Bismillah,
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60)
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelas menggunakan
kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan
golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua : fakir
dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan
yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat
manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah
dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka
karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama
lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir
menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan
usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu
rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan
tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh.
Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih
dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak
boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama
sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat
untuk orang yang berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang
tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan
ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang
ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki
kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka ia halal untuk
mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena
hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian
pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah
kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi
tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini
adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya.
Inilah pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu
bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau
memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh
mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat
untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk
bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang
berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya:
mampu untuk bekerja, pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang
diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada
fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan
orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih
daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat
dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk
setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob
zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki
harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi,
maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam
setahun.[9]
Golongan ketiga : amil
zakat.
Untuk amil zakat, tidak
disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan
pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah
mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah
yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari
pekerjaan yang ia lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil
zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk
bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah
orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan
juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi
berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh
penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar
zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat
serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski
sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah
amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk
mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu
menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang
biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya
bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta
zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika
mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut
mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah
mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah
dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas
jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan
diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya
sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang
yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini
sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang
dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil
dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki
kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak
untuk membayar zakat.
Golongan keempat : orang
yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan
hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
1. Orang yang lemah imannya namun
ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
2. Pemimpin di kaumnya, lantas
masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar
tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
1. Orang kafir yang sedang
tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
2. Orang kafir yang ditakutkan
akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum
muslimin.[15]
Golongan kelima : pembebasan
budak.
Pembebasan budak yang termasuk di
sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya
ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim,
(3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam : orang
yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini
adalah:
Pertama : Orang yang
terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi:
1. Yang berutang adalah seorang
muslim.
2. Bukan termasuk ahlu bait
(keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Bukan orang yang bersengaja
berutang untuk mendapatkan zakat.
4. Utang tersebut membuat ia
dipenjara.
5. Utang tersebut mesti dilunasi
saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun
lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan
zakat.
6. Bukan orang yang masih
memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua : Orang yang
terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia
berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain.
Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ
بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu
tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai
tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan
tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).”[17]
Ketiga : Orang yang
berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain).
Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang
sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh : di jalan
Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama : Berperang di
jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak
disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena
orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya
saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu
disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua : Untuk kemaslahatan
perang.
Seperti untuk pembangunan benteng
pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian
upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai
musuh.[19]
Golongan kedelapan : ibnu
sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah
orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia
dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi
zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait
(keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada
saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia
adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar
maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk
Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji?
Para fuqoha berpendapat tidak
bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan,
masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik
individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan
golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh
menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk
dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah
ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang
Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada
Islam, ada beberapa golongan:
1. Muslim yang taat dan
menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang
pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang
benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
2. Termasuk ahlu bid’ah dan
bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh
diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
3. Ahli bid’ah (yang sifatnya
tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia
akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan
zakat pada orang semacam itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan
zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan
lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang
berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau
kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah
pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat
maksiat.”[22]
Wallahu a'lam,
__________
FooteNote :
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index “zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index “zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index “zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index “zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261, index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262, index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index “zakat”, point 172 dan 173.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8264-8265, index “zakat”, point 174 dan 175.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 25/87.
Sumber : http://www.rumaysho.com/hukum-islam/zakat/3148-8-golongan-penerima-zakat.html
FooteNote :
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index “zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index “zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index “zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index “zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index “zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut, 1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261, index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262, index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index “zakat”, point 172 dan 173.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8264-8265, index “zakat”, point 174 dan 175.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 25/87.
Sumber : http://www.rumaysho.com/hukum-islam/zakat/3148-8-golongan-penerima-zakat.html
GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Oleh:Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364), “Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan pencelaannya kepada Rasulullah j dalam masalah pembagian sedekah. Dia melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun, kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan yang tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ, فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya, “Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]
Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan se-dekah, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
Keempat : Mu-allaf (Orang-Orang yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain, dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam emas mentah batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang, al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap kaum muslimin.
Allaahu a'lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya, bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah ditundukkan bagi mereka banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada mereka.”
Kelima :Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab (budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan [8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”
Keenam : Orang yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali, ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]
Ketujuh : Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal. Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya, ‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab, ‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]
Kedelapan : Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin Yasar, dari Abu Sa’id radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam, yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim (II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas, bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’ Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim (II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969), Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no. 27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no. 4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no. 4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109, no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim (II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i (V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud (V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
http://almanhaj.or.id/content/914/slash/0/golongan-yang-berhak-menerima-zakat/