Selasa, 28 Januari 2014

LARANGAN DALAM IHRAM

Oleh:Ustadz Khalid Syamhudi Lc

Di dalam ihram diharamkan sembilan hal, yaitu:


1. Mencukur rambut, dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ 

"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [Al Baqarah:196]

Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ka'ab bin Ujrah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

كَانَ بِيْ أَذَى مِنْ رَأْسِيْْْْ فَحُمِلْتُ إِلَى النَّبِيْ وَ اْلقُمَلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِيْ فَقَالَ مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ الْجَهْدَ قَدْ بَلَغَ مِنْكَ مَا أَرَى أَتَجِدُ شَاةً ؟ قُلْتُ لاَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ.

“Aku mendapatkan gangguan di kepalaku, lalu aku dibawa ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan kutu-kutu bertebaran di wajahku, lalu beliau berkata: “Tidak ku-sangka begitu parah apa yang telah menimpamu, apakah kamu mampu mendapatkan kambing? Aku menjawab :”Tidak", maka turunlah ayat tersebut (Al Baqarah 196)".

Ibnu Qudamah berkata: "Para ulama telah bersepakat bahwa seorang yang berihram (muhrim) dilarang mengambil rambut kecuali karena udzur (alasan) syar'i”. [1]

Dan para ulama berselisih menjadi dua pendapat tentang hukum mencukur rambut selain rambut kepala, apakah termasuk hal-hal yang diharamkan dengan sebab ihram atau tidak:

1. Rambut yang lain sama hukumnya dengan rambut kepala, dengan dalil firman Allah.


وَلاَ تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةُُ مِّنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ 

"Dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka wajib atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, atau bersedekah, atau berkurban." [Al Baqoroh:196].

Dan qiyas (Analogi) mereka berkata bahwa ayat tersebut menunjukkan kepada rambut kepala secara lafazh dan rambut yang lainnya secara qiyas, dan ini merupakan madzhab jumhur.[2] 

2. Larangan itu hanya khusus pada rambut kepala, sedang rambut lainnya tidak terlarang. 

Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan madzhab Zhahiriyah, mereka berkata: "Tidak benar berdalil dengan ayat tersebut karena ayat tersebut khusus kepada rambut kepala, dan tidak ada penjelasan tentang yang lainnya. Sedangkan qiyas membutuhkan persamaan Illat dalam cabang (furu') dan pokok (Ashl), kalau kalian menetapkan illat hal tersebut adalah sebagai kebersihan dan kesenangan, karena mencukur rambut kepala itu akan menghasilkan kebersihan, maka hal itu kurang tepat, karena muhrim (orang yang berihram) tidak dilarang makan-makanan yang enak dan baik, padahal hal tersebut juga menghasilkan kesenangan, demikian juga dia boleh memakai jenis bahan pakaian ihram yang sesukanya, dan illat (sebab) larangan mencukur rambut adalah dilarangnya satu syi'ar yang disyariatkan yaitu mencukur atau memangkas rambut sampai selesai umrah atau selesai melempar jumrah Aqabah, dan pendapat ini lebih kuat dari illat yang di atas. Demikian juga asal dari pengambilan rambut-rambut tubuh manusia adalah halal, maka kita tidak boleh melarangnya dari hal tersebut kecuali dengan dalil.


Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Ibnu Utsaimin dengan perkataannya: "Dan ini lebih dekat (kepada kebenaran)".[3] 
2. Memotong Kuku.

Dalam permasalahan ini tidak ada nash, baik dari Al-Qur'an atau Sunnah. Oleh karena itu Ibnu Hazm tidak memasukkannya ke dalam hal-hal yang dilarang dengan sebab ihram, akan tetapi jumhur ulama bahkan hampir seluruhnya mengqiyaskan hal tersebut kepada rambut, bahkan Imam Ibnu Qudamah dan Ibnu Mundzir menukilkan Ijma' tentang ketidak bolehan memotong kuku. Akan tetapi syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithy berdalil dengan pengharam ini dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

ثُمَّ لِيَقْضُوْا تَفَثَهُمْ وَ لِيُوْفُوْا نُذُوْرَهُمْ وَ لِيَطَّوَّفُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan Thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)." [Al Hajj:29]

Yang ditafsirkan oleh sebahagian sahabat dan tabi'in dengan memotong rambut, kuku dan mencabut bulu ketiak. Dan mengatakan; "Menurut tafsir ini maka ayat tersebut menunjukkan bahwa kuku itu seperti rambut bagi orang yang sedang ihram, apalagi dihubungkan dengan kata penghubung "tsumma" terhadap penyembelihan hadyu, maka itu menunjukkan bahwa mencukur dan memotong kuku dan yang sejenisnya seharusnya dilakukan setelah nahr (menyembelih pada tanggal 10 dzul hijjah) pent.[4] Apalagi kalau benar penukilan ijma' tersebut maka tidak ada alasan untuk menolaknya.

3. Menutup Kepala Dengan Penutup Yang Melekat Di Kepala.

Hal itu karena larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kisah seorang yang sedang berihram dan jatuh dari ontanya dengan mengatakan:

لاَ تُخَمِّرُوْا رَأْسَهُ

"Janganlah kalian tutupi kepalanya". [HR Bukhari dan Muslim]

Demikian juga hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang dipakai oleh seorang yang sedang berihram, maka beliau menjawab:

لاَ يَلْبَسُ اْلقَمِيْصَ وَلاَالسَّرَاوِيْلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْعَمَائِمَ

"Janganlah dia berihram memakai gamis, celana, baju burnus [5], dan tidak pula imamah" [HR Mutafaqqun alaih]

Imamah (sorban) dinamakan demikian karena dia menutupi seluruh atau hampir seluruh kepala, maka tidak boleh seseorang menutup kepalanya dengan sesuatu yang tidak langsung menempel, dan dibolehkan menggunakan payung atau apa saja yang dapat digunakan untuk berteduh seperti penutup kendaraan dan lain-lainnya.

4. Memakai pakaian berjahit bagi laki-laki dengan sengaja pada seluruh badan atau sebagiannya, berupa baju/pakaian yang menutupi setiap pergelangan dari tubuh, seperti: gamis, celana, kaos kaki, kaos tangan dan lain-lain. Sebagaimana larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar ketika beliau ditanya apa yang dipakai seorang muhrim? Beliau menjawab:


لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ اْلبُرْنُسَ وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ 

"Janganlah seorang muhrim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za'faron dan tidak memakai kaos kaki kulit kecuali jika tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata kakinya" [HR Bukhari dan Muslim]

Ibnu Abdil Barr berkata: "Semua yang ada dalam hadits ini telah disepakati oleh ahli ilmu untuk tidak dipakai seorang muhrim selama ihromnya, dan merekapun bersepakat bahwa yang dituju dengan sabda beliau dalam pakaian tersebut adalah laki-laki, bukan untuk wanita sehingga dibolehkan bagi wanita memakai gamis, celana, kerudung dan khuf (kaos kaki kulit)."

Dalam hadits Shafwan bin Ya'la bin Umaiyah dari bapaknya dia berkata:

أَنَّ رسول الله أَتَاهُ رَجُلٌ أَعْرَبِيٌ وَهُوَ مُعْتَمِرٌ بِالْجُعْرَانَةِ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ عَلَيْهَا طِبٌّ أَوْ أَثَرُ طِبٍّ فَقَالَ يَا رسول الله مَا تَرَى فِىْ مَنْ أَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ وَعَلَيْهِ مَا تَرَى ؟ فَأَوْحَىاللهُ إِلَيْهِ فَلَمَّا سَرَى قال؟ أَيْنَ السَّائِلُ ؟ قَالَ اْنزَعْ جُبَّتَكَ (البخارى)

"Sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah seorang A’raby yang sedang berumroh dengan mengenakan jubah (baju) yang berminyak wangi atau ada bekas minyak wangi, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah apa pendapatmu tentang seorang yang berihom untuk umroh dalam keadaan seperti yang anda lihat? Lalu Allah wahyukan kepadanya, dan ketika sadar beliau bertanya: “Siapakah orang yang bertanya ? lalu beliau berkata: “Lepas jubahmu". [HR Bukhari]

Akan tetapi bagi orang yang tidak mendapatkan sandal dan sarung yang tidak berjahit diberi kemudahan untuk memakai khuf (kaos kaki kulit) dan celana, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar terdahulu dan juga hadits Ibnu Abbas. Dalam hadits Ibnu Umar dijelaskan adanya pengecualian bagi yang tidak memiliki sarung (izaar) untuk memakai celana dan yang tidak mendapatkan sandal untuk memakai khuf (kaos kaki kulit). Dibolehkannya hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama, akan tetapi mereka berselisih menjadi dua pendapat tentang masalah apakah orang yang mengenakan khuf atau celana ketika tidak mendapatkan sarung atau sandal dikenai fidyah atau tidak:

Pertama: Dikenakan fidyah padanya dan ini pendapat madzhab Hambali.
Kedua: Tidak dikenakan apa-apa dan ini pendapat jumhur, dengan dalil pengertian tekstual dari hadits Ibnu Umar dan Ibnu Abbas terdahulu. Pendapat inilah yang benar, karena keringanan tersebut menunjukkan hilangnya denda atau pengganti.

Akan tetapi, jika didapatkan sarung (Izar) dan sandal maka wajib baginya untuk melepas celana dan khufnya dan berganti, karena dikatakan dalam kaidah:

مَا أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ يُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا

Apa yang dibolehkaan karena kebutuhan disesuaikan dengan ukuran kebutuhannya.

Para ulama juga berselisih tentang permasalahan memotong khuf bagi yang mengenakan khuf ketika tidak mendapatkan sandal, menjadi dua pendapat:
1. Wajib memotong khufnya sampai di bawah mata kaki, ini pendapat Jumhur Ulama berdalil dengan hadits Ibnu Umar yang berbunyi:

إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ 

"Kecuali seseorang yang tidak mendapatkan sepasang sandal maka hendaklah memakai khuf dan memotongnya sampai di bawah mata kaki" [HR Bukhory]

2. Tidak wajib memotongnya, ini pendapat Ali bin Abi Thalib dan sekelompok ulama salaf serta pendapat imam Ahmad bin Hambal. Dalilnya hadits Ibnu Abbas dalam khutbah Nabi di Arafah:

الخِفَافُ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ

"Khuf bagi yang tidak mendapatkan sepasang sandal" [HR Bukhori dan Muslim]

Yang rajih –insya Allah – pendapat yang pertama sebagaimana dirajihkan oleh Syeikh Muhammad bin Muhammad Mukhtar Asy-Syinqithiy dalam Mudzakirat beliau, karena beberapa hal:


1. Keabsahan haditsnya dan kejelasan lafadz perintah untuk memotongnya.
2. Dalam hadits Ibnu Abbas tidak ada penjelasan dipotong atau tidak, sehingga mungkin beliau menghendaki khufnya dipotong atau tidak dipotong, dan ini merupakan dalil mafhum, sedangkan hadits Ibnu Umar diatas adalah manthuq, sedangkan manthuq didahulukan dari mafhum.

5. Memakai minyak wangi dengan sengaja pada badan, pakaian, dalam keadaan ihram. Karena larangan Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits.
لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ اْلبُرْنُسَ وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ 

"Janganlah seorang muslim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za'faron (keduanya adalah jenis minyak wangi) dan tidak memakai kaos kaki kulit, kecuali tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata kakinya" [HR Bukhari dan Muslim]

6. Membunuh hewan buruan darat dan diperbolehkan berburu binatang buruan laut dengan dalil firman Allah:


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمُُ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُمْ مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءُُ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةُ طَعَامِ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللهُ مِنْهُ وَاللهُ عَزِيزُُ ذُو انْتِقَامٍ . أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَادُمْتُمْ حُرُمًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai hadya (kurban) yang dibawa sampai ke Ka'bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau bershiyam seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema'afkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (manangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan" [Al-Maidah :95-96]

7. Akad nikah, dengan dalil sabda Rasulullah.


الْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ

"Seorang yang berihram tidak boleh menikah dan meminang" [HR Muslim] dan dalam riwayat lain dari sahabat Utsman bin Affaan dengan lafadz.

إِنَّ الْمُحْرِمَ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يُنْكِحُ 

"Sesungguhnya seorang yang berihram tidak boleh menikah dan menikahkan orang lain" [HR Muslim]

Dalam hadits ini dijelaskan keharaman seorang muhrim melamar seorang wanita, menikah dan menikahkan. Jadi seorang muhrim tidak boleh menikah dan tidak boleh menjadi wali yang menikahkan seorang wanita selama dia masih berihrom dan belum bertahallul.

8. Jima’ dan yang dapat mengantarkan kepadanya.
9. Bertengkar dan berjidal (debat kusir).Kedua hal diatas ini dilarang dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

الْحَجُّ أَشْهُرُُ مَّعْلُومَاتُُ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ 

"(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal". [Al-Baqarah :197]

Demikianlah beberapa keterangan yang berkenaan dengan tata-cara ihrom, dan sebagian hukum-hukum yang berkenaan dengannya, mudah-mudahan bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Kitab manasik 5/146
[2]. Majmu' syarah muhazzab Nawawy 7/262 
[3]. Lihat syarhul Mumti'
[4]. Adwaaul bayan 5/404
[5]. Burnus adalah baju yang memiliki tutup kepala yang bersambung dengan baju


http://almanhaj.or.id/content/2872/slash/0/fiqih-haji-larangan-dalam-ihram/


 Larangan Ketika Ihram



Larangan ihram yang seandainya dilakukan oleh orang yang berhaji atau berumroh, maka wajib baginya menunaikan fidyah, puasa, atau memberi makan. Yang dilarang bagi orang yang berihram adalah sebagai berikut:
  1. Mencukur rambut dari seluruh badan (seperti rambut kepala, bulu ketiak, bulu kemaluan, kumis dan jenggot).
  2. Menggunting kuku.
  3. Menutup kepala dan menutup wajah bagi perempuan kecuali jika lewat laki-laki yang bukan mahrom di hadapannya.
  4. Mengenakan pakaian berjahit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh bagi laki-laki seperti baju, celana dan sepatu.
  5. Menggunakan harum-haruman.
  6. Memburu hewan darat yang halal dimakan. Yang tidak termasuk dalam larangan adalah: (1) hewan ternak (seperti kambing, sapi, unta, dan ayam), (2) hasil tangkapan di air, (3) hewan yang haram dimakan (seperti hewan buas, hewan yang bertaring dan burung yang bercakar), (4) hewan yang diperintahkan untuk dibunuh (seperti kalajengking, tikus dan anjing), (5) hewan yang mengamuk (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 210-211)
  7. Melakukan khitbah dan akad nikah.
  8. Jima’ (hubungan intim). Jika dilakukan sebelum tahallul awwal (sebelum melempar jumroh Aqobah), maka ibadah hajinya batal. Hanya saja ibadah tersebut wajib disempurnakan dan pelakunya wajib menyembelih seekor unta untuk dibagikan kepada orang miskin di tanah suci. Apabila tidak mampu, maka ia wajib berpuasa selama sepuluh hari, tiga hari pada masa haji dan tujuh hari ketika telah kembali ke negerinya. Jika dilakukan setelah tahallul awwal, maka ibadah hajinya tidak batal. Hanya saja ia wajib keluar ke tanah halal dan berihram kembali lalu melakukan thowaf ifadhoh lagi karena ia telah membatalkan ihramnya dan wajib memperbaharuinya. Dan  ia wajib menyembelih seekor kambing.
  9. Mencumbu istri di selain kemaluan. Jika keluar mani, maka wajib menyembelih seekor unta. Jika tidak keluar mani, maka wajib menyembelih seekor kambing. Hajinya tidaklah batal dalam dua keadaan tersebut (Taisirul Fiqh, 358-359).

Tiga keadaan seseorang melakukan larangan ihram

  1. Dalam keadaan lupa, tidak tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah.
  2. Jika melakukannya dengan sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah. Seperti terpaksa ingin mencukur rambut (baik rambut kepala atau ketiaknya), atau ingin mengenakan pakaian berjahit karena mungkin ada penyakit dan faktor pendorong lainnya.
  3. Jika melakukannya dengan sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan mendesak, maka ia dikenakan fidyah ditambah dan terkena dosa sehingga wajib bertaubat dengan taubat yang nashuhah (tulus).

Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan

  1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
  2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
  3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang  miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
  4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  berpuasa tiga hari, [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)
Catatan:
  1. Jika wanita yang berniat tamattu’ mengalami haidh sebelum thowaf dan takut luput dari amalan haji, maka ia berihram dan  meniatkannya menjadi qiron. Wanita haidh dan nifas melakukan seluruh manasik selain thowaf di Ka’bah.
  2. Wanita adalah seperti laki-laki dalam hal larangan-larangan saat ihram kecuali dalam beberapa keadaan: (1) mengenakan pakaian berjahit, wanita tetap boleh mengenakannya selama tidak bertabarruj (memamerkan kecantikan dirinya), (2) menutup kepala, (3) tidak menutup wajah kecuali jika terdapat laki-laki non mahram.
  3. Orang yang berihram maupun tidak berihram diharamkan memotong pepohonan dan rerumputan yang ada di tanah haram. Hal ini serupa dengan memburu hewan, jika dilakukan, maka ada fidyah. Begitu pula dilarang membunuh hewan buruan dan menebang pepohonan di Madinah, namun tidak ada fidyah jika melanggar hal itu.

Kaedah dalam masalah menggunakan harum-haruman ketika ihram

  1. Boleh menghirup bau tanaman yang memiliki aroma yang harum. Hal ini disepakati oleh para ulama.
  2. Boleh menghirup bau sesuatu yang memiliki aroma harum dan mengkonsumsinya seperti buah-buahan yang dimakan atau digunakan sebagai obat. Hal ini juga disepakati oleh para ulama.
  3. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum (harum-haruman) dan memang digunakan untuk maksud tersebut seperti minyak misik, kapur barus, minyak ambar, dan za’faron, maka ada fidyah jika digunakan ketika berihram.
  4. Jika sesuatu yang tujuan asalnya digunakan untuk parfum, namun digunakan untuk maksud lain, maka hal ini pun terkena fidyah (An Nawazil fil Hajj, 198).

Hal-hal yang dibolehkan ketika ihram

  1. Mandi dengan air dan sabun yang tidak berbau harum.
  2. Mencuci pakaian ihram dan mengganti dengan lainnya.
  3. Mengikat izar (pakaian bawah atau sarung ihram).
  4. Berbekam.
  5. Menutupi badan dengan pakaian berjahit asal tidak dipakai.
  6. Menyembelih hewan ternak (bukan hewan buruan).
  7. Bersiwak atau menggosok gigi walau ada bau harum dalam pasta giginya selama bukan maksud digunakan untuk parfum.
  8. Memakai kacamata.
  9. Berdagang.
  10. Menyisir rambut.

Tahallul

Tahallul artinya keluar dari keadaan ihram. Tahallul ada dua macam: (1) tahallul awwal (tahallul shugro), dan (2) tahalluts tsani (tahallul kubro).
Tahallul awwal ketika telah melakukan: (1) lempar jumroh pada hari Nahr (10 Dzulhijjah), (2) mencukur atau memendekkan rambut. Jika telah tahallul awwal, maka sudah boleh melakukan seluruh larangan ihram (seperti memakai minyak wangi), memakai pakaian berjahit dan yang masih tidak dibolehkan adalah yang berkaitan dengan istri.
Tahalluts tsani ditambah dengan melakukan thowaf ifadhoh (yang termasuk thowaf rukun). Ketika telah tahalluts tsani, maka telah halal segala sesuatu termasuk jima’ (hubungan intim) dengan istri (Fiqhus Sunah, 1: 500).

-bersambung insya Allah-

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/fikih-haji-5-larangan-ketika-ihram.html

Tidak ada komentar: