Berikut adalah beberapa pembatal wudhu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut
Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau kembali dari tempat buang air (kakus).”[1] Yang dimaksud dengan al
ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang
luas.[2] Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat buang
air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini.[3]
Para ulama sepakat bahwa wudhu menjadi batal jika keluar kencing dan buang air besar dari jalan depan atau pun belakang.[4]
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak)
membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia
berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud
hadats, wahai Abu Hurairah?”
Abu Hurairah pun menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”[5]
Para ulama pun sepakat bahwa kentut termasuk pembatal wudhu.[6]
Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi
Apa yang dimaksud mani, wadi dan madzi?
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada
umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya
dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis,
lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’
(bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak
menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika
muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki
madzi.[7]
Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.
Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa
membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu
yang menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu.[8]
Madzi bisa membatalkan wudhu berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib. ‘Ali mengatakan,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan
hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan
anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad
bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya
kemudian suruh ia berwudhu”.”[9]
Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk
mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah
kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”[10]
Pembatal ketiga: Tidur Lelap (Dalam Keadaan Tidak Sadar)
Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam
keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak
merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air
liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik
tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena
tidur semacam ini yang dianggap mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan
muncul hadats.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar
dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak
membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil
yang ada. Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya
hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun datang dan shalat bersama mereka.”[11]
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila.
Ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran
pada kondisi semacam ini tentu lebih parah dari tidur.[13]
Pembatal kelima: Memakan daging unta.
Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan daging kambing?”
Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka
tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah
seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda,
“Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.”[14]
Demikian pembahasan mengenai pembatal wudhu. Sebagian lainnya adalah
pembatal wudhu yang masih diperselisihkan di antara para ulama. Insya
Allah sebagian lainnya yang dianggap sebagai pembatal wudhu akan kami
kupas dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
___________
[1] QS. Al Maidah: 6
[2] Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 2/244, Asy Syamilah
[3] Lihat Al Mugni, Ibnu Qudamah, Al Maqdisi, 1/195, Darul Fikri, Beirut.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/127, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[5] HR. Bukhari no. 135.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[7] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’,
5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
[9] HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
[10] HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
[11] HR. Muslim no. 376.
[12] HR. Muslim no. 376.
[13] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/133.
[14] HR. Muslim no. 360.
Tanya:
Setiap saya akan sholat terkadang saya suka merasa kentut padahal sebelumnya tidak ingin kentut
Jawab:
“Diadukan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang seorang yang
merasakan sesuatu (di perutnya) ketika shalat, apakah ia sebaiknya
membatalkan shalat? Beliau bersabda: ‘Jangan, sampai terdengar suara
atau tercium bau’” (HR. Bukhari, no.2056)
Jadi, shalat menjadi batal jika terdengar suaranya, tercium baunya atau
anda merasa yakin telah buang angin. Jika tidak tercium bau, tidak
terdengar suara dan anda masih ragu, maka shalat tetap sah dan tidak
perlu membatalkan.
Tanya:
Apa dalil yang mewajibkan membaca basmalah dalam berwudhu dan gugur kewajiban tersebut kalau lupa atau tidak tahu?
Jawab:
Dalil yang mewajibkan membaca basmalah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak sah wudhu orang yang tidak menyebut nama Allah atas wudhunya.”
Adapun dalil gugurnya kewajiban mengucapkan basmalah kalau lupa atau tidak tahu adalah hadits, “Dimaafkan untuk umatku, kesalahan dan kelupaan.” Tempatnya adalah di lisan dengan mengucapkan bismillah.
_________________
Tanya:
Berapa takaran air yang dibutuhkan ketika berwudhu atau mandi (junub)?
Jawab:
Takaran air dalam berwudhu adalah satu mud (Satu mud sama dengan 1 1/3 liter menurut ukuran orang Hijaz dan 2 liter menurut ukuran orang Irak. (Lihat Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Adapun untuk mandi sebanyak satu sha’ sampai lima mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, katanya, “Adalah
Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan
mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih).
Dan makruh (dibenci) berlebih-lebihan, yaitu yang lebih dari tiga kali dalam berwudhu.
Sumber: Majalah Fatawa Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id