat Fiqh Sunnah, 1: 343.

http://rumaysho.com/zakat/zakat-harta-karun-dan-barang-tambang-2470


Panduan Praktis Zakat Harta Karun dan Barang Tambang

 

Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, L.c, Ma
 
PENGERTIAN AR-RIKAZ DAN AL-MA’DIN
Istilah harta karun sudah sangat tidak asing lagi bagi kita. Dalam ilmu Fiqih Islam, harta karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah ar-rikaz, sedangkan barang tambang dikenal dengan istilah al-ma’din.

Para Ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan (harta karun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang (al-ma’din), barang temuan (ar-rikaz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap barang tambang dan temuan.

Menurut Hanafiyyah (para pengikut madzhab imam Abu Hanifah), bahwa ar-rikaz dan al-ma’din adalah harta yang sama atau satu makna. Sedangkan menurut mayoritas Ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, pent), kedua hal tersebut maknanya berbeda.[1]

Ar-Rikaz, secara bahasa artinya adalah sesuatu yang terpendam dalam perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ar-rikaz ialah harta terpendam zaman jahiliyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya yang kerja keras, baik berupa emas, perak, maupun selainnya.

Al-Ma’din, secara bahasa berasal dari kata al-‘and yang berarti al-iqamah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’din-nya. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta dalam perut bumi dari sesuatu yang lain yang memiliki nilai.

Barang tambang ada yang berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, dan timah. Dan ada pula yang berbentuk cairan, seperti minyak, ter dan sejenisnya.

Menurut madzhab Hanafi, harta terpendam dan barang tambang adalah sama, sementara menurut
mayoritas Ulama keduanya berbeda. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

… menggali barang tambang mengandung resiko[2], dan pada harga terpendam seperlima[3]

Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara harta terpendam dan barang tambang.

LANDASAN DISYARIATKANNYA ZAKAT HARTA KARUN (TERPENDAM)
Para Ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu (QS. Al-Baqarah/2:267).

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Dan pada harta terpendam (zakatnya) seperlima[4]

JIKA SESEORANG MENEMUKAN HARTA KARUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima keadaan berikut ;
Pertama : Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui pemiliknya. Maka harta itu menjadi milik orang yang menemukannya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan empat perlimanya menjadi miliknya. Ini sebagaimana hadits :

Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata –tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing jahiliyah-, “Jika ia menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan yang dilalui orang, maka ia harus mengumumkannya. Jika ia menemukannya di puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka itu menjadi miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”[5]

Kedua : Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas.

Ketiga : Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat Ulama :[6]
Harta itu untuk pemilik tanah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Muhammad bin al-hasan, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari Imam Ahmad, dan dianggap bagus oleh Abu Yusuf (Murid Abu Hanifah).
Mereka mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan tanah. Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
Dengan perincian : jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. Ini adalah madzhab Imam asy-Syafi’i.

Keempat : Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemelikan, dengan cara membeli atau selainnya.[7]  Dalam hal ini ada dua pendapat :
Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab imam Malik, imam Abu Hanifah dan pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, yaitu jika pemilik pertama tidak mengakuinya.

Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak, maka pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu menjadi luqathah (barang temuan). Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i.

Kelima : Ia menemukannya di dar al-harb (negeri yang diperangi). Jika digali bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti ghanimah.
Jika ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua pendapat Ulama : [8]

Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan dengan harta yang ditemukan di tanah yang tidak berpenghuni.
Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha mempertahankan, maka itu adalah ghanimah. Jika pemiliknya tidak mengetahuinya dan tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam. Ini adalah madzhab Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan perincian yang mereka buat.

APAKAH DISYARIATKAN NISHAB DAN HAUL PADA HARTA TERPENDAM ?
Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20%), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.[9]

Dan hal ini adalah pendapat mayoritas Ulama

SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DARI SEPERLIMA HARTA TERPENDAM TERSEBUT ?
Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta terpendam menjadi dua pendapat : [10]

Pendapat pertama : Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran zakat untuk delapan golongan. Ini adalah pendapat imam asy-Syafi’i dan imam Ahmad. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan, jika disedekahkan kepada orang miskin, maka itu sudah cukup baginya.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu :
Apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Bisyr al-Khats’ami, dari seseorang dari kaumnya yang biasa dipanggil Hajmah. Ia berkata, “Sekantung uang kuno jatuh menimpaku di Kufah dekat pekuburan Bisyr. Di dalamnya berisi empat ribu Dirham. Aku membawanya kepad Ali bin Abu Thalib  , maka dia berkata, “Bagikanlah lima bagian!” aku membagikannya. Ali mengambil seperlima darinya dan memberikan kepadaku empat perlimanya. Saat aku ingin pergi, dia memanggilku seraya berkata, “Apakah ada tetanggamu yang fakir dan miskin?” Aku jawab, “Ya” Dia berkata, “Ambillah ini, dan bagikan kepada mereka.”[11]
Hujjah kedua : karena diperoleh dari bumi, maka disamakan dengan tanaman.

Pendapat kedua : tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah pendapat imam Abu Hanifah, imam Malik, dan sebuah riwayat dari imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ibnu Qudamah.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu :
Apa yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa ada seorang lelaki menemukan seribu Dinar yang terkubur di luar Madinah. Ia membawanya ke hadapan Umar bin Al-Khaththab, lalu Umar mengambil seperlima darinya, yaitu dua ratus Dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tersebut. Mulailah Umar membagikan dua ratus Dinas tersebut kepada kaum muslimin yang hadir hingga tersisa beberapa dinar, maka dia berkata, “Dimanakah pemilik dinar tadi?” Ia bangkit dan berjalan kearahnya, lalu Umar berkata, “Ambilah dinar ini, karena ini milikmu.”[12]
Mereka mengatakan, jikalau itu zakat, pastilah dikhususkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dan tidak dikembalikan lagi kepada orang yang menemukannya.

Karena ini wajib atas kafir dzimmi, sementara zakat tidak wajib atasnya. Dan karena harta itu termasuk harta makhmus (yang harus dikeluarkan seperlimanya) yang telah terlepas kepemilikannya dari tangan orang kafir (dengan anggapan harta itu termasuk harta terpendam milik kaum jahiliyah), maka disamakan seperti pembagian seperlima harta ghanimah.
Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim berkata, “Dua dalil di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu syaikh al-Albani rahimahullah berkata, [13] “Tidak ada dalam al-hadits yang menguatkan penjelasan salah satu dari kedua belah pihak atas pihak yang lainnya. Oleh karena itu, aku memilih dalam ahkam (hukum-hukum) harta terpendam, tempat penyalurannya dikembalikan kepada keputusan (kebijakan) pemimpin kaum muslimin. Ia menyalurkannya ke mana saja yang ada kemaslahatan bagi Negara. Inilah pendapat yang dipilih Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal.”[14]

APAKAH BARANG TAMBANG TERMASUK DALAM HUKUM HARTA TERPENDAM YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA ?
Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama fiqih menjadi dua pendapat :

Pendapat Pertama : Imam Malik –dalam salah satu dari dua riwayatnya-, dan imam asy-Syafi’I dalam pendapatnya yang kedua berpendapat tidak ada kewajiban apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).

Pendapat Kedua : Mayoritas Ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah dan minyak bumi, seperti rikaz (barang terpendam) yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih tengang kadar zakatnya.[15]

Tarjih :
Pendapat yang rajih (kuat dan benar) adalah pendapat kedua, berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala :

Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dn sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al-Baqarah/2:267).

Tidak diragukan lagi, minyak bumi yang dikenal dengan sebutan “emas hitam” termasuk barang tambang yang paling berharga. Oleh karena itu, tidak sah mengeluarkannya dari hukum zakat ini. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

KADAR ZAKAT YANG WAJIB DIKELUARKAN PADA BARANG TAMBANG
Dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat para Ulama fiqih menjadi beberapa pendapat :

Pendapat pertama : Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Abu Ubaid, dan selainnya berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20%) dari barang tambang seperti harta terpendam (harta karun).

Pendapat kedua : Mayoritas Ulama berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh atau dua setengah persen (2,5%), diqiyaskan dengan emas dan perak.
Sebab perselisihan ini adalah perbedaan pendapat tentang makna ar-rikaz (harta terpendam / harta karun); apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya ataukah tidak?

Pendapat ketiga : Sebagian Ulama fiqih membedakannya; jika hasil yang didapat banyak, jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya (20%). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (2,5%).[16]
Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta karun atau harta terpendam dan barang tambang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua.
Wallahu ta’ala a’lam bish –shawab.[]

Sumber: Majalah As-Sunnah Edisi, 11 thn. XV Rabi’ul Akhir 1433H Maret 2012M

[1]   Lihat al-fiqhul Islami wa Adillatuhu, Karya Wahbah Az-Zuhaili II/775
[2]   Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud                      maknanya ialah barangsiapa menggali barang tambang di tanah miliknya, atau di kampung yang tidak berpenghuni atau tidak dilalui oleh banyak orang, lalu tiba-tiba ada orang lewat di tempat galian tersebut dan ia jatuh ke dalamnya, kemudian ia mati, maka pemilik tempat galian barang tambang tadi tidak ada kewajiban menanggungnya.” (Lihat Syarah Shahih Muslim VI/134).
[3]   HR. al-Bukhari II/545 no. 1428, dan Muslim III/1334 no. 1710, dari Abu Hurairah
[4]   HR. al-Bukhari II/545 no. 1428, dan Muslim III/1334 no. 1710, dari Abu Hurairah
[5]   HR. Abu Daud II/606 no. 4593, asy-Syafi’ dalam Musnad-nya I/96 (440), Ahmad II/207, dan al-Baihaqi II/15 no. 7898. dan sanadnya dinyatakan Hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud I/321 no. 1504.
[6]   Fathul Qadir II/183, al-Mughni III/49, al-Majmu’ VI/41, al-Umm II/41, dan al-Mabsuth II/214. dinukil dari Shahih Fiqhis-Sunnah II/59.
[7]   Al-Mughni III/49, al-Mudawwanah (I/290), al-Majmu VI/40, al-Umm II/44, dan al-Mabsuth II/212.
[8]   Al-Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/291), al-Majmu’ VI/40, dan al-Mabsuth II/215.
[9]   HR. al-Bukhari II/545 no. 1428, dan Muslim III/1334 no. 1710, dari Abu Hurairah       .
[10]  Al-Mughni III/51, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/44, dan al-Mabsuth II/212.
[11]  Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 7179, ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar III/304, dan al-Baihaqi IV/157 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[12]  Al-Amwal karya Ibnu Ubaid no. 874 dengan sanad yang dha’if (lemah).
[13]  Tamamul Minnah hlm. 378.
[14]  Shahih Fiqhis-Sunnah, II/61.
[15]  AL_Mughni III/50, al-Mudawwanah (I/292), al-Umm II/45, dan al-Mabsuth II/295.
[16]  Fiqihuz Zakat I/471 dan halaman setelahnya.

http://ibnuabbaskendari.wordpress.com/2012/06/27/panduan-praktis-zakat-harta-karun-dan-barang-tambang/